"Sejak pacaran sama kamu, aku gak pernah tuh bebas main sama temen-temen aku lagi. Tiap hari aku harus berangkat dan pulang sekolah bareng kamu."
"Waktu kita masih satu sekolah aja, kamu setiap saat muncul di depan aku. Harus makan siang di kantin bareng kamu. Ampe aku tuh gak bisa kumpul-kumpul lagi sama temen-temen aku."
"Aku pengen kali, jalan-jalan lagi bareng temen kayak dulu sebelum pacaran sama kamu. Ke Mall, nonton di Bioskop, ngumpul-ngumpul bareng bukannya tiap saat aku harus berduaan sama kamu terus. Malam-malam juga kita chattingan atau teleponan terus. Sebenarnya yang gak ngertiin perasaan orang lain tuh kamu. Kamu yang egois, Reza. Gak pernah mikirin perasaan aku. Gak pernah juga kan kamu nanya aku pengennya gimana?"
"Aku capek, Za. Capek kalau kamu kayak gini terus."
Larisa menangis, hingga dia menutupi wajahnya yang basah karena air mata dengan kedua tangannya.
"Aku gak ada maksud ngekang kamu kok, Cha," sahut Reza, Larisa terdiam. Isak tangisnya masih terdengar dengan wajah yang masih ditutupi kedua telapak tangannya.
"Aku cuma pengen jagain kamu. Aku juga gak pernah larang-larang kalau kamu pengen kumpul bareng temen-temen kamu, kan?"
"Iya, gak pernah larang, tapi kamunya ikut, sama aja bohong. Aku juga kan punya privasi sendiri. Aku juga kan pengen ngumpul-ngumpul sama temen tanpa pacar aku ikut segala. Kita-kita jadi gak bebas tahu gak gara-gara ada kamu? Aku juga malu soalnya cuma aku yang bawa-bawa pacar sedangkan mereka nggak."
Reza mematung di tempatnya berdiri, terkejut luar biasa mendengar pengakuan Larisa yang baru dia dengar hari ini.
"Hm, gitu ya?" gumam Reza. "Jadi sebenarnya kamu gak suka kalau aku selalu ada di sekeliling kamu. Kirain kamu bakalan seneng karena tiap saat aku ada buat kamu. Aku salah sangka ternyata soalnya kamu juga gak pernah ngomong kayak gini sebelumnya." Reza terkekeh kecil, meski terdengar jelas suaranya sedikit bergetar.
"Sekarang aku tanya kamu pengennya gimana?"
Larisa yang tengah menunduk itu seketika mendongak. Wajahnya yang banjir air mata kini berhadapan langsung dengan wajah Reza yang terlihat datar. Tak ramah seperti biasa dia berekspresi saat bersama Larisa.
"Aku pengen mulai besok kita gak perlu berangkat sama pulang sekolah bareng lagi. Toh, sekolah kita juga udah beda kan sekarang."
"Aku juga minta kamu jangan dikit-dikit ngehubungin aku. Gak usah tiap hari ketemu juga. Aku rasa ketemu seminggu sekali juga udah cukup kok."
"Aku cuma pengen jagain kamu, Cha, soalnya ..."
"Aku bukan anak TK yang kemana-mana harus ditemenin. Aku bisa jaga diri aku sendiri," sela Larisa, membuat Reza terdiam dan hanya bisa menghela napas panjang.
"Beneran kamu pengen kayak gini?"
"Ya, aku juga butuh waktu buat sendiri atau kumpul-kumpul bareng temen," jawab Larisa yakin, tanpa keraguan.
"OK, kalau kamu pengennya kayak gitu," jawab Reza, akhirnya memilih mengalah. "Ayo pulang!"
Larisa menepis tangan Reza saat pria itu bermaksud menggandeng tangannya. Memilih berjalan mendahului Reza, masuk ke dalam mobil Reza dan mendudukan dirinya di kursi penumpang, bukan di kursi samping kemudi yang biasa dilakukannya.
Reza tak menolak ataupun protes, dia biarkan Larisa yang sedang dikuasai amarah itu melakukan semua yang dia inginkan. Dengan kecepatan sedang dia menjalankan mobilnya menuju rumah Larisa.
***
Anton Kusuma tampak duduk di kursi teras rumahnya sambil membaca majalah bisnis begitu mobil Reza memasuki pekarangan luas rumah besarnya.
Larisa bergegas keluar dari mobil guna menghampiri sang ayah. Begitupun dengan Reza yang berjalan di belakang gadis itu.
Kedua pemuda-pemudi itu mencium punggung tangan Anton, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan mereka saat akan berpamitan pergi atau pulang ke rumah.
"Kalian kok tumben baru pulang jam segini?" tanya Anton, tatapan matanya tertuju pada Larisa.
Seketika Larisa salah tingkah, mungkinkah dirinya juga akan dimarahi oleh ayahnya setelah tadi dimarahi pacarnya habis-habisan?
"Hm, itu, Pa. Aku ..."
"Maaf, Om. Tadi aku ajak Icha jalan-jalan. Gak berasa ampe lupa waktu. Maaf ya Om, pulangnya jadi kemalaman gini." Reza menyambar, memberikan sebuah alasan yang membuat Larisa terbelalak kaget. Dan sebaliknya membuat Anton mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
"Oh, ya udah, gak apa-apa. Kalau Icha perginya sama kamu, Om gak khawatir," sahut Anton. "Ayo, kalian masuk ke dalam, kita makan malam sama-sama," ajaknya ramah.
"Maaf Om, lain kali aja ya. Udah malam, aku pulang dulu. Mama juga udah neleponin dari tadi," tolak Reza sopan. Larisa melirik ke arah pacarnya, merasa heran karena inilah pertama kalinya pemuda itu menolak ajakan ayahnya.
"Oh gitu, ya udah kalau gitu. Titip salam buat papa sama mama kamu ya."
"Iya, Om," sahut Reza sembari kembali mencium punggung tangan ayah Larisa.
Dia menoleh ke arah Larisa yang juga sedang menatap dirinya.
"Aku pulang dulu ya," pamit Reza, yang hanya dibalas Larisa dengan anggukannya.
"Permisi, Om."
"Iya, hati-hati di jalan ya Nak Reza. Jangan ngebut-ngebut nyetir mobilnya."
"Siap, Om," sahut Reza sambil terkekeh.
Dia berjalan mendekati mobilnya. Masuk ke dalam mobil tanpa menoleh lagi ke arah Larisa, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan area rumah besar tersebut.
Larisa beranjak masuk ke dalam rumahnya, jika saja suara sang ayah tidak membuatnya menghentikan langkah.
"Mata kamu kok merah gitu, Cha? Kayak habis nangis?"
Larisa tersentak, kaget tentu saja karena ayahnya menyadari dirinya baru saja menangis. Mungkin karena mata Larisa yang terlihat memerah juga wajahnya yang sedikit sembab.
"Iya nih, Pa," sahutnya sembari mengusap matanya. "Tadi aku sama Reza abis nonton di Bioskop. Filmnya sediiiih banget, ampe gak sadar air mata aku keluar." Bohong Larisa yang beruntung langsung ditelan bulat-bulat oleh Anton. Pria paruh baya itu mempercayai sepenuhnya kebohongan sang putri.
"Dasar, kebiasaan ... kamu ini suka baper kalau nonton film sedih."
Larisa terkekeh kecil sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sama sekali.
"Ya udah, yuk makan dulu."
"Nanti aja, Pa. Aku mau mandi sama ganti baju dulu. Papa makan duluan aja soalnya aku belum laper juga sih."
"Kamu sama Reza abis makan di luar dulu barusan ya?"
Gadis itu mengangguk tanpa berpikir panjang, memilih berbohong daripada sang ayah tidak mengizikannya pergi. Padahal Larisa ingin melanjutkan menangis di dalam kamarnya.
"Ya udah, papa makan duluan aja kalau gitu."
Larisa mengangguk, sebelum akhirnya dia berjalan cepat menuju kamarnya.
Setibanya di kamar, dia langsung melempar tasnya asal. Lantas merebahkan dirinya di kasur empuknya. Menelungkup sembari membuka ponselnya.
Hal pertama yang Larisa lihat begitu menatap layar ponselnya adalah foto dirinya dan Reza yang sedang tersenyum lebar, foto saat mereka jalan-jalan ke sebuah air terjun yang dia jadikan wallpaper ponselnya.
Seketika air mata yang sempat mengering itu kembali meluncur mulus membasahi wajah Larisa. Dia mengusap foto itu, tatapannya fokus pada wajah Reza yang terlihat semakin tampan saat sedang tersenyum.
"Gue udah keterlaluan kayaknya. Gak seharusnya gue ngomong kayak gitu sama cowok sebaik Reza."
Dan Larisa pun hanya bisa membenamkan wajahnya pada bantal, menyesal karena sudah berbicara kasar pada kekasihnya.