Chereads / Larisa Wish / Chapter 14 - CHAPTER EMPAT BELAS

Chapter 14 - CHAPTER EMPAT BELAS

"G-Gue kan cuma mau jadi temen lo aja, Van. Kok ... kok lo tega banget sih ngomong kasar kayak gitu ke gue?" tanya Larisa, setetes air matanya mulai jatuh sekarang.

"Lo gak ngerti bahasa manusia atau gimana sih? Perlu gue ngomong pake bahasa alien!" Bentak Arvan lagi.

Larisa menyeka air matanya cepat. Dia menatap wajah Arvan dengan raut bingung.

"Apa maksud lo?" Sahutnya, meminta penjelasan. Arvan mengurut-urut pangkal hidungnya yang terasa berdenyut karena menghadapi Larisa.

"Berapa kali gue harus bilang, gue gak butuh temen. Gue sekolah di sini murni buat nuntut ilmu. Bukan buat nyari temen."

Arvan menendang kursi miliknya cukup keras, lagi-lagi membuat Larisa berjengit saking kagetnya.

"Apalagi temen kayak lo, gue gak butuh," lanjutnya, sebelum dia melangkah hendak meninggalkan kelas.

"Gue bisa lihat kok, lo kesepian, kan, Van?"

Namun harus Arvan urungkan niatnya untuk pergi karena suara Larisa yang kembali merasuki gendang telinganya.

"Jangan sok tahu lo jadi cewek!" Bentaknya lagi. Larisa mendengus pelan.

"Lo sengaja ya ngejauhin anak-anak di kelas ini? Kenapa? Apa karena lo beda dari kita semua?"

Arvan mengernyitkan dahinya sekarang.

"Ngelihat lo kemarin bawa sepeda, terus lo yang punya band rock ampe manggung tiap sore di club, kayaknya lo lagi butuh duit ya, Van?"

Larisa tersentak saat menyadari tatapan Arvan sangat tajam padanya, bagaikan seekor elang yang siap menukik turun dari langit guna menerkam mangsanya yang ketakutan di bawahnya.

"Udah gue duga, serendah itu gue di mata lo cuma gara-gara kejadian yang lo liat kemarin," timpal Arvan sembari terkekeh. "Beda sama kalian tuh maksudnya apa? Gue miskin gitu? Terus karena gue miskin ... menurut lo, gue gak pantes sekolah di sekolahan elit ini, gitu?"

Larisa menggelengkan kepalanya cepat. Bukan itu yang dia maksud.

"Bukan gitu maksud gue, Van. Sekolah ini diperuntukan buat siswa-siswa berprestasi. Tentu aja lo juga berhak sekolah disini. Masalah ekonomi gak ngaruh. Gue cuma gak setuju aja sama jalan yang lo ambil."

"Maksud lo?" Arvan bertanya.

"Kalau lo lagi butuh duit, kan bisa pake cara lain. M-Maksud gue, resikonya terlalu gede kalau lo manggung di club, udah gitu penampilan kalian di atas panggung kesannya kayak kalian ini cowok-cowok preman."

Larisa melirik takut-takut ke arah Arvan, takut ucapannya menyinggung perasaan pemuda itu. Tapi dia harus mengatakan ini karena menurutnya Arvan telah mengambil jalan yang salah. Intinya Larisa tak ingin Arvan terjerumus dalam pergaulan sesat karena teman-teman band-nya kemarin terlihat bukan orang baik-baik, mereka seperti preman.

"Kalau pihak sekolah ampe tahu, lo bakalan dikeluarin dari sini. Gue cuma gak mau lo ampe dikeluarin, Van. Gue tulus pengen temenan sama Lo karena gue peduli sama lo," ucap Larisa.

"Semua orang itu pasti butuh temen, Van. Gak mungkin bisa sendirian. Jadi lo gak usah minder lagi. Kita semua terutama gue, mau kok jadi temen lo."

Arvan berdecak, kedua tangannya yang menggantung di samping tubuhnya, dia benamkan di dalam saku celananya.

"Apa yang lo lihat belum tentu itulah kebenarannya. Lo gak kenal temen-temen band gue. Jadi jangan seenaknya ngasih penilaian tentang mereka. Lagian bukan urusan lo, mereka mau preman, gelandangan atau penjahat sekali pun. Gak seharusnya lo ikut campur."

"Gue peduli sama lo, Van. Gue takut lo terpengaruh pergaulan sesat."

"Gue gak butuh kepedulian dari lo, apalagi belas kasihan lo. Gue bisa jaga diri. Gue juga bisa bedain mana yang bener sama yang salah."

Larisa berjalan menghampiri Arvan sekarang, berdiri menantang tepat di depan pemuda itu.

"Lo bilang bisa bedain yang salah sama yang bener?" Larisa terkekeh di sela-sela ucapannya. "Kok yang gue lihat gak kayak gitu ya?" Arvan menaikan sebelas alisnya mendengar ucapan Larisa yang seperti tengah mencemooh dirinya.

"Kalau lo beneran bisa bedain yang bener sama yang salah, gak seharusnya lo bikin grup band rock. Berpenampilan kayak anak punk, kayak cowok-cowok berandalan. Udah gitu manggung di club yang biasanya jadi tempat orang mabuk-mabukan. Tempat yang banyak dosa."

Larisa menyentuh lengan Arvan membuat atensi pemuda itu seratus persen tertuju padanya.

"Lo kan bisa nyari kerjaan lain kalau emang lagi butuh duit. Lagian kalau niat lo emang mau serius nuntut ilmu di sekolah ini, harusnya lo gak ngelakuin tindakan yang kapan pun bisa bikin lo dikeluarin dari sini."

Arvan menepis tangan Larisa kasar, memicingkan matanya saat tatapan keduanya kembali beradu. Lantas dia berdecak sembari menyugar ke belakang rambut hitam pekatnya dengan sela-sela jarinya.

"Mau lo sebenarnya apa sih? Gue harus ngelakuin apa supaya lo berhenti ikut campur urusan gue?" Tanya Arvan, tidak dengan membentak. Tapi dengan suara rendah penuh penekanan.

"Lo harus jadi temen gue," sahut Larisa penuh semangat. Semua kata-kata dan sikap Arvan yang membuatnya sakit hati, berusaha dia lupakan. Niat awalnya untuk menjadikan Arvan sebagai sahabatnya masih tetap teguh.

"Gue gak mau plus gak butuh temen kayak lo." Arvan menimpali, dia menoyor kening Larisa hingga terdorong ke belakang dengan jari telunjuknya. Lantas melenggang pergi, tak mempedulikan keberadaan Larisa lagi.

"Harusnya lo gak nolak permintaan pertemanan dari gue. Lo sadar kan gue udah tahu banyak hal tentang lo?"

Arvan yang nyaris mencapai pintu, seketika menghentikan langkahnya. Dia mendelik kesal disertai desisan penuh amarah begitu kata-kata Larisa sukses mengusik hatinya.

"Jadi lo mau ngancem gue sekarang?" tanyanya. Larisa mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

"Sebenarnya kalau gue mau, bisa aja gue jadiin kejadian kemarin sebagai alat buat ngancem lo. Supaya lo nurutin semua yang gue mau. Gue yakin, mau gak mau lo pasti nurutin apa yang gue mau kan kalau gue ngancem lo?"

Arvan mendecih kali ini, gadis yang sialnya teman sekelasnya itu memang keras kepala dan super aneh di mata Arvan. Kenapa pula dia harus terlibat dengan gadis gila macam Larisa? Arvan benar-benar merasa hidupnya penuh kesialan semenjak bertemu Larisa.

"Tapi ..."

Arvan memiringkan kepalanya, menantikan kelanjutan ucapan Larisa yang masih menggantung di udara.

"Gue gak bakalan pake cara pengecut kayak gitu. Lo bisa percaya sama gue. Rahasia lo aman di tangan gue. Gue gak bakalan cerita sama siapa-siapa termasuk sama dua sahabat deket gue," kata Larisa.

Arvan menatap lurus kedua iris mata Larisa, mengamati adakah kebohongan yang tersimpan di sana. Yang sayangnya tak dia temukan karena hanya ketulusan yang terpancar dalam iris mata coklat terang milik Larisa.

"Gue tahu rasanya gak punya temen kayak gimana. Gue pernah ngerasain waktu gue masih SD dulu. Waktu SD, gue pemalu banget ampe gue ngehindarin temen-temen sekelas. Rasanya tuh kesiksa banget. Gue selalu sendirian, gak ada temen yang nemenin atau maen sama gue," ucap Larisa seolah tengah mengenang masa lalunya.

"Makanya gue gak mau lo ngerasain apa itu kesepian karena gak punya temen di sekolah ini. Gue akan ngelakuin apa pun sampe lo mau nganggap gue sebagai temen lo. Terus kita sahabatan deh."

Larisa tersenyum lebar setelahnya, membuat Arvan tersentak karena tak mengerti jalan pikiran seorang Larisa.

"Terserah lo. Yang pasti ampe kapan pun gue gak mau temenan sama lo. Apalagi sahabatan. Bisa-bisa gue ikutan gak waras kayak lo."

Arvan membalik badannya, siap pergi.

"Semakin lo ngejauhin gue. Gue bakalan semakin deketin lo."

Arvan kembali menoleh ke arah Larisa.

"Semakin lo nolak gue, semakin keras perjuangan gue supaya lo mau nerima uluran tangan gue."

"Dan semakin keras usaha lo ngusir gue, semakin keras juga usaha gue buat terus datengin lo, Van."

Arvan mendecih, dia membuka pintu kelas dengan menjeblaknya sehingga suara benturan pintu dengan dinding terdengar nyaring di telinga Larisa.

"Lakuin apa pun yang lo suka, gue gak peduli."

Arvan pun pergi setelahnya, meninggalkan Larisa berdiri sendirian di dalam kelas disertai wajah penuh semangatnya yang belum pudar. Dia tidak akan berhenti berusaha sampai Arvan benar-benar menjadi sahabatnya.

"Semangat terus, Larisa," ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Sebelum akhirnya gadis manis itu mendudukan diri di kursinya.