Setelah mendapatkan pesan dari Reza yang memberitahu dia tidak bisa menjemput Larisa pulang hari ini, gadis itu memutuskan untuk menumpang mobil salah satu sahabatnya, Bams alias Pretty yang kebetulan satu arah dengannya.
Larisa tengah menunggu dengan gusar di dekat gerbang, malas ikut ke parkiran dan lebih memilih menunggu di sana seperti yang biasa dia lakukan saat menunggu sang kekasih menjemputnya pulang setiap hari.
Kepala Larisa yang tengah menunduk itu pun seketika mendongak saat sosok yang dikenalnya baru saja melintas di depannya.
Senyuman lebar tersungging di bibirnya, satu tangannya sudah terangkat berniat menyapa Arvan, namun harus urung karena pemuda itu berjalan cepat tanpa menoleh ke arahnya.
"Huuh ... jutek amat sih tuh cowok. Heran gue." Gumamnya. Larisa tak berniat mengikuti pemuda itu kali ini, tidak ... sampai tanpa sengaja dia melihat Arvan yang berniat menaiki sepedanya yang dia simpan di warteg dekat sekolah, tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan siswa.
Larisa menegang saat melihat gerombolan itu. Sebagai siswa lama di sekolahnya, tentu dia tahu betul siapa mereka. Kumpulan siswa nakal Gardellia International High School, Boby dan antek-anteknya.
Larisa merasakan firasat buruk, dia yakin Arvan berada dalam bahaya saat ini. Lantas tanpa berpikir panjang dan melupakan janjinya dengan Pretty, gadis itu pun berlari hendak menghampiri Arvan.
Namun, belum sempat Larisa tiba di tempat kejadian. Boby dan teman-temannya menggiring Arvan entah kemana. Pemuda itu mengikuti Boby tanpa perlawanan, membuat Larisa heran karena tak menyangka Arvan tak melawan sedikit pun.
Lagi ... Larisa bertindak nekad dengan mengikuti mereka.
Rupanya mereka membawa Arvan ke sebuah lapangan bola yang terletak tak jauh dari sekolah mereka. Larisa mengintip dari balik tembok, nyalinya menciut untuk lebih mendekati mereka. Khawatir dirinya ikut terlibat dengan urusan para pemuda berandalan tersebut. Dia pun memilih mengawasi dan mungkin baru akan bertindak jika dirasanya Arvan benar-benar dalam bahaya.
Awalnya, Boby dan Arvan terlihat sedang terlibat obrolan. Dari jarak sejauh ini, Larisa tak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Akan tetapi, ketegangan terjadi tak lama kemudian.
Larisa membulatkan matanya saat melihat Boby tiba-tiba memukul wajah Arvan, membuat pemuda malang itu tersungkur di tanah.
Larisa hendak berlari menghampiri mereka, dan harus kembali tertahan saat melihat Arvan yang bangkit berdiri, lalu balas memukul wajah Boby tak kalah kerasnya.
Boby berteriak penuh amarah, dia mengusap sudut bibirnya yang memar dan mengeluarkan darah, pertanda Arvan tak main-main dengan pukulannya.
"Habisi anak baru tak tahu malu itu!!"
Hingga teriakan kencang yang meluncur dari mulut Boby kali ini sukses membuat Larisa membekap mulutnya, tak percaya. Arvan tengah dikeroyok oleh teman-teman Boby, yang jika dihitung berjumlah tujuh orang tersebut.
Dengan lihainya Arvan mampu menghindar setiap serangan yang dilayangkan padanya. Berulang kali dia balas menyerang dan berakhir membuat anak-anak berandalan itu jatuh terjerembab.
Arvan memang memiliki kemampuan bela diri yang patut diacungi jempol jika melihat dengan mudahnya berhasil memukul dan melukai lawannya.
Namun, jangan lupa ... sekuat apa pun Arvan jika dirinya dikeroyok oleh delapan pemuda sekaligus, tentu saja Arvan akan kalah. Ditambah saat lawannya mengeluarkan senjata berupa tongkat baseball, Arvan mulai kewalahan. Tak terhitung banyaknya luka yang dia terima saat lawan-lawannya dengan kejam memukuli dirinya dengan tongkat tersebut.
Wajah Arvan babak belur, begitu pun dengan perut dan punggungnya yang berulang kali terkena hantaman tongkat.
Larisa melirik ke kiri dan kanan, berharap ada orang lewat yang bisa dia mintai tolong. Otaknya serasa buntu melihat pemandangan tak manusiawi di depannya. Dia bahkan tak kepikiran untuk berlari ke sekolahnya dan meminta bantuan pada Pak agus, sang security yang berjaga di pos dekat gerbang.
Tak mendapati satu pun orang lewat, akhirnya Larisa melakukan tindakan nekad. Dia tak kuasa melihat Arvan yang kini meringkuk di tanah karena Boby dan teman-temannya yang asyik menendang pemuda malang itu.
"Hentikan!! Berhenti kalian!!" teriak Larisa.
Gadis itu menarik tangan Boby agar menjauh dari Arvan yang masih meringkuk di tanah. Pemuda malang itu tengah memeluk dirinya sendiri dengan seragam sekolahnya yang sudah kotor dan lusuh.
"Ngapain lo di sini?!" bentak Boby. Murka tiada tara mendapati Larisa ikut campur dengan urusan mereka.
"Harusnya gue yang ngomong kayak gitu. Ngapain kalian mukulin Arvan? Emang dia salah apa sama kalian?"
"Dia udah ngedeketin cewek gue. Cowok penggoda kayak dia emang harus dikasih pelajaran."
Larisa terdiam, pacar Boby tentu saja Larisa mengetahuinya. Dia adalah Ratih, teman semasa SMP Arvan yang tadi pagi sarapan bersama Arvan dan Larisa di kantin.
"Nggak, Arvan gak godain cewek lo. Mereka cuma temen," Larisa membela karena dia tahu persis Arvan tak pernah menggoda Ratih. Mereka hanya sarapan bersama dan mengobrol ringan. Hanya itu, tak lebih.
"Lo jangan belain dia. Mendingan lo pergi deh dari sini. Cewek gak usah ikut campur urusan cowok!!" Boby membentak lebih kencang dibanding sebelumnya.
"Gak bisa gitu. Dia temen sekelas gue. Gak mungkin gue diem aja lihat dia dianiaya kayak gini."
Boby menggeram kesal, dia mendorong Larisa kasar hingga gadis itu tersungkur di tanah. Larisa meringis kesakitan saat siku tangan dan lututnya sedikit lecet karena bergesekan dengan tanah saat dia terjatuh.
"Terus pukulin dia."
"Tapi Bob, dia udah parah kayaknya," tolak salah seorang teman Boby.
"Gue gak peduli. Dia udah berani deketin cewek gue. Gue mesti bikin dia kapok supaya gak macem-macem lagi sama cewek gue. Cepet terusin!"
Merasa tak memiliki pilihan lain, mereka pun memilih menuruti perintah Boby. Kembali mereka menendang tubuh Arvan, tiada henti meski Arvan tak melakukan perlawanan apa pun.
Larisa tanpa sadar berlari, dia tak sanggup melihat Arvan yang sepertinya terluka cukup parah.
"Minggir kalian. Jangan pukulin dia lagi!!" teriak Larisa. Dia menerobos melewati tujuh pemuda yang berdiri mengelilingi Arvan. Dengan berani memeluk Arvan untuk melindungi pemuda itu.
"Icha, Lo ngapain sih belain dia terus? Naksir lo sama dia?!!" Boby yang emosi kembali membentak. Dia heran dengan sikap Larisa yang begitu gencar melindungi Arvan.
"Bukannya cowok lo itu kak Reza ya? Lo selingkuh sama ni anak baru?" Salah satu teman Boby ikut menimpali.
"Dia temen gue. Wajar kalau gue belain dia."
"Mendingan lo minggir deh, Cha. Atau lo mau ikut kita pukulin?"
"Coba aja berani pukul gue, bakalan gue aduin kalian ke guru BK," ancam Larisa, yang sepertinya sukses membuat gerombolan pemuda nakal itu terdiam dan saling berpandangan meminta pendapat.
"Ck, udahlah, Bob. Males gue kalau cewek udah ikut campur. Mainnya ngadu segala. Tuh anak baru juga udah babak belur, kan? Pasti dia kapok deketin cewek lo."
Boby mendengus, tatapannya tajam pada Larisa yang begitu erat memeluk Arvan, gadis itu benar-benar melindunginya.
"Gue lepasin lo sekarang, kalau gue lihat lo berani deketin cewek gue lagi, gak bakalan ada kata ampun lagi buat lo," katanya penuh ancaman pada Arvan. "Lo juga Cha, kalau lo berani ngadu ke guru BK, lo bakal tahu rasa ntar. Jangan harap gara-gara lo cewek, lo bakalan kita lepasin."
Boby dan teman-temannya pun pergi setelahnya, meninggalkan Larisa yang tak melepaskan pelukannya pada Arvan barang sedetik pun.