Di hari ketiga Larisa harus berangkat sekolah pagi karena mengikuti Reza yang tengah mengikuti kegiatan ospek di kampusnya, seperti biasanya Larisa memasang wajah sumringah saat dirinya berjalan menyusuri lorong sekolah. Sebentar lagi dia akan tiba di kelasnya, dan dia yakin sekali seperti dua hari kemarin, Arvan pasti sudah datang lebih dulu darinya.
'Tuh kan bener perkiraan gue, dia pasti udah dateng,' gumamnya dalam hati, saat melihat sosok Arvan seperti biasa tengah duduk dengan sebuah buku di tangannya.
Dengan perlahan dan tanpa menimbulkan suara berisik, dia melangkah masuk. Lantas mendudukan dirinya tepat di depan bangku Arvan. Gadis itu tak mengatakan apa pun, tidak sepeti dirinya yang biasanya memberondong Arvan dengan berbagai pertanyaannya.
Arvan yang menyadari kehadiran seseorang, mengintip dari balik bukunya. Mendengus pelan tatkala mendapati Larisa lah yang datang. Tapi ada kejanggalan yang dia rasakan pagi ini, tumben sekali gadis berisik itu tidak cerewet seperti biasanya. Menyiksa Arvan dengan berbagai pertanyaan tak penting.
Mengabaikan keanehan itu, Arvan kembali memusatkan atensinya pada buku di tangan.
Namun, saat sebuah suara gebrakan merasuki gendang telinganya, pemuda itu seketika menoleh pada sumber suara. Satu alisnya naik saat melihat tumpukan buku kini terpampang tepat di depan matanya, di atas mejanya lebih tepatnya.
"Apa-apaan nih?" tanyanya meminta penjelasan, namun mendapati reaksi Larisa hanya menyengir lebar tak ayal menyulut emosi Arvan mulai naik ke permukaan.
"Lo tuli ya? Ini maksudnya apa naro tumpukan buku di meja gue?!" Kali ini dia sedikit membentak.
"Lo kan suka baca buku tentang hukum. Kebetulan papa gue punya banyak buku tentang hukum, makanya gue bawain buat lo." Larisa menggeser tumpukan buku itu semakin mendekat pada Arvan. "Nih, gue pinjemin bukunya sama lo. Santai aja bacanya, gak usah buru-buru."
"Gue gak butuh buku-buku ini," tolak Arvan mentah-mentah, lantas dia dorong tumpukan buku itu agar menjauh darinya.
"Gue bermaksud baik, Arvan. Lo kenapa sih sinis banget sama gue?"
Arvan berdecak sembari mengurut pangkal hidungnya yang mulai berdenyut.
"Lo beneran gak ngerti kata-kata gue ya?" katanya. "Gue kan jelas-jelas bilang, jangan ganggu gue. Masa lo gak ngerti sih?"
"Gue gak gangguin lo kok. Gue cuma berniat baik ngasih minjem buku."
Tak kuasa lagi menahan kekesalannya pada Larisa, pemuda itu pun bangkit berdiri dari duduknya. Lantas berjalan pergi begitu saja.
"Van, lo mau kemana? Kok lo tiba-tiba pergi sih?"
Larisa ikut beranjak bangun, berlari guna mengejar langkah Arvan yang terlampau cepat.
"Van, tungguin dong!!" teriak Larisa, membuat beberapa siswa yang berjalan di sekitar mereka, menoleh padanya.
"Van, lo tuli ya? Gue bilang tunggu!!"
Larisa yang tengah berlari kencang itu seketika meringis kesakitan ketika ujung hidung mancungnya menabrak punggung Arvan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Issshhhh, jangan berhenti mendadak dong. Sakit nih hidung gue." Larisa mengusap-usap ujung hidungnya yang berdenyut sakit karena berbenturan dengan punggung keras nan tegap Arvan.
"Lo ngapain ngikutin gue?"
"Habisnya lo pergi gitu aja, gak ngehargain banget kebaikan gue."
"Gue gak minta lo baik sama gue kok."
"Ya, tapi bukan berarti lo gak ngehargain orang yang baik sama lo kan? Harusnya lo bersyukur masih ada orang yang baik sama lo. Padahal lo ini nyebelin. Dasar Mr kutub," katanya, tiada henti mengumpati Arvan. Tak peduli meski pemuda itu melayangkan tatapan tajam bak siap menerkam si gadis.
"Ck, lo itu sebenarnya maunya apa sih? Gak henti-hentinya ya lo ngejar gue?" tanya Arvan, memasang wajah benar-benar serius. "Lo naksir sama gue?" tambahnya, sukses membuat kedua mata Larisa membulat sempurna.
"Lo pengen jadi cewek gue?"
"Issshhhh ... geer banget sih lo. Udah geer, narsis lagi. Emangnya siapa yang mau jadi cewek lo? Siapa juga yang naksir sama lo? Sorry ya, lo bukan tipe cowok idaman gue," sanggah Larisa, dia bersedekap dada sembari membuang pandangannya ke arah lain.
"Yakin gue bukan tipe cowok lo?"
"Yakinlah. Dua ratus persen yakin malah. Gak mungkin gue naksir cowok nyebelin kayak lo."
Arvan terdiam, dia menelisik penampilan Larisa, mulai dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Menyadari dirinya dipandangi seintens itu oleh lawan jenis, tak ayal membuat Larisa risih sekaligus salah tingkah sekarang.
"Apaan lo ngelihatin gue kayak gitu?" tanyanya sembari menutupi dadanya dengan kedua tangan yang menyilang. Arvan mendengus geli melihat tingkah absurd gadis di depannya.
"Lo aneh. Sumpah gue baru sekarang ketemu cewek seaneh lo."
"Apanya yang aneh dengan diri gue? Gue ngerasa normal-normal aja kok." Larisa kembali membalas.
"Kalau lo gak naksir gue, gak mau juga jadi cewek gue. Udah gitu gue ini bukan tipe cowok idaman lo. Terus ngapain lo ngejar gue terus? Nempel terus ke gue kayak perangko?"
Larisa memutar bola matanya, bosan.
"Kayaknya yang tuli di sini tuh sebenarnya lo deh. Kan gue udah bilang pengen temenan sama lo. Gak enak tahu sendirian, gak punya temen. Gue udah pernah ngerasain soalnya."
"Gue nyaman-nyaman aja kok sendirian. Lo nya aja yang lebay. Gak semua orang sepemikiran kayak lo."
Larisa melongo, heran mendengar ada orang yang nyaman dengan kesendiriannya.
"Eh, Arvan, lo mau kemana? Kok ninggalin gue lagi?!!!" teriak Larisa saat Arvan kembali melanjutkan langkahnya.
"Arvan!!!!"
Gadis itu berteriak semakin kencang. Arvan menggeram, kesal tiada tara.
"Gue mau sarapan di kantin. Puas lo!!" balas Arvan, malu luar biasa karena kini mereka berdua menjadi pusat perhatian siswa-siswa yang mulai berdatangan.
"Gue ikut dong. Kebetulan gue juga belum sarapan."
Larisa berlari-lari kecil menyusul Arvan yang sudah berjalan cukup jauh darinya.
"Gak apa-apa ya gue ikut sarapan bareng lo?" Dia bertanya saat sudah berjalan beriringan dengan si pemuda.
"Lo kan biasanya bawa roti, ngapain sarapan di kantin?"
"Gue lagi bosen makan roti. Udah lama juga gak sarapan di kantin. Mumpung masih pagi, jam masuk juga masih lama."
Larisa memasang cengirannya lebar. Arvan mendesah lelah, tak tahu lagi bagaimana caranya menyingkirkan gadis pengganggu ini.
Saat melihat sebuah belokan tak jauh darinya, sebuah ide terlintas di kepala Arvan. Dia mempercepat langkahnya, meninggalkan Larisa di belakang.
"Van, kok lo belok ke situ? Arah ke kantin kan tinggal lurus aja!"
Arvan mengabaikan teriakan Larisa. Dia terus berjalan menuju arah yang seharusnya membawa dirinya ke toilet khusus pria. Tanpa ragu dia pun masuk ke dalam begitu tiba di depan pintu toilet.
Ruangan yang cukup luas, bersih serta wangi itu memang menunjukan betapa dirawatnya toilet ini. Sangat wajar mengingat betapa elitnya sekolah tersebut.
Arvan berdiri di depan wastafel, dia membasuh wajahnya dengan air dingin dari keran. Berharap air itu mampu mengembalikan suasana hatinya yang buruk pagi ini karena ulah Larisa.
"Ck ... itu cewek kenapa sih? Beneran gila kayaknya," gumamnya sembari tangannya sibuk menyugar rambutnya yang basah ke belakang. Dengan lima jarinya, dia menyisir rambutnya yang tampak sedikit berantakan.
"Gimana caranya supaya tuh cewek berhenti ganggu gue?"
"Ngajak temenan katanya? Ck ... udah geser kayaknya otak tuh cewek."
Dia tak hentinya mengumpati Larisa, mumpung dia hanya sendirian di dalam toilet jadi tak akan ada seorang pun yang mendengarnya.
Arvan sengaja berlama-lama di dalam toilet, meskipun tak ada yang dia lakukan selain memeriksa ponselnya. Dia memainkan sejenak salah satu game yang ada di ponselnya, setelah hampir 30 menit berlalu, pemuda itu pun memutuskan untuk keluar. Dia yakin Larisa sudah pergi dan menyerah mengikutinya.