Chereads / Larisa Wish / Chapter 10 - CHAPTER SEPULUH

Chapter 10 - CHAPTER SEPULUH

Larisa dan Arvan kini saling tatap. Arvan yang wajahnya memerah karena emosinya mulai naik ke permukaan melihat gadis aneh yang selalu mengganggunya di sekolah, kini mengganggunya juga di tempat kerja. Arvan baru kali ini menemukan seorang gadis yang sikapnya terlalu agresif dan sangat keras kepala seperti Larisa. Padahal sudah berkali-kali dia tolak, tapi gadis itu tetap saja mengganggunya.

Sedangkan Larisa sedang memasang raut gugup, panik dan takut. Gugup karena kini dia sedang berhadap-hadapan dengan Arvan yang terlihat jelas sedang marah padanya. Panik karena bingung sendiri harus bagaimana menjelaskan pada Arvan alasan dirinya bisa berada di club ini. Jika Larisa mengatakan yang sejujurnya, mungkinkah pemuda itu akan semakin memarahinya?

Larisa juga takut, Arvan yang tersulut emosi akan berani bertindak kasar padanya. Tadi saja tangannya dicengkeram erat sambil ditarik paksa keluar dari club oleh Arvan. Entah kekasaran apa lagi yang akan dilakukan pemuda itu.

Seharusnya sekarang Larisa mundur saja dan mengambil langkah seribu untuk melarikan diri. Anehnya, gadis itu tetap diam di tempat. Meski jantung berdebar cepat seolah siap melompat keluar dari rongga dada, ekspresi wajahnya masih saja sok berani dan sok menantang pada Arvan yang berdiri tepat di hadapannya.

"Heeh ... lo punya mulut, kan? Cepet jawab, ngapain lo di sini?!" Arvan kembali membentak karena kesal bukan main pada Larisa yang alih-alih menjawab pertanyaannya tadi, kini malah diam seolah lupa cara bicara.

"Ngikutin lo! Puas!" Larisa balas membentak.

Arvan mengernyitkan alisnya, mungkin heran sendiri dengan kelakukan gadis di hadapannya.

"Ngapain lo ngikutin gue? Mau jadi stalker?"

"Gue penasaran aja lihat lo pulang naek sepeda, padahal siswa yang lain aja gak ada tuh yang naek sepeda."

"Emangnya salah kalau gue bawa sepeda?"

Larisa terpaku, tak tahu harus menjawab apa sekarang. Memang tak ada larangan di sekolahnya membawa kendaraan berupa sepeda. Jadi memang tak ada yang salah jika Arvan membawa sepedanya ke sekolah.

"Ya, gue heran aja. Baru pertama kali lihat siswa di Gardellia bawa sepeda. Lo kan tahu ..."

"Iya, gue tahu. Siswa di sekolah itu semuanya orang berduit. Anak orang tajir yang kemana-mana bawa mobil mewah. Jadi karena gue bawa sepeda, lo mikir gue gak pantes sekolah di sana, gitu kan?"

Larisa cepat-cepat menggelengkan kepalanya, sungguh bukan itu maksud dirinya mengikuti Arvan.

"Gak kok, gue gak mikir kayak gitu. Gue cuma penasaran aja Van, makanya gue ngikutin lo."

"Terus lo tahu gue masuk ke club ini, ngapain lo pake ikut masuk?"

"Ya itu, gue malah makin penasaran pas lihat lo masuk ke dalam club."

"Lo tahu kan club itu tempat apaan?" Larisa mengangguk dengan kepala tertunduk. Dia tak berani menatap Arvan yang menatapnya tajam penuh amarah.

"Terus kenapa lo tetep masuk ke dalam walau lo tahu tempat itu berbahaya buat lo?"

"Gue penasaran, Van. Pengen tahu lo ngapain di dalam."

Larisa memberanikan dirinya mendongak, menatap lurus pada kedua mata Avan yang masih betah mempertahankan tatapan tajam nan mengintimidasinya.

"Gue gak nyangka lo punya group band ya? lo suka tampil tiap hari di club ini?"

"Bukan urusan lo," sahut Arvan, lebih ketus dibandingkan sebelumnya.

"Lo tahu kan sekolah kita itu ketat banget peraturannya? Lo bisa dikeluarin kalau mereka sampe tahu lo kayak gini di luar sekolah." Larisa menatap penampilan Arvan mulai dari ujung rambut sampai kakinya.

Kini dia sadar Arvan memakai rambut palsu, pantas saja warnanya kemerahan padahal rambut asli Arvan yang dia tahu berwarna hitam. Wajahnya diberi bedak tebal mungkin bermaksud untuk menyamarkan wajah Arvan agar terlihat berbeda dari aslinya. Meski Arvan tak memakai anting seperti rekan-rekannya atau bertato seperti mereka. Tapi pakaian yang dikenakan Arvan sekarang, cukup membuktikan bahwa pemuda itu terjerumus di dalam pergaulan yang salah. Kira-kira itulah yang dipikirkan Larisa sekarang.

"Lo tahu kan resikonya kalau pihak sekolah ampe tahu lo kayak gini di luar sekolah, Van?"

"Bukan urusan lo," jawab Arvan.

"Gue sebagai temen, peduli sama lo, Van. Gue gak mau lo dikeluarin dari sekolah cuma gara-gara kelakuan lo ini."

"Heeh! Denger ya, jangan ikut campur urusan gue. Lo gak tahu apa-apa soal gue. Mendingan lo urus masalah lo sendiri. Dan soal sekolah gue, lo gak usah repot-repot mikirin. Biar gue yang urus sendiri."

"Gue cuma kasihan aja sama lo. Baru diterima di sekolah masa langsung dikeluarin."

Arvan berdecak, dia bertolak pinggang dengan angkuh. Menatap malas pada Larisa yang bersikap sok berani di depannya.

"Gue gak butuh belas kasihan dari lo. Lagian kalau gue dikeluarin dari sekolah, gue tahu kok penyebabnya apa." Larisa memicingkan matanya, tak paham maksud perkataan Arvan.

"Pasti karena lo yang ngaduin gue ke pihak sekolah."

Dan Larisa pun terbelalak kali ini. Amarahnya naik ke permukaan detik itu juga, tak terima dirinya dituduh seperti ini. Dia bukan tukang ngadu.

"Jangan sembarangan ya kalau ngomong. Asal lo tahu, gue.bukan.tukang.ngadu," jawab Larisa, penuh penekanan. Arvan mendengus, jelas tak mempercayai ucapan Larisa.

"Buktiin dong, jangan cuma bisa ngomong doang."

Larisa menggeram, kesal pada Arvan yang bersikap begitu angkuh padanya.

"Mendingan lo pergi dari sini deh, tempat ini gak cocok buat cewek cengeng kayak lo."

"Apa lo bilang barusan?"

"Cewek cengeng, manja, nyebelin, bego, sok tahu dan sok ikut campur urusan orang lain kayak lo, jauh-jauh deh dari gue."

Larisa melotot kali ini, tak terima dengan semua penghinaan Arvan.

"Cepet pulang sana!"

"Gue masih mau di sini, masalah buat lo?!" Tantang Larisa. Dia tak bisa lagi menahan kekesalannya.

Larisa melongo saat mendapati Arvan tiba-tiba melengos pergi. Pemuda itu berdiri di pinggir jalan lalu menghentikan sebuah taksi.

Ketika Arvan kembali menghampiri Larisa dan mencengkram tangan gadis itu terlalu erat, Larisa mencoba melepaskan diri, namun gagal karena Arvan yang menariknya paksa.

"Arvan, lo kasar banget sih jadi cowok!" Teriak Larisa, tak peduli meskipun kini mereka jadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.

Arvan mendorong paksa Larisa agar masuk ke dalam mobil, Larisa meringis merasa tangannya lebih sakit dari sebelumnya.

"Lo bilang tadi lo temen gue? Heeh, sejak kapan ya lo jadi temen gue?" Ucap Arvan membuat Larisa terpaku menatap lurus pada kedua iris gelap Arvan yang menatap nyalang padanya.

"Kurang jelas ya omongan gue waktu itu?" Katanya. "Gue gak sudi punya temen kayak lo," lanjutnya.

"Awas ya, lo kalau berani deketin gue lagi."

Lalu Arvan menutup pintu mobil sebelum Larisa sempat membalas ucapannya ataupun melarikan diri. Pemuda itu menyuruh sopir taksi untuk melajukan mobilnya, mengabaikan sepenuhnya teriakan Larisa yang sedang mengumpati dirinya di dalam mobil.