Chereads / Larisa Wish / Chapter 11 - CHAPTER SEBELAS

Chapter 11 - CHAPTER SEBELAS

Larisa terperangah saat melihat orang pertama yang menyambutnya di depan rumahnya bukan ayahnya maupun asisten rumah tangga di rumahnya, melainkan seorang pria yang sejujurnya tidak ingin ditemui olehnya saat ini. Larisa meringis melihat wajah kekasihnya yang menatapnya serius di depan pintu sembari bersedekap.

"H-Hai, kok kamu ada di sini?" Tanyanya pada Reza yang masih diam menatapnya.

"Harusnya aku yang nanya kayak gitu? Kok kamu baru pulang jam segini? Abis dari mana?"

Larisa meneguk ludahnya susah payah, otaknya berpikir keras untuk mencari alasan yang bagus. Tidak mungkin bukan dia mengatakan dengan jujur pada Reza bahwa dia baru saja pulang dari sebuah club?

"A-Aku ..."

"Oh, kamu udah pulang, Cha."

Larisa dan Reza menoleh bersamaan ke arah pintu, dimana Anton ... ayah Larisa menyembulkan kepalanya, menatap ke arah mereka berdua.

Larisa mengembuskan napas lega, kemunculan ayahnya telah menyelamatkannya dari interogasi seorang Reza.

"Ayo masuk ke dalam, udah mau magrib lho. Kita makan malam sama-sama."

Larisa mengangguk menyetujui ajakan ayahnya, bergegas dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, mengabaikan tatapan Reza yang mengikuti setiap pergerakannya.

"Aku ganti baju dulu ya, Pa."

"Ya udah, sana cepetan. Kasihan Nak Reza udah kelaperan, ya kan?" Tanya Anton, menggoda Reza yang kini sedang menggaruk belakang kepalanya.

"Om tahu aja. Jadi malu," sahutnya.

Kedua pria itu pun duduk melingkari meja yang sudah dipenuhi berbagai makanan yang sudah terhidang, tampak menggiurkan dipandang mata. Sedangkan Larisa berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

Ketika Larisa kembali ke lantai dasar setelah menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengganti pakaian. Dia menemukan ayahnya dan Reza sedang terlibat obrolan ringan. Suara tawa sesekali meluncur dari mulut keduanya.

Larisa mengulum senyum, hatinya lega melihat pemandangan itu. Hubungan Reza dan ayahnya terbilang cukup akrab. Dilihat sepintas pun Larisa tahu ayahnya begitu menyukai Reza.

"Ngapain berdiri di situ? Cepet ke sini!" Anton melambaikan tangannya, memberi isyarat pada putri bungsunya agar mendekat.

"Kamu gak tahu apa suara perut Reza kenceng banget? Udah kelaparan tuh pacar kamu."

Reza tak mengatakan apa pun, pemuda itu tertawa lantang mendengar candaan ayah kekasihnya.

"Kamu emang belum makan?" Tanya Larisa, saat dirinya menoleh ke arah Reza yang duduk di sampingnya.

"Gimana bisa makan kalau yang ada di pikiran aku cuma kamu? Aku khawatir banget pas tahu kamu belum pulang."

Suara siulan terdengar dari arah depan, sepasang kekasih itu refleks menatap ke arah pria paruh baya yang kini tengah bersiul menggoda mereka.

"Duuh ... perhatian banget ya Reza sama kamu. Kamu beruntung dapetin pacar kayak dia, Cha. Papa juga jadi tenang karena punya calon mantu yang tulus cinta dan sayang sama kamu."

Wajah Reza memerah, sedikit malu karena calon mertuanya secara terang-terangan memujinya. Walaupun baginya pujian itu terdengar terlalu berlebihan.

"Oh, iya. Cha, kamu kenapa gak pulang bareng sama Reza? Biasanya kalian pulang bareng."

Larisa yang berniat mengambil nasi, seketika menghentikan gerakan tangannya. Dia menelan ludah, sempat berpikir dia akan bebas dari interogasi ini, nyatanya tidak. Justru ayahnya yang sekarang menanyainya. Padahal Larisa sedang mencoba menghindari pembahasan ini.

"Larisa Putri Kusuma," panggil ayahnya, membuat Larisa sempat tersentak.

"Oh itu, Pa. Tadi mendadak ada tugas kelompok, jadi aku ngerjain tugas dulu di rumah temen." Bohong Larisa, dia melirik sekilas ke arah Reza yang juga sedang menatap ke arahnya.

"Kamu harusnya ngabarin kalau ada acara mendadak, jangan bikin papa sama Reza cemas gini dong."

"Maaf, Pa," cicit Larisa sembari menundukan kepalanya.

"Kamu juga gak balas pesan dan gak angkat telepon papa sama Reza."

Larisa meringis, menyadari dirinya tak memegang ponselnya selama berada di dalam club. Terlalu fokus memperhatikan Arvan bersama bandnya membuat dia melupakan keberadaan ponselnya di dalam tas. Dia bahkan lupa mengabari ayahnya akan pulang terlambat hari ini.

"Aku gak pegang HP. HP-nya aku simpen di tas."

"Jangan diulangi ya, Cha. Kami cemas banget sama kamu tadi."

"Iya, Pa. Icha gak bakalan ngulangin lagi kok," sahut Larisa, dia mengangguk berulang kali.

Larisa menatap ayahnya, menyelamai iris gelap milik ayahnya untuk menerka-nerka perasaan sang ayah saat ini. Masih marah kah padanya? namun dia tersentak ketika tangannya digenggam oleh seseorang. Tentu saja Reza lah pelakunya.

"Tadi katanya kamu gak enak badan makanya pulang duluan. Kamu udah baikan kan sekarang?" Tanya Reza, kekhawatirannya tercetak jelas di raut wajahnya.

"Kamu sakit, Cha?" Anton menimpali, bertanya dengan histeris kentara ikut mengkhawatirkan kesehatan putrinya.

"Nggak kok, aku gak sakit. Tadi cuma sedikit pusing aja."

"Kamu telat makan kali makanya pusing," terka Reza, yang tahu persis kondisi Larisa. Gadis itu memang memiliki maag kronis yang mengharuskan dirinya agar tidak terlambat makan.

"Aku gak telat makan. Aku pusing pasti gara-gara ulangan mendadak tadi." Larisa kembali berbohong, faktanya tak ada ulangan harian yang dijalaninya di sekolah hari ini.

"Makanya kamu harus rajin belajar. Jangan baca novel sama komik terus. Jadinya gitu kan, kamu pusing sendiri kalau ada ulangan harian mendadak." Anton memberikan nasehatnya.

"Iya, Pa. Aku bakalan rajin belajar kok mulai sekarang."

"Bagus, itu baru putri papa," sahut Anton seraya mengangkat kedua jempolnya.

"Kamu juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir. Papa udah gak sabar lihat kamu jadi mahasiswa," ucap Anton, terkekeh di akhir ucapannya. "Papa tenang kalau kamu udah satu kampus sama Reza. Dia bisa jagain kamu," lanjutnya.

Larisa terdiam, ternyata selain menyukai Reza, ayahnya ini juga begitu mempercayai Reza.

"Ya sudah, ayo dilanjut makannya. Yang banyak ya makannya kalian berdua."

"Iya, Om," sahut Reza bersemangat, berbanding terbalik dengan Larisa yang tengah menunduk dalam diam.

Acara makan malam itu pun tampak hening, tak ada lagi obrolan yang terdengar. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu yang mengalun di dalam ruangan tersebut.

***

"Sayang, ngobrol sebentar bisa gak?" Tanya Reza, begitu Anton pergi meninggalkan mereka berduaan di ruang tengah. Mereka sedang menonton film saat ini.

"Ya udah, kamu mau ngobrolin apa?" Larisa balik bertanya.

"Jangan di sini. Pindah tempat yuk."

"Tapi filmnya seru. Aku mau nonton di sini aja."

"Nanti kan kamu bisa nonton ulang, itu kaset filmnya buat kamu aja," bujuk Reza, mereka memang sedang menonton film yang kasetnya sengaja Reza bawakan untuk Larisa. Film dorama Jepang yang sudah pasti akan disukai oleh Larisa, dia sudah hafal betul film favorit kekasihnya.

Larisa bergeming, namun terpaksa dia harus beranjak bangun dari duduknya karena Reza yang menarik tangannya. Memaksanya untuk mengikuti pemuda itu.

"Kamu mau bawa aku kemana?" Tanyanya karena mereka kini melangkah meninggalkan rumah.

Larisa tak bertanya lagi setelah mengetahui tempat mana yang dituju Reza berdasarkan arah yang mereka ambil. Rupanya kekasihnya itu membawanya duduk di gazebo yang diletakan tepat di samping kolam renang di belakang rumahnya.

Mereka berdua duduk di sana. Ditemani cahaya terang benderang dari lampu gazebo juga lampu-lampu kecil yang dipasang di sekeliling kolam renang.

Tempat ini memang favorit Reza, setiap kali berkunjung ke rumah Larisa, pasti pemuda ini mengajak Larisa menghabiskan waktu bersama di gazebo tersebut. Terkadang mereka akan berenang bersama saat siang hari.

"Kamu mau ngobrolin apa?" Tanya Larisa, setelah melihat Reza hanya terdiam menatap gamang ke arah kolam renang.

Larisa mengernyitkan dahinya ketika melihat Reza tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dia menyerahkan sebuah kresek berwarna putih pada Larisa yang langsung diterima gadis itu tanpa ragu.

"Apa ini sayang?"

"Buka aja. Aku yakin kamu pasti suka."

Mendengar kata-kara Reza, Larisa bergegas mengintip isi di dalam kresek itu. Dia terbelalak dan berteriak girang saat mendapati banyaknya novel di dalam kresek itu. Dia keluarkan novel-novel itu, memandanginya satu persatu dengan wajah berbinar.

"Kamu beliin aku novel sebanyak ini?" Tanyanya tak percaya, saat dia hitung ada lebih dari sepuluh novel yang berserakan di depannya sekarang.

"Iya, anggap aja sebagai permintaan maaf aku sama kamu karena udah bikin kamu nungguin aku lama banget tadi. Maafin aku ya sayang."

Larisa terdiam, menatap terharu pada Reza yang sedang memelas di depannya. Pemuda itu benar-benar menyesali perbuatannya yang sudah membuat Larisa menunggunya lama tadi siang.

"Iya, gak apa-apa. Udah aku maafin kok," sahut Larisa. "Tapi bisa gak lain kali kita gak usah pulang bareng kalau kamu lagi sibuk di kampus. Aku kan bukan anak kecil lagi. Aku udah gede, aku bisa pulang sekolah sendiri," lanjut Larisa.

"Aku cuma gak mau ngecewain Om Anton. Dia udah mempercayakan kamu sama aku."

"Iya, aku ngerti. Tapi kan bukan berarti kamu harus bersikap posesif gitu sama aku."

"Kamu gak suka aku perhatian sama kamu?" Tanya Reza serius, Larisa sempat tersentak mendengar pertanyaan Reza yang sepertinya tersinggung dengan ucapannya.

"Bukan gak suka. Cuma ... ngerasa gak bebas aja. Aku juga pengin punya waktu buat jalan-jalan sama temen-temen aku. Selama ini kamu selalu nemenin aku kemana pun aku pergi."

"Kamu bosen ya dibuntutin terus sama aku?" Sela Reza yang lagi-lagi membuat Larisa tersentak.

"Bukan bosen, cuma gak bebas aja. Kamu ngerti kan maksud aku?"

Reza menganggukan kepalanya.

"Jadi kamu penginnya gimana sekarang?" Reza kembali bertanya.

"Aku minta kamu jangan maksain diri kamu. Kalau emang lagi sibuk di kampus ya udah, jangan maksain jemput aku pulang. Aku bisa kok pulang sendiri, kamu tinggal kabarin aja jadi aku kan gak harus nungguin kamu lama kayak tadi."

Reza mengulum senyum, diangkatnya kedua tangannya dan mendarat di wajah Larisa. Dia menangkup wajah kekasihnya tersebut.

"Jadi kamu penginnya kayak gitu?" Tanyanya, yang dibalas Larisa dengan anggukan.

"OK, kalau gitu. Mulai sekarang, aku bakalan ngabarin kamu kalau gak bisa jemput. Aku pasti kabulin apa pun yang kamu minta."

Untuk sejenak keduanya saling berpandangan, menyelami iris mata masing-masing. Hingga pihak yang memutus kontak mata di antara mereka adalah Larisa. Gadis itu memandang ke arah lain, ke arah novel-novel yang berserakan lebih tepatnya. Dia pun menyingkirkan tangan Reza yang masih menangkup wajahnya, memasang wajah berbinar kembali saat memperhatikan sampul novel-novel itu.

"Kamu beli novelnya banyak banget," ucap Larisa, mengalihkan pembicaraan.

"Iya dong, tapi jangan bilang-bilang papa kamu ya kalau aku beliin kamu novel sebanyak ini. Bisa-bisa aku dimarahi nanti."

Larisa terkekeh, lantas mengangkat jempolnya sebagai jawaban.

"Aku yakin banget kamu bakalan suka cerita novelnya."

"Kok percaya diri banget?" Tegur Larisa seraya memutar bola matanya.

"Soalnya aku udah baca sinopsis semua novelnya sebelum beli. Aku pastiin dulu tokoh cowoknya sesuai selera kamu. Cowok yang cool, pendiem, kaku, irit bicara, bermulut pedas sama bad boy gitu kan tokoh cowok idaman kamu?"

Larisa tersentak, kaget luar biasa karena selama ini dia tak pernah menceritakan tentang karakter tokoh cowok favoritnya dalam novel pada Reza. Darimana pria itu mengetahuinya?

"Kok kamu tahu?" Tanyanya penasaran.

"Emangnya apa sih yang aku gak tahu tentang kamu?" Jawab Reza santai.

"Aku kadang mikir, jangan-jangan kamu pengin aku merubah sikap aku jadi kayak cowok-cowok di novel itu."

Cepat-cepat Larisa menggeleng, tak menyangka Reza akan berpikiran seperti itu.

"Nggaklah. Udah kamu kayak gini aja. Gak usah berubah segala. Aku suka kamu apa adanya," jawab Larisa. Kata-kata itu refleks keluar dari mulutnya. Reza tersenyum lebar, tampak bahagia mendengar ucapan Larisa.

"Aku juga suka kamu apa adanya," ujarnya, sebelum dia semakin mengikis jarak di antara mereka dan membenamkan tubuh ramping Larisa ke dalam pelukannya.

Larisa tak menolak, dia membalas pelukan itu.

"Cha, aku rela ngelakuin apa pun demi kamu," katanya, Larisa mendengus mendengarnya.

"Dasar, kamu bucin banget sih," ejek Larisa sembari terkekeh.

"Gak peduli mau dikatain bucin kek atau apa pun kata orang ngenilai aku. Intinya bagi aku, kamu itu berharga banget. Orang yang paling aku sayang selain ortu aku. Aku bakal ngelakuin apa pun supaya kamu bahagia. Karena bagi aku, kebahagiaan kamu adalah segalanya."

Larisa tertegun, lidahnya kelu ... dia diam seribu bahasa. Bukankah seharusnya dia bahagia memiliki kekasih yang sempurna seperti Reza? Tapi kenapa ... kenapa ada yang mengganjal di hatinya? Kenapa dia tak merasa puas sedikit pun?

Larisa sama sekali tak mengerti dengan keinginan hatinya.