Minggu pagi ini adalah jatah Chika untuk mencuci pakaian. Memilah pakaian yang akan dimasukkan ke dalam mesin cuci juga pakaian yang akan dicuci oleh tangannya sendiri. Untung saja dirinya memiliki waktu senggang.
Saat sebuah switer pink disentuhnya, seketika ia teringat kembali bunga tidurnya semalam. Terasa nyata sekali, dimana ia dan Dirga pergi ke pantai. Menikmati tiupan angin, bermain diatas gumuk pasir, saling menuliskan nama. Anehnya, mereka telah menjadi sepasang kekasih. Bagaimana cerita awalnya, Chika juga tidak tahu. Yang jelas, hal itu membuatnya tersenyum sendiri.
Sekarang sudah berbeda, Dirga jelas semakin hari semakin sibuk. Belum tenar saja, keduanya sudah jarang bertemu. Chika jadi rindu waktunya dengan Dirga. Entahlah, hatinya jadi bimbang. Bahasa gaulnya sekarang, Chika sedang galau.
Oh, tunggu. Ini akhir pekan, bukan? Tentu saja hari ini mereka akan bertemu, ya walaupun bersama anggota keluarga lainnya—jamuan makan malam bersama Dirga. Sudahlah, pokoknya hari ini Chika akan merias diri secantik mungkin.
Chika melanjutkan kegiatannya mencuci baju, selepas membiarkan mesin itu berputar, menggiling pakaiannya, ibunya memanggil dari kejauhan, sepertinya dari ruang tamu.
"Ada Arum disini, sayang"
Baiklah, rendam saja dulu pakaian yang akan ia cuci manual. Langkahnya ia lajukan menuju ruang tamu, menemui teman sebangkunya. Terlihat masih ditemani sang ibu, raut wajahnya masih baik-baik saja. Hingga Arum melihat kedatangan Chika, seratus delapan puluh derajat senyuman yang ia patri untuk ibunya luntur seketika.
Chika duduk di sofa yang tadi ibunya duduki, menatap Arum dengan wajah datarnya. Sepertinya awan mendung mulai menghampiri ke dalam rumahnya. "Kau kenapa?"
"Jujurlah padaku," ucapnya tiba-tiba.
"Jujur apa?" Chika memiringkan kepalanya, alisnya juga bertaut. Sungguh, dirinya bingung, Chika tak menyembunyikan apapun dari Arum. Tapi, raut wajah Arum seperti singa yang sedang mengincar mangsanya.
Dengan helaan nafas kasar, gadis itu berujar "Kau yang memberikan nomor ponselku ke Kak Dante, kan?" katanya yang dibalas anggukan oleh Chika. "Kenapa kau berikan?"
"Dia meminta, dan dia bilang sudah izin denganmu,"
Tercengang setelah mendengar penjelasan Chika. "Aku tak yakin kau salah satu murid pintar di kelas," jedanya menatap Chika makin lekat. "Jika dia sudah meminta izin padaku, untuk apa dia meminta nomor ponselku padamu?" tohoknya dengan tangan yang tanpa sadar bergerak mengikuti ucapannya.
Tawa renyah lahir dari bibir Chika. Dia baru sadar akan kebodohannya. Apa yang diucapkan Arum memang benar, tapi kenapa ia tak terpikirkan sampai situ saat Dante meminta nomor ponsel Arum? Mungkin pikirannya sudah kalut karena Dirga.
Tangan Chika terulur guna mencapai tangan Arum yang berada diatas pahanya. Mengelus tempurung tangan guna membuat Arum tenang. "Maafkan aku, ya"
"Ya sudah, iya,"
Satu jam lamanya Arum berada di rumah Chika. Sebab itu, kegiatan mencuci Chika jadi tersendat. Bahkan, ia juga sampai lupa tengah merendam pakaian. Apalagi ini sudah jam sembilan, seharusnya urusan mencucinya telah selesai. Tapi, tak apalah, hitung-hitung sebagai permintaan maaf darinya.
Punggung Chika rasanya hampir patah, rupanya banyak sekali pakaian yang dicuci. Melihat ada satu bungkus camilan baru, Chika menyambarnya asal. Lapar juga sehabis mencuci dan juga menjemur, tapi malas sekali mengambil makanan berat karena belum mandi juga. Hendak dibuka, teriakan ibunya malah membuatnya terkejut.
Sang ibu melarang membuka camilan itu, lantaran akan diberikan pada Dirga saat jamuan makan malam nanti. Padahal tadi Chika melihat sang ibu membeli banyak camilan. Lagipula, Dirga tak akan menghabiskan ini semua. Minta sedikit saja, tidak boleh. Mana sudah tercium aromanya karena tadi Chika sudah membukanya sedikit, sebelum teriakan ibunya menyambar jantungnya. Diletakkannya kembali camilan itu, dirinya memilih pergi untuk mandi saja.
Eiy... Mustahil bila perempuan berkata akan mandi, dirinya akan mandi betulan. Itu hanya niatan yang tak terlaksana. Seperti saat ini, sudah memegang handuk, siap untuk masuk kamar mandi, netranya malah melihat ponselnya berpendar—seperti mendapat notifikasi. Ya, mau tidak mau langkahnya berbelok menuju tilam berseprei putih. Rasanya juga belum afdhol jika hanya membuka satu aplikasi lini masa. Mulailah jarinya membuka satu persatu aplikasi lain, yang berakhiran tak mandi hingga tengah hari.
Akui saja kalian—para wanita juga begitu kan, tidak apa-apa. Aku juga begitu.
"Sudahlah, mandinya nanti sore saja, sekalian. Tanggung sekali jika sekarang mandi,"
Kalian tahu, apa yang dilakukan Chika tengah hari begini? Jawabannya, tidak ada. Iya, tidak ada. Chika hanya duduk dipinggiran kasur, menatap langit-langit kamar. Sesekali melihat keadaan luar hanya lewat jendela kamar. Sudah malas mandi, tidak ada kerjaan pula anak gadis yang satu ini.
Sampai petang menjelang, barulah niatan mandi itu ia perkuat. Sayangnya, setelah mengumpulkan niat untuk mandi hingga berjam-jam, malah Dirga sudah datang lebih dulu. Sudah berada diambang pintu kamar Chika yang terbuka. Sontak Chika berbalik badan setelah mereka bertemu pandang. Memastikan tubuhnya tidak mengeluarkan bau apapun. Sudah pernah dibilang kan, Chika itu bukan seperti tokoh fiksi yang sempurna disegala aspek. Persoalan malas mandi saja bisa ia rasakan juga.
Terdengar dari rungu Chika suara kekehan Dirga. Benar-benar memalukan sekali. Sudahlah, masa bodoh. Ingin menghindar untuk mandi, juga terlanjur tertangkap basah.
"Tetap cantik kok," kata Dirga.
Sumpah, Chika senyum-senyum tak jelas. Jantungnya berdebar cepat sekali, pipinya juga memanas. Seperti ada kupu-kupu yang menggelitik diperutnya. Ok, tahan senyummu Chika. Beginikah rasanya dipuji oleh kakak kelas? Biasanya ia hanya mendengar cerita teman-temannya saja, mereka bilang dipuji kakak kelas yang disukai itu bahagianya berlipat ganda. Tapi kan Chika tidak menganggap Dirga lebih dari seorang kakak. Ah, mungkin rasanya memang sama saja.
Chika mengatur air mukanya agar tidak tersenyum sebelum berbalik menghadap Dirga. "Lho, Kak Dirga kenapa datangnya cepat sekali? Acara makan malamnya kan masih nanti," tanyanya tanpa jeda. Seperti penjahat yang sedang diintrogasi saja Dirga ini.
"Aku ingin menghabiskan waktuku lebih lama bersamamu," katanya sambil berjalan menuju meja belajar Chika. "Tidak jadi mandinya?" tanyanya balik.
"Eung?" gugup menyapa Chika. Matanya mengerjap beberapa kali mengamati penampilan Dirga. Tampan sekali, begitu apa kata batinnya. Telat sekali sadarnya. "I-iya, ini ingin mandi. Kak Dirga turun saja dulu," lanjutnya.
Dirga mengangguk, menaruh novel Chika yang tadi sempat ia pegang. "Pakai saja pakaian yang membuatmu nyaman," pungkasnya sebelum menghalau pergi.
Cukup. Sudah cukup dadanya berdegup terus-terusan. Akhirnya, gadis itu memilih pergi mandi.
Di ruang tamu, Dirga ditemani oleh Abraham serta Johan. Membicarakan macam-macam hal termasuk karir yang tengah Dirga rintis. Cukup kagum bagaimana Dirga menjelaskan usahanya dan juga teman-teman satu grupnya. Anak baik juga harus diberikan kado terbaik, itulah yang ada dipikiran laki-laki sebelah Dirga ini.
Panggilan sang ibu tiba-tiba memecahkan obrolan tiga orang laki-laki di ruang tamu. Bukan, bukan panggilan untuk segera makan malam. Panggilan itu ditujukan untuk sang putri yang sangat lama berada dikamarnya dan tidak membantu ibunya. Aduh, biasa ibu-ibu pasti akan mengomel disaat seperti ini.
Tak lama, tungkai putih yang berbalut celana jeans pendek hitam diatas lutut itu terlihat berjalan menghampiri semua orang yang berada di lantai bawah. Kedua hazel Dirga terfokus pada wajah ayu gadis berambut panjang itu. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya ada satu kepangan saja di sisi kanan surainya. Cantik. Apalagi atasan pendek tanpa lengan yang menampilkan utuh kulit putih tangannya.
"Nak Dirga tidak terkejut melihat Chika secantik itu?" tanya laki-laki paruh baya itu.
Hanya gelengan yang Dirga berikan sebelum menimpali pertanyaan ayah dari gadis yang ia suka. "Tidak, Om," jedanya, ia tersenyum sembari menatap Abraham, "Karena menurut Dirga, setiap Dirga bertemu Chika, penampilannya selalu membuat Dirga terkesima. Chika pintar bermain mode," pujinya untuk Chika.
Mendengar penuturan tulus dari Dirga, membuat Abraham tersentuh. Selepas itu, Abraham-lah yang menyuruh mereka semua untuk menuju ruang makan. Acara yang berlangsung penuh dengan tawa kebahagiaan. Entah angin datang darimana, tiba-tiba ayah Chika berujar, "Jika kalian ingin berpacaran, Papi menyetujuinya. Buatlah Chika bahagia bersamamu,"