Chereads / Red Jelly / Chapter 24 - Peran Kakak

Chapter 24 - Peran Kakak

Sulitnya Chika yang harus mencari pasangan piyama biru miliknya. Seingat Chika, semua piyamanya selalu ditumpuk sepasang. Namun, akhir-akhir ini bukan dia yang mengurusi semua pakaiannya. Ia mencuci semua pakaian kotornya di laundry. Chika sampai pusing mengobrak-abrik lemari pakaiannya

Bathrobe yang masih melekat ditubuh, serta rambut yang ditutup oleh gulungan handuk guna mengeringkan rambutnya yang basah menjadikan dirinya pusat perhatian sang ibu yang tengah duduk dipinggiran kasur. Memperhatikan setiap pergerakan putrinya.

"Sayang, warna apa yang ingin dicari?" tanya sang ibu yang masih setia mendengarkan decakan demi decakan Chika.

"Biru, Mi," jawabnya.

Lantas, ibunya berdiri menggantikan posisi Chika—membantu Chika. Sambil mencari, sang ibu berkata, "Kenapa tidak warna lain saja?"

"Sudah Chika jadwal,"

Tepat setelah Chika berkata, sang ibu yang menemukan kemeja piyamanya langsung menohok sang putri yang hanya bisa mencari dengan ocehan. "Makanya, jika mencari barang itu dengan tangan dan mata, jangan dengan mulut," katanya sambil mencolek hidung Chika. Gadis itu hanya cengengesan sembari menatap punggung sang ibu yang menghilang dari balik pintu.

Baru saja pintu kamarnya tertutup, sudah ada lagi saja orang yang membukanya. Tidak, sang ibu tidak kembali, melainkan kakaknya yang berjalan menuju ranjang Chika. Jelas hal itu mengganggu Chika. Dirinya ini ingin mengganti pakaian, malah Johan datang tanpa permisi. Rasanya ingin sekali menenggelamkan kakaknya ini ke akuarium besar milik ayahnya.

Lebih lagi yang membuatnya malas, Johan tiba-tiba berceloteh seperti orang tua yang sedang menceramahi anaknya.

"Jika berpacaran dengan Dirga, berhati-hatilah. Jangan sampai kau mau disentuh olehnya,"

Kalimat itu terus terngiang dikepala Chika beberapa menit lalu selepas Johan keluar dari kamarnya. Sesaat, ia teringat beberapa hari lalu setelah diantar Dante pulang, samar-samar terdengar suara dua orang tengah berbicara. Ya, awalnya Chika memang tak memperdulikan itu, hanya saja saat mendengar kata 'anak', gadis itu langsung menanyakan pertanyaan yang membuat Johan dan Aruni tercekat karena ucapan mereka sendiri. Tapi, apakah ada hubungannya dengan nasihat kakaknya tadi?

Dirinya juga berpikir, mungkin itu hanya nasihat seorang kakak untuk adiknya. Mereka ini kan dari keluarga baik-baik. Tidak akan mungkin salah satu dari mereka akan membuat keburukan yang fatal.

Chika juga yakin, semisal salah satu dari keluarganya ada yang melakukan kesalahan fatal, itu adalah hal terbodoh yang harus dipertanggungjawabkan. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, seseorang harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia perbuat.

-

-

-

Sebagai seorang kakak, Dinda tetap akan memberikan kepeduliannya terhadap Dirga, kendati keduanya sering adu mulut, tak menghilangkan rasa sayang Dinda pada sang adik. Seperti saat ini, dua tangan pualamnya penuh dengan paper bag berisikan beraneka ragam makanan ringan untuk Dirga. Adiknya itu tidak bisa hidup tanpa makanan ringan. Bahkan saat belajar saja, harus ada beberapa jenis snack di meja belajarnya.

Bukan, itu bukan suruhan ibunya, melainkan inisiatif Dinda sendiri untuk mengantarkannya. Saat hendak ingin menekan bel pintu apartemen Dirga dan teman-temannya, tiba-tiba saja sebuah tangan putih lainnya menghalangi pergerakan Dinda. Sontak membuatnya melihat siapa pemilik tangan yang menggenggam kuat pergelangan tangannya.

Jujur saja, Dinda belum pernah melihat wanita ini. Jika dilihat mungkin perbedaan umur mereka sekitar empat tahun. Oh tentu jelas tua wanita ini. Dinda saja masih kuliah, sedangkan jika diamati wanita didepannya ini bukanlah seorang mahasiswi. Ah, tapi siapa peduli dengan urusan pribadinya. Yang jelas, ia hanya peduli dengan sang adik.

"Siapa kau?" tanya Dinda dengan tatapan menyalang. Tatapan yang diberikan untuk wanita didepannya ini adalah tatapan tak suka. Pakaiannya saja ketat begitu.

"Harusnya aku yang bertanya begitu, tidak sopan sekali ingin menekan bel pintu orang tanpa izin pemiliknya," jawab Caroline tak kalah nyalang.

Dengan cepat, Dinda menarik tangannya dari cengkraman Caroline. Baru ingin menjawab, Caroline menyelanya lebih dulu, "Ini adalah apartemenku dengan suamiku. Kau ingin menggoda suamiku?"

Hah! Menggoda? Yang benar saja, bahkan mantan kekasih Dinda sulit untuk dirinya lupakan. "Mau setampan apapun suamimu, aku tak akan tergoda dengannya," tandas Dinda yang langsung menekan bel.

Hal yang baru saja Dinda lakukan membuat Caroline membentak dirinya. Perempuan manajer Goldie itu benar-benar merasa muak atas tindakan Dinda yang seenaknya. Untuk kalian, jangan beritahu Caroline jika Dinda adalah kakak dari Dirga. Biarlah dia tahu rasa.

"D-Dinda," adalah Septian yang baru saja membuka pintu apartemen. Maniknya sudah disuguhkan dua perempuan yang masih beradu kalimat—tidak mau mengalah satu sama lain.

"Waahhh... Suamimu tampan, ya. Aku rasa aku tergoda," ejek Dinda pada Caroline yang terkejut lantaran Septian mengenali Dinda. "Hai Kak Septian, istrimu galak. Seperti singa yang belum makan tiga bulan," ucapnya sembari berjalan masuk. Masih dengan tawa kemenangan.

Kedua netra Septian mengikuti arah langkah Dinda berhenti, duduk pada sofa abu-abu. "Selama itu, singa sudah pasti akan mati," katanya menimpali ucapan asal Dinda.

"Khusus dia, dia pandai bertahan hidup,"

Dinda mengitari seisi ruangan apartemen. Gadis itu tak melihat sosok yang dicarinya. Sampai sebuah suara deritan pintu masuk ke rungu Dinda, menampilkan sosok sang adik yang hanya menggunakan boxer hitam tanpa atasan apapun. "Hai sayang,"

Dua kata itu terdengar menggelikan ditelinga Dirga. Kakaknya ini sedang kerasukan apa memanggilnya begitu. Air mukanya saja tak mendukung panggilan Dinda. Langkahnya ia majukan menghampiri sang kakak. Mengambil kaos putihnya yang disampirkan di kursi, lantas memakainya sambil berjalan.

Melihat dua paper bag di meja, Dirga yakin jika sang kakak berkunjung lagi untuk membawakan makanan ringan kesukaannya.

Lagi? Iya, ini kedua kalinya Dinda berkunjung ke apartemen adik dan teman-temannya. Sebab itu, Dinda yakin tadi Caroline itu hanya mengada-ada jika apartemen ini miliknya dan suaminya.

"Siapa dia, Dirga?" tanya Caroline. Iya, wanita itu yakin, jika perempuan yang tengah bersebelahan dengan Dirga bukanlah Chika. Tapi, kenapa bisa seakrab ini? Bahkan tadi gadis itu memanggil Dirga dengan panggilan sayang.

"Kakakku,"

Damn! Rasakan itu. Sungguh, Caroline jadi malu sendiri. Jujur saja, aku juga tidak menyukai Caroline. Licik sekali jadi wanita, jelas Dirga tidak akan menyukai wanita licik sepertinya. Tipe ideal Dirga itu seperti Chika. Lucu, cantik, manis, imut, putih, ya menurutnya Chika itu paket lengkap, deh. Ayo Dirga, aku tetap mendukungmu bersama Chika. Biarlah nanti Caroline kupasangkan dengan pria yang biasa berlarian sambil berteriak-teriak didekat komplek rumahmu.

Saat kalian yang hanya terfokus dengan Dirga, Dinda, dan Caroline, di ruangan itu juga ada makhluk lain yang tengah menata debaran jantungnya. Memperhatikan paras cantik Dinda, matanya juga berlarian kemana-mana saat Dinda meliriknya dengan senyuman. Padahal Dinda melirik Septian karena batinnya tertawa melihat air muka Caroline yang merah karena malu. Harap diam-diam saja, Septian ini menyukai Dinda. Tolong tahan senyum kalian.

"Duduklah dulu, akan kubuatkan minum," baru saja Septian akan berlalu, Dinda menahan lengannya. Membuat laki-laki itu susah payah menelan ludahnya.

"Tidak usah, aku hanya berkunjung sebentar,"

Sungguh, setelah ini Septian tak akan mencuci tangan kirinya. Sekalipun itu mandi, ia hanya akan membasuh seluruh tubuhnya kecuali lengan kiri.