Tepi lapangan merupakan pilihan Dirga untuk meregangkan ototnya. Aneh sekali, padahal sudah kelas tiga, tapi kenapa kelasnya banyak jam kosong?
Maka Dirga dan teman lainnya memilih untuk bermain basket sebentar, tak apa sekali-sekali. Toh ini satu jam pelajaran terakhir sebelum bel pulang berbunyi.
Agaknya, belum saja terlaksana niatan untuk bermain basket, seorang siswi terdengar gaduh lantaran lemparan bola basket yang tak sengaja mengenai kepala siswi tersebut. Hidungnya sampai mengeluarkan darah. Itu jelas, lemparannya saja cukup keras.
Jadi, salah satu teman Dirga tadi lebih dulu memegang bola basket yang akan dilemparkan ke dalam ring. Bukannya masuk dalam ring, malah mengenai siswi yang tengah lewat dibawah ring itu. Karena jarak Dirga yang paling dekat dengan siswi tersebut, maka Dirga-lah yang membawanya ke UKS.
"Lalu, bagaimana keadaan kakak itu?"
Sontak membuat Dirga tertawa seraya mencubit sebelah pipi gadis di depannya.
"Tidak apa-apa. Dia hanya mimisan,"
Chika hanya mengangguk kecil untuk menyudahi topik ini. Setelahnya, Dirga mengeluarkan helm dari bawah jok—ini suruhan Chika untuk tidak membawa motor sport, takut roknya tidak tertutup sempurna.
Betapa terkejutnya, saat kepala Chika dipakaikan helm. Ya jika kalian beranggapan gadis itu terkejut sebab adegan romantis memasangkan helm, kalian salah. Lontaran kata kejutnya ditujukan karena salah satu telinganya tertekuk terkena helm.
"Aw, ini sakit," aduhnya yang membuat Dirga tertawa gemas.
Dirga kembali membenarkan posisi helm milik Chika. Setelahnya dua insan lawan jenis itu menuju tempat pemberhentian utama mereka.
Ditempat Dirga memotong rambut, Chika diam-diam mengambil gambar Dirga tertidur ketika sedang dipotong rambutnya. Lucu sekali, sampai si pencukur harus membenarkan posisi kepala Dirga yang berkali-kali tertunduk.
Meskipun begitu, Chika juga merasa kasihan. Pasti kegiatan Dirga setelah pindah menjadi lebih padat. Belum lagi pasal sekolahnya yang sebentar lagi harus ujian. Chika sampai merapalkan doa, agar Dirga tetap sehat dan cukup tidur.
"Sudah?"
Laki-laki bertubuh kekar itu mengangguk, membersihkan sisa rambut dipundaknya. Berjalan menghampiri sang gadis yang setia menemani satu lamanya, lantaran harus mengantre.
"Ayo, kita cari makan," ajaknya seraya menarik salah satu pergelangan tangan Chika.
Sepanjang perjalanan sesekali tangan Chika masuk kedalam saku jaket Dirga. Dikepakkannya jaket itu berkali-kali layaknya seekor burung yang tengah terbang. Bahkan Dirga sampai melihat kebawah, ke arah jaketnya dikepakkan. Tertawa lirih akan apa yang dilakukan gadis dibelakangnya.
"Apa kak? Chika tidak mendengar,"
"Apa? Aku tidak bicara apapun,"
Memang, terkadang Chika ini suka begitu. Pernah sekali saat keduanya sedang pergi bersama, tiba-tiba Chika yang marah karena tidak ingin pergi ke taman. Gadis itu berkata, Dirga mengubah rencana awal mereka yang seharusnya menonton bioskop, menjadi pergi ke taman. Padahal, Dirga tak berkata apapun saat perjalanan, dan jelas hal itu membuat Dirga bingung. Sebab itu, Dirga jarang membawa motor saat berpergian dengan Chika.
Meredamkan emosi Chika itu cukup sulit jika tanpa alasan jelas. Pasalnya, sifat kekanakan Chika itu terkadang menutupi logikanya.
Tanpa sadar, keduanya sampai pada sebuah penjual mie ayam dipinggir jalan, hingga membuat Chika tiba-tiba berceletuk, "Oh, ini tempat Chika dan Kak Dante makan,"
Mereka berdua makan bersama?—batin Dirga.
Langkah kaki Chika sudah membawanya berhadapan dengan penjual. Tanpa menunggu Dirga, gadis itu langsung memesan dua porsi. Dua manik Dirga menangkap bagaimana Chika menaruh tasnya diatas meja, mengeluarkan ponsel untuk mengurangi rasa bosan sembari menunggu pesanan datang.
Sore ini memang tak terlalu panas, malah sejuk untuk dirasa. Angin juga bertiup lumayan kencang, membuat dedaunan menari-nari. Hingga Dirga terkesiap saat rok Chika sedikit terbuka karena tiupan angin. Sepertinya gadis itu tidak sadar karena terlalu fokus dengan ponselnya. Maka, dengan gerakan cepat, Dirga menaruh jaket miliknya diatas paha sang gadis, hingga Chika tersadar.
"Jika sedang duduk menggunakan rok pendek, jangan terlalu fokus dengan hal lain," ucapnya tanpa melihat Chika. "Angin meniup rokmu. Bahaya jika ada yang melihat," lanjutnya.
Tiba-tiba dadanya menghangat. Bukan hanya dada, tapi pipinya juga mulai memanas. Matanya mengerjap beberapa kali, menatap Dirga yang juga memainkan ponsel. Mati-matian Chika menahan untuk tidak tersenyum.
Pesanan keduanya tiba, tangan Chika hendak mengambil satu mangkuk didepannya, namun ditepis oleh Dirga. Sukses membuat Chika sedikit terkejut. Lebih terkejut lagi, saat Dirga yang memindahkan daun bawang yang berada di mangkuk Chika ke arah mangkuk miliknya. Dirga sangat hafal, jika sang gadis tak menyukai daun bawang.
"Terimakasih," ucap Chika saat mangkuknya diberikan.
Sedetik kemudian Dirga tersadar, pantas saja tadi Dante mengucapkan terimakasih karena sudah menyuruhnya datang ke rumah Chika. Jangan-jangan mereka berdua berpergian hingga makan ditempat ini, begitu pikir Dirga.
Belum sempat Dirga bersuara, Chika lebih dulu menyela ucapannya. Gadis itu sadar, air muka Dirga seperti ada yang dipikirkan. "Kak Dirga kenapa?"
"Kemarin saat kau menerima bingkisan dariku, apa Dante mengajakmu pergi?" tanya Dirga.
Chika melihat air muka Dirga tak seperti sebelum mereka ke sini. Lantas ia menggeleng, "Tidak,"
"Tapi, kenapa kau tadi bilang ini tempatmu dan Dante makan?" tanya Dirga memastikan.
Melihat raut wajah Dirga yang sedikit tertekuk, Chika malah menampakkan wajah ingin tertawa. Rasa gemas, tiba-tiba menjalar disekujur tubuhnya, kendati Dirga yang menahan rasa cemburunya, mungkin. Sejemang mereka melupakan dua mangkuk mie ayam yang mulai menghilang kepulan asapnya. "Hari pertama kakak pindah ke apartemen, Kak Dante bilang kakak yang menyuruh dia untuk mengantar Chika pulang, bukan?"
Dua anggukan Dirga menjadikan benarnya pertanyaan yang Chika ajukan sebelum akhirnya gadis itu melanjutkan ucapannya. "Kak Dirga juga menyuruh dia untuk mengajak makan siang Chika, bukan?"
Untuk yang ini, Dirga tidak ingin membenarkan pertanyaan Chika. Memang tidak, dirinya hanya menyuruh Dante untuk mengantar Chika pulang. "Tidak. Aku hanya menyuruhnya untuk mengantarkanmu pulang," katanya seraya menggeleng kecil.
Seketika Chika membeku, "Aish.. Orang itu, benar-benar keterlaluan," cebiknya saat menyadari motif dibalik Dante mengajaknya makan siang beberapa waktu lalu. Iya, Dante hanya menginginkan informasi mengenai Arum. "Ya sudah, intinya Kak Dante bilang dia disuruh oleh kakak untuk mengajak Chika makan siang sebelum sampai rumah. Dan dia membawa Chika ke tempat ini," jelasnya.
Daripada meneruskan topik yang tidak jelas, Chika maupun Dirga lebih memilih memakan makanan yang sudah dingin sejak tiga menit lalu. Tidak enak jika didiamkan lama-lama.
-
-
-
Di depan halaman rumah Chika, Dirga tak bisa langsung mampir. Ia hanya berhenti sebentar untuk mengobrol bersama Chika.
"Nah, begitu potong rambut. Tampan,"
Aduh, tidak sehat untuk jantung Dirga. Debarannya juga menyebabkan pipinya memanas, tapi tidak menimbulkan semburat merah disana. Namun, dirinya juga seperti ditampar kenyataan. Mereka bukanlah sepasang kekasih. Perhatian Dirga untuk Chika memang layaknya seorang kekasih, namun sebaliknya perhatian Chika untuknya hanya sebatas adik dengan kakak.
Ingin menjauh, tapi tidak mungkin juga rasanya. Chika memang menolak, tapi dia tetap membiarkan Dirga bersamanya. Ya mungkin Chika butuh waktu untuk menyukainya balik, atau.. tidak menyukainya sama sekali. Panas dada Dirga jika terus memikirkan hal ini.
"Ya sudah, aku pulang dulu," jedanya sembari menyalakan mesin motor. "Salam untuk Papi dan Mami. Maaf, aku belum bisa menemui mereka lagi," pamitnya sebelum melesat pergi.
Chika melambaikan tangannya saat Dirga pergi. Hingga dirasa Dirga sudah tak nampak dari pandangan, gadis itu memasuki rumahnya dan bertemu sang kakak yang menghadang didepan pintu.
"Kenapa pulang jam segini? Jangan menjadi perempuan nakal,"
Kak Johan ini kenapa, sih? Biasanya juga seperti ini jika bersama Kak Dirga—batinnya. Memilih abai terhadap ocehan Johan, Chika berlalu begitu saja.