Chereads / Red Jelly / Chapter 22 - Miss You

Chapter 22 - Miss You

Kemarin bukanlah hari yang bagus untuk Arum. Lantaran Pak Surya benar-benar menagih hukuman Arum, namun Arum tetap tak bisa. Hingga guru itu memberikan hukuman tambahan untuknya. Untungnya, semalam hukumannya ini dibantu oleh Chika. Senang sekali rasanya memiliki teman pintar, apalagi teman satu meja.

Didepan ruangan guru, tiba-tiba saja Arum mengeluh, "Aku rasa phobiaku kambuh," ucapnya lesu.

Chika melirik sekilas wajah Arum yang kusut sebelum berujar, "Phobia apa?"

"Irsuphobia"

Tunggu dulu, Chika belum pernah mendengarnya. Sedetik kemudian Arum kembali melanjutkan kalimatnya, "Phobia terhadap guru matematika SMA ini,"

Wah, Arum ini benar-benar keterlaluan, pagi-pagi sudah membuat Chika harus berpikir, jika phobia yang diucapnya tadi adalah singkatan dari nama guru mereka. Irawan Surya, sontak hal itu membuat Chika tertawa lepas. Beruntungnya, mata pelajaran kelas mereka pagi ini sedang kosong, karena guru pengampunya tengah mengurus sesuatu.

Mungkin karena suara tawa Chika sedikit lebih keras, memikat atensi dua laki-laki yang berjalan ke arah Chika dan Arum. Tentu saja itu Dante dan Dirga.

"Kalian sedang apa disini?" adalah Dante yang membuka obrolan.

"Arum ingin meredakan phobianya,"

Mendengar ucapan Chika, laki-laki disebelah Dirga tiba-tiba memasang wajah cemas. Tangannya tanpa sadar menyentuh kedua pundak Arum. Pun tubuhnya hingga membungkuk hanya untuk mensejajarkan wajahnya dengan milik Arum. "Kenapa tidak ke UKS saja? Jika phobianya mengganggumu, lebih baik berisitirahatlah,"

"Memangnya phobia apa?" tanya Dirga.

"Irsuphobia atau Irawan Surya phobia,"

Arum mengenyahkan tangan Dante dari pundaknya. Terlihat kedua laki-laki didepannya tertawa. Dante itu sampai gemas sendiri karena Arum. Maka dengan gerakan cepat, Dante menarik salah satu pergelangan tangan Arum ke dalam ruangan guru.

"Kalau begitu ayo bersamaku. Jika phobiamu kambuh, peluk saja aku," paksa Dante tanpa memberikan Arum untuk berbicara. Meninggalkan Chika dan Dirga yang masih tertawa.

Dalam hati Arum sudah merutuki Chika karena membicarakan topik yang mereka bicarakan sebelum Dirga dan Dante menghampiri keduanya. Tapi tidak tahu diri sekali, sudah dibantu mengerjakan hukuman dari Pak Surya. Kalau Dante itu berbeda, ia pastikan setelah keluar dari ruangan guru ini, akan memaki laki-laki yang merangkulnya didepan Pak Surya.

Berhadapan dengan salah satu guru yang menyeramkan di sekolah sepertinya bukan hal baik untuk jantung. Rangkulan Dante lebih menarik atensi sang guru saat ini. Bahkan Arum sudah enyah akan usahanya sendiri melepaskan rangkulan Dante.

"Pantas sekali kalian tidak bisa matematika," ucapnya sembari menerima dua kertas folio dari Arum dan Dante—mengecek hasil pekerjaan mereka. "Makanya jika mencari kekasih salah satu harus ada yang pintar matematika. Agar bisa membantu mengerjakan tugas," sambungnya.

"Pacar saya pintar matematika, Pak. Tapi bukan Kak Dante orangnya," bantahnya. Namun Pak Surya seakan tak peduli.

Dante diam-diam mengulas senyum. Ini kali pertama dirinya mendengar Arum menyebut namanya. Padahal hanya menyebut nama saja, tapi perutnya sudah terasa digelitiki ribuan kupu-kupu.

"Bohong dia, Pak. Lagipula mana ada laki-laki selain saya yang mau dengan perempuan tak pintar seperti dia," Dante mencoba mempengaruhi gurunya.

"Sudah, kalian malah membuat keributan disini,"

Akhirnya mereka diizinkan untuk pergi, Dante melirik ke arah Arum yang menatap dengan picingan mata yang tajam. Bukannya merasa bersalah, Dante malah membalasnya dengan senyuman.

Tepat setelah langkahnya keluar dari pintu ruang guru, Arum langsung menarik Chika yang tengah duduk bersama Dirga dibangku sebelah ruang guru. Chika juga dapat melihat air muka Arum yang nampak kesal.

Laki-laki bernama Dante itu bukannya menjelaskan apa yang baru saja terjadi, malah meninggalkan Dirga begitu saja. Sepanjang lorong kelas, senyumnya tak kunjung luntur. Mengingat bagaimana wajah Arum yang sebal karenanya. Ya, sepertinya Dante memiliki cara baru untuk mendekati gadis berambut sebahu itu.

"Oh iya, Ga. Terimakasih karena kemarin telah menyuruhku datang ke rumah Chika,"

***

Suasana kantin yang tak begitu ramai, adalah alasan Chika dan Arum betah berlama-lama disana. Itu karena mata pelajaran setelah istirahat ini sedikit santai. Dua porsi makanan juga sudah setengah habis dilahap keduanya sekitar delapan menit lalu.

Chika dengan pesanan seblaknya, dan Arum dengan pesanan baksonya. Dua jenis makanan yang cocok disantap saat matahari terik.

"Kau tahu toko aksesoris yang berada dekat minimarket belakang sekolah ini?" tanyanya sembari menyuapkan satu sendok kuah ke dalam mulutnya. Chika hanya mengangguk atas pertanyaan Arum. "Kudengar, aksesoris disana cantik semua. Harganya juga terjangkau," imbuhnya.

"Aku jadi ingin membeli bando,"

"Jangan bilang warna merah lagi,"

Chika tertawa kecil, temannya ini sangat paham. Jika diajak untuk membeli aksesoris, pasti akan membeli barang yang berwarna merah.

Tadinya Arum sempat berpikir, kenapa kamar Chika tak dipasang trisula merah. Biar orang mengira itu adalah neraka, karena semua berwarna merah. Sayangnya, anggapan itu dipatahkan oleh kenyataan. Kamar Chika memang dominan berwana merah, tapi jika melihat koleksi aksesoris miliknya, jangan harap seorang gadis tak akan iri padanya.

Terakhir kali Arum datang ke kamar Chika, maniknya disuguhkan dengan banyaknya pernak-pernik lucu, yang bahkan belum tentu dirinya punya.

Arum sempat tak percaya, dia menyangka bahwa Chika tidak peduli dengan penampilan atau barang-barang lucu. Namun, seiring berjalannya waktu ia mengenal Chika, gadis itu bukan karena cuek, dia memang tak senang memakai sesuatu yang menyulitkan dirinya.

"Ya sudah, ayo nanti sepulang sekolah kita ke sana," ajak Arum.

Chika menggeleng, "Tidak bisa, aku akan menemani Kak Dirga potong rambut,"

Terdengar helaan kekecewaan dari rungu Chika. Dirinya juga tak enak dengan Arum, beberapa kali Arum mengajaknya pergi, ia selalu tak bisa. Ya karena memang Chika memiliki janji lebih dulu dengan Dirga. Tapi Chika tau, temannya ini paham.

Selepas satu suapan terakhir Arum, keduanya memilih kembali ke kelas. Baru sampai lorong kelas dua, kedua netra Chika menangkap Dirga tengah menggendong salah satu siswi yang.. sepertinya pingsan. Chika rasa siswi itu kakak kelasnya diatas satu tahun.

"Kak Dirga,"

Harusnya Dirga dengar panggilan Chika, tapi mungkin karena kondisinya laki-laki itu tengah terburu-buru sambil menggendong seorang siswi, jadi panggilan itu diabaikan.

Ada apa ya dengan mereka?—hanya batinnya yang mampu bicara.

Sesaat Chika merasakan pergerakan Arum yang menarik pergelangan tangannya, lantaran guru yang akan memasuki kelas mereka sudah berjalan keluar kantor. Keduanya berlari melewati jalur lain agar dapat mendahului sang guru. Selamatlah mereka berhasil.

Andai kata Chika tak memikirkan hal yang baru saja dilihatnya, itu adalah sebuah kebohongan. Pada kenyataannya, selama pelajaran berlangsung pun, bayangan tadi masih melekat jelas. Rungunya mendengar apa yang sang guru jelaskan, tapi otaknya tak menerimanya dengan jelas.

Maka, untuk mengenyahkan bayangan itu, Chika hanya mengingat jelas kalimat Dirga saat mereka menunggu Arum dan Dante di ruangan guru.

'Aku merindukanmu'

Membayangkan bagaimana wajah Dirga yang mulai tertutup karena rambutnya sambil mengatakan hal itu, sudah bisa membuat Chika berusaha menahan senyumannya agar tak semakin mengembang.

Sekitar dua jam, buntalan duduk Chika mati rasa. Tangannya juga terasa kebas. Memang benar jika pelajaran Bahasa Indonesia itu harus tahan semisal guru memberikan tugas mengarang.

"Arum, aku pulang dulu, ya" ucapnya pada Arum setelah selesai merapikan barang-barang.

Kaki jenjangnya dilangkahkan menuju tempat parkir siswa. Kerumunan para siswa yang cepat-cepat ingin keluar dari parkiran bersamaan dengan motornya, menjadikan Chika pening melihatnya. Lagipula, ia lihat motor milik Dirga masih terhalang oleh motor siswa lain.

Tak lama, sang pemilik datang dengan tas hitam yang ditenteng sebelah pundak. Tapi.. kenapa Dirga hanya menggunakan kaos putih dengan celana seragam? Kemana seragam atasnya?

"Sudah lama?"

Chika menggeleng sebelum mengajukan pertanyaan yang baru saja bercokol, "Kemana seragam putih kakak?"