Berjalan sendirian disore hari itu harusnya menenangkan, melepaskan penat dari hari yang lelah. Apalagi pandangan disuguhkan dengan sesuatu yang manis, seperti penjual gulali memberikan gulali secara gratis pada anak-anak yang bermain di taman, atau mungkin melihat pelukan seorang ibu untuk anaknya yang terjatuh. Tapi tidak untuk Chika, tadi ibunya menyuruh dirinya untuk membeli sabun cuci piring, ternyata di minimarket dia malah mengalami kejadian yang sedikit memalukan.
Bagaimana tidak? Chika kira laki-laki yang membantunya mengambil sabun cuci itu adalah Dirga. Karena aroma parfumnya sama. Tadinya ia ingin marah karena Dirga tak mengabari lagi setelah pesan maaf yang dibaca malam itu. Ya mungkin karena memang Dirga sibuk, toh Chika juga yang membuat Dirga lolos seleksi calon bintang.
"Hah.." gadis itu menghela nafasnya. Rasanya beda, biasanya jika ada penjual es krim, Dirga tak pernah lupa menanyakan Chika ingin es krim atau tidak. "Jadi malas melihat penjual es krim,"
Langkah Chika dilanjutkan hingga tapakan terakhirnya berada di pekarangan rumah. Sebuah motor yang terparkir dengan sang kemudi duduk pada jok, tangannya juga dilipat didepan dada.
"Lama sekali jalan-jalan sorenya," protesnya yang masih setia dengan posisi awal.
Jelas Chika bingung, memangnya siapa yang menyuruh untuk menunggunya pulang? "Memangnya kenapa?"
Tanpa banyak kata lagi, Dante menyerahkan paper bag hitam pada Chika yang reflek menerimanya. Saat hendak melihat isinya, laki-laki itu berkata, "Itu tidak gratis,"
Jadi ini harus membayar?—batin Chika.
Gadis itu sontak menyerahkan kembali paper bag yang belum dibukanya. Tentu tidak mau dong, Chika kan tidak minta dibawakan apa-apa, apalagi harus ada imbalannya.
"Aku tidak minta imbalan berupa uang, lagipula itu dari Dirga," jedanya mensejajarkan diri didahapan Chika sembari menyerahkan ponselnya. "Cukup nomor ponsel Arum," sambungnya.
"Kakak sudah izin dengan Arum?"
Dante mengangguk yakin, ya tak apalah menipu adik kelasnya. Coba saja bayangkan, bagaimana bisa dirinya izin pada Arum, gadis itu saja tidak suka jika bertemu dengannya. Namun, Chika tak kunjung mengambil ponsel yang dihadapkan padanya. Lebih tepatnya, ia tak begitu yakin dengan ucapan Dante. "Beberapa hari lalu. Kau sendiri yang menyuruhku untuk izin padanya," tambah Dante lagi.
Dengan gerakan pelan, Chika mengetikkan nomor Arum diponsel Dante, sesekali memperhatikan air muka Dante.
Selepas perbincangan mereka, Dante segera menjalankan motornya. Tak lupa ucapan terimakasih ia berikan pada Chika. Setelah ini, Dante akan mengucapkan rasa terimakasihnya juga pada Dirga karena telah menyuruhnya ke rumah Chika.
Dilain tempat, setelah mendengar jika paper bag hitam itu dari Dirga, Chika sampai lupa memberikan uang kembalian pada ibunya dan langsung menuju kamarnya. Biarlah, nanti Mami juga akan mencarinya—begitu batinnya.
"Wah," takjubnya saat membuka paper bag. "Kue Red Velvet, juga gummy bear. Eung?" Chika melihat ada secarik surat, saat membacanya dirinya sesegera mungkin mencari keberadaan ponsel.
"Terimakasih Kak Dirga," ucapnya pada Dirga diponsel.
Hati Chika benar-benar senang saat Dirga mengiriminya makanan kesukaannya. Ya tak lupa dirinya meminta maaf karena beberapa hari lalu sudah membentak Dirga.
Senyumannya tak luntur saat Dirga mengubah menjadi panggilan video. Perasaannya sudah tenang, akhirnya keduanya berbaikan kembali. Sudah seperti pasangan kekasih saja.
***
Di meja makan, sang ibu menghampiri Chika yang tengah menyendok kue pemberian Dirga. Pipinya kembung saat mengunyah satu suapan.
"Sayang, itu kue dari siapa?" tanya sang ibu yang duduk disamping Chika.
Bukannya menjawab, Chika langsung memberikan satu suapan untuk wanita paruh baya disebelahnya.
"Dari Kak Dirga,"
Sembari mengunyah, sang ibu memberikan senyuman menggoda pada putri satu-satunya. "Lalu, kemana perginya dia?"
"Tidak ada. Ini diberikan lewat Kak Dante, teman sebangkunya."
"Ya sudah, dihabiskan. Beri tahu Dirga, akhir pekan nanti makan malam bersama kita. Mami rindu dia,"
Rasanya Chika seperti tak bisa bernafas, saat dirinya tersedak hingga membuat hidungnya sakit. Sepertinya suapan terakhirnya memasuki saluran pernapasan. Sakit sekali. Cepat-cepat ia meneguk segelas air. Menatap sang ibu dengan memijat pangkal hidung yang masih terasa sakit. Untung saja tidak sampai keluar dari hidung. Iyuuuhh... Itu menjijikkan.
"Mami ini mengagetkan Chika saja," jedanya sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Tapi, kenapa Mami tidak bilang dulu pada Chika?" tanyanya.
"Mami tidak perlu persetujuanmu," pungkasnya meninggalkan Chika yang menatap perginya sang ibu.
Seperti yang pernah diceritakan sebelumnya bahwa Chika tak memiliki sifat dari ayahnya. Sepertinya Chika menuruni sifat ibunya. Ya meskipun begitu, kalau urusan mall, mereka sangatlah kompak. Kompak untuk menghabiskan dompet sang kepala keluarga.
Lupakan soal dompet sang ayah, Chika langsung mengirimkan pesan sang ibu pada laki-laki yang kini jarang ditemuinya. Tapi jika Chika pikir, ya mungkin sesekali mengajak Dirga makan malam lagi, tak masalah. Sebelum nantinya Dirga benar-benar sibuk dengan karirnya.
Sambil menunggu balasan Dirga, Chika memilih untuk membuka salah satu media sosialnya—hanya untuk mengalihkan rasa bosannya. Memang tak ada yang menarik dari media sosialnya, hanya menggesernya. Hingga suara denting menghampiri ponsel Chika.
'Iya, sayang. Aku mau'
Tunggu, kenapa hati Chika malah berdegup? Biasanya juga Dirga sering memanggilnya dengan sebutan 'sayang' begitu. Mungkin ini karena tidak bertemu Dirga beberapa hari lalu. Ya memang setelah Chika pulang bersama Dante, tiga hari Dirga tak masuk sekolah.
Chika meninggalkan ponselnya diatas meja, dirinya membawa piring kosong bekas kuenya tadi menuju tempat pencuci. Tak ingin melihat dapur ibunya kotor, ia memilih untuk mencuci piring serta peralatan makannya yang ia gunakan tadi.
Tak lama, ponsel miliknya berdering, buru-buru Chika menghampiri benda pipih dan pintar itu. Menampilkan nama Dirga, diusapnya tombol hijau yang terus meloncat.
"Bagaimana bisa kau mengabaikan pesanku?" protes Dirga.
"Maaf, Chika baru saja selesai mencuci piring,"
Tak ada sahutan yang Chika rasakan, malah yang dirinya lihat Dirga tersenyum. "Kenapa?" tanya Chika.
Dirga menggelengkan kepalanya, jarinya menyapu rambut legamnya ke belakang.
"Begitu, perempuan itu harus rajin,"
"Tanpa Kak Dirga beritahu, Chika juga sudah mengerti,"
"Kalau begitu, berarti kau siap jika kujadikan istriku," celetuk Dirga tiba-tiba.
Semakin ke sini, Chika merasa obrolan mereka semakin mengarah tentang hubungan keduanya. Entahlah, hingga saat ini perasaan Chika masih sama terhadap Dirga—perasaan antara adik dengan kakaknya.
Satu sisi, Chika tak ingin menyakiti perasaan Dirga semisal ia selalu membantah ungkapan sayang Dirga. Gadis itu cukup tahu diri, Dirga yang selalu menemaninya.
Terlihat dari layar ponsel Dirga melambaikan tangan kepada Chika yang melamun. Hingga beberapa kali Dirga memanggil nama Chika, barulah gadis itu sadar. Berusaha untuk mengubah topik pembicaraan.
"Rambut Kak Dirga dipotong, ya. Sudah panjang," titahnya.
Laki-laki itu hanya mengangguk, tersenyum guna menandakan persetujuan atas perintah yang diberi Chika sebelum menuntaskan kalimatnya.
"Besok, aku berangkat sekolah. Jadi setelah pulang, temani aku potong rambut,"