Sebuah apartemen dengan tiga kamar yang dijadikan sebagai tempat tinggal baru tujuh orang laki-laki yang sebentar lagi harus memulai perjuangannya meraih impian mereka. Empat orang lebih dulu sampai pada apartemen, merapikan barang-barang sambil menunggu ketiga lainnya. Bahkan sampai pembagian kamar, Septian menyarankan untuk semua anggota berkumpul lebih dulu. Agar semua merasa adil dengan kamar yang akan ditempati.
"Aku sedikit merasa kasihan pada Dirga, Bang Nanda, dan Bang Haikal," ucap Jamal tiba-tiba yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian ketiga temannya. "Dirga yang sebentar lagi harus ujian kelulusan, dan kedua Abang yang kusebutkan tadi harus mengerjakan skripsinya. Sedangkan kita harus berjuang demi tujuan kita,"
"Itu resiko yang akan mereka terima. Mau tidak mau juga harus dijalankan keduanya," pungkas Yogi.
Baru beberapa detik hening, suara ketukan mengudara, seseorang mengetuk pintu apartemen. Tubuh yang menjulang tinggi, hampir setara dengan batas tinggi pintu apartemen, menggeret koper biru masuk ke dalam ruangan berisikan empat orang lainnya—Nanda baru saja datang. "Ah, akhirnya aku sampai," katanya saat menjatuhkan diri pada sofa sebelah Tomi yang sedang bermain game online. Seketika itu juga Tomi melirik pribadi berbadan besar disampingnya yang baru saja membuatnya kalah bermain.
"Kau membuatku kalah," ucap Tomi melihatkan ponselnya pada Nanda.
"Oh, maaf" dengan wajah yang kejut sekaligus bingung. Kedua maniknya mengitari seisi ruangan. Cukup besar untuk tujuh orang. Pikirnya, mereka harus bisa belajar berbagi dan bersabar. Birainya juga tersenyum kala melihat seorang nenek yang sedang menikmati udara di balkon apartemen seberang. Ya, mungkin setiap pagi Nanda akan memberikan ucapan selamat pagi pada nenek tua itu.
Suara derap langkah kembali terdengar, namun itu berasal dari sang manajer. "Selamat datang di apartemen kalian. Maaf aku baru bisa memberikan satu apartemen untuk kalian bertujuh," jedanya memperhatikan setiap anggota Goldie. "Kemana Haikal dan Dirga?"
"Mereka belum datang, mungkin sebentar lagi," kali ini Jamal yang menjawab dan hanya dibalas anggukan oleh Caroline.
Sang manajer hanya mengangguk, mungkin lima orang yang ada dihadapannya tidak tahu, jika ini adalah salah satu rencana Caroline yang berhasil. Memisahkan Dirga dan Chika lebih dulu, agar tidak memiliki waktu berdua. Maka dengan begitu, Caroline bisa dengan mudah mendekati Dirga. Kalian tunggu rencanaku lainnya, ya—batin Caroline.
Jika dibilang licik, jelas perempuan itu licik. Atau mungkin bukan dia yang licik, tapi anggota Goldie saja yang terlalu gampang untuk ditipu. Seharusnya, jadwal mereka untuk pindah itu sekitar dua atau tiga bulan lagi. Namun, bukankah semakin cepat semakin baik? Semakin baik untuk Caroline menjalankan rencana-rencananya. Ah, batinnya sampai tertawa keras, hingga tak ada yang mendengar seorangpun.
Tepat setelahnya, Dirga dan Haikal datang bersamaan. Sedikit kesulitan mencari apartemen mereka. Jujur saja, Dirga tak tahu lantai berapa apartemen milik mereka, dia hanya mengandalkan Haikal yang tadi sempat mencari ponsel untuk menghubungi Nanda hanya untuk bertanya.
"Maaf kami terlambat," ucap Dirga sedikit terkekeh.
"Kenapa kau datang-datang tertawa begitu?" tanya Septian.
Mengingat beberapa menit lalu, saat Haikal yang salah membawa koper milik wanita lain yang sama seperti koper miliknya. Bahkan Haikal dan juga wanita itu beradu mulut didepan lift. Haikal juga bersikeras bahwa koper yang ia pegang adalah miliknya, sampai sang wanita membuka koper itu yang rupanya berisikan pakaian dalam wanita.
"Dan Bang Haikal jadi malu sendiri,"
Seisi ruangan ikut menertawai Haikal yang wajahnya sudah malu total. Bukannya marah karena temannya meledek, Haikal malah menambahkan cerita jika salah satu pipinya juga ditampar oleh wanita tadi.
"Sudah, sekarang kalian lebih baik berisitirahat," ucap Caroline.
Sebagai anggota yang tertua, Septian lantas berdiri untuk membicarakan pembagian kamar. Saat Dirga angkat bicara memilih sekamar dengan Haikal, tiba-tiba sang manajer menyela percakapan mereka. Ia berkata jika kasur dari per kamar itu tidak terlalu besar.
"Pikirkan ukuran tubuh kalian. Jadi, kurasa lebih baik Dirga satu kamar dengan Jamal,"
"Kurasa benar apa yang dikatakan O..lin," ungkap Nanda masih sedikit canggung memanggil manajernya dengan nama langsung.
Hasil dari pembagian kamar tadi sudah jelas, Dirga bersama Jamal, Haikal bersama Tomi, Septian bersama Yogi, dan Nanda akan tidur dikasur kecil tambahan yang berada di kamar Septian dan Yogi. Sebenarnya Jamal juga sudah menawarkan agar dia yang akan tidur dikasur tambahan itu, sayangnya Nanda tetap menolak dengan alibi ada hal yang ingin didiskusikan dengan kedua teman tertuanya. Anggota lain juga tak ingin ikut campur jika itu memang pilihan sang pemimpin.
Anggap saja mereka sedang belajar mandiri tanpa fasilitas orang tua. Dimana mereka benar-benar memulai hidup dari awal, dan harus merasakan kerasnya perjuangan menggapai mimpi.
"Ya sudah, beristirahatlah kalian. Aku akan kembali beberapa hari lagi," pamit Caroline pada Goldie.
Baru saja membalikkan badannya, Caroline kembali berucap menghadap Dirga. "Dirga, tolong awasi Jamal. Jika dia nakal, tarik saja telinganya," dengan senyuman itu mampu membuat Jamal tersipu.
Memang, akhir-akhir ini Caroline dan Jamal sering bertukar pesan. Mereka sama-sama diuntungkan. Jamal yang bisa mendekati Caroline, dan Caroline bisa memperoleh informasi tentang Dirga dari Jamal.
***
"Bang, ada yang ingin aku bicarakan," adalah Nanda yang baru saja bangkit dari tidurnya. Tidak, mereka bertiga belum tidur. Mungkin karena ini kali pertama mereka berada di kamar yang sama. Jadi mereka lebih banyak berbicara.
Septian yang menyadari raut kebimbangan Nanda, akhirnya angkat bicara. "Ada apa? Kau kenapa?" tanyanya.
Pintu kamar mandi baru saja berderit terbuka, menandakan seseorang baru saja selesai dengan urusan didalamnya. Ya, siapa lagi jika bukan Yogi? Melihat kedua temannya nampak serius, ia mendekati untuk bergabung.
"Jadi, beberapa hari lalu-" baru saja empat kata yang keluar dari bibir Nanda, Yogi langsung memotongnya.
"Bicarakan itu besok saja, lebih baik kita rapikan ini semua,"
Mengerti maksud ucapan Yogi, Nanda mengangguk kecil sebagai balasan. Mereka bertiga saling menatap tak ingin meneruskan pembicaraan. Anggapan Yogi, mereka belum mengenal apartemen mereka yang baru, jadi waspada lebih penting untuk saat ini.
Nanda maupun Yogi tiba-tiba terlonjak sembari bertukar pandang saat mendengar Septian meracau sebab kurangnya pakaian yang dibawa. "Wah, apa aku harus kembali ke rumahku untuk mengambil pakaian dalamku?" racaunya. Tangannya juga sudah mengobrak-abrik isi koper. Dan memang, dirinya hanya membawa dua setel pakaian dalam.
Dikamar lain, tentu Nanda mengirimkan pesan untuk berhati-hati dalam bicara sebelum benar-benar mengenal apartemen ini. Hanya saja itu tak berlaku untuk kamar Dirga dan Jamal, dimana mereka sama sekali tak menyentuh ponsel masing-masing.
"Bagaimana hubunganmu dengan Chika?" Jamal memulai perbincangan diantara keduanya.
"Baik-baik saja," jawabnya singkat.
Jamal tertawa, apa yang dibicarakan Dirga barusan adalah suatu fakta yang berbanding terbalik. "Jika baik-baik saja, kau pasti sudah memegang ponselmu sejak tadi,"