"Kapan lo balik?" tanya meminta kepastian. "Bulan depan," Devan mengangkat alisnya bingung.
"Kok lama, kenapa enggak minggu ini aja?" tanya Devan lagi, eseorang disambungan telepon hanya tertawa hambar "Gue banyak urusan disini, dan masalah lo bukan urusan gue," jawabnya lagi, Drvan memutar bola matanya malas.
"Aldi udah punya pacar, kalau lo mau pulang minggu ini juga gue bakal kasih tahu informasi siapa pacar baru Aldi," Devan terkekeh, bisa Devan bayangkan jika Sana sedang diam berpikir sangat jauh
"Gue lebih percaya Aldi daripada mulut lo, selain lihat lo ada dua kepala lo juga banyak isinya," Devan terkekeh mendengarnya. "Suatu kehormatan terbesar bisa dipuji sama lo, Na," Sana memutar bola matanya malas disana.
"Lo akan lebih percaya kalau lo bisa lihat sendiri pakai mata telanjang lo disini," Salsha membuang nafasnya lelah. "Gue sibuk, kalau lo telpon gue cuma mau bilang kalau bahas Aldi lo buang-buang waktu gue,"
"Apa lo lupa kalau gue pacar lo dan lo selalu ngebahas Aldi jelas-kelas Aldi itu mantan pacar gue," Devan terkekeh, benar juga.
"Ge, lo tahu gue sayang banget sama lo kan?" Sana memutar bola matanya malas, lagi-lagi kata-kata itu dan Sana malas mendengarnya.
"Lo tahu Van, gue sayang sama lo, lebih dari gue sayang ke Aldi, tapi lo harus tahu juga kalau gue juga capek kalau lo terus bahas Aldi sedangkan kita berdua pacaran, lo enggak bisa menghormati gue sebagai pacar lo?" Devan terdiam saat mendengar apa yang dikatakan Sana.
"Ge, lo marah?" Sana tertawa miris sekali, selain Devan bodoh dia juga tidak bisa mengerti apa yang sedang dirasakan pacarnya. Devan itu bodoh.
"Van, apa lo tahu. Selain gue sayang sama lo, gue juga bego masih mau percaya sama lo sedangkan lo udah dibodohi sama dady dan teman lo, gue percaya sama lo 1% tapi hati gue lebih dari 100% kenapa lo enggak mau tahu," Sana marah, dia mengeluarkan semua keluhannya pada Devan.
"Berhenti hancurin diri lo sendiri, masih ada gue yang masih ada buat lo setiap menit walaupun gue enggak disana. Gue mau hidup lo lebih baik lagi, gue enggak mau denger lo dalam masalah, apa lo tahu kalau gue disini khawatir banget sama lo?"
"Satu kali aja lo telepon gue dengan bicaraan hubungan kita aja, lupain Aldi. Gue sayang sama lo, dan gue mau lo hidup jadi diri lo sendiri. Kalau lo mau gue pulang hari ini gue bakal pulang, tapi tolong. Pakai alasan lo, bukan Aldi. Gue pacar lo, dan gue sayang sama lo, bukan Aldi. Aldi itu sepupu lo, dan gue sayang sama lo Van,"
Devan mendengarnya, Sana menangis. Dan itu karena Devan lagi. "Gue tutup, jaga diri lo baik-baik. Gue sayang banget sama lo," sambungan telepon terputus begitu saja, dan Devan hanya bisa melihat nanar ponselnya.
•••
"Kenapa Aldi bisa sama kamu, nak?" tanya bunda Aldi pada Salsha sangat bingung. "Seharusnya Aldi kemoterapi hari ini, apa kamu enggak dikasih tahu sama Aldi? bunda cari kemana-mana sampai-sampai ayah harus pulang dari kantor khawatir banget," Salsha menggigit bibirnya gugup.
"Tadi malem Aldi ngajak Salsha jalan, Salsha enggak tahu kalau hari ini jadwal kemoterapi pertanya dia. Aldi bilangnya minggu depan, kenapa tiba-tiba jadi hari ini? Salsha juga bingung bund," Bunda menghela nafasnya pelan, lelah juga menasihati Aldi. Sikap keras kepalanya masih ada dan semakin membesar. Itu gen dari ayahnya yang dominan.
"Maafin Salsha bund, Aldi bilang bukan sekarang. Dan, Salsha juga sempat tanya sama Aldi kalau dia udah minum ibatnya apa belum, tapi Aldi cuma senyum-senyum sendiri tadi bund, Maafin Salsha," Bunda berjalan lebih mendekat pada Salsha, wanita itu memeluk Salsha dengan lembut.
"Bukan kamu yang salah nak, anak bunda yang keras kepala. Setiap dirumah Aldi enggak mau minum obatnya, sedangkan kalau kamu Aldi mau minum setip hari, selain Aldi keras kepala dia juga terlalu nurut sama kamu dan enggak perduli sama bunda," Bunda tersenyum melihat Salsha salah tingkah.
"Bunda titip Aldi nak, dia memang sedikit kasar kalau lagi marah. Asal kamu tahu, Aldi sebenarnya anak penurut," Salsha mengangguk, kedunya duduk diruang tunggu menunggu selesai kemoterapi.
Wiga mengajak Salsha untuk mengikutinya, Salsha mengangguk. Mereka berdua berjalan dengan saling diam sampai taman belakang Rumah Sakit.
"Gue tahu lo mau ngomong apa," Salsha lebih dulu angjat bicara sebelum Wiga mengatakan ala yang dia katakan lebih dulu. "Gue enggak nyalahin lo,"
"Tapi, apa lo bego sampai enggaj tahu jadwal kemoterapi pacar lo sendiri?" Salsha dibuat terdiam dengan ucapan Wiga. "Diem lo enggak merubah keadaan," Salsha menunduk merasa bersalah. "Gue tahu, tapi Aldi bilang ke gue minggu depan,"
"Kalo lo tahu dan lo sadar kalau Aldi bohongin lo berhenti ngerepotin Ald, sikap manja lo juga berlebihan. Gue mau lo dewasa sedikit, dengan lo dewasa cukup mempercepat penyembuhan Aldi. Apa lo mau Aldi mati karena ke egoisan lo?" Salsha diam, dia kembali memikirkan sesuatu.
'Apa selama ini gue ngerepotin Aldi?'
•••
"Ada apa?" tanyq Ayah Aldi dengan wjaah datar saat adiknya dengan sopan menemuinya di Rumah sakit dengan pakaian formal. "Meminta suntikan dana pada perusahanku, kak," Ayah Aldi hanya mengangguk sangat percaya pada adiknya. Tapi memang, setiap dua bulan sekali adiknya selalu meminta suntikan dana, entah apa yang terjadi pada sebagai adik yang baik juga dia membantu. "Berapa?"
"100 milyar," Ayah Aldi memutar bola matanya, 100 milyar lagi. Dengan mengeluarkan satu cek miliknya ayah Aldi menulis 100 milyar dan menandatanganinya. "Ada masalah apa dengan perusahaanmu sampai membuat perusahanmu meminta suntikan dana sebanyak ini lagi?"
"Alqra''cop menarik semua sahamnya dan membuat perusahanku menjadi ingin tenggelam,"
"Lelucon lucu," komenyar ayah aldi, dia menyerahkan cek itu dengan kembali berbicara. "Saya tidak akan percaya untuk ke sekian kalinya lagi untuk besok,"
"Kenapa? Bukannya kakak mau membantuku merintis karirku dengan mengurus perusahaan?" tanya adiknya dengan wajah bingung. "Dan kau mengacaukan perusahaan saya demi obsesi gilamu dengan barang haram?"
"Kak, aku butuh uang," Ayah Aldi memutar matanya malas sekali. "Kau berusaha mempermainkan belas kasihan kakakmu begitu?"
"Ambil kertas sobek ini jika kau masih memiliki malu, kau merusak anak saya dan menguras uang saya. Apa kau masih berniat membuat keponakanmu mati karena barang haram itu iya?" Pria paruh baya itu berdecit sebal.
"Menyerahlah, saya memaafkanmu sebagai kakak. Perbaiki hidupmu, atau aku akan menghancurkan masa depan anakmu,"