"Kamu kenapa?" Nita mengelus pelan rambut berantakan Wiga karena pacarnya hanya diam saja, "Maaf selama ini aku egois sama hubungan kita, maaf aku selalu ngekang kamu, maafin aku selama ini aku buat kamu enggak nyaman. Sejujurnya, aku cuma mau kamu enggap berpaling dari aku, itu aja," Jita terkekeh, dia melihat wajah Wiga dengan banyak sekali sekali penyesalan.
"Aku enggak keberatan," Nita tersenyum manis pada Wiga, sayangnya bukan jawaban ini yang Wuga inginkan. Wiga mau Nita merasa keberatan dan memarahinya, Wiga juga ingin Nita memohon padanya untuk merubah sikap buruknya ini.
"Kenapa kamu enggak marah? aku egois dan kamu biarin aku gitu aja?" tanya Wiga bingung, Nita tertawa melihatnya. "Aku suka semua posesif kamu, aku bukan ngebiarin kamu egoia ke semua hal. Aku ngebiarin kamu egois ke aku aja itu enggak masalah buat aku,"
Aku enggak apa-apa selagi itu di jalan yang benar. Selagi tiu enggaj merugikan orang lain aku masih menganggap itu hal wajar," sambung Nita dengan mencium tangan Wiga ditengah keheningan.
"Aku nyaman saat kamu egois ke aku, mungkin aku ada masanya capek tapi setelah aku pikir-pikir. Itu lebih baik daripada kamu perhatiin orang lain," Wiga tersenyum mendengarnya, alasan yang bagus ternyata. Wiga bahagia detik ini.
"Apa kamu enggak apa-apa?" Nita menganggukannkepalanya tegas, dia mengelus wajah Wiga berkeringat. "Aku pusing sekarang," Wiga angkat bicara
"Tadi ayah telfon aku," Nita mengangguk, kemudian dia memeluk leher Wiga lembut menunggu cerita selanjutnya. "Dia minta aku buat pulang ke rumah," Wiga menghela nafasnya pelan menunduk sangat bimbang.
"Kenapa? apa kamu masih enggak mau pulang? kungkin aja ayah kamu kangen sama kamu," Wiga memutar bola matanya malas. "Buat apa aku pulang, aku enggak suka di rumah. Lagipula kalau aku enggak pintar dibagian akdemik apa aku juga harus dikucilkan d rumahku sendiri juga?" tanya Wiga dengan wajah kesal, Nita menggelengkan kepalanya.
"Dibanding-bandingkan emang masalah terburuk, aku bersyukur aku anak satu-satunya. Tapi tekanan aku juga ada, jalani aja. Selagi kamu bisa menerimanya untuk pelajaran hidup sehari-hari menurut aku itu enggak masalah,"
"Mungkin, tapi menurut aku semua itu berat," Nita tertawa konyol saat itu. "Apa menurut kamu aku bisa hidup tenang? aku sama kamu sebenernya sama. Aku tertekan dirumah, bedanya aku menjalani tekanan itu sebagai keseharianku. Sedangkan kamu lebih ke banyak berpikir jauh sedangkan masalah belum datang secapt itu,"
"Jadi jawab pertanyaan aku, kapan kamu mau damai sama ayah kamu?" Wiga menggelengkan kepalanya tidak tahu. "Hubungi aku kalau kamu udah berdamai sama ayah kamu," Wiga menghela nafasnya pasrah.
"Aku enggak bisa jamin bisa selesaikan masalah aku secepat itu," Nita menepuk-nepuk kepala Wiga pelan sekali sampai seperti tidak menyentuhnya. "Kenapa?"
"Aku enggak suka sama kakak tiriku," Nita mengangguk paham mendengar keluhan oacarnya "Kakak kamu jahat sama kamu?" Wiga menggelengkan kepalanya, tidak. Mungkin belum, tapi Wiga tidak memikirkannya jika Sadewa akan memberi dampak buruk padanya.
"Sadewa, dia kakak tiri aku," Nita terkejut bukan main,jadi ini alasannya Sadewa memberi wejangan padanya jauh-jauh hari. "Dewa?" Wajah Nita sangat terkejut saat ini. "Iya, Sadewa Mahardika," Satu fakta mengejutkannya hari ini.
•••
"Aku suapin?" tanya Salsha saat Aldi melihat makanannya dengan diam. Sayangnya yang Aldi tangkap justru tidak seperti yang Salsha harapkan. Sehatusnya
Kesalnya Aldi, dia bukan koma atau melewati masa kritisnya setelah kecelakaan besar. Bukankah tangannya juga masih bisa mengangjat sendok, kenaoa juga Aldi harus diusapi? Satu kali lagi, Aldi tidak lumpuh.
"Aku bisa sendiri yang, kamu jangan berlebihan," ucap Aldi cepat mengambil sendok dari tangan Salsha, Aldi semakin kesal saat Salsha terus-terusan memperhatikannya terlalu berlebihan. "Aku cuma mau bantu kamu, bukan berarti aku bilang kalau enggak bisa ngapa-ngapain," Aldi mengendikan bahunya acuh, dia mengambil makanannya dengan pelan dan mengunyahnya.
Oh ayolah, Aldi tidak membutuhkanbmakanan langsung telan seperti nenek-nenek. Aldi masih sehat dan giginya masih utuh, kenaoa juga harus diberikan makanan lembek seperti ini. Aldi mengeluarkan makanannya lagi setelah memasukannya kesatu tempat yang sama.
"Makanan apaanini, enggak ada rasanya," Aldi melempar sendoknya kesal, Salsha mengelus dadanya "Kasih ke susternya, aku enggak mau makan makanan orang yang enggak punya gigi sama lidah. Aku masih normal ya, bukan habis mati suri,"
"Ya ampun yang, sabar dong. Ini juga makanan dari rumah sakit ya emang gini, kamu kok jadi emosian," Salsha ikut kesal saat Aldi mulai mengonteri semua hal yang berada didekatnya.
"Aku cuma abis terapi, bukan abis koma satu tahun. Semua tindakan kamu, bunda, sama pelayanan di rumah sakit ini memperlakukan aku berlebihan, aku enggak suka ya sama semua ini,"
"Sabar, coba kamu tarik nafas terus mmhembuskan, jangan marah-marah mulu," Salsha terus mengelus dada Aldi dengan pelan. "Kita semua sayang sama kamu, karena itu kita perlakukan kamu kaya gini,"
"Kamu manjain aku karena kamu pikir aku enggak bisa sembuh kan? teru kamu juga terus-terusan oerhatiin kamu karena kamu pikir kalau aku akan mati setelah beberapa bulan lagi? Jangan gini, kamu pikir aku mau sakit kaya gini? kamu pikir aku suka-suka aja kamu perlakukan selemah ini? aku kuat Sal, dan aku benci dipandang lemah. Apa enggak cukup bunda aja yang perlakukan aku kaya gini? awalnya aku pikir kamu enggak akan ikut-ikut bunda. Kenapa kamu khawatir berlebihan, kamu enggak peecaya sama aku. Iya?"
Oke, sepertinya Aldi sangat marah sekarang. "Sayang," panggil Salsha mengelus pelan lengan Aldi lembut.
"Aku percaya sepenuhnya sama kamu, sampai aku pikir kamu memang orang yang paling kuat didunia ini. Aku sayang banget sama kamu, sampai rasa-rasanya aku takut kehilangan kamu. Wiga bilang sama aku kalau akhir-akhi ini aku terlalu manja sama kamu. Aku cuma enggak mau aku ngerepotin kamu, itu aja," Aldi memutar bola matanya malas.
"Jadi maksud kamu, kamu aku aku repotin selagi aku masih sakit, begitu?" Salsha menggelengkan kepalanya sangat khawatir.
"Aku takut aku kehilangan kamu, aku takut kalau Wiga nyalahin aku lagi karena kamu sakit. Wiga sayang banget sama kamu sampai-sampai dia terus marah-marah ke aku karena khawatir banget sama kamu," Aldi melirik Salsha tidak berminat.
"Tinggalin aku sendiri," Salsha menggelengkan kepalanya tidak setuju, dia memeluk Aldi dengan posesif sekarang. "Aku enggak bermaksud memojokan Wiga. Tapi yang, aku terima amarah Wiga karena dia khawatir. Aku enggak takut sama dia, aku cuma takut kehilangan kamu. Itu aja," Aldi menghela nafasnya pelan.
"Maaf, aku emosian tadi," ucap Aldi melembut, dia memeluk Salsha balik dengan pelan. "Aku enggak suka kamu terlalu berpikir kalau aku selemah itu," Salsha mengangguk memakluminya.
"Aku lebih suka pacar yang manis hari ini, mau jadi pacar yang manis sayang?" tanya Salsha membuat Aldi tertawa kecil mendengarnya. Salsha merapikan rambut Aldi saat Aldi memeluknya semakin erat.
pintu terbuka begitu saja, ada Wiga dengan pakaian santainya. Rambutnya berantakan dan wajah sedikit berisi, Aldi melihatnya lebih dulu.
"Aku mau mau cemilan, bisa beliin aku cemilan di depan?" Salsha mengangguk dan melepaskan pelukan keduanya dan saat itu juga Salsha melihat Wiga. "Uangnya?" Aldi tersenyum melihat Salsha menengadahkanntangannya meminta.
"Ambil di baju laci," Salsha memgangguk, setelah mengambilnya Salsha berjalan mendekati Wiga dengan mengelus pundaknya pelan. "Ada apa?"
"Ayah nyuruh gue balik ke rumah,," Aldi mengerutkan keningnya. "Bukannya dia yang ngusir lo, kenapa dia juga yang nyuruh lo balik?" Wiga mengendikan bahunya tidak tahu.
"Apa lagi, gue yakin bukan cuma itu aja ayah lo telpon," Aldi menyarankan Wiga untuk duduk disamping ranjangnya. "Dia tahu hubungan gue sama Nita, dan selebihnya," lanjutnya lagi. "Kalau lo enggak pulang?"
"Ayah bisa aja celakai orang-orang dideket gue, dimana aja dan kapan aja. Itu yang ayah bilang," Aldi memutar bola matanya malas. "Lo enggak perlu perduliin itu kalau lo masih belum mau ketemu sama ayah lo," Wiga menggelengkan kepalanya membuat Aldi bingung. "Gue serius, bisa aja Salsha celaka," ucap Wiga meyakinkan Aldi untuk percaya padanya.
"Kenapa ayah lo bawa-bawa Salsha, dia pacar gue dan gue enggak ada masalah sama ayah lo," Wiga menundukan kepalany takit mengatakan yang sebenarnya.
"Kakak tiri gue yang ngasih tahu keberadaan gue ke ayah, dan dia mengambil keuntungan juga karena tahu keberadaan gue," Aldi masih tidak paham apa Wiga bicarakan padanya. "Enggak ada urusannya sama pacar gue,"
"Pacar lo mantan pacar kakak tiri gue," Aldi melebarkam matanya sangat terkejut. "Jangan bilang---" Aldi menggantungkan ucapnnya dan Wiga mengangguk cepat.
"Sialan, jadi selama ini gue menampung pengkhianat!"