SATU HARI SEBELUM DUA TAHUN YANG LALU.
"Bersikaplah seperti anak yang terdidik dari orang tua yang terdidik Gara," Wiga lagi-lagi dibentak ayahnya hanya karena tidak menyapanya hari ini. Wiga malas, kenapa juga haru dibentak. Apa ayahnya pikir Wiga tidak mendengarnya? seharusnya ayah membentaj dan menjewer telinganya saat Wiga kabur dari rumah, kenapa baru saja kemarin Wiga pulang sudah datang lagi masalah yang lebih sulit. Wiga memutar bola matanya malas.
Apa ini aneh, apa Wiga harus mengatakan jika dirinya tidak terdidik karena ayahnya juga tidak bisa mendidiknya dengan benar? atau justru Wiga harus mengatakan yang sebenarnya jika keluarganya juga sudah hancur karena ayahnya tidak bisa mempertahankan keluarganya begitu?
Jangan keluarganya jika itu terlalu jauh, coba ayahnya bisa mengontrol dirinya sendiri yang berantakan keluarganya tidak akan sehancur ini. Jika saja ayahnya tidak bermain gila, Sadewa tidak akan hadir dan mama Sadewa yang sedang duduk disana juga tidak akan dibenci oleh Wiga. Kenapa ayahnya tidak pernah memikirkan itu, kenapa dia masih egois.
"Berhenti memberi seseorang untuk membuntutiku di sekolah dan dimana saja," Sedikit saja Wiga tidak risih, tapi banyak teman-teman disekelilingnya merasa tidak nyaman.
Ke kamar mandi sekolah, mereka berlima mengikuti Wiga dengan alasan yang terdengar menyebalkan di telinganya. 'Ini tugas dari tuan, dan saya kira kita sama sama 'memiliki' jadi saya akan selalu ikut,' Dasar gila!
"Permintaan ditolak!" Ayahnya menjentikkan jarinya keberatan. "Menjengkelkan, kau itu orang tua atau polisi!"
"Apa yang kamu katakan, kamu anakku. Aku yang membuatnya," Wiga memutar bola matanya malas saat mendengarnya, iya. Satu ayah membuat dua anak dari dua wanita yang berbeda.
"Dan saya tegaskan lagi, kau memperlakukanku seperti narapidana!" Pria yang sedang duduk di kursinya mulai berdiri. Lagi?
"Berhentilah, jika kamu semakin keras menolak semua yang ayah berikan itu akan semakin membuatmu merasa tidak nyaman," Ayahnya berjalan mendekati Wiga untuk mengelus puncak kepala anaknya. Anak yang dubanggakannya dari kecil, sayangnya Wiga menepisnya kasar.
"Saya keras karena kau sendiri yang memintanya, bukankah kau menginginkan anak seperti ini? pembangkang, dan tidak suka diatur. Begitu ayah?" Pria paruh baya itu melepas kacamatanya untuk mwnghilangkan peningnya.
"Disana tempat pintunya, walaupun setiap hari kamu terus protes, ayah akan tetap memperlakukan itu padamu. Permintaan ayah hanya kamu mengakui kakak dan mamah mu, ayah akan mengembalikan masa bebasmu," Ayahnya mengatakannya dengan sangat tegas, masih diposisi yang sama Wiga hanya melirik pintu yang di tunjuk padanya tidak berminat.
"Hukumanku saja seperti pengedar narkoba, bagaimana bisa yang 'katanya seorang ayah' memperlakukan anaknya seperti ini, memaksa anaknya menerima perbuatan dosa ayahnya? perlakuan mana yang bodoh, kau yang berhasil berselingkuh dan mempunyai anak haram, dan aku yang kehilangan bunda. Begitu?" tanya Wiga dengan mata kosong, dia menatap datar pada ayahnya dengan tatapan sulit diartikan.
"Kejadiannya sudah lama, dan cobalah melupakanya. Hiduplah seperti biasa, dan ayah mengakui kesalahan ayah. Harus berapa kali ayah meminta maaf dan meminta perdamaian darimu?" Wiga tersenyum sinis, bibirnya menjadi smirk yang mengerikan pada ayahnya.
"Setidaknya kau mudah melupakanya, kau hanya kerja setelah menanam benih yang sekarang sudah menjadi anak yang bisa mengucapkan fakta sesungguhnya, dia sedang berdiri di depanmu dan kau hidup diluar negeri dengan selingkuhanmu. Selama hidupku, aku hanya hidup dengan bunda. Dan peran ayah didalam hidupku hanya sebagai penopang hidup melalui uang? Iya kan? JAWAB IYA. Karna selama saya bersekolah kau tidak pernah ke sekolahku!"
"Urus saja anak dan selingkuhanmu! Buang rasa bersalahmu mengenaiku, buang rasa cinta dan pembiayaan semua hidup terhadapku!" teriak Wiga dengan wajah memerah, marahnya hampir penuh sekarang. Bahkan jika dikartun akan muncul asap dari ubun-ubunnya dan keluar api dari kedua lubang hidungnya. Ini level maksimum.
"Apa yang kau katakan!!" jawab ayahnya melayangkan protes. "Saya berbicara apa yang terjadi, buang saya seperti waktu itu. Lakukan satu kali lagi, agar aku melupakan marga yang menempel dibelakang namaku!"
Jarak satu centimeter aja wajah Wiga dengan layangan tangan seorang ayah pada pipi anaknya, hampir saja kepercayaan seorang ayah pada dirinya benar-benar akan menghilang jika terjadi sesuatu pada anaknya saat ini.
"Lakukan, bukankah kau sudah merusak semuanya. Pertama bunda, kedua keluarga baruku, dan selanjutnya pacarku, ada lagi? Bunuh saja, percuma juga jika aku hidup hanya untuk mati," Pria yang sedang menahan marahnya menjatuhkan tangan kembali.
"Berhenti berbicara seakan-akan hanya kamu yang tersakiti akan kepergian bunda mu, nak," Wiga tertawa ringan sekali.
"Berhenti? Saat bunda meninggal saja kau sebagai suami justru pergi meninggalkan anaknya dirumah sendirian tanpa uang, bagaimana bisa aku melupakan semua penderitaanku sendirian. Dan dengan hebatnya lagi, justru seorang ayah membawa selingkuhannya eh ralat," Wiga menutup mulutnya dengan senyuman remehnya.
"Pelacur dan anaknya ke eumah istri pertamanya yang sudah meninggal dan menyatukannya denganku? Anak kandungnya. Tidak akan pernah terjadi ayah, jangan membuat lelucon. Ini membuatku tertawa,"
"Dulu aku suaminya, aku punya luka sendiri tentang kehilangan istri!" Ayahnya ikut terpancing saat Wiga mulai berbicara tentang rasa sakitnya "Dulu? Sekarang sudah tidak ada. Luka sendiri? Perluku ingatkan? Kau masih mempuanyai istri lainnya," Wiga menekan ucapannya beberapa kali.
"GARA!!"
"Berhenti memanggilku Gara, aku Wiga. Garamu telah mati empat tahun yang lalu!"
BRAK
Wiga membanting pintu kerja ayahnya dengan keras dan berjalan keluar menuju kamarnya mengambil kunci mobilnya dan berlalu pergi.
Dia harus pergi dari rumah, pulang hanya untuk bertengkar? Rumah ini memang sialan!
•••
"Wuah, ada seorang penghianat disini," ucap Devan yang berjalan memutari Wiga yang baru saja masuk satu langkah dari markas mereka.
Sebenarnya markas adalah rumahnya, selain Wiga tinggal di rumah Aldi, Wiga lebih nyaman tinggal di markas dengan teman-temannya yang memiliki nasib sama sepertinya. Sekarang bahkan dirinya sudah melihat Aldi sedang duduk dengan memegang ponselnya dengan penutup jaketnya penuh menutupi wajahnya.
Wiga tidak menghiraukan Devan, dia berjalan masuk meninggalkan suasana hening dan langsung pergi menuju atap rumah paling atas.
"Lo nginep lagi?" Itu suara Aldo, mau tidak mau Wiga menjawab dengan anggukan. "Markas masih bisa nampung gue lagi kan? Anggep aja gue gelandangan baru," Cowok dengan goresan di ibu jari tangan kiri berhasil memukul kepala Wiga. "Bangsat."
"Awal mula lo ketemu Aldi juga lo gelandangan," Wiga memonyongkan bibirnya kesal, Wiga menghela nafasnya lelah sekali.
"Lo ada rokok?" Aldi mengangguk mengambilnya dari saku kanan celana panjangnya. "Satu aja, gue baru beli," Wiga sedikit setelah menerima satu batang rokok dari temannya.
"Gue disini enggak selama kalian kan? jadi se gelandangannya gue masih tetep lebih lama lo," Aldi tertawa seraya memukul kepala Wiga pelan.
Mata Wiga beredar cukup teliti saat melihat satu cowok duduk dipojok atap. "Siapa?" tanya Wiga pada Aldo dengan dagunya.
"Rio, dia anak baru. Aldi yang bawa dia, Aldi bilang dia korban keroyokan malam. Gue masih kurang yakin soal itu, dia sering banget bareng Devan," Wiga membuang wjaahnya saat Rio terus-terusan melihatnya dengan jelas. Ingatkan Wiga untuk mencari asal-usulnya nanti.
"Dia lihatin gue terus, kayanya dia enggak suka sama gue," ucap Wiga dengan menghisap rokok di tangannya. Aldo mengangguk. "Lo tenang aja, ada gue yang bisa lindungin lo selain Aldi," Wiga menghela nafasnya sekarang.
•••
"Lo enggak perlu ikut campur urusan gue," Aldi melirik Devan yang duduk disebelahnya.
"Gue cuma mempertegas kalau seorang penghianat akan tetap penghianat, mau dia baik lagi juga dia pernah penghianat," Aldi memutar bola matanya malas. "Gue enggak izinin lo ikut campur,"
"Jadi gue mohon sama lo, lebih baik tutup mulut, mata sama telinga lo. Masalah gue sama Wiga, bukan sama lo. Paham?" Aldi berdiri meninggalkan Devan di sofa sendirian. 'Aldi, sialan!" apa-apaan dengan Devan.
"Mana cewek lo?" tanya Devan menghentikan langkah Aldi sekarang. "Mau apa lo nanyain cewek gue? Belum puas lo gue buat hampir mati?" Devan berdecit kesal, dia pergi meninggalkan Aldi lebih sulu. Devan kalah!!
"Ya?" Aldi menjawab sambungan telefonnya baru saja tersambung. "Udah makan?" tanya Salsha lembut, sudah menjad rutinitas malamn di jam delapan pas menelfon Aldi hanya untuk menanyakan makan. Tidak romantis? memang.
"Belum," Aldi mendengar helaan nafasnya kasar dari Salsha. "Kenapa?" Tanya Aldi yang justru tidak mendapat jawaban dari Salsha.
"Marah ya?"
"Enggak,"
"Aku lupa sayang, kamu tahu kan. Tadi aku abis main sama anak-anak," Aldi menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. "Main enggak pernah kamu lupain setiap hari, masalah makan aja kamu selalu lupa kalau enggak diingetin," Aldi tertawa gemas saat Salsha sedang memarahinya.
"Kalau aku enggak nelfon kamu setiap malem, aku yakin banget kamu enggak akan makan malem, iya kan?" tanya Salsha yang lagi-lagi membuat Aldi tertawa lebih keras. "Kaya anak kecil tahu enggak?" Aldi total gemas saat ini.
"Kalau aku enggak lupa makan, terus peran kamu sebagai pacar aku apa dong?" tanya Aldi membuat Salsha terdiam menyadari keganjilannya.
"Jadi kamu akal-akalan enggak makan biar bisa di telfon sama aku setiap hari, iya?" tanya Salsha setengah marah. "Ya mau gimana lagi," jawab Aldi dengan mengangkat bahunya acuh. Sambungan terputus sepihak, Aldi sudah sangat yakin jika sekarang pacarnya benar-benar kesal padanya. Dia kembali menekan tombol hijau didepan layar ponselnya.
"APA LAGI??" tanya Salsha marah dengan sedikit berteriak.
"Dari pada marah-marah, mendingan kita pergi keluar aja ayo. Makan bareng," ajak Aldi meminta jawaban pada Salsha. "Enggak,"
"Padahal aku sengaja enggak makan malem di rumah buat makan malem bareng sama kamu di luar, udah izin sama bunda juga, entar kalau bunda tanya sama aku, aku udah makan apa belum siapa yang salah coba?" Wajah Salsha sangat kesal sekarang.
"Aku ganti baju dulu,"