"Aws," Aldi meringis saat tubuhnya terasa sedikit kaku dan dirinya memaksakan tubuhnya sendiei untuk duduk. "Sayang, bunda bilang juga apa. Jangan banyak gerak dulu, nak," Bunda menegurnya dengan halus, Aldi hanya berdecit kesal. "Bunda, Aldi cowok. aldi kuat, dan enggak harus rawat inap juga, ayo pulang aja,"
"Telinga kamu dengar kan apa yang dokter bilang? lukanya lumayan parah, dan harus di rawat inap satu dua hari dulu. Sekuat-kuatnya cowok yang namanya badan pasti perlu istirahat, udah kamu tiduran aja," Aldi kembali ingin duduk dengan banyak ringisan yang keluar dari mulutnya.
"Bunda bilang diam ya diam, kamu enggak mau banget cepat sembuh?"
"Bunda ngomel-ngomel mulu, enggak jelas," ucap Aldi membuat bundanya marah. "Enggak jelas gimana, kalau kamu pulang dan kabur dari rumah cuma mau sekolah bisa aja kamu dipulangin gara-gara pingsan disana. Kamu aja takut lihat darah," ejek bunda padanya.
"Enggak!" Bunda memutar bola matanya mengejel. "Terus tadi kenapa? bunda buka pintu kamu udah tiduran didepan pintu?" Aldi mengerucutkan bibirnya.
"Aldi enggak takut sama darah, kalau darahnya enggak sampai netes Aldi enggak akan takut atau pingsan," Bunda tidak percaya mendengarnya, dia melirik Aldi tidak berminat.
"Tadi bilangnya cowok harus kuat, lihat darahnya sendiri netes dua tetes aja udah pingsan, dasar lemah," Bunda menurunkan ibu jarinya lagi.
"Kalau kamu masih lupa bisa bunda ceritain ulang, pas kamu mimisan di kelas empat sekolah dasar loh," aambungnya membuat Aldi sangat kesal. "Bunda enggak asik,"
"Kamu mau makan apa hari ini?" Bunda mengakhiri lelucon dengan anaknya dan berjalan mendekati Aldi mencium keningnya. "Syukurlah bunda ngertiin Aldi kalau Aldi enggak bisa makan bubur Rumah Sakit,"
"Mau chiken boleh gak bund, yang pedes level 15," Satu pukulan keras Aldi dapatkan dari ide konyolnya sendiri. "Lagi sakit, berani makan yang pedas-pedas?" Bunda menggretaknya sangat serius, Aldi hanya bisa diam dan membuang wajahnya malas.
"Mau mie ayam bund, sama roti isi," Bundanya mengangguk menyetujui, dia berjalan keluar dengan menyerahkan satu ponsel baru pada anaknya.
"Itu handphone baru kamu, kemaren ayah enggak sengaja banting handphone kamu karena bunda khawatir. Eh, bukan ayah. Tapi bunda," jelas bunda menutup pintu kamar rawat Aldi.
Aldi mengelus wajahnya kasar.
Bundanya benar benar kelewatan, bukannya menangis atau melakukan hal lain, dia malah membanting ponsel kesayangannya?
"Untung SIM card nya gak sampe remuk," gumam Aldi saat masih melihat semua kontaknya masih yang sama. "Lumayan juga dibeliin handphone baru,"
•••
"Devano," Derik marah pada anaknya, dia membentak keras Devan seperti sangat membencinya. "Apa!" Devan kesal dan membalas berteriak pada dadynya.
"Udah berapa kali dady bilang, jangan cari masalah sama sepupu kamu!" Pria yang dipanggi dady menekan setiap katanya, Derik menghela nafasnya lelah sekali. Apa menurut Devan sudah ditahan di penjara tidak membuatnya takut? apa itu tidak membuat anaknya sadar jika melukai sepupunya sendiri sangat berbahaya, selain pekerjaannya akan hilang bisa saja semua yang dimilikinya sekarang akan hilang.
"ALDI ALDI ALDI, Kenapa si dady belain dia terus. Anak dady itu aku, bukan dia!" kesal Devan dengan menujuk foto keluarga yang terlihat besar dipojok dinding. "DEVAN!" grertaknya lagi yang justru membuat anak berusia delapanbelas tahun itu semakin marah.
"Dady adalah orang tua sialan yang ada disemua lapisan bumi, Devan benar-benar menyesal dilahirkan di keluarga dady ini membunuh Devan secara perlahan,:
"NGOMONG LAGI! DADY BISA KASIH KAMU PELAJARAN YANG MEMBUATVKAMU MENARIK KATA-KATA KAMU DAN MENYESAL MEMINTA MAAF PADA DADY," Drvan memutar bola matanya malas sekali.
"Masih belum jera kamu dipenjara? Mau lebih? Mau dady antar kamu ke tempat yang lebih jauh, iya?" Devan justru melihat mata nyalang dadyny tidak takut sama sekali. "Bagus kalau dady nau antar Devan ke tempay yang jauh, dengan begitu Devan bisa jauh dari dadh dan hidup bahagia,"
"Yang ada di kepala dady cuma uang, uang, dan uang. Apa Dady butuh orang lain? Devan pikir enggak, uang cukup buat dady bernagas lega," sambung Devan melihat dadynya dengan mama tidak bersahabat. "Anak siala!" Dadynya membantak anaknya, jika saja Devan menyalakan sumbunya lagi, Derik benar-benar akan lepas kendali."ANAK SIALAN INI ADALAH ANAK YANG TERLAHIR YANG KELUARGA YANG TIDAK TERDIDIK," Devan menendang guci dirumahnya sangat benci.
"Dady ajarin Devan seperti ini kan? dady sendiri yang buat Devan menjadi anak sialan, selama ini Devan lakukan apa yang dady lakukan juga, ini semua hasil didikan dady, kenala dady marah," Derik melihatnya marah sekali seperti kahabisan kesabaran. "Devan jaga mulut kamu!"
"Harusnya dady yang jaga mulut, selama ini apa yang dady ajarkan ke Devan? Soal dendamzdendam dendam, iya kan? Wajar kalau Devan jadi anak yang enggak ada aturan. Karena orang tua Devan juga enggak ada aturannya,"
"Dady yang ngajarin Devan biar benci sama seseorang, wajar kalau Devan benci sama Aldi. Dia yang selalj dapat perhatian lebih dari dady, apa Devan bukan anak dady?" tanya Devan penasaran, dia menatap dadynya menunggu jawaban. Sayangnya Derik tidak beraksi, Devan kembali menendang kakinya asal karena marah. "Dady memang satu ayah paling sialan dilapisan bumi ini,"
"Kalau orang tua mereka udah enggaj beaik dan menyerupai iblis di rumashnya sendiri, kenala orang itu meminta anaknya menjadi malaikat. Jangan meminta banyak hal yang mustahil, iblis tetap akan mendapatkan iblisnya. Devan kaya gini juga karena didikan Dady juga, jangan pura-pura lupa,"
Derik mengambil satu botol kaca di sampingnya, masih marah dengan apa yang dikatakan anaknya Derik mengarahkan ke salah satu perut anaknya karena tidak terima harga dirinya terus diinjak-injak. "Dady," Devan bergumam pelan saat pecahan laca yang lancip itu benar-benar menembus perut kecilnya, sayangnya Derik belum sadar dengan apa yang dilakukannya.
"Kakak akan menjemputku," Devan kehilangan kesadarannya saat itu juga, saat darah Devan mengenai tangannya Derik baru saja tersadar.
"Nak?" Pria egois itu hanya bisa menyadari kesalahannya karena tidak bisa menjaga emosional terhadap dirinya sendiri.
•••
"Udah tiga hari Aldi enggak masuk," Salsha lemas saat Sadewa menemaninya duduk di depan kelasnya. "Mungkin aja dia lagi adamm masalah keluarga yang benar-benar enggak bisa diganggu,"
Salahkan saja Aldi yang tidak memberi kabar pada Salsha, Salsha tiga hari ini benar-benar diselimuti kekhawatiran berlebihan.
"Hari ini bisa aja Aldi enggak berangkat juga, apa gue ke rumahnya aja ya," Sadewa menggelengkan kepalanya menjawab jika itu tidak perlu. "Apa kabar Nita sekarang?" Salsha menaikan bahunya.
"Kemarin dia berangkat, udah hampir seratu kali gue kasih tahu kalau bukan Wiga oelakunha. Dia tetep dipendiriannya, Nita enggak mau dengar dan masih tetap enggak mau percaya," Salsha menghela nafasnya kasar. "Tolong bilang ke Wiga, gue minta maaf," Sadewa menganggukan kepalanya.
Dunia mempermainkan mereka, Salsha tahu jelas jika Nita hanya mencintai Wiga dan sampai detik ini juga dia masih mencintainya. Tapi semua keluarganya benar-benar tidak menyukai Wiga. Kenapa juga ada seseorang mengirimkan barang seperti kondom setelah pakai dan mengatakan jika itu bekas mereka bermain berdua. Bukankah itu kesalahan fatal?
"Wiga udah baikan?" tanya Salsha juga mengkhawatirkan Wiga, dia sudah menganggap Wiga adiknya juga sebenarnya. "Belum," Sadewa menundukan kepalanya. "Sabat, gue yakin Wiga pasti sembuh," Salsha memberi semangat lada Sadewa dengan memegang bahu Sadewa sebentar. "Ekhem-ekhem,"
Masih belum puas dua hari ini selingkuh dibelakang aku?" tanya Aldi dengan melipat kedua tangannya didepan dadanya. Salsha menarik tangannya saat seseorang datang dengan pakaian lengkal dan satu masker hitam menutupi dagunya saja.
"A-aldi?"