"Gue pindah sekolah ya," Wiga meminta sesuatu pada Sadewa sebagai kakak. "Bukannya lo baru pindah sekolah bulam lama, enggak segampang itu juga lo bisa pindah sekolah kan?" Wuga menghela nafasnya lemas.
"Bujuk ayah lakukan apapun, gue janji bakal turutin apa yang lo mau, gue udah enggak nyaman sekolah disana. Lo mau bantuin gue kan? gue mohon, ayolah. Gue minta bantuan lo sebagai adik lo, gue enggak bisa minta tolong kesiapapun. Ayah enggak akan mau dengerin apa yang gue minta, dia egois. Dan ayah juga yang hancurin hidup gue sampai seburuk ini, lo mau lihat gue kaya gini aja sampai mati?" Sadewa menghela nafasnya berat.
Perbuatan ayah mereka benar-benar keterlaluan, mungkin memang hanya ini jalan terakhir yang bisa ayah mereka lakukam terkadang itu lucu. Sadewa tidak bisa meminta apapun pada ayahnya karena sebenarnya mereka tidak seakrab itu, penilainan Wiga salah. Sadewa tidak sedekat itu, justru Wiga lah yang sangat dekat dengannya. Dengan berkelahi mulut adalah jalan satu-satunya mereka berdua bisa dekat, sayangnya Wiga tidak berpikir sampai sana.
Buruknya lagi, Wiga benar-benar tidak berangkat ke sekolahnya selama lima hari karena malu pada semua orang. Ayah berhasil membuat Wiga nya menurut dan tidak keluar bahkan kamarnya sendiri. Apa ini baik?
"Kenapa lo enggak minta aja ke ayah kalau lo mau pindah sekolah, gue enggak bisa membantu lo terlalu jauh, jalan satu-satunya cuma lo yang minta sendiri. Ayah yang rusak hubungan lo sama Nita kan? lo minta pindah sekolah sebagai tanggung jawab ayah rusak semua yang lo punya," Wiga menjadi lesu, jika Qiga kembali bertemu dengan ayahnya, mereka akan saling memaki-maki lagi, dan jika ayah kembali nekat. "Lo aja, gue enggak yakin,"
Sadewa memegang bahu Wiga pelan. "Gue yakin seratus persen kalau ayah akan terima permintaan lo apapun itu selagi lo enggak berusaha memberontak lagi," Sadewa menegaskan ucapannya.
"Bukanya lebih baik lo yang ngomong, dia pasti langsung--" ucapan Dewa terpotong saat Gara menegakan kepalanya bertumpu pada kepala ranjang, tiba-tiba saja kepalanya seperti kebas, kesemutan dan ada pukulan kuat di kepalanya entah dari mana. Pandangannya tidak memburam namun terlihat jelas jika tiga bulit keringat dingin mulai muncul lagi, Dewa berjalan menuju laci ketiga di sebelahnya dan mengambil satu botol kecil tempat obat yang biasa Wiga konsumsi. Mungkin sekarang akan menjadi teman hidupnya juga.
"Iya-iya, gue akan berusaha semampu gue minta sama ayah," Sadewa mengalah, dia menyerahkan tiga butir obat Wiga dan satu botol minum padanya. Mungkin puncaknya tidak pas, saat baru saja Wiga akan bangun Sadewa menyerahkannya, namun obat itu tidak sengaja terkena siku Wiga tidak sengaja teetangkis. b"Akh, maaf kak," ringis Wiga memegang kepalanya.
•••
"Lo?" Keduanya sama-sama terkejut saat emelihat teman semasa SMA nua justru sedang berdiri di depannya. "Kalian saling kenal?" tanya salah satu orang tua mereka, wajah keduanya mulai berubah. "Wira kamu kenal anak tante?" Yang ditanya hanya bisa menggaruk kepalanya tidak gatal.
"Maaf tante, Wira enggak kenal," ucap cowok itu dengan sedikit meringis saat temannya membiang wajahnya malas. "Tapi Wira pernah lihat anak tante di Supermarket," 'Aish' Wira menyadari jika alasannya sangat konyol, anehnya dia mulai gugup sekarang.
"Jadi, ini anak saya. Wira setuju menerima perjodohannya, dan sepertinya anak kalian sangat cantik," Momy Amara tertawa sedikit canggung dengan menjabat tangan Wira karena salah tingkah.
"Nak Wira, bunda kamu yang merencanakannya sama momy. Saat usia kamu sama Amara dua tahun kalian memang udah kita judohkan, iya kan Ra?" Bunda Wira menganggukan kepalanya tidak kalah semangat.
"Jadi ini yang dady maksud?" Dady Amara menganggukan kepalanya mantap saat anaknya menanyakannya. "Iya, dady terima usul peejodohan momy kamu karena kamu terus-terusan enggak benar sama mantan pacar kamu itu," Amara memutar bola matanya malas. "Ini jalan terbaik buat kamu Kak," Amara mengangguk saja.
"Oh, silahkan. Kalian juga harus saling kenal satu sama lain sebelum ini. Kalian perlu waktu bersama untuk saling mengenal lebih jauh," Amara berdecit sebal. Dia kesal sekali.
"Bisa Wira bicara sama Amara sebentar tante?" Ucapnya yang membuat suasanya tiba tiba menghening. "Jadi lo yang ayah bunda gue jodohin? Lo udah pernah begituan sama W--?"
"Enggak perlu lo perjelas, gue sama Wiga emang main kotor sejak awal. Dan lo terus enggak mau tahu kalau gue sama dia udah berencana pacaran sampai nikah," Amara menabrak pertanyaan Wira cepat-cepat. "Gue enggak akan sia-siakan kesampat gue yang tugan kasih,"
"Gue harus egois kali ini, Nit. Gue enggak akan mau nunggu jawaban lo atau alasan lo lagi," Wira meninggalkan Nita sendirian dengan ucapannya tadi. "WIRARGO SIALAN," Teriak Amara dengan berapi-api, temannya itu memang tidak akan membantunya sama sekali. Dan seharusnya, Nita tidak meminta pembatalan itu pada Argo. Nita yakin hari-harinya akan menjadi bencana.
•••
"Bagus ya," Aldi berkali-kali membuat Salsha gugup. "Sayang, ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Aku sama Sadewa enggak bermaksud buat selingkuh dari kamu, aku bersumpah sayang,"
"Kenapa? lanjutkan aja. Aku cuma mau tahu seberapa kerasnya kamu belain mantan kamu," Mulut Salsha terkunci rapat-rapat sekarang. "Gue sama Salsha enggak ngapa-ngapain, niatnya gue mau ajak dia balikam baik-baik, tapi sayangnya dia sayang banget sama pacarnya," ucap Sadewa ikut menjelaskan. Aldi memutar bola matanya tidak perduli, lucu sekali mulut Sadewa.
"Aku sama Sadewa benar-benar enggak ada bahas lerasaan sama sekali, aku udah enggak ada perasaan lebih sama Sadewa," Aldi melihat pada Sadewa lebih teliti. "Yakin?" tanya Aldi meminta penjelasan pada Salsha. "Iya,"
Aldi sedikit tertawa saat Salsha menarik tangannya untuk pergi menjauh dari Sadewa, ibu jari Salsha mengelus punggu Alsi sangat pelan.
"Tapi aku enggak yakin, jelas daei matanya kalau dia masih berusaha keras rebut kamu dari aku," Aldi menatap Sadewa xukup marah, dia menarik tangan Salsha untuk menjauh dari Sadewa saat itu juga. Hatinya panas. "Munafik kalau gue bisa lupain Salsha secepat itu," ucap Sadewa sendirian.
•••
"Kamu sakit? sakit apa? apa gara-gara waktu itu? preman itu? kenapa kamu enggak bilang sama aku? dua hari ini aku khawatir banget sama kamu," Salsha terus bertanya pada Aldi dengan pertanyaan beruntun. "Aku demam dua hari kemarin, bunda enggak bolehin aku berangkat kemarin," alibi Aldi yang mendapat cubitan keras di perutnya.
"Jawab jujur kenapa, aku sama sekali enggak pernah nutup-nutupin masalah aku ke kamu, kenapa kamu enggak mau terus terang sama aku? saat kamu bilang masalah aku masalahmu juga kenapa kamu enggak melakukan hal yang sama seperti apa yang kamu omongin ke aku?" Salsha membuang wajahnya sedikit marah. "Aku curiga, apa kamu benar-benar enggak tulus sayang sama aku," Salsha membuang nafasnya malas.
"Ada hal besar yang harus cuma aku aja yang tahu, aku tutup-tutupin ke kamu karena aku sayang abnget sama kamu sampai-sampai aku enggak mau lihat kamu khawatir sama aku, Sal," Aldi memberi pengertian pada Salsha dengan mengelus tangan Salsha halus. "Aku tahu kamu benar-benar enggak tulus sama aku, Al,"