"Wiga mana? udah pulang?" Aldi mengangguk masih dengan diamnya. "Ini cemilannya buat siapa?" tanya Salsha meletakan satu plastik besar disamping ranjang Aldi.
"Buat kamu aja, besok aku pulang. Aku enggak akan bisa tidur nyeyak di rumak sakit, diaini bau," Salsha menggelengkan kepalanya lucu. "Kamu umur berapa? kaya anak kecil aja," Aldi mengangkat bahunya tidak perduli.
"Mana makanan aku?" Salsha meengambilnya djsatu kantong lagi, dia mengeluarkan dua kotak bubur agar meeeka berdua makan bersama.
"Yang paket komplit punya aku. Punya kamu yang buburnya banyak." Salsha memisahkan dua kotak bubur itu berjauhan agar Aldi tidak mengambil miliknya.
"Ini pegang, makan sendiri aku juga mau makan," Salsha menyerahkan satu kotak bubur pada Aldi dan Salsha juga mengambil miliknya sendiri. "Ini pegang, katanya mau makan," Salsha mendekatkannkotak itu lebih dekat padanya. Sayangnya Aldi menjauhkan tangannya.
"Ada kamu kan? kenapa aku harus makan sendiri? aku sakit loh sayang," Aldi menaik turunkan alisnya membuat Salshasedikit kesal saat itu.
"Katanya enggak mau disuapin," Aldi tertawa saat Salsha menggerutu padanya. "Tiba-tiba aku lemes, suapin ya. AAAA," Salaha tertawa saat Aldi mempeeagakan mulutnya seperti akan menerima makanan pada bundanya.
"Dih, lemah!" ejek Salsha pada Aldi, namun tidak didengarkan. "Buru bangun, aku juga mau makan tahu," kesal Salsha saat Aldi justru mengambil posisi tidur karena tidak diladeni oleh Aldi. Lucu sekali.
"Tadi bilang enggak mau, kalau enggak mau nyuapin biar aku tidur aja," Aldibmelanjutkan kesalnya dengan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. 'Aish, bayi besar ini!'
"Ngambekan banget si, ayo bangun," Salsha menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh Aldi rapat-rapat.
Pada akhirnya Aldi bangun untuknmenerima suapan sarapannya. "Tinggal buka mulut aja kok susah banget, kaya kakek-kakek," Salsha mempeehatikan wajah Aldi yang menggerutkan alirnya merasakan ada yang aneh dengan rasa buburnya
"Ini beneran bubur ayam? kok rasanya aneh,' komentar Aldi yang ingin membuang bubur itu pada tangannya. "Jangan berani-berani ya kamu keluarin buburnya!" teriak Salsha kesal sudah habis kesabaran.
"Aku harus cobain bubur kamu dulu aini, aku rasa buburnya beda sama punya kamu," Salsha menghela nafasnya pasrah.
"Kamu maunya apa si, dari tadi udah marah-marah, sensi, aku ngomong ini kamu ngomong itu. Aku udah beli bubur ini jauh-jauh dan kamu enggak mau makan? aku capek tqhu enggak si, ish," Salsha meletakan kotak bubur itu di meja samping ranjang.
"Makan sendiri, aku juga capek ya kamu omelin satu hari ini," kesal Salsha mengambil kotak buburnya dan duduk di sofa agak jauh dari Aldi.
"Tapi rasa bubur-buburnya emang beda,'
"Aku yang beli, aku yang sengaja minta bubur versi ini. Ini bukan bubur rumah sakit!"
"Ta--"
"Terserah! Aku enggak perduli kamu mau makan apa enggak, aku udah beliin bubur di luar rumah sakit dan kamu masih enggak mau makan, tidur aja sana," Kesabaran Salsha seperti sudah sangat tipis sekali. Salsha lelah dan malas berdebat, dia mulai makan tidak memperdulikan Aldi. "Maaf," Salsha memutar bola matanya.
"Kemauan kamu engak masuk akal, kamu pikir selesai kemoterapi kamu langsung bisa makan apa aja? apa kamu pikir tubuh kamu langsung bisa beradaptasi semua jenis makanan?" Salsha mengeratkan giginya kesal.
"Kenapa diem aja? dari tadi kamu protes terus sama aku kenaoa sekarang kamu diem. Kamu bener-bener enggak bisa hargain aku yang udah beli jauh-jauh pakai kaki," Aldi mengeratkan kepalannya.
"Kamu kira aku mau kaya gini?" tanya Aldi mengangkat wajahnya meminta jawaban pada Salsha "Yang, maaf," lirih Salshavmerasa bersalah.
"Aku tahu aku lagi lemah sekarang, tapi apa kamu enggak bisa nunda ucapan kamu dulu?"
"Sayang, maaf. Tadi ak--" Aldi menjauh melepas pelukan Salsha yang masih memaksa memeluknya. "Maaf yang, tadi aku," Aldi mendorong Salsha untuk menjauh darinya.
•••
"Memilih pulang juga, nak?" Wiga menghentikan langkahnya, saat suara ayahnya terdengar ditelinganya. "Sudah selesai dengan acara kabur dari rumah?" Wiga berdecit, dia mengeraskan tangannya dengan geram, buku jarinya memutih menandakan dia sangat marah.
"Sampai matipun saya tidak akan mau kembali ke rumah ini jika tidak mendapat ancaman dari seseorang," Ayah Wiga tertawa mendengar jawaban dari anaknya. "Oh satu lagi, jauhkan pelacur dan anaknya dari pandangan saya. Muak rasanya melihat sandiwara kalian bertiga, dasar sampah!" Wiga memutar bola matanya malas, dia berjalan menuju kamarnya siap untuk membanting pintu kamarnya membuat ayahnya kesal.
"Mau kemana kau anak sialan?"
"Berhenti bertanya saat pertanyaan konyol itu sudah kau ketahui jawabanya!" kesal Wiga yang masih saja dipermainakn oleh ayahnya. Ayah mana yang memanggil anaknya, dengan 'anak sialan' mungkin hanya Wigara. "Kamarmu bukan dilantai dua, kamarmu didekat kamar pembantu kamar nomor tiga dari tangga," sambung Ayahnya yang menatap Wiga remeh.
"Jika anda tidak ingin menampung anak kotor ini, lebih baik saya tidur dikolong jembatan selamanya. Berhenti menghakimi seseorang di rumahnya sendiri, atau setidaknya hargai dia jika kau mengambilnya dengan ancaman, bodoh!" ucap Wiga tanpa ekspresi.
"Apa wanita pelacur itu membuat seorang ayah menjadi sangat ingin menyiksa anak kandungnya sendiri dirumahnya sendiri? terimakasih," ucap Wiga penuh miteri, ucapannya penuh teka-teki yang sulit dipahami. "Ucapanmu sungguh tajam nak, dia tidak seburuk itu,"
"Ucapkan sampai sepuluh ribu kali, dan saat kau menemui ajalmu baru saya percaya jika kau ayahku yang sangat mengenaskan tidak mengakui kesalahannya," Suasana menjadi hening, diantara keduanya tidak tahu jika ada dua saksi mata yang melihat perdebatan itu.
"Berhenti membual!"
"Tunjukan kamarku yang sebenarnya! Dan berhenti berbicara padaku! Mulutku terasa panas berbicara pada pendosa sepertimu," ucapan Wigara benar-benar membuat skak ayahnya. Pria paruhbaya itu menujuk menggunakan dagunya untuk memasuki kamarnya seperti biasa Sepertinya masalah anak dan ayah akan terus berlanjut, apalagi mulai sekarang mereka berdua akan lebih sering bertemu dan berpapasan muka. Jika Wiga menghendaki dan merespon, jika tidak ucapkan sampai jumpa saja.
"Kembalilah ke kamar nerakamu itu nak. Disana ada bundamu kan, berceritalah padanya jika suaminya ini sedang bahagia," ucap pria tadi membuat Wiga berhenti dianak tangga pertama. Dia menatap ayahnya dengan wajah datar tatapan kosong. Lalu satu detiknya dia tersenyum miring.
"Dengan senang hati!" balas tidak kalah licik Wiga yang membuat ayahnya terdiam. "Jika perlu saya tambahi, dia sedang tidur bersama dengan istri dan anak haramnya tanpa busana. Bukankah itu lebih cocok untuk perilaku dan omong kosongmu itu pak tua?"
"Ya, katakan saja. Bukankah itu belum seberapa?" ucap ayahnya lagi tidak kalah menantang.
"Bicaralah semaumu, itu sama sekali tidak berpengaruh untuk hidupku," Wiga berjalan menjauhi Ayahnya dengan cepat, dia menutup kamarnya kuat-kuat karena hatinya kembali sakit dengan ucaoan oedas ayahnya.