DUA TAHUN KEMUDIAN
"Sayang coba kamu lihat ini," Salsha meminta Aldi untuk melihat ponselnya, sayangnya hal itu tidak mampu membuatnya tertarik. Aldi masih sibuk mengetik di laptopnya menyelesaikan tugasnya.
"Handphone kamu mana? bisa aku kasih tahu kamu lewat handphone kamu kalau kamu enggak mau lihat dari handphone aku," Aldi masih tidak berubah. Dia tidak bergerak mengalihkan perhatiannya dari laptopnya.
"Kamu lihat aku lagi ngerjin tugas kan?" tanya Aldi membuat Salsha terdiam, Salsha menghela nafasnya lelah. "Kenapa si kamu itu enggak pernah tahu kalau ada kabar beeita satu forum," Aldi mengelus punya kepala Salsha pelan dan kembali fokus pada tugasnya.
"Nanti ya, aku lagi ngerjain tugas. Nanti aku lihat," Salsha cemberut sedikit kesal, namun lain lagi perasaannya yang dibuat istimewa. "Coba lihat sebentar aja, enggak sampai satu menit kok," paksa Salsha membuay Aldi menghela nafasnya malas dan menghentikan aktifitasnya.
"Ada apa?" Salsha tersenyum saat Aldi mulai menaruhvperhatian padanya. "Ini," Salsha memberikan ponselnya pada Aldi. "Apa ini? enggak penting sama sekali," Salsha sedikit kesal saat melihat Aldi kesal dengan apa yang baru dilihatnya.
"Ada mahasiswa bari hari ini," ucap Salsha setelah mengambil ponselnya. "Aku baca tadi," Aldi kembali melanjutkan tugasnya dengan tidak banyak berminat. "Jangan berani-beraninya kamu suka sama mereka," Salsha tertawa kecil saat Aldi memperingatinya.
"Enggak kok, aku punya kamu aja cukup banget," Aldi menahan tawanya dengan bibir bagian dalamnya. "Bagus kalau gitu,"
Salsha hanya terdiam sekarang, mau banyak bucara juga lelah. Aldi akan menjawab seperlunya, dia semakin pendiam dan Salsha membencinya.
"Kamu semakin hari semakin enggak perhatian sama aku," Aldi menghentikan altifitasnya untuk berhadapan dengan Salsha. "Aku tahu, maaf. Jangan ulangi terus-terusan pembahasan ini, aku enggak mau buat kamu marah karrna aku benyak. Bisa bisakam diri dari sekarang?" Salsha menggigit bibir bawahnya merasa tersakiti.
"Aku mau ngerjain tugas sama teman satu kelompok aku," Salsha meminta izin pada Aldi agar pacarnya itu tidak berbuat macam-macam lebih dari kemarin lusa.
"Apa aku harus ngaku ke mereka kalau kamu tunangan aku lagi?" tanya Aldi pada Salsha tidak ingin menerima penolakan. "Aku sama Dio satu kelompok ngerjain tugas dan harus dikumpulkam minggu depan juga," Aldi memutar bola matanya tidak menjawab.
"Kamu mau aku buat Dio enggak bisa ngerjain tugas selama satu bulan?" Salsha menghela nafasnya lelah.
"Aku butuh teman Al, selain aku pacar kamu aku juga mahasiswi," protes Salsha yang tidak didengarkan sama sekali oleh Aldi. "Mulai kerjain dari WhatsApp, aku tungguin disini," Lagi-lagi dengan ini.
Apa Aldi tidak ingin tahu jika Salsha membutuhkan teman laki-laki juga untuk bersosialisasi? Akhir-akhir ini Aldi menjadi lebih pendiam dan Salsha membencinya.
"Dua tahun enggak membuat kamu merasa kalau aku enggak sendirian kan?" Aldi melirik Salsha sebentar dan kembali mengerjakan tugasnya.
"Kamu enggak adil, kamu bisa ngerjain tugas disaat kita lagi ebrdua, kemapa aku enggak bisa ngerjain tugas sama teman satu kelompok aku?" Aldi kembali mengelus puncak kepala Salsha pelan lagi. "Apa kamu lihat aku pernah duduk satu kursi bareng mahasiswi lain disini?"
"Aku cemburu kalau kamu sama mahasiswa lain selain aku,"
•••
"Berhenti mengikuti keseharian saya!" seru satu orang kesal karena selalu diikuti dari jauh oleh orang berbaju hitam itu. "Maaf tuan muda, tapi ini perintah," 'Shit!'
Laki-laki tadi kembali berjalan cepat menghindari gerakan orang yang terus mengikutinya, Dia menaikan masker hitam yang dia pakai dan menarik switer dikepalanya agar kembali menutupi sebagian wajahnya. 'Dunianya suram karna ayahnya! dan sekarang Gara benar-benar membenci pria itu,'
"Beri saya ruang, berjalanlah lima meter dari saya. Apa kau tuli!" teriaknya membuat lima orang hitam itu diam ditempat saat Gara berjalan menjauh. Sayangnya itu tidak berhasil sama sekali. "Tapi tuan,"
"Apa kalian ingin kehilangan orang yang bisa membuat nyawa kalian melayang hanya karena menghilang?" tanya Gara membuat orang-orang itu terdiam dari langkahnya. Mereka bertima menggelengkannkepalanya cepat untuk memberi ruang pada laki-laki itu.
"Turuti saya keinginan saya jika kau tidak inginnmati karena kehilangan keberadaan saya," Pria tua itu masih diam saja saat Gara berjalan mulai menjauh, akhirnya Gara bisa mengirup udara segarnya sekarang.
"Pria tua bangka itu masih saja menggunakam orang-orang untuk menjaganya. Keparat!" umpat Gara kesal bukan main. Gara menaikam satu tali ranselnya dan berjalan santai menuju gedung tinggi yang sudah pamannya katakan tadi malam.
Kampus baru, bahkannuntuk mengejanya saja Gara sedikit gugup. Apa ada teman baru yang menyenangkan untuknya kedepannya. Gara sedikit mengingat masa suramnya saat SMA, bukankah menyebalkan jika Gara mengungkit dimana Sadewa bersekongkol dengan ayahnya hanya untuk membawa Gara pergi jauh teman-temannya.
Terlebih lagi dengan tuduhan yang membuat Gara terlihat sangat buruk dimata semua orang. "Kalau ayah enggak egois gue yakin masih sama teman-teman gue sampai detik ini juga,"
"Mungkin aja gue bisa lebih dejet lagi sama Nita," lanjut Gara tidak berekspresi sama sekali. 'Khanyalan itu lagi," Kenapa juga Gara tidak bisa melupakan fakta jika dia hanya mempunya dirinya sendiri. Gara menghela nafas, dia mengetuk pintu ruangan pamannya lalu membuka pintunya.v
"Kau sudah datang?" tanya pria berkumis dengan kacamata besar rambut hitam duduk dikursinya menyapa Gara. "Ya."
"Mau masuk fakultas mana?" Tanpa berfikir dia masih diam, bukankah pindah Kampus hanya harus melanjutkan, bukan berganti jurusan juga.
"Apa aku bisa berganti fakultas di kampus yang berbeda, paman?" Pria tadi bertanya dengan wajah berbinar. "Tentu saja tidak," Dia memutar bola matanya malas, kenapa juga dia bertanya.
"Berhentilah keras kepala Gara, kamu benar-benar membuat adikku kewalahan," Gara membuang wajahnya melihat ke arah lain tidak ingin membahasnya. "Kapan jam kuliahku tercetak?" Gara beetanya masih dengan tidak membahas jauh tentang ayahnya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, bukankah paman peenah menasihatimu agar kamu menjadi anak yang bisa dibanggakan. Setidaknya tunjukan di keluargamu, kemarin ayahnmu datang pada paman," Gara menghela nafasnya pelan. "Biarkan saja paman, semua buruk karena dirinya sendiri. Dan dia sendiri juga yang membuat semuanya menjadi lebih buruk," Pria tua yang disebut paman tadi kembali memijat keningnya. "Apa kamu tidak bisa memaafkan, semua manusia pernah membuat kesalahan besar, tidak hanya ayah mu,"
"Tapi dia kembali membuat lebih banyak kesalahan saat aku mau memaafkannya, dulu dia juga yang membuat hatiku keras karena didikannya sendjri. Ala aku harus memaafkan kesalahan mentalku juga jika dia sendiri yang terus mempermainkan kondisi mental anaknya?"
"Paman, ayah tidak meminta maaf dan buat apa aku memaafkan orang yang jelas-jelas tidak merasa bersalam padaku," ujur saja, selain dia tinggal dengan ayahnya. Dia justru sangat dekat dengan pamannya, selain pamannya mengetahui semua tentang dirinya, dia juga psikolog yang menanganinya. Hatusnya lebih baik, tapi ayahnya kembali menjauhkannya dengan memindahkannya ke luar negeri agar Gara jauh dari orang-orang terdekatnya.
"Berhentilah berbicara tidak baik, pergilah. Ini jadwalmu mulai besok," Gara mengambil kertas yang diberikan padanya dan langsung ingin pergi. "Ucapkan sesuatu," minta pamannya oada Gara yang membuatny terdiam.
"Terimakasih, paman," Pamannya tersenyum hangat pada Gara. "Jaga dirimu, Gara,"
•••
"Udah enggak ada yang ketinggalan lagi kan?" tanya Aldi lagi dijawab senyum lebar dari Salsha sampai giginya terlihat semua, dia menggelengkan kepala menjawabnya.
"Enggak, makasih ya. Maaf juga, tadi aku lupa. Kalau aja putar balik aku takut dapat nilai D," Aldi memutar bola matanya malas, dia memeluk Salsha dan mengusap kening Salsha pelan.
"Lain kali di cek lagi kalo mau berangkat, untung aja aku jemput kamu setengah jam lebih cepet, jadi bisa puter balik lagi," Salsha mengangguk, dia mengelus rahang Aldi dan berjalan keluar dari mobil Aldi.
"Yang," panggil Aldi, Salsha dengan cepat menggandeng tangannya. "Berapa jam hari ini?"
"4, kalau kamu mau pulang juga enggakbapa-apa. Banyak oresentasi hari ini," Aldi emngangkat bahunya acuh. "Aku bisa nunggu kamu sambil ngerjain tugas minggu depan," Salsha tersenyum nyaman sekarang.
Saat Salsha dan Aldi masih fokus pada pembucaraan mereka masing-masing ada dua mahasiswi tidak sengaja menabrak Salsha. "Eh-eh, kenapa ini?" tanya Salsha bingung saat buku-bukunya berjatuhan. Aldi kesal melihatnya.
"Sorry-sorry. Gue buru-buru soalnya," Salsha menghela nafansya dan mengambil buku-bukunya yang jatuh dibantu dengan Aldi. "Mereka kenaoa si, nyusahin aja," kesal Salsha masih merapikan tugas-tugasnya dibantu Aldi. "Udahlah,"
"Eh, flashdick aku yang?" tanya Salsha bingung tidak mendapati flashdicknya. Satu tangan memberikannya pada Salsha, Salsha mengambilnya cepat dan lanjut berdiri.
"Terimakasih," ucao Salsha melihat mahasiswa yang membantunya. Senyuman Salsha pudar saat berhasil melihat wajahanya.
"Sadewa?" Salsha terkejut saat Sadewa berdiri didepannya. Pri tinggi tiu kembali sekarang. Aldi melihatnya masih dengan kemarahan yang sama. "Maaf gu--" Satu mahasiswa lagi menyusul berdiri dibelakang Sadewa.
"E telat kak," sambung orang itu dengan membatu.
"Wiga?"