Semua hening, kala sosok seorang guru masuk, itu adalah pak Albert, si guru bermuka dua, dan di belakangnya mengekor seorang remaja tampan dengan tubuh tingginya, namun badannya kurus pas pas an, bisa di yakini bahwa dibalik kemeja itu, tak ada lekukan sedikitpun.
"Introduce your self." Perintahnya yang diangguki lelaki itu, sesaat tatapannya berkeliling mengitari kelas, mencari sosok seseorang. Pandangannya terhenti pada seorang gadis yang duduk bersandar pada tembok di dekat jendela sudut belakang, senyumnya terbit, "Wendy!" ucapnya membuat sekelas terkejut, bahkan Wendy hampir mati keheranan di buatnya.
"Wendy? apa namamu Wendy?" tanya sang guru yang di gelengi Angelo, lelaki itu menunjuk sosok Wendy dengan senyum manisnya. "Saya Angelo Stevan D, kekasih Wendy." tuturnya membuat Wendy tercengang, lain kisah dengan yang lainnya yang justru tertawa sambil menyoraki mereka.
"Sial, dia pasti sudah gila, awas saja nanti, akan kubalas manusia satu itu." gerutu Wendy kesal.
"Baiklah, namamu Wendy, ah maksud saya Angelo dan kekasih dari Wendy."
Angelo mengangguk, melirik pada Wendy yang telah menguarkan aura membunuhnya, seperti ada amarah asap yang mengepul di kepalanya, namun bodoh amat, yang penting dia bersama Wendy sekarang.
"duduklah, kursi depan Wendy ada yang kosong." perintahnya yang diangguki lelaki itu, "jika kalian berbuat yang aneh aneh atau kedekatan kalian mempengaruhi nilai, maka salah satunya harus pindah kesudut sana" tunjuknya pada sisi lain sudut ruangan itu, 'akan lebih baik begitu' rutu Wendy dalam batin sambil memutar malas bola matanya, lelaki itu memang menyebalkan, selalu berbuat semena mena.
"Hei, apa yang baru saja kau ucapkan bajingan kecil?" Suara itu terdengar lembut namun menikam di telinga Angelo, disudut wajah sang gadis, terpampamg senyum iblis, oh shit! gadis itu akan menelannya hidup hidup nanti.
"Hanya ingin melindungimu dari para lelaki hidung belang." Tukasnya menampakkan wajah bangga, namun untuk Wendy, itu adalah wajah menyebalkan yang harus di lenyapkan segera, 'Aku akan membunuhmu nanti!' geramnya dalam batin.
Kelas di mulai, tak ada interaksi yang terjadi diantara keduanya, Wendy sibuk memperhatikan keluar jendela, tepat seperti biasanya, dan bukan hal aneh lagi bagi Albert jika mendapati gadis itu kehilangan fokusnya pada pelajaran.
Beda dengan Angelo yang justru sibuk curi pandang padanya, lelaki itu menatap gadis itu dengan sendu, usianya dua tahun lebih tua dari Wendy. Karna hal satu dan lainnya, Angelo yang dulu satu tingkat diatas Wendy, kini justru satu angkatan dengannya.
Ia ingat wajah gadis itu dengan baik, untuk itulah tak sulit baginya untuk mengenali sang gadis dari belakang, di tatapnya lekat lekat wajah bulat itu, ada kerinduan di dalam sana, hati yang pernah ia tolak, kini justru menolaknya.
Dulu mereka begitu dekat, terlalu dekat untuk seorang sahabat, hingga tanpa sadar Angelo mendengar pembicaraan Wendy dengan seorang temannya, gadis itu bukanlah gadis cantik ataupun pintar, rasanya akan sangat memalukan bagi Angelo memiliki kekasih pas pas an, dan sejak itu pula lah ia berhenti membiarkan Wendy di sekitarnya.
Lelaki itu berubah dingin, cuek, sedikit kasar, dan selalu menghindari Wendy, hingga satu kondisi memaksanya untuk meninggalkan kotanya selama dua tahun lebih. Rindu, rasa bersalah, dan kehilangan menghantuinya setiap saat.
Semua kepedihan itu memaksanya untuk kembali kekota kelahirannya ini, namun saat pertama kali melihat gadis itu. Manik mata indah yang memancarkan cinta itu, kini berhenti bersinar padanya, tatapannya dingin dan penuh luka, sesuatu yang tak pernah Angelo bayangkan. Nyatanya cinta tak sekuat helaian bulu yang meski terbang tertiup angin akan tetap utuh, Namun cinta itu bahkan lebih sensitive dari debu, satu hembusan angin mampu memporak porandakannya dan mengubah segalanya.
'Aku ingin memulai sesuatu yang baru denganmu!' ucapanya dalam batin, kala tatapannya mendapati sosok Wendy yang tak lagi seperti dulu, gadis itu lebih datar padanya.
Teng... Teng... Teng... (Anggap gitu aja ya teman)
Bel istirahat berbunyi, tatapan gadis itu belum beralih, bahkan Pak Albert tak lagi berada di kelas itu dan sudah terlalui tiga jam pelajaran sejak gadis itu memasuki kelas.
Krekkkk...
Suara kursi berputar terasa melengking di telinga Wendy, namum gadis itu mengacuhkan aksi sang lelaki di hadapannya. "What are you looking there?" sedikit rasa penasaran terbesit di sudut wajah lelaki itu, sedari tadi Wendy menatap keluar, tapi yang ada disana hanyalah sebuah taman kecil dengan kursi taman dan pohon besar.
"Nothing." jawabnya singkat, tatapannya tak beralih.
"Nothing? tapi kamu melihatnya sepanjang jam pelajaran." Entah kenapa ada rasa keberatan di benak Angelo, kala dirinya menyadari ke anehan Wendy.
"Kenapa bisa pindah disini? bukan kah seharusnya kamu sudah lulus? satu tingkat diatas ku loh." Kali ini pandangan gadis itu beralih pada Angelo, menatap intens manik mata lelaki itu.
"A- anu, itu..." belum Angelo menyelesaikan ucapannya, gadis itu memotongnya lebih cepat, "Ku kira kamu udah mati," ntah mengapa ucapan itu menusuk pada jantung Angelo, sementara gadis itu sudah kembali memalingkan pandangannya.
"Memang seharusnya begitu, ya." sahutnya bergumam, masih terdengar oleh Wendy, namun entah mengapa gadis itu tak tertarik untuk menanggapinya.
"Kamu gak mau kekantin Wen?" Sedikit memecah rasa canggung, ajakan itu berniat tulus, namun Wendy bahkan tak ingin menanggapinya, ia justru pada pertanyaan lain, dengan penolakan yang menurutnya sedikit membunuh.
"Kenapa mengaku sebagai kekasihku? aku tak suka, lain kali jangan lakukan lagi, atau aku akan menjahit bibirmu langsung." sinisnya yang hanya disenyumi sendu lelaki itu, waktu memang kejam,ya? ia mampu mengubah manusia lembut dan hangat menjadi seseorang berhati bongkahan es.
"Kamu gak mau jadi kekasih aku?" tanya nya bergurau, namun hanya di tatap jengkel oleh gadis itu. 'Kenapa Tuhan membuatku bertemu dengannya, kala hati tak lagi seperti dulu dan rasa yang tak lagi sama.' bisik Wendy dalam batin.