Chereads / LARA (jiwa yang dinanti) / Chapter 4 - Ditabrak?

Chapter 4 - Ditabrak?

kicauan burung menyegarkan pendengaranku, lambat laun penglihatan ini merekam jelas tingkah burung itu di jendela, juga ruangan yang aku singgahi.

Oh, aku masih di tempat yang sama saat terakhir kali aku tersadar.

Tidak ada siapa-siapa disini. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit.

Jam itu.. kenapa harus jam itu?

Kedua tanganku sudah bisa digerakan walau lamban. Begitu juga anggota tubuhku yang lain.

Nafasku sudah teratur meski masih menggunakan bantuan oksigen.

Kemana mereka?

Saat rasanya hati ingin segera kabur, tiba-tiba nenek masuk dan tersenyum padaku. Dia teramat senang melihat keadaanku.

"Lara.. cucu nenek sudah sadar."

"Lara, kata dokter kalau kamu belum buang angin kamu tidak boleh makan dulu. Jadi, kalau sudah buang angin beritahu nenek, ya."

"nek…euhh.. nek… apa yang terjadi?"

"kamu istirahat saja dulu ya, kalau sudah pulih akan nenek ceritakan."

"tidak, aku mau tahu sekarang."

"Lara…"

"kasih tahu aku, nek! Atau aku akan mencabut kabel oksigen ini dan pergi."

"kamu ini… keras seperti ibumu yang suka mengancam. Sebelas dua belas.

Baik, nenek akan ceritakan. Apa kamu masih ingat terakhir kali kamu pergi bekerja?"

"masih. Aku ketemu Abi, bahkan sebelum pergi kita sempat berbincang. Bukankah begitu, nek?"

"betul, bagus kamu masih mengingatnya, tapi apa kamu ingat itu kapan?"

"kemarin."

"kamu salah, nak. Itu dua bulan yang lalu."

"yang benar saja nek?"

"benar, Lara. Saat kembali dari Kedai, kamu jadi korban tabrak lari. Kamu tidak ingat sama sekali nak?"

"tabrak lari? Bagaimana bisa?"

"apa kamu ingat kejadiannya nak? Plat nomornya, atau mungkin ciri-ciri yang menabrakmu."

"tidak, nek. Bukankah aku baik-baik saja selama ini? bukannya ini hanya mimpi?"

"sepertinya dosis obat dari dokter sangat keras, sehingga kamu lupa. Kamu kecelakaan saat hendak pulang, kejadiannya tidak jauh dari lokasi kerjamu."

"lalu, siapa yang selamatkan aku?"

"Abi. Dia melihatmu ditabrak."

"ha? Tapi kenapa aku sama sekali tidak ingat? Apakah itu cerita benar? Mungkin saja Abi yang menabrakku, nek!"

"huss.. Lara! Justru dia yang menyelamatkanmu."

"tapi, ini aneh sekali, nek. Rasanya seperti mimpi. Aku tidak tahu kalau aku ditabrak. Bahkan, aku tidak sadarkan diri selama dua bulan. Yang benar saja?"

"tapi ini adanya, Lara. Kamu harus bersyukur masih selamat. Tidak ada cacat, hanya otakmu makin tumpul."

"neneekk!!!"

"mungkin kamu harus bicara dengan Abi. Karena dia salah satu saksi mata. Saat itu kamu kehabisan banyak darah, nak. Kami butuh pendonor. Syukur-syukur kamu tidak langsung mati, hanya koma. Tapi kamu sangat kritis, dokter saja kagum kamu masih bertahan."

"nek.. sepertinya ini adalah halusinasi atau semacam simulasi untuk mencelakaiku. Ah.. tidak. Ini adalah mimpi. Ini pasti mimpi kan, nek?"

"ini nyata, nak."

"aneh sekali, nek. Aku bermimpi semua orang jadi aneh, mungkin nenek juga bagian dari kembang tidurku sekarang."

"coba kamu tampar pipimu, nak."

Prakk….

"ah…. Sakit.. jadi, ini sungguhan bukan mimpi?"

"sudahlah Lara. kamu istirahat saja, tidak usah bebani fikiranmu dengan kejadian itu. Nanti saja, kalau sudah sembuh. Biar nenek bisa usut kasus ini."

"nek, percayalah aku bermimpi hal yang tidak masuk akal. Semua orang berubah jadi aneh, dan aku bertemu seseorang yang mengaku sebagai ibu."

Disaat aku mengatakan itu aku memegang pundak nenek, dan saat itulah aku sadar bahwa gelang itu benar-benar aku pakai.

Gelang berbandul bintang berwarna perak yang diberikan wanita asing dalam mimpi.

"ini buktinya, nek. Gelang ini."

"sudahlah, nak. Istirahatlah.. nenek akan menghubungi dokter sekarang. Semoga kamu membaik."

Nenek memang bersikap biasa saja, tapi raut wajahnya tidak bisa disangkal. Nenek pasti tahu sesuatu.

Pasti dia tahu gelang yang kukenakan tapi, saat ini aku tidak bisa memaksanya atau siapapun.

Aku harus diam sampai waktu yang tepat datang untuk menjelaskan semua hal aneh yang ku alami.

"halo, Lara? Gimana sudah enakan badannya? Saya cek dulu ya luka bekas jahitannya."

"luka apa dok?"

"hanya luka jahit saja , tidak banyak Cuma 15 jahitan. Tapi syukur banget loh tiga minggu saja lukanya sudah kering dan sudah bisa cabut benang. Oke, Lara saya lihat bekas lukamu juga cepat hilangnya, saya rasa lusa kamu sudah bisa pulang."

"lukanya dimana saja, dok?"

"ada di siku kiri, lutut kiri dan kepala bagian kirimu, Lara. Tuh… lihat ya luka di tangan sudah kering, bahkan tinggal hilangkan warna hitamnya saja."

Dokter ini berusaha meyakinkanku sambil menunjukkan bahwa luka-luka dibadanku sudah sembuh sewajarnya.

"dok? Apa otakku beneran jadi tumpul?"

"oh hahaha.. enggak Lara, tapi efek obat-obatan bisa buat kamu sedikit pusing, mengantuk, dan mungkin ada memory kamu yang sedikit hilang. Gak apa-apa ini sementara aja. Nanti lama-lama akan ingat kembali kalau kamu latih otakmu."

Aku hanya diam menandakan iya.

"kamu latihan ringan aja, bisa mulai dari baca-baca koran atau majalah, mudah-mudahan otakmu tidak tumpul beneran."

"oke, dok."

"sudah ya bu, nanti saya cek lagi perkembangannya lusa, kalau sangat baik sudah boleh pulang."

"oh, baik dok, terima kasih sudah membantu."

Dokter itu hanya tersenyum pada kami berdua dan meninggalkan ruangan.

Ada banyak sekali pertanyaan dalam hatiku yang mengetuk meminta jawaban,

Mungkinkah aku benar-benar kecelakaan? Aku sama sekali tidak merasakan apapun.

Selama itupula aku bermimpi hal aneh, sementara badanku koma.

"nek.. memangnya waktu kecelakaan parah banget, ya?" ujar pertanyaanku yang masih sangat ingin tahu.

"mungkin… kamu jatuh menimpa sisi kiri tubuhmu, diagnosa dokter kamu kena gegar otak. Sudah begitu kamu juga kehilangan banyak darah. Untungnya kamu tidak meninggal di tempat."

"yang membawa aku, Abi?"

"betul, nak. Nanti kalau dia datang berkunjung kemari kamu bisa menanyakannya ya…"

"apa selama aku koma kalian saling bertukar nomor handphone?"

"tentu, dia sangat khawatir. Dan nenek harus memberitahu dia bahwa keadaanmu sekarang baik-baik saja dengan perkembangan yang cukup signifikan. Kamu istirahat sajalah nak."

"hm? Emm.. tapi aku tidak mengantuk. Aku ingin melamun saja."

"kamu tuh ya… sudah sehat malah melamun, bukannya berdo'a."

"nanti saja nek."

Nenekku hanya menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan cucu satu-satunya yang tidak berakhlak dan tak tahu caranya bersyukur pada Yang Maha Kuasa.

Lirikan matanya, terlihat sedikit menatap pada gelangku. Sadar aku memperhatikan, ia langsung menoleh pergi.

Gelang ini pasti memiliki arti. Tapi apalah makna dari semua ini kalau hidupku saja harus lebih diperhatikan dibanding sebuah gelang.

Hari-hariku selanjutnya pasti lebih berat tanpa pekerjaan.

Makin sulit untukku wujudkan impian. Langkah-langkah selanjutnya harus kupertimbangkan baik-baik. Aku tidak boleh jatuh lagi dan lagi. Kesialan ini harus tunduk padaku, bukan aku yang terus mengalah pada takdir.