Chereads / LARA (jiwa yang dinanti) / Chapter 7 - Ibu (nenek)

Chapter 7 - Ibu (nenek)

"Ono kidung rumekso ing wengi,

(ini do'a penjaga malam.)

teguh ayu luputo ing leloro,

(semoga semua aman luput dari penyakit,)

luputa bilahi kabeh,

(dan luput dari petaka,)

jin setan datan purun,

(jin dan setan tidak akan mengganggu)

peneluhan tan ono wani,

(teluh (santet) tak akan berani mengganggu')

miwah panggawe olo,

(sekalian niat jahat.)

gunaning wong luput,

((dan) tipu daya luput.)

geni atemahan tirta,

(api akan tertangkis air.)

maling adoh tan ono ngarah mring mami,

(maling menjauh tak berani menyatroniku.)

guno duduk pan sirna."

((dan) segala bentuk santet sirna."

Kidung Mantrawedha Sunan Kalijaga-Rumekso Ing Wengi, yang konon merupakan do'a penjaga malam, selalu berkumandang setiap matahari telah terbenam, dan gelap yang sudah menguasai langit.

Terkadang suara itu terdengar dari kaset, namun kadang Ibu melantunkan liriknya di ruang tamu, lengkap dengan pakaian khas jawa.

Katanya, untuk melindungi setiap anggota keluarga. Itulah sebabnya, kami tidak diperbolehkan keluar rumah setelah maghrib. Pekerjaan apapun harus segera dituntaskan sebelum malam datang.

Tembang ini harus diwarisi kepada setiap keturunan anak perempuan maupun laki-laki.

Ini hanya tradisi dari keluarga kami. Tidak serta merta semua orang jawa selalu seperti ini.

Kami berusaha melindungi satu sama lain dengan lantunan Kidung Jawa Kuno.

"Kemala, kamu harus segera menguasai ini agar bisa kamu wariskan pada Lara." Perintah ibu.

"baik bu, aku hanya masih bingung pada nadanya saja." Jawab Kemala, ibunya Lara.

"dengarkan baik-baik, lantunan demi lantunan."

"tapi bu. Sesungguhnya aku aku tidak percaya ini. setiap kali aku mendengarnya, aku merasa takut. Ini tidak menghilangkan kekhawatiranku."

"ini terjadi karena kamu tidak percaya. Tradisi keluarga kita tidak perlu kamu takuti."

"benar kata ibumu, kamu harus percaya." Ayah ikut dalam pembicaraan, membenarkan omongan ibu.

"aku tidak ingin melanjutkannya bu, apapun yang kita perbuat, tidak akan menghentikan mereka."

"bicara apa kamu? Kamu lihat sekarang kamu masih aman. Anakmu, suamimu, menurut saja!" ibu membantah ucapan Kemala.

"tidak, bu. Apa ini bagian dari ajaran agama kita?"

Ibu hanya terdiam menghela nafas, tidak menjawab sepatah kata pun. Kembali mendengarkan kidung dengan khusyuk. Begitu juga yang lain, hanya diam. Bahkan suaminya pun tidak mencoba menenangkan Kemala.

Di kamar Kemala, terlihat seorang bayi melayang digendong terbalik.

Tapi, tidak ada seorangpun yang mengetahui. Sebab, mereka semua terfokus mendengarkan kidung.

Bayi itu tertidur pulas, padahal posisi kepalanya dibawah, sementara kaki diatas.

Lantunan-lantunan perlindungan telah selesai dinyanyikan, Kemala sangat kaget ketika kembali ke kamarnya dan menyaksikan Lara, bayinya sedang melayang.

Tidak ada sosok yang terlihat, tapi ketika Kemala berteriak memanggil ibunya, tiba-tiba sekilas bayangan hitam dibelakang Lara pergi menjauh.

Dengan sigap Kemala menangkapnya, dan selamat. Kali ini, selamat.

"ada apa Kemala?" tanya ibunya sangat panik.

"kemala? Kamu kenapa?" suaminya mendekat dan memeriksa keadaan mereka berdua. Begitu juga dengan ayahnya.

"ibu! Sudah ku bilang, ini tidak akan berhasil. Percuma! Lihat, Lara hampir mati terjatuh. Atau bisa saja Lara dibawa pergi bu!" ucap Kemala.

Ibunya hanya melirik ke arah ayahnya, dengan raut agak gugup dan khawatir.

"tidak. Kita harus tetap melakukannya. Agar semua aman." Ayahnya berusaha meyakinkan bahwa yang dilakukan itu sudah benar.

"tidak ayah! Ini salah! Kita harusnya berdoa dan beribadah kepada Tuhan." Pangkas Kemala.

"benar, yah. Ini sudah kesekian kali Lara digendong. Dan kesekian kali pula Lara hampir jatuh. Saya khawatir suatu hari ia dibawa pergi." Sambung suami Kemala.

Ibunya hanya menggeleng kepala sambil tertunduk, merasa bahwa protes yang dilakukan anak dan menantunya itu salah.

"kita harus lakukan upacara perlindungan." Itulah yang terlintas pada fikiran ayahnya.

"ya, kita harus lakukan itu." Sambung ibu.

"upacara apalagi bu?" raut muka Kemala makin kelam, makin sedih, tidak bisa ditutupi.

"bu, cukup! Kita harusnya beribadah dengan baik. Apa yang ibu lakukan itu tidak sepatutnya." Ujar suami Kemala.

"kamu tidak mengerti. Kita harus menjunjung tinggi adat dan budaya, itu adalah warisan keluarga kita." Kata ibunya.

"saya tidak peduli kalau kalian berdua tidak setuju. Saya hanya ingin cucu saya selamat. Saya akan melakukan ini, berdua dengan ibu. Kalian tidak mau tidak apa-apa."

Susana makin panas, Lara buru-buru diambil kakeknya dan pergi meninggalkan anak serta menantu.

Kemala terus memanggil-manggil ayah ibunya, bahkan ikut mengejar, tapi tidak dihiraukan.

Suaminya tidak berbuat apa-apa karena merasa tidak punya sesuatu yang bisa dipakai untuk melawan mertuanya, atau dengan kata-kata sekalipun. Padahal suara tangis Lara sejak ia jatuh hingga dibawa pergi, masih terus terdengar kencang.

"ayo pak, bapak siapkan tempatnya, saya ambil kembang tujuh rupanya. Kita lakukan malam ini juga." Ucap ibu.

"ayo, bu!" sahut ayah.

"cupcup.. cucu nenek, jangan menangis, kita upacara perlindungan ya.. alah alah.. nang ning nang ning nung." Ibu berusaha memenangkan Lara yang masih bayi. Ajaibnya, perlahan-lahan Lara mulai berhenti menangis dalam waktu singkat.

"ibu, biarkan kami menyaksikan apa yang kalian lakukan sekarang. Semoga yang kalian lakukan ini benar." Ucap Kemala dengan mata yang berkaca-kaca.

"loh? sudah pasti ini benar. Kamu perhatikan, supaya kamu ingat." Jawab ibu.

Sudah ada keris turun temurun yang disediakan, konon katanya dibuat pada jaman kerajaan Majapahit. Keris itu dihuni sesosok priayi yang wujudnya terlihat sangat bijak.

Kembang tujuh rupa sudah ditaburkan ke air, mantra-mantra jawa kuno sudah kumat-kamit diucapkan ayah. Bahasa yang tidak bisa sepenuhnya dimengerti oleh orang jawa masa kini. Keris itu perlahan dibuka dan dicelupkan kedalam air. Bak mandi bergetar hebat, hingga cipratan airnya kemana-mana dan memancarkan sinar berwarna kuning sangat menyilaukan

Cahaya itu tidak berlangsung lama, ketika sorotan kuning tersebut hilang, keris diangkat dan diolesi minyak jampi-jampi. Keris sudah disimpan kembali, saat itulah waktunya tiba untuk memandikan Lara.

Ayah masih melantunkan kidung-kidung jawa kuno saat mengusap tubuh Lara dengan air doa.

Tanpa perlawanan dari siapapun, bahkan dari cucunya, upacara berhasil dijalankan dengan sempurna.

Kemala masih tampak sedih karena tidak mampu berbuat apa-apa. Jauh dalam hatinya, ia berdo'a. semoga anaknya selamat, semoga anaknya terjaga.

Seminggu setelah kejadian itu, semua berjalan aman, tidak ada yang dikhawatirkan meskipun jauh dilubuk hati Kemala masih mengganjal. Rasanya ingin pergi jauh, tapi tidak bisa.

"Kemala…." Panggil Ibu.

"ada bu?" jawab Kemala

"kamu harus segera menghafalkan Kidung dengan baik. Bukan hanya untukmu, tapi untuk semua." Pinta ibu.

"sudahlah bu…. Aku tidak ingin membahas itu."

"kamu jangan membantah, ibu ingin kita semua selamat."

"kalau sudah ajalnya, aku bisa apa?"

"kalau memang itu ajal dari Tuhan, tidak apa-apa, kalau bukan?"

"apa harus aku yang tanggung?"

"ingat, kamu harus menjaga anggota keluarga."

Tanpa panjang lebar ibu langsung menegaskan kalimat itu pada Kemala dan pergi meninggalkannya.

Kemala hanya termenung, merasa bahwa pasti masih ada cara yang lain. Pasti nanti akan dapat jalannya.