Chereads / LARA (jiwa yang dinanti) / Chapter 9 - Diperhatikan

Chapter 9 - Diperhatikan

"halo, Lara?" panggil Abi dalam telefon.

"iya, Abi? Ada apa?" sahut Lara.

"masih inget gue lu? Tanya Abi.

"masih, kan disave nomor lu, atau mendingan gue hapus aja deh, biar lupa."

"hehe.. jangan dong..apa kabar lo?"

"baik-baik aja, gimana kerjaan lu?"

"mumet Lar."

"loh? Kenapa?"

"ada yang mau hancurin kedai dari dalam, Lar."

"hah? Serius lu? Terus gimana kedainya ditutup?"

"serius tapi udah kembali normal."

"oh, bagus deh."

"tapi ada masalah baru."

"masalah apa?"

"gue ga punya partner kerja."

"yaudah lu kerja sendirian aja, kan lu kuat."

"gak bisa, Lar. Kalo rame ribet banget."

"yaudah cari yang baru."

"nah, itu dia. Si Bos maunya panggil lu lagi."

"yang bener lo?"

"iya, coba aja lu dateng besok, pasti lu langsung kerja lagi."

"tapi, gak bisa Bi, gue udah kerja di tempat lain."

"kerja apa, Lar?"

"jadi pelayan Toko bunga."

"mending disini Lar."

"gak apa-apalah… biar ada warna baru dihidup gua."

"palingan juga bunganya layu semua, Lar."

"enggaklah, gue kan penyayang."

"berarti kamu sayang aku.."

"idih najong banget, bye."

Lara langsung mematikan telefon tanpa menghiraukan perasaan Abi.

Abi tersenyum usai pembicaraan itu.

"masih menarik, masih jutek."

Sikap Lara yang kadang angkuh, galak, dan jutek membuatnya justru semakin tertarik.

Meskipun kadang kata-kata yang terlontar dari wanita itu lebih pedas daripada ketoprak yang dikaret dua, Abi sangat menikmati.

Saat ini memang Abi tidak bisa membuat Lara kembali bekerja dengannya, tapi banyak cara menuju Roma.

Rencana B hingga Z masih tersedia. Abi tinggal pilih waktu yang tepat dan melancarkan aksinya.

"Lara nanti bunganya jangan lupa ya kamu siram nanti sore, biar gak layu." Kata Mima, sang pemilik toko bunga.

"oh, iya mbak." Sahut Lara.

"mbak Mima, kalau bunga yang ini tadi sudah aku siram ya, jangan disiram lagi." Lanjut Lara sambil tersenyum.

Mbak Mima menangguk dan tersenyum pada pernyataan Lara.

Pemilik toko itu memang tidak banyak bicara, tapi ia selalu tersenyum. Senyumannya sangat manis. Sama seperti bunga-bunga disini. Mereka tidak mengeluarkan nada maupun kata, tapi selalu terlihat manis seakan semuanya sedang tersenyum.

Berada di tempat ini rasanya seperti sedang menjalankan hobi, bukan bekerja. Beda sekali dengan pekerjaan sebelumnya.

Lara mulai berfikir untuk terus bertahan dalam bidang ini.

Atau bila ada uang lebih dia ingin sekali memiliki bunga-bunga cantik ini di rumah.

Wanita yang terlihat kasar, acuh tak acuh seperti Lara, tiada disangka memiliki bakat berkebun.

Padahal kalau dilihat dari segi upah, cukup berbeda dengan penghasilannya di kedai.

Menjalani hobi sebagai pekerjaan memang berbeda.

Jauh disebrang toko terdapat celah. Gang sempit yang hanya muat satu orang dan tampak dengan jelas ada satu pria yang sedang berdiri disana melihat ke arah toko bunga, tempat Lara bekerja.

Bersweater warna abu-abu dan jeans warna hitam.

Pria itu menyunggingkan senyumnya yang terlihat tengil.

Lara maupun Mima tidak menyadari bahwa pria itu sedang memperhatikan mereka.

Tapi, bayangannya hilang seiring dengan banyaknya mobil yang berlalu-lalang.

Toko bunga itu tidak pernah kehilangan pelanggannya. Setiap hari selalu datang para pengunjung baru maupun lama untuk membeli bunga.

Reputasi toko itu bukan isapan jempol belaka. Sudah menangani banyak sekali pesanan dari bucket bunga sederhana, satu tangkai bunga, hingga untuk acara besar seperti pernikahan.

Lara berharap karirnya menjadi bagus di tempat ini. kejadian-kejadian aneh dimohonkan tak pernah kembali. Ia yakin gajinya pun pasti perlahan naik kalau ia setia.

Tapi, sekali sudah menjadi "incaran" tidak bisa dipatahkan. Tetaplah mangsa harus ditangkap.

Tangan Lara terluka akibat memotong tangkai bunga. Entah apa yang mengganggu penglihatannya hingga hal sepele itu harus terjadi.

Goresan lukanya memang sangat kecil namun, darah segar tetap mengalir keluar dari kulitnya.

Lara membersihkannya dengan tisu, ketika ia fokus membersihkan bayangan pria itu muncul tepat didepan jendala yang menhadap kearah Lara. Senyumannya yang tengil masih melekat. Dalam hitungan detik bayang-bayang pria tersebut hilang seiring dengan cepatnya Lara membersihkan luka pada jarinya.

Ia bekerja dengan sangat baik disana dan tidak menyadari sama sekali bahwa ada yang memperhatikannya dari kejauhan maupun dari dekat.

Setiap harinya berlalu seperti ini tanpa merasa adanya ancaman yang akan datang. Walaupun tampang "mereka" sudah mulai muncul.

Sebuah chat muncul pada layar handphone Lara.

"Lara, pulang jam berapa?"

"nanti jam 5."

"tunggu,ya! gue kesana."

"mau ngapain?"

"biar pulang bareng."

"gak usah, beda jalur."

"gak apa-apa gue kesana sekarang. Shareloc, dong!"

"oke"

Jam 5 lewat 5 menit, tibalah seseorang mengendarai motor berhenti didepan toko.

Lara yang melihat itu sudah menyadari bahwa Abi sudah tiba.

Mereka pun pulang bersama, hal yang dulu pernah diakukan berkali-kali.

Tidak ada yang berbeda, saat berkendara Lara cuma menyauti sepata dua kata saja walaupun Abi melontarkan banyak pertanyaan.

Lara tidak bertanya apa-apa, ia fikir pasti hari itu adalah hari libur Abi, makanya dia bisa mengajak pulang bersama.

Semua yang diasumsikan Lara memang benar, tapi ia tidak tahu apa maksud dan tujuan dari Abi.

Selalu beranggapan bahwa ini adalah pertemanan biasa, meski Abi baru saja memberinya segelas kopi panas.

Abi berusaha membujuk Lara untuk berangkat bekerja bersama-sama mulai besok, tapi tidak semulus dibayangan Abi.

Lara bersitegas menolak ajakan Abi.

Ia wanita yang kuat dan teguh, tidak mudah goyah. Makin menarik keinginan Abi untuk memiliki.

Setiap hari Abi selalu mengirimi pesan. Memberi perhatian, menanyakan kondisi dan keadaan Lara.

Namun, Lara masih tetap biasa saja. Apa-apa yang ada dalam pikiran Lara untuk bersikukuh tidak menghiraukan Abi, membuatnya makin penasaran.

Wanita ini harus diluluhkan.

Abi ingin Lara tahu bahwa selama ini ia menyimpan rasa padanya.

Sangat tidak mudah merayu Lara padahal selalu berkirim pesan setiap hari.

"Lara? Besok nonton, yuk!" ajak Abi.

"nonton apa?"

"lusa akan ada film horror thriller baru release. Gue baca sinopsisnya tentang Urban Legend daerah terpencil di pulau jawa."

"kayaknya seru, ya?"

"iya, makanya ayok nonton."

"oke."

Tibalah hari dimana film itu tayang diseluruh bioskop Indonesia, awalnya semua berjalan baik.

Gelagat Abi juga sopan, tidak berniat jahat untuk menciumnya dikala semua orang fokus menonton dan lampu dimatikan.

Namun, didalam film itu ada senandung Kidung Jawa Kuno yang tidak diketahui Lara tapi seperti membuatnya ingat akan suatu hal.

Gambar layar lebar didepan Lara seolah berubah menjadi sosok-sosok yang bukanlah pemeran film tersebut.

Selama lagu itu terus berkumandang, cuplikan yang ia lihat adalah bayang-bayang lelaki berbaju serba hitam, seorang kakek tua berjubah, kakek-nenek, dan orang tuanya.

Lara terhanyut dalam suasana, lirik kidung tersebut terus bernyanyi dalam fikirannya.

Tampangnya mulai menunjukkan seakan Lara sedang mabuk. Kepalanya pusing, Abi yang menyadari Lara sudah memegang kepalanya dengan ekspresi wajah seperti mau pingsan, berusaha menyadarkannya.

"Lara? Lo kenapa?" tanya Abi sambil berbisik.

"Lar?" Abi kembali mengulangi pertanyaannya sambil menggoyangkan pundak Lara.

Namun, Lara masih diam.