Lampu di rumah padam, justru hal itu menarik langkah untuk terus menyusuri lorong kediaman tempatku beranjak dewasa. Bahkan, tanganku membantu meraba dinding agar ragaku tidak terjatuh.
Sampailah aku pada kamar tidurku. Meja rias adalah tujuan pertama. Bersolek merupakan salah satu kegemaranku. Namun, pantulan bayanganku tidak nampak pada cermin. Justru, yang ku lihat adanya orang lain diranjangku.
Kaget bukan main. Siapa wanita itu?
Langsung saja aku menghampirinya, tapi sial aku menginjak untaian kain selimut yang tertera panjang hingga ke lantai yang malah membuatku terpeleset jatuh menimpa wanita itu dan membuka mataku.
Ternyata, ini mimpi.
Aku bangun tepat diatas ranjangku. Entah apa arti dari mimpi itu. Keringat membasahi piyamaku, jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi, aku harus bersiap-siap bekerja.
"nenek masak apa?"
"nek…??"
"kakek?"
"ayah?"
"pada kemana, ya?"
"apa mereka sudah pergi?"
Baru saja mulai berfikir, tapi ayah sudah mematahkannya.
"Lara…"
"iya, yah? Yang lain pada kemana?"
"lagi pergi ke pasar."
"nenek sama kakek?"
"iya.. Lara, kamu tidur aja lagi."
"hah? Kan aku mau kerja."
"gak apa-apa tidur aja lagi. Diatas udah ada temen kamu, Indah."
"indah? Siapa? Gak kenal"
"loh, kamu lupa? Kan itu temen kamu"
"seriusan aku gak tau dia siapa."
"itu Indah udah diatas, kamu samperin dulu ya.."
"gak mau, aku mau makan aja."
"memangnya kamu mau kerja?"
"iya."
Ayah hanya diam dan naik ke lantai dua. Aku bahkan tidak kenal siapa Indah. Kenapa ada orang yang mengaku sebagai temanku? Jangan-jangan dia penipu. Gawat, kalau iya bisa saja dia merencanakan hal yang buruk. Duh, ayah! Kenapa malah dibawa ke atas sih??
Buru-buru aku bangkit dari tempat duduk meninggalkan meja makan serta hidangan yang sudah tersedia.
Ketika kaki kanan ku meraih lantai dua, ku panggil-panggil ayahku namun ia tak menunjukkan wajahnya. Apapun itu, tidak ada tanda-tanda ayahku disana. Mataku berusaha mencari.
Tepat di ujung lorong kudapati anak kecil yang bermain congklak.
Anak itu… wajahnya… mirip aku.
Dia bahkan tersenyum padaku saat aku mendekat.
"Tidak! Aku harus menjauh."
Ku alihkan langkah dan berlari kencang keluar dari rumah tersebut.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Aku khawatir ada orang asing di rumah yang melakukan kudeta tapi aku tidak tahu sama sekali.
Rasa panik tidak bisa aku hindari namun langkahku terus melaju ke tempat kerja.
"Semua akan baik-baik saja. Gue harus tenang."
Akhirnya, tiba di kedai kopi. Seperti biasa, orang yang pasti akan aku temui adalah Abi.
"Lara… selamat pagi."
Aku menoleh ke arah suara tersebut. Oh, Abi…
"pagi, Abi."
"nih, buat kamu."
"apa nih?"
"sarapan."
"ha? Tumben? Aku buka ya…"
"iya buka aja"
"pisang?"
"iya hahaha…"
"absurb banget. Nanti gue makan pas jam istirahat ya.��
"ini kan sarapan, kok makannya siang?"
"kan kerja, gimana sih?"
"yaudah."
"Abi?"
"apa?"
"emm.. gak jadi deh.."
Rasanya ada yang aneh dengannya. Namun, aku tidak ingin penuhi fikiranku dengan pertanyaan.
Kami memulai pekerjaan seperti biasa, namun pelanggan yang datang banyak sekali. Apakah toko sebrang sudah mencabut guna-gunanya hingga Kedai ini ramai kembali?
Aku tidak tahu. Tapi, baguslah.. kalau terus-terusan sepi lama-lama Kedai ini bangkrut.
"Lara.."
Suara Abi memanggilku, namun saat aku menoleh ia sedang sibuk meracik kopi.
Apakah telingaku sudah salah dengar?
"Abi?"
"apa?"
"tadi manggil ya?"
"enggak kok, aku lagi buat kopi."
"iya juga sih.. tapi yang tadi itu suara kamu, Abi."
"bukan aku Lara."
"bohong.."
Abi hanya diam, tapi aku terus memaksanya untuk jujur.
"Abi jangan bercanda!"
Lagi-lagi dia hanya diam.
Kini, aku berdiri hanya berjarak 1 meter dengannya, barulah aku menyadari hal aneh yang sudah kurasakan sejak awal.
"Abi? Kok kamu tinggi banget sekarang?"
Abi hanya menjawabku dengan senyuman. Aku tidak ingin kesal, ada banyak pelanggan yang datang. Aku harus tuntaskan kewajiban. Ku tinggalkan ia dan kembali bekerja.
Tak berselang lama, antrian kasir sudah mulai kosong, namun tiap bangku sudah terisi oleh khalayak.
Aneh bukan main, semua berbusana nuansa hitam.
Tidak mungkin jika mereka semua janjian. Aku bahkan tidak sadar bahwa sejak semalam aku tidur, ternyata piyamaku berwarna hitam. Ayahku, juga Abi.
Kebetulan macam apa ini?
Kepalaku tiba-tiba sakit.
"Lara.."
Abi.. lagi-lagi ia memanggilku.
Kali ini aku sangat kesal. Aku menoleh dan ingin memarahinya. Namun, ketika aku memalingkan wajahku, aku tidak melihatnya. Kemana dia? Ke toilet, kah?
Kenapa sih ini?
"Lara.."
Kenapa sama Abi? Kenapa dia mengerjaiku seperti ini? Ada suaranya tapi tidak kudapati raganya.
Aku tidak tahu sejak kapan dan berapa lama Abi hilang, yang pasti aku harus menemukannya.
Ku cari dia hingga ke area "only staff" tapi tetap kosong. Hanya satu tempat yang tidak mau aku kunjungi, karena tidak bisa juga aku masuk. Yaitu, Toilet Pria.
Lebih baik aku kembali ke meja kasir. Namun, hal aneh kembali terjadi.
Semua pelanggan hilang.
Semuanya.
Bahkan meja dan bangku semuanya rapi seakan belum tersentuh.
Kemana mereka pergi? Tidak ada satu suara pun disini.
Aneh sekali.
Aku sekarang berada di tengah ruangan untuk memastikan apakah ini mimpi? Tapi, segalanya memang pada tempatnya. Apa ini?
Tidak… apa aku berhalusinasi? Aku sakit?
Kepalaku pusing sekali. Aku harus pergi dari tempat ini. Ada yang tidak beres.
Baru saja aku memegang gagang pintu Kedai untuk keluar, Abi sudah menyebut namaku.
Tapi, kali ini aku tidak ingin menoleh, hatiku mengatakan aku harus pergi dari sini.
Lututku bergetar hebat, tiba-tiba aku susah bernafas.
"Tuhan selamatkan aku… aku ingin pergi dari sini."
Perasaanku penuh keyakinan bahwa Tuhan akan menyelamatkan, lalu ku buka pintu itu dan segera pergi.
Kepalaku masih teramat sakit. Aku harus mencari tempat beristirahat, tapi dimana?
Tidak. Tidak di rumah.
Bodoh! Aku meninggalkan tasku di kedai.
Uangku ada disana, aku tidak bisa kembali.
"Lara.."
Suara Abi.. kenapa dengan laki-laki itu? Dia terus memanggilku, tapi aku tidak ada keinginan untuk menoleh dan mencarinya. Aku ingin istirahat.
"Lara.."
"Lara.."
"Lara.."
Suara itu.. kenapa selalu menggemakan namaku? Tuhan tolong aku! Aku takut.
Pandanganku mulai pudar. Langkahku berat. Tidak sengaja aku menabrak seseorang dan terjatuh.
"maaf.. aku.. aku tidak sengaja"
"tidak apa-apa, sini saya bantu, Lara."
Hah? Suara itu? Aku masih tertunduk lemas dan belum bisa melihat wajahnya tapi suara itu….
"tidak.. jangan menyentuhku!"
"Lara, ayo, bangun! Kakek, nenek, dan ayah sudah menunggu. Kamu harus pulang."
"kamu siapa? Ibuku sudah meninggal!"
Ku lepaskan pegangan tangannya, dan benar saja wajahnya mirip ibuku. Suaranya, gesturenya, pakaiannya.
"aku ibumu."
"tidak! Ibuku sudah di surga! Pergi!"
Aku masih memegang kepalaku yang kesakitan serta membela diri dan terus menyangkal bahwa dia bukan ibuku.
"dengar Lara, kamu harus selamat. Cepatlah pergi dari sini."
Ia berbicara demikian sambil mengenakan gelang berbandul bintang pada tangan kiriku.
Gelang itu memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan. Mataku tidak sanggup melihatnya.
Apa? Apa ini? apakah aku pingsan? Atau sudah mati?
Aku mendengar suara monitor sambungan dari elektroda.
Aku dimana? Aku masih belum bisa melihat apa-apa… semuanya gelap..
"Lara…"
Abi.. suara itu.. Abi??? Benarkah itu dirimu?
"Lara."
Aku terkaget. Sontak membuka mataku.
Nafasku tidak karuan. Tubuhku basah oleh keringat.
Aku.. aku dimana? Kenapa aku terbaring disini?
Pertanyaan itu tidak bisa diucapkan, terus menari-nari dalam benak.
Kemana tenagaku?
"Lara.. kamu sudah sadar? Syukurlah.. dokter? Nek? Lara sudah sadar."
Apa? Apa tidak salah yang ku dengar? Aku dimana? Apa yang terjadi?
Aku benci keadaanku saat ini… tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam hitungan menit, dokter tiba dan memeriksa.
Aku masih tidak bisa berbicara, aku kehilangan banyak energi. Bahkan sekarang aku merasa sangat mengantuk sekalipun dengan mata terbuka.
Tapi, aku masih bisa mendengar obrolan mereka.
Mereka bersyukur akhirnya aku sadar, mereka senang bukan main. Rasanya seperti aku telah hibernasi berbulan-bulan. Apakah demikian? Aku penasaran dan ingin segera tahu.
Mataku tidak sanggup lagi melihat keadaan. Lampu kamar yang begitu terang dan keheningan yang pecah, membuatku hilang kesadaran.