Raffi menghantam meja kerjanya begitu keras. Papan nama terjatuh dari atas meja, sedikit retak akibat terbentur dengan lantai putih itu.
" Bagaimana bisa para dokter mengizinkan adikku untuk pulang ke rumah saat hampir seluruh wajahnya diperban?."
" Dokter yang sudah akrab dengan Tuan Ghibran lah yang akan merawat Ghibran di kediamannya, Tuan Raffi."
Raffi melonggarkan dasi yang mencekik area lehernya, bahkan jas hitamnya kini juga ia lepas karena merasa gerah. " Dasar..." Raffi tak dapat lagi protes, dia lebih memilih membungkam mulutnya saat ini untuk mengumpat kasar dihadapan manajernya.
Tangannya meraih pulpen yang tergeletak tak berdaya di atas meja, segera menulis sesuatu di atas kertas.
" Belikan bahan-bahan ini secepatnya..." Raffi lalu menatap langit pagi yang kini begitu cerah, "...Aku akan berkunjung kerumah adikku." tambahnya.
" Baik, tuan..."
Melihat kepergiannya membuat Raffi lagi-lagi menghela napas berat. Memposisikan duduknya dengan nyaman. Menatap kosong kearah depan seakan memikirkan sesuatu.
Ya, masa lalunya dengan sang adik.
***
Flashback on
Masa lalu...Ghibran kecil terdiam di dalam kamar. Tak berani menunjukkan diri di luar sana. Rasa takut menghantuinya, saat semua mata tertuju padanya. Ia takut, jika keluarganya akan membencinya. Mengunci pintu kamar dari dalam adalah pilihan nya.
Memilih untuk tetap diam dikamar sambil menatap mereka yang tengah bersenang-senang dibalik jendela.
Aroma daging, sosis dan beberapa sayuran yang dibakar membuat perutnya menjadi perih. Ghibran baru ingat jika ia belum makan hari ini.
Jangan menampakkan dirimu saat teman-teman ayah berkunjung. Hari ini adalah perayaan kakak mu yang baru lulus SMA. Kakakmu harus menjadi pusat perhatian, kamu mengerti, Ghibran?!–Joko Sulistio.
Terlalu membosankan berdiam diri dikamar. Ia ingin keluar dan menikmati angin malam ini.
Buku yang mengisi rak di kamar menjadi pilihan nya untuk membunuh waktu yang begitu lama. Berharap jika acara diluar sana cepat selesai agar ia bisa menikmati makan malamnya yang terlambat dengan nikmat.
Ghibran Sulistio, biasa dipanggil Ghibran adalah anak kedua dari pasangan Laura Bella dan Joko Sulistio. Dibesarkan menjadi sosok yang kuat tentu membuat Ghibran memiliki sikap tegas dalam dirinya.
Walau begitu, Ghibran memiliki banyak teman di sekolah karena ia mudah bergaul dengan siapa pun. Selain itu, ia juga lumayan pintar. Tidak seperti Raffi Sulistio, kakaknya yang memang terlahir sebagai anak yang cerdas.
Dibandingkan dengan sang kakak tentu membuat Ghibran sangat iri. Apalagi Raffi lebih diperhatikan dan disanjung dibandingkan dirinya.
Agar mendapatkan perhatian dari kedua orang tua nya. Ia mengikuti setiap perkataan mereka. Jika mereka menyuruh Ghibran untuk mengikuti kesal bela diri, ia akan melaksanakannya. Apa pun itu, asal ia juga dapat perhatian dari mereka.
Ghibran tersentak kaget saat Bi Ijoh berada di kamarnya. Menyerahkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan ikan.
" Terima kasih, Bi..."
Bi Ijoh membalas rasa terima kasih Ghibran dengan senyuman tulus. Mengusap surai hitam Ghibran dengan pelan, " Jika mas Ghibran ada masalah, Mas Ghibran bisa cerita sama Bibi."
Ghibran menggelengkan kepalanya. Ia memutuskan untuk tetap diam tak menceritakan masalahnya kepada Bi Ijoh. Ia tidak mau Bi Ijoh merasa khawatir terhadap nya.
Raffi Sulistio memandang intraksi Bi Ijoh dan Ghibran melalui jendela kamar Ghibran. Dari halaman belakang, cahaya lampu kamar Ghibran membantu ia untuk melihat kedalam.
" Raffi, makan yang banyak..."
Terkejut akan suara ibunya barusan. segera ia mengalihkan pandangannya menatap sang ibu yang kini menyerahkan beberapa potongan sosis.
" Apa anak mu ini akan mengikuti jejak ayahnya? menjadi seorang polisi."
Raffi terdiam. Berhenti mengunyah.
" Aku tidak memaksa Raffi untuk menjadi polisi seperti ayahnya..."
Raffi melirik kearah sang ayah yang tengah memandangnya. "...Aku lebih tertarik dalam dunia bisnis." jawab Raffi.
" Wah, kamu ingin menjadi pengusaha? pasti kamu akan sangat sukses, apalagi mempunyai otak cerdas."
" Kau benar, dia pasti bisa menjadi salah satu pengusaha muda sukses."
Raffi tersenyum menanggapi komentar dari teman ibunya itu. Memainkan garpu di tangannya tanpa minat untuk memasukkan beberapa potongan daging ke mulut.
" Adiknya yang akan menjadi seorang polisi."
Raffi menatap sang ayah dengan raut wajah khawatir. Ia tahu betul keinginan adiknya itu, walaupun ia tidak terlalu akrab dengan Ghibran.
" Tapi, bukankah Ghibran sangat pandai dalam memainkan piano? ku pikir Ghibran ingin menjadi seorang pianis."
" Tidak! itu hanya sekedar hobinya saja."
" Hm... berarti kamu mempunyai dua anak yang akan membanggakan kedua orang tua nya. Raffi akan menjadi pengusaha sukses dan Ghibran yang akan menjadi polisi seperti mu."
***
Mereka melambaikan kedua tangannya saat para tamu mulai pergi dari rumah mereka. Berterima kasih atas kedatangan mereka dalam acara perayaan kecil-kecil.
" Ghibran!"
Suara ayah yang begitu tegas. Bahkan membuat Raffi tertunduk mendengar suara sang ayah. Walaupun ayahnya tidak pernah mengeluarkan nada tegas itu terhadap nya. Hanya kepada adiknya saja.
Ghibran keluar dari kamarnya yang berada di lantao dua. Menggenggam erat buku bersampul coklat yang selalu dibaca oleh Ghibran. Entah, Raffi sangat penasaran dengan buku coklat itu.
" Iya ayah."
Ghibran berdiri di hadapan sang ayah. Menundukkan kepalanya tak berani menatap sang ayah yang kini memandangnya. Sang ibu berusaha untuk mengingatkan suaminya untuk tidak memaksa Ghibran.
" Mulai sekarang, kau harus menjadi seorang polisi seperti ayah!."
Ghibran berdecak pelan mendengar permintaan sang ayah barusan. Bukankah seharusnya Raffi yang menjadi polisi? kenapa harus dirinya?.
Ghibran tersenyum. Senyuman palsu. "Baik, ayah!." jawab Ghibran tanpa ragu.
Sang ibu menatap khawatir kearah Ghibran. Bagaimana pun juga, ia sangat tahu jika Ghibran pasti terpaksa mengikuti setiap perkataan mereka berdua.
Setelah menjawab, ia pergi menuju kamar tanpa menoleh sedikit pun kebelakang. Tak ada niat sama sekali.
Raffi mengikuti kepergian Ghibran. Memasuki kamar sang adik yang tidak dikunci. Menghampiri sang adik yang tengah duduk di depan sebuah piano keaayangan nya itu.
"...Sepertinya aku akan merindukan tuts-tuts hitam putih ini, kak." Ghibran berucap dengan lirih, "...aku juga mungkin akan merindukan alunan merdu dari piano ini." tambahnya lagi.
Raffi terdiam.
" Bukankah seharusnya kakak berterima kasih kepadaku. Karena aku mau mengkorbankan cita-cita ku?"
Raffi tertunduk.
" Kak Raffi."
Raffi memandang Ghibran.
" Apa kau takut menjadi seorang polisi?."
"TIDAK!" Raffi dengan cepat menjawab pertanyaan dari sang adik, " Kakak hanya merasa jika kakak tidak pantas menjadi seorang polisi. Lagi pula, bukankah kau mengikuti kelas bela diri? itu bisa menjadi bekal mu saat mengikuti seleksi penerimaan nantinya."
"...Dan juga, kau lebih berani menghadapi bahaya di bandingkan kakak."
" Kakak tidak bisa menggunakan tangan kakak untuk menghadapi bahaya yang mungkin..."
"...akan merenggut nyawa."
Flashback Off
***
Raffi keluar dari mobil. Memandang rumah besar dihadapannya. Rumah Ghibran yang baru. Segera ia masuk kedalam rumah tanpa menekan bel. Lagi pula, ART yang bekerja di rumah Ghibran sudah tahu siapa dirinya.
Menaiki tangga menuju lantai 2. Lebih tepatnya berjalan menghampiri pintu kamar milik Ghibran.
"...Dulu cita-cita ku ingin menjadi seorang pianis."
Raffi menghentikan niatnya untuk membuka pintu kamar Ghibran. Sepertinya ada orang lain yang berkunjung kerumah Ghibran.
Ia memutuskan untuk mendengarkan perkataan Ghibran yang tengah asik bercerita dengan seseorang di dalam.