Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 39 - Aku baik-baik saja

Chapter 39 - Aku baik-baik saja

Ghibran menatap pantulan dirinya di cermin. Perban setengah menutupi wajahnya, akibat kejadian tadi malam. Setengah wajahnya mendapatkan luka bakar. Yah, setidaknya rekan-rekan nya hanya mendapatkan luka bakar di area punggung dan tangan, berbeda dengan dirinya yang terkena di sisi wajah.

Ia tak ingin berlama-lama dirumah sakit, Ia tak suka dengan aroma obat-obatan yang menyengat serta cat putih bersih dirumah sakit. Ia lebih memilih merawat diri di rumah saja.

" Kak Ghibran."

Zea menatap Ghibran dengan pandangan khawatir.

" Mendapatkan luka di wajah tidak menghilangkan keahlianku dalam berburu kejahatan diluar sana..."

Zea menganggukan kepalanya saat Ghibran menjelaskan kepadanya. Kata-kata Ghibran seakan memberitahukan nya jika dia baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatirkan nya.

Memainkan jari-jarinya di atas tuts-tuts hitam putih hingga mengeluarkan nada yang begitu indah. Ghibran memandang Zea yang tengah menikmati alunan nada yang keluar dari tuts-tuts yang dimainkannya.

Entah mengapa, alunan nada itu seakan berusaha menenangkan Ghibran. Membantunya menghilangkan beban pikiran yang bersarang selama ini.

Bangkit dari kursi. Berjalan menghampiri Zea. Jari-jarinya juga ikut menari diatas tuts-tuts hitam putih itu, seirama dengan permainan Zea.

Dengan mata sebelah tertutupi oleh perban tak menghalangi Ghibran untuk memainkan tuts-tuts tersebut dengan baik. Bahkan bisa menyamakan permainan Zea.

'Jreng!

Permainan diakhiri.

" Kak Ghibran ternyata sangat berbakat ya dalam bermain piano." puji Zea kepada Ghibran.

Ghibran tersenyum. "...Dulu cita-cita ku ingin menjadi seorang pianis." Menghela napas saat memandang langit pagi melalui jendela kamarnya. "...Tapi Ayahku menginginkan ku menjadi seorang polisi, seperti dirinya. Aku tidak bisa membantah kemauan Ayahku, karena aku tidak bisa melawannya. Aku selalu menghormati Ayahku. Aku juga selalu menghormati Ibu dan kakak ku. Aku diajarkan oleh Ayahku untuk tidak membantah perkataan kedua orang tua."

" Aku membenci pekerjaan ku yang harus berhadapan dengan para penjahat yang kapan saja bisa membunuh ku."

Ghibran tertawa. " Tapi anehnya, kenapa aku malah menyukai pekerjaan ku saat ini?" terdengar nada kebingungan yang dikeluarkan oleh Ghibran.

Zea menunduk. " Itu berarti..." Memandang wajah Ghibran yang kini juga memandangnya. "...Kak Ghibran sudah menerimanya. Menerima takdir kakak yang harus menjadi seorang polisi. Mungkin, memang kakak pantas untuk menjadi seorang polisi dibandingkan seorang pianis."

" Ya... Sepertinya aku sudah menerima takdirku. Aku tidak iri lagi dengan teman-teman ku yang berhasil menggapai cita-cita mereka inginkan sedari kecil." kata Ghibran.

Zea segera memeluk tubuh Ghibran. Menepuk-nepuk punggungnya yang sedikit begetar. Bahu Zea basah akibat tangisan Ghibran. Sekuat apapun pria, dia juga bisa menangis kan?.

" Aku bersyukur..."

Bisikkan yang begitu lirih.

***

Raffi hanya bisa terdiam di depan kamar adiknya itu. Memegang erat semangkuk bubur ditangannya yang awalnya ingin memberikan nya kepada Ghibran.

Ah! Mungkin ia benar-benar keterlaluan. Merebut kasih sayang kedua orang tua nya dari Ghibran.

Seharusnya ia mengerti perasaan Ghibran saat itu. Saat hari ulang tahun Ghibran dimana ayah dan ibunya tidak merayakannya dan justru malah menemani dirinya yang akan mengikuti olimpiade matematika. Saat Ghibran meminta salah satu dari mereka untuk menemaninya mengambil rapot, Saat Ghibran meminta diajarkan beberapa soal yang tidak dipahaminya. Ah! kejadian itu terus berulang berputar seakan menyalahkan dirinya.

Bahkan Ia masih ingat saat Ghibran berhasil menjadi lulusan terbaik, tidak ada yang memujinya. Malah, ayah dan ibunya membandingkan Ghibran dengan dirinya.

" Tuan, ada yang bisa saya bantu?." salah satu ART di rumah Ghibran tak sengaja melihat keterdiaman Raffi.

Raffi segera menyerahkan semangkuk bubur kepada ART tersebut. " Tolong, suruh Ghibran untuk memakannya. Jangan beritahu jika aku yang menyiapkannya." kata Raffi.

Sempat bingung, namun tetap mengikuti perintah Raffi.

***

Pintu terbuka saat Ghibran memberi izin kepada ART nya untuk masuk kedalam kamarnya. Bi Ijoh, segera menaruh semangkuk bubur diatas meja dekat kasur.

" Silahkan dimakan, Mas Ghibran." kata Bi Ijoh saat menaruh semangkuk bubur.

Ghibran tersenyum. " Baik, Bi. Terima kasih sudah mau menyiapkan makanan ku." kata Ghibran.

" Sama-sama, Mas Ghibran. Kalau begitu saya akan melanjutkan membersihkan ruang depan."

" Jangan terlalu dipaksakan, jika Bibi merasa kecapean, istirahat lah..."

" Baik,Mas Ghibran."

Zea menatap kepergian Bi Ijoh. Setelah pintu tertutup rapat, Zea segera mengambil semangkuk bubur ayam itu dan mengarahkan sesendok bubur kedepan mulut Ghibran.

" Aku bukan anak kecil lagi, Zea." omel Ghibran yang tak ingin disuapi.

Tapi, Zea tetap saja mengarahkan bubur itu di depan mulut Ghibran. Tak lupa dengan tatapan tajamnya, seakan memberi sebuah perintah 'Makan atau ku paksa!'—Zea.

Ghibran akhirnya menyerah. Membiarkan Zea untuk menyuapinya kali ini. Lagian, hanya mereka berdua di kamar, jadi Ghibran tidak merasa malu.

" Kenapa? "

Ghibran menatap mangkuk kosong yang ada ditangan Zea. "Ini bukan masakan Bi Ijoh." kata Ghibran yang sudah mengenal betul rasa masakan Bi Ijoh. "...Apa Bi ijoh membeli bubur di warung?."

Zea menyerahkan segelas air putih kepada Ghibran. " Masa sih? Menurutku rasa bubur ayam semuanya sama. Gak ada bedanya..." kata Zea.

Ghibran berpikir, mungkin saja efek luka bakar sehingga mempengaruhi indra pengecapan nya. Mungkin saja...

Zea segera membawa mangkuk serta gelas kosong menuju dapur. Meninggalkan Ghibran yang memandang kearah jendela kamarnya. Lebih tepatnya, kearah sosok pria yang kini berjalan menuju mobil hitam terparkir di depan halaman rumahnya.

Pria itu mendongak, menatap kearah rumah miliknya dengan senyuman yang tak dapat diartikan. Ghibran hanya diam, bersedekap dada tanpa merasa takut jika pria itu melihatnya.

Lagi pula kaca jendelanya gelap jika dilihat dari luar.

" Terima kasih, Kak. Sudah memberikan ku bubur ayam itu. Aku sangat senang saat tahu jika bubur itu olahan kakak sendiri." gumam Ghibran, senyuman tipis terukir diwajahnya. "Seharusnya kak yang menyerahkan bubur itu kepadaku, bukannya meminta bantuan Bi Ijoh." tambahnya lagi, seakan protes dengan tindakkan kakaknya barusan.

***

Raffi menghela napas. Dia berharap jika Ghibran mengenali rasa masakkan tersebut. Berharap jika Ghibran keluar dan memanggil 'Kakak'kepadanya.

Namun, sepertinya itu mustahil.

Terakhir kali ia berbicara dengan adiknya saat Ghibran ingin mengambil beberapa barang yang ada di rumah kedua orang tua mereka. Saat adiknya memasang raut wajah ketakutan karena mengaku jika dia melihat makhluk aneh.

Raffi berpikir jika mungkin saja makhluk mengerikan yang dimaksud Ghibran itu adalah dirinya. Ya, mungkin saja kan Ghibran mengejeknya saat itu.

Terlalu lama memandang, akhirnya Raffi memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah Ghibran.

Berjalan perlahan menuju mobil yang terparkir dihadapannya.

Sekali lagi, Raffi benar-benar berharap jika Ghibran melihat dirinya melalui jendela kamar.

" Apa urusan anda sudah selesai, tuan?" tanya sang supir pribadinya yang sedari tadi menunggu kedatangan Raffi.

Raffi duduk dikursi belakang. "Ya, urusanku sudah selesai." lagi, melirik kearah jendela kamar Ghibran dengan raut wajah khawatir. "Antarkan aku kembali keperusahaan." kata Raffi dengan nada tegasnya.

Sang supir menganggukan kepalanya. Segera mengemudi mobil, menjauh dari rumah Ghibran menuju jalan raya. Jalan yang mengarah ke perusahaan miliknya.