Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 40 - Akhir yang Bahagia

Chapter 40 - Akhir yang Bahagia

" Kak Ghibran"

Panggilan dari Zea menyadarkan Ghibran dari lamunannya barusan. Ia menoleh dengan cepat saat Zea kini tengah menatapnya. Ah! sepertinya ia terlalu memikirkan sang kakak hingga tidak menyadari jika Zea berada di sekitar nya.

Zea membantu Ghibran melepaskan perban yang membalut setengah wajahnya itu. Luka bakar belum sepenuhnya kering. Perlahan, setelah membersihkan tangannya, Zea mengoleskan salep ke sisi luka bakar yang dimiliki oleh Ghibran.

Tangan gemetar, takut menyakiti Ghibran.

Ghibran menghentikan Zea. Menggenggam erat pergelangan tangan Zea sehingga ia tidak dapat bergerak dengan mudah.

Bola mata yang tersembunyi dibalik kelopak mata kini menatap Zea dengan raut wajah serius.

" Aku mempunyai satu permintaan." kata Ghibran.

Zea mengelus pergelangan tangan nya yang sedikit memerah akibat cengkraman kuat Ghibran. Mengumpat kesal dan memprotes tindakkan Ghibran barusan sambil menahan sakit dipergelangan tangannya.

" Apa? "

"...Aku" Ghibran melirik ke arah luar jendela. "...Ingin menemui kakak ku dan juga kedua orang tua ku sekarang." kata Ghibran.

" Kenapa? "

" Karena aku hanya ingin bertemu dengan mereka. Aku merindukan mereka." senyuman tulus terlukis di wajah tampannya.

Zea menyelesaikan pekerjaannya, menyimpan beberapa perban dan obat milik Ghibran ke dalam laci meja.

" Kalau begitu..." sambil memainkan kunci mobil Ghibran di jari telunjuknya, "...Sepertinya aku yang akan mengemudi mobil mu."

***

Raffi terduduk di atas sofa yang sudah tersedia di ruang kerja nya itu. Melepaskan jas hitamnya, juga dasi merah cerah itu. Merebahkan tubuhnya, menghilangkan rasa penat.

Tatapannya tertuju ke langit-langit ruangan. Putih bersih tanpa noda sedikit pun.

" Tuan Raffi, saatnya anda menghadiri rapat."

Raffi segera bangkit. Mengenakan kembali jasnya serta dasi merahnya. Merapikan penampilannya yang sedikit agak berantakkan.

Sekali lagi ia menatap pantulan dirinya di cermin. Memastikan jika ia sudah rapi.

Ruang rapat sudah dipenuhi oleh peserta rapat. Raffi segera duduk di kursinya. Memulai rapat pada hari ini. Walau tengah sibuk, akan tetapi Raffi tak bisa fokus. Pikirannya terpecah, ia benar-benar kesulitan untuk berkonsentrasi. Kehilangan fokus, karena memikirkan sang adik.

Umpatan kesal sempat dikeluarkan oleh Raffi. Umpatan pelan, hingga membuat peserta rapat tak mampu mendengar umpatan kasar itu. Mengetuk-ngetuk jarinya, berusaha bersikap profesional.

Bayangan wajah Ghibran kecil yang menatap dirinya membuatnya merasa cemas. Ia berpikir, apakah selama ini dirinya sudah dimaafkan oleh sang adik?.

Pengecut? Kata yang pas untuk dirinya. Seharusnya, ia yang menjadi polisi saat itu, bukan adiknya. Mungkin, karena ia sering melihat ayahnya pulang dengan berbagai macam luka dan juga melihat aksi polisi di TV membuatnya merasa takut.

"...fi"

"Raffi..."

" Tuan Raffi..."

Raffi tersentak, menoleh spontan kearah si pemanggil. Panggilan itu menyadarkannya dari lamunan berkepanjangan barusan. Tatapan kebingungan dari peserta rapat membuatnya merasa tak enak.

Segera ia menjawab panggilan barusan, sekedar memecahkan keheningan dan tatapan yang diperlihatkan para peserta rapat.

"Hm..."

Gumam yang selalu diandalkan Raffi jika dalam suasana canggung seperti saat ini..

"Anda baik-baik saja, tuan? Sepertinya anda sedikit tidak fokus. Apa anda sedang sakit? "

Raffi tersenyum." Aku baik-baik saja, silahkan lanjutkan rapatnya."

Rapat kembali berlanjut, perlahan Raffi sedikit bisa memfokuskan dirinya dalam pekerjaannya kali ini. Berusaha untuk tidak kembali memikirkan Ghibran. ia tidak bisa tenang jika bayangan wajah Ghibran selalu berada dipikirannya.

Akhirnya, rapat selesai. Raffi berhasil menyelesaikan rapat hari ini dengan lancar. Untung saja para peserta rapat begitu cepat tanggap dalam menangani masalah yang kini tengah mereka hadapi. Rapat benar-benar berjalan dengan lancar.

" Tuan, adik anda sedang menunggu di depan." bisik asistennya saat Raffi keluar dari ruang rapat.

Raffi terdiam. Tidak biasanya Ghibran berkunjung ketempat kerjanya.

" Kakak."

Raffi menatap Ghibran yang kini berdiri dihadapannya dengan senyuman menawan nya itu. Senyuman yang belum pernah ia lihat dari wajah Ghibran.

Raffi memberi isyarat agar memberi waktu kepada mereka berdua.

" Apa kau menunggu lama?" tanya Raffi.

Ghibran menggelengkan kepalanya pelan."Aku baru saja sampai."

Raffi menganggukan kepalanya. Pandangannya kini teralih kearah perban yang menutupi luka bakar di sisi kiri wajah Ghibran. Tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh perban tersebut.

" Apa masih sakit? "

Ghibran menggelengkan kepalanya.

" Kau sangat kuat. Dulu saat kau jatuh dari sepeda pun selalu mengatakan 'aku baik-baik saja'. Menurutkan sangat tidak normal anak usia 3 tahun tidak merasakan rasa sakit saat terjatuh."

Ghibran tersenyum.

" Apakah, kau ingin mengatakan sesuatu? Bukankah kau selalu mempunyai tujuan saat bertemu dengan seseorang."

Ghibran mengangguk. " Kak Raffi." Ghibran terdiam sejenak. "...Terima kasih telah memberikan bubur untuk ku. Masakkan mu tetap sama seperti dulu saat kakak memberikan ku bekal, saat aku berangkat untuk mengikuti penerima calon anggota kepolisian."

Ghibran lalu memeluk Raffi. Membenamkan wajahnya dibahu kokoh sang kakak. " Jika kakak berpikir aku sangat marah pada kakak..."

"...Maka jawabannya 'Ya'. Aku benar-benar marah kepada kakak, tapi aku tidak membenci kakak, karena aku memang tidak bisa membenci salah satu orang yang ku sayangi."

Airmata menetes tanpa disadari. Terharu, mendengar perkataan Ghibran barusan. Bersyukur saat tahu, Ghibran tidak membencinya.

"...Cita-cita ku dulu ingin menjadi pianis, tapi aku segera meninggalkan nya saat tahu jika kakak tidak ingin mempunyai pekerjaan seperti ayah."

Pelukkan itu semakin erat. Seakan ingin menyalurkan emosinya yang sudah lama ia pendam.

" Aku menjalankan pekerjaan ku dengan berat hati. Aku benar-benar marah akan keputusan kakak yang memilih menjadi pengusaha, tapi itu dulu." Ghibran melepaskan pelukkan nya.

" Sekarang, aku menerima pekerjaan ku. Melupakan semuanya..."

Raffi mengusap airmata nya yang tetap saja mengalir walau berusaha untuk tidak menangis.

" Maaf...membuatmu kecewa dengan keputusan kakak."

Raffi lalu menggenggam kedua tangan Ghibran.

"...Aku benar-benar kakak yang buruk."

" Tidak juga..."

Raffi terkekeh mendengar jawaban dari Ghibran. Apalagi saat Ghibran mengeluarkan ekpresi wajah berpikir. Benar-benar ia merindukan berbagai ekpresi adiknya itu.

" Mau makan malam bersama?." ajak Raffi.

" Tentu, sudah lama aku tidak makan malam bersama kakak, sekalian kita ajak ibu dan ayah." jawab Ghibran.

" Kau tidak ingin berlama-lama di tempat kakak? "

Ghibran menggelengkan kepalanya. "Aku ingin mengunjungi Ayah dan juga Ibu."

"Baiklah, hati-hati dijalan."

Raffi mengantar Ghibran menuju tempat parkir roda empat. Dimana mobil Ghibran terparkir. Zea segera menyapa Raffi saat mereka berdua menghampirinya.

" Jaga adikku." pinta Raffi kepada Zea yang baru saja menutup pintu mobil.

Zea menganggukan kepalanya. Tanpa diminta pun, pasti ia akan menjaga Ghibran hingga selamat sampai tujuan. Segera ia mengemudikan mobil menuju lokasi selanjutnya.

Meninggalkan Raffi yang kini dalam suasana hati yang begitu baik.

***

Mobil BMW milik Ghibran kini terparkir di halaman kantor kepolisian. Segera Ghibran keluar dari mobilnya tanpa ditemani oleh Zea.

Aku tidak ingin mengganggu momen kebersamaan mu–Zea.

Anggota polisi yang sudah mengenal baik dengan Ghibran segera menyapanya. Ghibran membalas sapaan mereka dengan senyuman nya. Melangkahkan kakinya tanpa ragu ke sebuah ruangan yang ia yakini tempat ayahnya bekerja.

Pintu terbuka saat Ghibran mengetok pintu beberapa kali. Memperlihatkan pria yang nampak awet muda dengan seragam kepolisiannya.

" Ghibran."

Ghibran segera mencium tangan ayahnya.

" Maaf mengganggu waktu ayah. Aku hanya ingin berkunjung saja."

" Masuklah, tidak enak dilihat banyak orang dan juga tidak sopan berbicara di depan pintu masuk."

Ghibran segera masuk ke ruang kerja ayahnya. Menutup pintu agar orang-orang diluar tidak mendengarkan percakapannya nanti.

Secangkir teh hangat tersaji diatas meja. Segera Ghibran meminumnya secara perlahan. Rasanya tidak sopan jika ia tidak meminum teh yang sudah disiapkan oleh sang ayah.

" Jadi? "

Ghibran menaruh cangkir teh diatas meja. Memandang sang ayah dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

"...Aku sebenarnya ingin mengatakannya sejak lama. Mungkin karena dulu aku tidak memiliki keberanian, aku jadi tidak bisa mengatakannya."

"...''

" Ayah,aku benar-benar tidak suka saat ayah membandingkan ku dengan Kak Raffi. Ayah pikir jika otak ku sama seperti Kak Raffi, aku tidak terlalu bodoh, aku selalu masuk ke dalam peringkat 3 besar, tapi aku tidak secerdas seperti Kak Raffi."

"..."

"...Aku juga ingin mendapatkan pujian dari ayah. Aku juga ingin mendengarkan nasehat yang membangun dari ayah."

"..."

" Tapi, semua itu sirna. Saat ayah menyuruhku untuk tidak keluar dari kamar hanya sekedar ingin Kak Raffi menjadi pusat perhatian."

" Ghib—"

"...Ayah tahu, hal yang membuatku marah adalah saat ayah meminta ku menjadi seorang polisi seperti ayah. Saat aku sudah menentukan tujuan ku, ayah mengubahnya begitu saja."

"...Seakan semua persiapan ku selama ini terasa sia-sia. Mengulang kembali dari 0."

" Ghibran..." suaranya begitu lirih saat memanggil nama Ghibran.

" Terima kasih, ayah..." Ghibran kini tersenyum tulus. "...Sudah memperkenalkan ku pada dunia kepolisian. Aku bersyukur menerima permintaan ayah."

Segera ia memeluk Ghibran. Menepuk punggung kokoh Ghibran penuh rasa bangga. Bangga atas pencapaian anaknya.

" Kak Raffi mengajak kita untuk makan malam bersama. Apa ayah ada waktu luang malam ini?"

" Ya, ayah punya waktu luang untuk makan malam bersama."

Ghibran bangkit dari posisi duduknya. Berjalan perlahan menuju pintu ruangan. "Aku menunggu kehadiran, ayah." kata Ghibran sebelum meninggalkan sang Ayah sendirian diruangannya

***

Tujuan mereka selanjutnya ialah ketempat toko bunga milik ibu kandung Ghibran. Ghibran lagi-lagi harus menghampiri sang ibu tanpa ditemani oleh Zea.

Suara bel membuat wanita yang tengah menyiram tanaman menoleh kearah sumber suara. Senyuman bahagia terlukis diwajah nya saat Ghibran mengunjunginya.

" Mau minum secangkir teh mawar?"

Ghibran menganggukan kepalanya. Segera secangkir teh mawar tersaji dihadapannya. Ghibran menikmati aroma teh mawar yang begitu menenangkan, segera meminumnya setelah puas menghirup aromanya.

" Terima kasih, bu."

Ghibran menaruh cangkir kosong diatas meja dihadapannya.

"...Sudah membesarkan ku hingga menjadi sosok Ghibran yang sekarang. Aku benar-benar bersyukur."

" Kaulah yang memilih jalan mu sendiri, nak. Ibu hanya menuntunmu."

Ghibran menganggukan kepalanya.

" Ibu, bisakah ibu merangkai bunga mawar putih? Aku ingin berkunjung ke makam teman ku."

" Ibu akan merangkainya untuk mu,nak.Tunggulah sebentar."

Tangannya begitu lihai merangkai bunga yang diinginkan oleh Ghibran. Hanya membutuhkan waktu 1 menit untuk menyelesaikan rangkaian bunga pesanan Ghibran.

Ghibran ingin membayar, namun sang ibu menolak. Ia tak ingin menerima uang dari Ghibran.

" Bu, Kakak mengajak ku untuk makan malam hari ini. Ayah akan datang, apakah ibu bisa hadir? "

" Tentu, ibu akan datang bersama ayah mu. Lagi pula, sudah lama kita tidak makan bersama, bukan?"

***

Zea dan Ghibran akhirnya sampai ditujuan terakhir mereka. Pemakaman umum.

Ghibran dan Zea memandang punggung Nathan yang tengah sibuk membersihkan beberapa rumput kecil yang tumbuh di atas gundukkan tanah itu. Menaburkan bunga yang ada di dalam keranjang di atas gundukkan tersebut setelah menyelesaikan membersihkan rumput.

Ghibran menepuk bahu Nathan. Jongkok di samping Nathan sambil memandang gundukkan tanah dihadapannya.

" Maaf baru saja berkunjung, Kak Abbiyya." Kata Zea yang kini menaruh karangan bunga yang ia beli barusan di toko bunga milik ibu Ghibran.

Mereka bertiga berdoa di depan makam Abbiyya.

" Aku merindukannya..." Nathan berucap, setelah selesai membaca doa. diusapnya batu nisan bertuliskan 'Abbiyya'.

Ghibran merangkul bahu Nathan. Ia mengerti perasaan Nathan saat ini.

" Aku juga merindukan, Kak Abbiyya."kata Zea yang kembali menaburkan bunga di atas gundukkan dihadapannya.

"...Aku ingin, Kak Abbiyya menonton kembali pertunjukkan ku nanti." tambahnya lagi.

Nathan menepuk bahu Zea pelan. Memberi isyarat kepada Zea agar tidak menangis di depan makam Abbiyya.

Zea tersenyum, mengerti isyarat dari Nathan. Berusaha untuk tidak menangis dihadapan makam Abbiyya. Ia tidak ingin, Abbiyya melihat dirinya menangis.

***

Seminggu kemudian...

Zea berhasil memenangkan kompetisi yang ia ikuti. Menjadi juara pertama tingkat nasional. Popularitas Zea semakin melambung. Wajah menawan Zea bisa ditemui dimajalah, layar TV, dan billboard.

Bahkan Zea mendapatkan penghargaan sebagai pianis terbaik.

Ghibran dan rekan-rekan kembali bertugas, mereka dikirim keperbatasan untuk menjaga keamanan disana.

Sudah seminggu Zea dan Ghibran tak bertemu. Mereka masih tetap saling berkomunikasi. Memberi kabar mereka setiap ada waktu senggang.

Nathan dan regunya dikirim ke lebanon untuk bergabung dengan pasukkan perdamaian disana.

" Kerja bagus, Zea." puji Eri saat Zea menyelesaikan pertunjukan nya.

Memberi sebotol air mineral untuk Zea.

Zea menerimanya dengan senang hati.

" Besok kamu harus datang, kita akan mulai berlatih untuk persiapan kompetisi selanjutnya." kata Eri.

" Baiklah..."