Chapter 46 - Ikatan

" Hanna."

Hanna mengangkat kepala setelah sebelumnya ia memerangkapkan dirinya ke dalam pikiran-pikiran tentang Hasan. Namun sekarang ini, sosok wanita cantik yang telah menjadi rivalnya itu dalam dunia ballet menyita seluruh perhatiannya. Hanna bangkit dari tempat duduk ruang rias dan berjalan keluar, setelah sang pelatih menyuruhnya untuk pergi bersama rivalnya itu kebelakang panggung.

" Senang bisa melihat mu lagi, Hanna."

Hanna membungkuk membalas keramahan Arabelle sang rival. Ini adalah pertunjukkan tari mereka berdua yang ke lima kalinya. Tadinya Hanna merasa jika ia tidak harus menerima tawaran untuk kembali menari bersama dengan Arabelle. Namun, ia tak mungkin diam sendirian di rumah tanpa melakukan kegiatan apapun. Bagaimanapun juga dirinya masih ingin menikmati tariannya bersama dengan Arabelle.

Arabelle atau biasa sering di panggil Belle adalah ballerina terkenal yang dijuluki sebagai angsa hitam karena memiliki aura yang penuh misteri. Tariannya selalu membuat para penonton masuk ke dalam suasana seram namun menyenangkan secara bersamaan. Hanna pertama kali bertemu dengan Arabelle saat berada di kontes ballet yang sering dilakukan di gedung seni pertunjukkan setiap tahunnya. Dimana kontes tersebut sebagai ajang unjuk bakat.

" Selamat malam, Belle. Bagaimana dengan keadaanmu? Ku dengar kau mengalami cedera pada kaki mu."

" Sejauh ini masih baik-baik saja."

" Kau harus menjaga aset berharga seorang ballerina. Jangan paksakan dirimu jika masih terasa sakit."

" Ah! Aku akan selalu mengingat nasehatmu itu, Hanna. Ngomong-ngomong apa kau sudah baikkan? Ku dengar kau terkena demam."

Hanna menggeleng sambil tersenyum. Hanna mengagumi senyuman menawan yang menjadi trademark wanita itu.

" Kabar yang melegakan, Sejauh ini aku lihat kau sudah mulai mengeluarkan aura cerahmu itu seperti biasanya. Mungkin karena kau tidak pernah lupa menggunakan obat dari resep dokter sehingga aura mu itu kembali lagi. Aku harap kau tidak terkena demam lagi. Akan sangat mengecewakan karena rival sejatiku memiliki tubuh yang lemah."

" Benarkah? "

" Hm, bahkan tidak ada yang menarik dari ballerina lainnya. Mereka memiliki aura yang biasa saja dibandingkan kau."

" Dulu aku juga tidak semenarik seperti sekarang ini."

" Ya, karena kau benar-benar mencintai dunia ballerina. Berbeda dengan mereka yang hanya ingin mencoba saja, bahkan ada yang memang ingin mempamerkan keindahan tubuh mereka. Benar-benar menjengkelkan jika di ingat kembali." kata Belle dengan nada bercanda.

Hanna tersenyum mendengar perkataan Belle barusan. Menundukkan kepalanya sekedar menyembunyikan ekpresinya saat ini.

" Ah, ngomong-ngomong...pria tampan yang pernah menonton pertunjukkan kita berdua itu, apakah dia benar-benar suami mu?."

Hanna menatap Belle yang tengah mengenakan sepatu balletnya. Entah mengapa, dari nada bicara Belle seperti ada maksud tersembunyi.

" Eh, maksudmu si pria berbaju loreng yang memiliki otot menawan itu?."

Entah dari mana Rika muncul secara tiba-tiba dan ikut bergabung dalam perbincangan mereka berdua. Belle mengangkatkan kepalanya, menatap fokus ke arah Rika yang tengah merapikan tata rambutnya itu.

" Benar sekali."

" Ah, apa dia benar-benar suami mu Hanna? Aku tidak percaya jika dia benar-benar suami mu. Pria tampan sepertinya mana cocok dengan mu, lebih baik dia dengan ku saja... Ha~sayang sekali kamu sudah mengklam nya?."

DEG

Hanna mengelus cincin yang terpasang manis di jarinya. Cincin pernikahannya dengan Hasan, suaminya yang saat ini jadi bahan pembicaraan Rika dan Belle.

" Apa sebegitu tidak pantasnya aku bersanding dengan nya?."

" Ya, kau dari kalangan bawah benar-benar tidak pantas dengan nya. Apalagi ku lihat sepertinya dia memiliki jabatan yang cukup bagus." kata Rika dengan nada sindirannya itu.

Tidak pantas?

Kata-kata Rika barusan masih begitu melekat di pikirannya, bahkan setelah selesai penampilan tarian mereka setelah satu jam pun perkataan Rika masih melekat. Belle jelas sangat khawatir dengan keadaan Hanna saat ini.

" Jangan terlalu dipikirkan. Kau tahu sendiri jika Rila dikenal dengan mulut pedasnya itu."

Ah, Hanna ingin sekali segera pulang ke rumah dan memeluk foto Hasan sambil menangis di dalam kamar. Ia ingin berteriak karena marah. Ia ingin melepaskan kekesalannya saat ini juga. Namun... Kenapa ia sangat ingin bertemu dengan Hasan?

" Aishh, Rika itu... Aku akan memukul kepalanya jika kita bertemu lagi dengan nya." kata Belle dengan nada kesal.

Hanna terkekeh mendengar omelan dari Belle. Tidak buruk juga ia menerima ajakkan Belle untuk pergi jalan-jalan ke festival tahunan yang saat ini diadakan.

Walau Belle memiliki muka seperti orang jahat tapi sebenarnya Belle memiliki hati yang begitu lembut dan tulus. Hanya saja, Belle hanya memperlihatkan sifatnya itu kepada orang-orang terdekatnya, seperti dirinya.

Belle berasal dari orang terpandang, ayahnya pemilik perusahaan tambang sedangkan ibu tirinya bekerja sebagai seorang prajurit negara. Banyak yang mengatakan jika ibu tiri Belle seumuran dengan Belle.

Kring!

Buru-buru Hanna mencari ponselnya di dalam tas. Ia bergeges memencet tombol hijau dan langsung mendekatkan ponselnya ke telinga.

" Halo, bu."

" Hanna, di mana kau sekarang?."

" Aku? Baru saja selesai dengan pertunjukkan tari dan sekarang berada di festival dengan Belle. Kenapa? "

" Kau baik-baik saja kan nak? Apa demam mu sudah menurun?"

Hanna sejenak menghentikan langkahnya. Ia segera duduk di kursi yang telah tersedia agar terhindar dari orang-orang yang berlalu- lalang. Belle yang sedari tadi memperhatikan Hanna segera duduk di kursi, di samping Hanna yang tengah sibuk berbicara dengan si pemanggil.

" Ibu tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa. Hasan tadi siang memasakkan makanan untukku serta mengingatkan ku untuk meminum obat."

" Benarkah? Syukurlah? Ibu sempat khawatir jika demam mu tidak segera turun dengan cepat. Bahkan ibu ingin segera pergi ke rumah mu untuk menemani mu di sana."

Tanpa sadar Hanna menahan napas. Bagaimana pun juga seharusnya Yuri tidak perlu khawatir dengan keadaan nya. Apalagi ia hanyalah anak angkat saja, bukan anak kandung. Beginikah rasanya dikhawatirkan oleh seorang ibu?. Hanna mengucap rasa syukur yang amat teramat dalam untuk Yuri yang dengan tulus merawatnya hingga menjadi sosok wanita seperti sekarang.

" Bu, aku merindukan ibu...Ah bukan, tapi aku sangat-sangat merindukan ibu."

" Apa besok ibu harus pergi berkunjung ke rumah mu?"

Pikirannya yang melayang akan perkataan Rika kini teralihkan berkat ibunya. Hanna benar-benar berterima kasih dengan Yuri yang sudah mau menelpon nya saat suasana hatinya benar-benar tidak baik.

" Tentu, bu. Aku akan sangat senang jika ibu berkunjung ke rumah."

Hanna melirik ke arah Belle yang memberi kode jika dia ingin pergi membeli beberapa cemilan. Menganggukan kepala sebagai jawaban untuk mengizinkan Belle membeli beberapa cemilan.

" Kau mau ibu membawakan apa besok? Apa ibu perlu membelikan semangka? Entah mengapa akhir-akhir ini kamu suka sekali dengan semangka. Biasanya kau membenci semangka, apa karena menikah dengan Hasan sehingga buah kesukaan Hasan pun kini menjadi buah kesukaan mu? "

" Kenapa?"

" Rasanya aneh saja melihat mu menyukai semangka."

Hanna tersenyum saat mendengar suara tertawa dari seberang sana. Ibunya jelas tengah bahagia.

" Apa ada kabar baik? "

" Ah, kakak mu akan segera memiliki anak. Ibu benar-benar bahagia, akhirnya bisa memiliki cucu."

" benarkah? Aku senang mendengar kabar baik itu."

Suara petikkan gitar terdengar dari arah kerumunan orang. Pertunjukkan band jalanan meramaikan suasana festival malam ini. Suara vokalisnya benar-benar memukau. Membuat hatinya semakin damai.

Lagu yang dinyanyikan mewakilkan perasaannya saat ini. Merindukan sosok suaminya yang kini pergi melaksanakan tugasnya.

***

Kapten, kau dimana? Semua sudah berkumpul, cuma kau yang tidak ada.—Rangga.

Hasan membaca sms yang dikirim oleh Rangga. Jari-jari nya membalas sms itu secepatnya. Bukan karena ia tidak ingin mengikuti rapat untuk menyusun rencana misi, melainkan ada hal lain yang sangat mengganggu pikirannya dan itu terpaksa membuatnya menyetir kendaraan bebek sendirian menyisiri perkebunan.

Warga yang tinggal di perbatasan kebanyakkan bekerja sebagai seorang petani untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Jalan berbatu serta hutan yang masih terjaga membuat suasana malam ini cukup menyeramkan untuk dinikmati. Apalagi suara jangkrik dan kodok saling bersahut-sahutan.

Menempuh waktu lima menit untuk sampai ke tenda. Segera memparkirkan motor bebek itu di bawah pohon pisang dan segera memasuki tenda.

Benar kata Rangga. Hanya dirinyalah yang tidak ada.

Seluruh pasang mata tertuju kearahnya saat dirinya menyibak pintu tenda dengan kasar.

" Maaf, tadi aku harus membeli minyak tanah untuk persediaan kita malam ini. " Hasan mengangkat sebuah botol bekas mineral yang berisi minyak tanah sebagai bahan bakar untuk obor dan api unggun.

" Sini, biar aku yang akan menaruhnya di tenda penyimpanan."

Lena dengan senang hati menawarkan diri untuk menaruh botol tersebut ke dalam tenda penyimpanan mereka. Hasan tak menolak sama sekali, segera menyerahkan botol tersebut dan berjalan menghampiri kursi kosong yang memang disediakan untuknya.

" Hilangkan semua pikiran mu yang tak penting itu, Hasan."

Bima bersedekap dada sambil menatap tajam ke arah Hasan.

" Di sini, kita tidak boleh memikirkan keluarga kita. Di sini, kita hanya boleh memikirkan misi dan keselamatan rekan-rekan kita! "

" Sudahlah, Kapten Bima..." Diki berusaha menenangkan amarah Bima saat ini. Menepuk-nepuk bahu kokoh Bima yang menegang akibat emosi yang berkumpul.

Bima menepis tangan Diki.

" Sifatmu itu tidak mencerminkan seorang Kapten, Hasan. kau memperlambat misi kali ini."

Brak!

" Hei, asal kau tahu. Regu yang ku pimpin lebih baik dibandingkan Regu mu..."

" Ck, kau sekarang memperlihatkan sifat sombong mu itu, Heh? "

Diki menatap rekan-rekan nya yang justru buang muka tak ingin berurusan dengan pertengkaran dua kapten tersebut. lagi pula, menurut mereka pertengkaran mereka pasti akan segera berakhir dengan cepat.

Biarkanlah mereka bertengkar jika ingin selamat dari amukkan mereka nantinya.