Ghibran menatap khawatir akan sosok Zea yang kini tengah tertidur pulas di atas kasur rumah sakit. Suara monitor denyut jantung menemani kesunyiannya. Tangannya yang kini di perban menggenggam tangan Zea yang begitu lemah.
Zea benar-benar rapuh.
Hari sudah malam, tetap saja ia menunggu Zea hingga sadar dari masa komanya. Sudah dua hari Zea tak sadarkan diri dan itu membuat Ghibran semakin khawatir dengan keadaan Zea.
" Kumohon, sadarlah." bisik Ghibran tepat di telinga Zea. Mengelus surai hitam Zea perlahan.
Anang yang menunggu Ghibran diluar hanya bisa menatap sendu punggung Ghibran. Ini baru pertama kalinya ia melihat sosok Ghibran seperti saat ini.
Tidak ada sosok Ghibran yang selalu mengeluarkan aura menyeramkan, tidak ada sosok Ghibran yang selalu memperlihatkan ekpresi wajah kakunya. Hanya Ghibran, sosoknya yang rapuh.
Anang akhirnya memilih menunggu Ghibran di parkir rumah sakit. Tak ingin mengganggu momen mereka berdua. Apalagi saat ini Ghibran tengah bersedih.
Saat ia memasuki lift rumah sakit. Mata nya tak sengaja bertemu pandang dengan seorang dokter yang pergi kearah kamar inap Zea. Entah mengapa, tatapannya itu begitu aneh.
***
Ghibran memperhatikan dokter yang tengah memeriksa keadaan Zea saat ini. Mencatat diatas sebuah kertas laporan saat selesai mencek keadaan Zea.
Dokter itu pergi. Tanpa menyapa maupun menatap Ghibran. Entah mengapa, Ghibran curiga dengan dokter barusan. Apalagi gelegatnya barusan sedikit agak aneh.
Zea perlahan membuka kedua matanya, menggerakkan tangannya yang sedikit kaku, berusaha meraih tangan Ghibran. Sentuhan itu membuat Ghibran segera menoleh kebelakang dengan cepat, takut jika seseorang ingin melukai dirinya. Namun, yang ia dapatkan justru sosok Zea yang tengah memandang nya dengan airmata yang mengalir.
Ghibran panik.
Segera menghapus airmata Zea. Mencium kedua mata Zea dan merapalkan kata-kata yang mampu menenangkan Zea.
" Kak Ghibran. " bibir pucat itu tersenyum. Tangannya melingkari wajah Ghibran. "...Maaf sudah melupakan mu."
Memeluk erat tubuh Zea. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Ghibran saat ini. Ia bersyukur, Zea akhirnya mengingat dirinya. "Tak apa, Zea." bisik Ghibran.
Perawat rumah sakit datang. Kembali memeriksa keadaan Zea yang sudah sadarkan diri. " Beristirahat lah..." kata perawat tersebut sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
Hening.
Zea mulai merasa canggung. Apalagi rupanya ia sudah mengenal lama sosok Ghibran. Bersyukur karena mendapatkan mimpi masa kecilnya dulu yang berhasil mengingat sosok Ghibran saat ini.
" Apa lukanya masih sakit? "
Ghibran berusaha memecahkan keheningan. Memandang khawatir kearah Zea.
Zea menggelengkan kepalanya bertanda jika ia baik-baik saja. Tangannya menggenggam tangan Ghibran yang diperban.
" Berapa banyak tangan kak Ghibran membunuh orang? " tanya Zea, " Aku yakin, Kak Ghibran pasti merasa takut..." kini Zea mengecup tangan Ghibran.
"...Membunuh mereka karena terpaksa. Pasti bayang-bayang wajah mereka terbawa mimpi." Zea mengelus kedua mata Ghibran yang nampak sayu. Kelelahan.
" Aku selalu membelikan bunga dan menaburkannya diatas makam orang-orang yang telah ku—" Ghibran menghentikan perkataan nya.
Tersenyum lirih kearah Zea. "...Aku selalu berpikir, kenapa mereka melakukan kejahatan yang membahayakan nyawa banyak orang? apa mereka tidak khawatir dengan keluarga mereka? "
" Tapi, aku menyadarinya... "
" Mereka terpaksa melakukannya." kata Ghibran.
Zea menganggukan kepalanya. Memahami maksud dari perkataan Ghibran barusan.
Zea tertawa, membuat Ghibran mengernyit kebingungan. " Bukankah kita seperti sedang pacaran?." kata Zea dengan nada penuh candaan.
Ghibran seketika tertawa mendengar perkataan Zea barusan. " Pikiran mu itu." omel Ghibran lalu menjitak kening Zea pelan. Ia tak tega menjitak Zea dengan keras, takut jika Zea kesakitan.
" Begitu dong... "
Ghibran memandang Zea.
" Kakak harus banyak tersenyum dihadapan ku. " kata Zea. Menarik mulut Ghibran untuk tersenyum. " Kak Ghibran benar-benar mengerikan jika berwajah murung." tambahnya lagi.
" Begitu kah? kalau begitu, aku akan berusaha tersenyum dihadapanmu. " kata Ghibran.
" Tapi jangan keseringan, nanti dikira orang gila lagi." canda Zea membuat Ghibran tertawa pelan mendengar candaan Zea barusan.
Zea memainkan jari-jari nya. Menundukkan kepalanya saat ia tidak memiliki topik pembicaraan lagi. Ia bingung, ia ingin sekali bercerita dengan Ghibran namun, bingung harus menceritakan apa.
Sedangkan Ghibran kini tengah sibuk mengupas kulit apel. Memotongnya menjadi beberapa bagian lalu menyerahkannya kepada Zea.
Zea dengan senang hati menerima apel dari tangan Ghibran. Memakannya dengan lahap. Setidaknya perutnya tidak terlalu kosong karena telah di isi oleh beberapa potongan buah apel.
" Kak Ghibran sendirian? "
" Tidak, aku bersama dengan Anang. Mungkin dia tengah menungguku di parkiran. " kata Ghibran lalu kembali menyerahkan sepotong apel kepada Zea.
Zea mengunyah apel tersebut. " Lebih baik Kak Ghibran segera pergi menemui Kak Anang. Kasihan dia menunggu Kakak."
" Aku akan menemanimu sebentar lagi, Kakak mu akan segera sampai 15 menit lagi." kata Ghibran, " Mustahil aku meninggalkan mu sendirian disini dengan keadaan yang begitu mengenaskan..."
" Ejek aja terus, Kak. " Zea bersedekap dada sambil mengembungkan kedua pipinya.
" Loh, emang kenyataannya." kata Ghibran.
Telapak tangannya menyentuh kening Zea. Seketika Zea terdiam karena perlakuan Ghibran terhadap dirinya barusan. "Lupakan kejadian itu!." Seakan seperti sebuah perintah dari pada permintaan. "Anggap saja itu mimpi buruk." tambahnya lagi.
Zea menganggukan kepalanya."Aku akan berusaha melupakan kejadian mengerikan itu." jawab Zea.
Menjauhkan tangannya dari kening Zea. Tak lama Zee datang sambil membawa beberapa buah-buahan. " Syukurlah kau sudah sadar." kata Zee lalu memeluk Zea.
Zea membalas pelukkan Zee. " Maaf membuat kakak khawatir. " kata Zea.
Ghibran bangkit dari tempat duduknya.
" Karena Zee sudah datang, aku akan pergi. Jaga kesehatan mu, Zea. Aku harus menyelesaikan beberapa tugasku yang belum ku tuntaskan." kata Ghibran.
Zea menatap sendu kearah Ghibran. Rasa khawatir muncul saat ini. Apalagi saat ia tahu jika Ghibran bukanlah anggota polisi biasa.
" Terima kasih, Kak Ghibran. Sudah mau menjaga adik ku. Maaf merepotkan Kakak..." kata Zee berterima kasih atas bantuan Ghibran yang mau menemani Zea saat dirinya sibuk mengurus beberapa pekerjaannya.
" Semua pekerjaan ku sudah ku selesaikan dengan cepat. Sekarang giliran Kak Ghibran yang harus menyelesaikan sisanya..." Kata Zee lagi.
Ghibran tersenyum, " Ya..." Ghibran lalu membuka pintu keluar-masuk ruang inap. Kembali menatap Zea yang kini tersenyum kearahnya sambil melambaikan tangannya.
"...Temui aku jika tugas Kak Ghibran sudah selesai." kata Zea
Ghibran menganggukan kepalanya sebagai respon.
Segera keluar meninggalkan ruang inap Zea. Langkah lebar, dengan suasana hati yang kini berbunga-bunga.
***
Anang mengemudi mobilnya. Sesekali memandang Ghibran yang kini wajahnya begitu berseri-seri. Senang.
" Sepertinya suasana hatimu sangat baik malam ini? Apa kau begitu senang berduaan dengan Adik kesayangan mu itu? " kata Anang. Maksud dari perkataan Anang barusan ialah Zea Adrian.
" Ngomong-ngomong, Lidin berhasil mendapatkan informasi penting mengenai apartemen goo."
Seketika raut wajah Ghibran berubah menjadi raut wajah serius. " Suruh yang lainnya berkumpul, kita segera membahas rencana selanjutnya. " kata Ghibran.
" Baiklah~"