Chereads / Mengapa Kita Harus Dipertemukan? / Chapter 34 - Ingatan Zea

Chapter 34 - Ingatan Zea

18 Maret 2020, Komplek damai sejahtera 11.

Truk barang kini terparkir di samping rumah milik keluarga Ardian. Rupanya akan ada penghuni baru yang akan menempati rumah sebelah.

Rumah itu sudah tidak di huni selama sebulan karena pemilik aslinya harus pindah keluar kota karena pekerjaannya.

Zea yang tengah asik bermain dengan sang kakak kini memperhatikan beberapa orang yang tengah mengangkat beberapa kardus besar masuk kedalam.

" Sepertinya kita kedatangan tetangga baru." kata Zee yang kini ikut memperhatikan.

Zea menunjuk kearah remaja yang tengah membaca buku dibawah pohon sambil duduk diatas ayunan kayu. " Apa dia pemilik rumah sebelah? "

" Ya, sepertinya begitu." Zee meletakkan kacamata yang melindungi penglihatan nya dari sinar apasaja yang merusak matanya.

" Umurnya mungkin sekitar 16 tahun? " kata Zee.

" Wow, Kak Zee hebat dalam menebak! " puji Zea kagum.

Pintu kamar mereka terbuka lebar, memperlihatkan sosok wanita cantik yang kini tengah mengenakan baju dastar motif bunga. Rambut panjang ia ikat kebelakang agar tidak mengganggu pandangannya. Senyuman secerah mentari terlukis diwajahnya.

" Kalian mau menemani mama untuk menyambut tetangga kita yang baru? "

Zee dan Zea menatap wanita itu dengan mata berbinar senang. " Mau... " jawab Zee dan Zea bersamaan.

***

Senyuman ramah terukir diwajahnya saat melihat kehadiran Zea, Zee dan juga Ibu kandung mereka berdua. " Selamat datang di rumah kami." kata wanita yang tak kalah cantiknya itu.

" Maaf mengganggu, kami hanya ingin memberi kalian kue buatan kami." sambil menyerahkan berbagai kue kering.

" Astaga, seharusnya kami yang memberi kalian. " terdengar nada yang agak sedikit malu.

" Hahahaha... itu tidak perlu."

" Mau mengobrol di dalam? di luar sedikit panas."

" Boleh. " menatap Zee dan Zea yang tengah fokus menatap sosok lelaki remaja yang tengah sibuk dengan bukunya. " Zee, Zea... cobalah hampiri dia. Siapa tahu dia mau berteman dengan kalian berdua. "

" Baik, Ma. "

***

Zea dan Zee bergandengan tangan sambil berlari untuk menghampiri sosok remaja itu. Berdiri dihadapan remaja itu tanpa memiliki niat untuk membuka suara.

Dua bayangan terpantul diatas buku yang ia baca. Sedikit terganggu akan bayangan itu. Mendongak dan terkejut saat melihat kehadiran dua anak kembar dihadapannya.

" Ada yang bisa kakak bantu?."

" Siapa nama kakak? " Zea langsung bertanya nama lelaki remaja itu dengan wajah polosnya.

Zee menatap Zea tak percaya. Menurutnya agak kurang sopan langsung bertanya nama kepada lelaki remaja itu. Apalagi nampaknya lelaki remaja dihadapannya memiliki suara yang tegas.

Lelaki remaja itu tersenyum ramah, "Perkenalkan, namaku Ghibran." kata Ghibran sambil mengulurkan tangan nya kehadapan Zea.

Zea segera menyambut uluran tangan Ghibran fengan binar senang diwajahnya.

" Nama ku, Zea Adrian. Panggil saja Zea, Kak Ghibran." kata Zea, "...Dan yang disebelah ku namanya Zee Adrian, Kakak ku. " tambahnya.

Ghibran mengelus surai rambut Zea dan juga Zee pelan. " Kalian berdua benar-benar sangat menggemaskan." kata Ghibran, sesekali ia mencubit pipi Zea dan Zee bergantian.

Zea dengan senang hati menerima perlakuan Ghibran. Namun, Zee nampak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil. Hey! dia ini seorang kakak!.

" Mau bermain bersama kami, Kak Ghibran." ajak Zea sambil menyerahkan mobil truk mainan.

Ghibran menganggukan kepalanya. Menerima ajakkan Zea untuk bermain bersama.

Mereka bertiga meminta izin kepada orang tua mereka untuk pergi ke taman bermain. Setelah mendapatkan izin, mereka pun pergi ke taman yang tak jauh dari lokasi rumah mereka.

Pasir menjadi incaran Zea dan juga Zee. Menaruh pasir di atas truk lalu menariknya agar dapat berjalan. Ghibran hanya membantu mereka manaruh pasir ke atas truk dan mengawasi mereka berdua layaknya seperti seorang kakak.

Tak terasa mereka bermain selama sejam. Zea dan juga Zee merasa haus akibat cuaca panas saat ini.

Ghibran menatap sebuah Cafe yang bersebrangan dengan taman bermain. "Ayo kita minum di sana. Kakak yang traktir kalian." kata Ghibran.

" Asik!! " Zea bersorak senang.

" Terima kasih, Kak Ghibran." berbeda dengan Zea, Zee justru mengucapkan terima kasih kepada Ghibran.

Mereka segera memesan minuman segar saat berada di Cafe. Duduk di dekat jendela agar mereka bisa melihat suasana diluar.

Selama menunggu pesanan mereka datang. Salah satu pegawai cafe memainkan piano untuk menghibur pengunjung cafe.

" Kak Zee, Apa yang sedang dilakukan oleh pria disana?." jari-jari mungil itu terarah kesosok pria yang tengah bermain alat musik di depan pengunjung cafe.

Mata bulatnya berbinar senang saat melihat jari-jari itu bermain diatas tuts-tuts hitam putih itu dengan lihai. " Sepertinya sangat menyenangkan." Zea kembali berucap dengan antusias.

" Zea sangat menyukai permainan nya? "

Menganggukan kepalanya semangat saat Zee bertanya kepadanya.

Senyuman tulus terukir di wajah tampan nya. Tangannya mengelus surai rambut hitam milik Zea perlahan.

" Piano, nama alat musik yang dimainkan pria itu..." tertawa saat teringat sesuatu, "...dulu nenek pernah mengajarkan kakak bermain piano waktu kamu pergi bersama mama dan papa. Apa Zea mau belajar memainkannya? "

" Hm... Zea mau."

" Kalau begitu, kakak akan mencarikan guru musik yang cocok dengan mu. Kamu akan belajar bermain piano. " menatap serius kearah Zea. " Zea, kakak akan selalu mendukung semua keinginan mu asalkan itu bermanfaat. "

Zea lagi-lagi menganggukan kepalanya penuh semangat. "Kak Zee! " Zea memanggil kakak tercintanya, "...Jika Zea sudah bisa memainkan piano. Bolehkan Zea menjadi seorang pianis? " tanya Zea.

" Kakak tidak akan melarangmu, begitu juga dengan Mama dan Papa. Kakak akan mendukung mu. Jika cita-cita Zea ingin menjadi pianis maka raihlah..." mengecup kening Zea, " Mama dan Papa juga tidak memaksamu menjadi penerus perusahan papa atau pun menjadi seorang dokter seperti mama. "

Ghibran memperhatikan intraksi si kembar. Ghibran kagum akan sosok Zee yang masih berumur 6 tahun, tapi sudah bersikap layaknya 20 tahun keatas. Zee benar-benar sosok kakak yang akan selalu melindungi adiknya.

" Apa Kak Ghibran juga suka dengan Piano? " tanya Zea kepada Ghibran yang kini tengah menikmati es krim.

Ghibran menatap Zea. " Kakak menyukainya."

Mata Zea kembali berbinar senang, " Kalau begitu bagaimana kalau kakak juga menjadi seorang pianis?"

Ghibran menggelengkan kepalanya sebagai bentuk penolakkannya.

" Kenapa? "

" Karena ..." terdiam sesaat, Ghibran melihat raut wajah sedih Zea. "...Kakak mempunyai cita-cita kakak sendiri. "

" Itu benar, Zea. Kak Ghibran memiliki cita-cita nya sendiri. Kamu tidak bisa memaksa Kak Ghibran menjadi pianis." Zee juga menjelaskan.

" Kalau begitu, Apa Kak Ghibran akan bangga jika Zea berhasil menjadi seorang pianis terkenal?."

Ghibran tertawa. " Ya, aku akan sangat bangga jika kau berhasil mewujudkan cita-cita mu..."

Dari situlah, Zea bertekat untuk menjadi seorang pianis terkenal agar Ghibran merasa bangga padanya

***

22 September 2021, Rumah keluarga Ardian.

Zea memasuki rumah saat ibundanya tengah sibuk memparkirkan mobilnya ke garasi. Berlari kecil sambil memeluk boneka teddy bear hadiah ulang tahunnya yang ke 5 tahun.

" Kak Zee! " teriak Zea memanggil kembarannya itu. Memeriksa setiap ruang yang ia lewati.

" Kak Zee! "

Zee keluar dari perpustakaan saat mendengar adiknya tengah mencari nya. Menengok kanan-kiri saat Zea memanggil namanua terus menerus.

" Kak Zee! "

" Kakak di perpustakaan, Zea." teriak Zee membalas panggilan Zea.

Zea segera berlari dengan cepat menuju sang kakak yang berada di perpustakaan milik papa mereka berdua. Perpustakaan yang selalu digunakan papa mereka untuk menyelesaikan semua pekerjaannya.

Zea naik keatas sofa bersusah payah. Sofa terlalu tinggi baginya yang bertubuh pendek. Zee yang melihat adiknya yang berusaha menaiki sofa pun akhirnya turun tangan.

Menaruh buku yang berjudul —Tanah Air Tercinta— diatas meja.

" Kamu ini sudah umur 5 tahun, masih saja bertubuh pendek." omel Zee yang sudah mengangkat Zea untuk duduk di atas sofa.

" Hehehehe... " Zea memperlihatkan cengiran nya kepada Zee. Berterima kasih saat Zee menyerahkan teddy bear miliknya yang tergeletak di atas lantai.

" Kenapa Kakak suka membaca buku? Bukankah membosankan membaca buku terus setiap hari?."

Zee mengalihkan pandangannya. Menatap Zea yang kini tengah menunggu jawabannya.

"...Kakak suka membaca buku karena menurut kakak sangat menyenangkan." Zee lalu menghampiri Zea yang duduk di sofa sambil membawa buku yang ia baca.

Membuka halaman yang ingin ditunjukkan nya kepada Zea. " Lihat, buku ini mengkisahkan para pahlawan yang berusaha merebut kembali kemerdekaan."

" Lalu? "

Zee tertawa melihat reaksi adiknya yang kebingungan. "...Kita menjadi tahu bagaimana perjuangan mereka merebut kemerdekaan dari para penjajahan." kata Zee.

Zea menganggukan kepalanya, " Jadi intinya membaca buku itu bisa menambah pengetahuan kita."

Zee tersenyum sebagai jawabannya. Membenarkan perkataan Zea barusan.

***

Ghibran, tetangga mereka kini tengah duduk di sofa ruang tamu. Menunggu kehadiran sosok Zea kecil yang tengah sibuk mengenakan pakaian dikamarnya. Zee menemani Ghibran agar Ghibran tidak merasa bosan untuk menunggu Zea.

" Kak Ghibran juga suka membaca buku? " tanya Zee saat melihat Ghibran yang tengah menbaca sebuah buku bersampul coklat ditangannya itu.

Ghibran mengernyit. " Buku? " Ghibran lalu memandang buku bersampul coklat yang tengah ia baca, "Ah, ini buku catatan ku. Aku biasanya mencatat beberapa materi ke dalam buku ini agar mudah mengingat." jawab Ghibran.

" Apa Kak Ghibran ingin melanjutkan pendidikan,kakak?." terlihat jelas raut wajah penasaran.

" Ya, Ayahku menginginkannya. Aku tidak keberatan jika harus menjadi seorang polisi. lagi pula, kakak ku sudah menjadi penerus perusahan ibu ku."

" Kak Ghibran luar biasa..."

" Begitu kah? "

Zee menganggukan kepalanya.

" Tapi, kalau Zea tahu pasti dia akan sedih..." kata Zee yang kini tertunduk lesu. Ia kini tak bisa membayangkan raut wajah sedih yang dikeluarkan oleh Zea. Hal yang tidak disukainya ialah melihat wajah sedih adik kesayangannya.

"...Zea terlalu lengket dengan kak Ghibran." gumam Zee dengan nada yang sedikit iri. "Seharusnya Zea lengket dengan ku." tambahnya lagi.

" Kau iri dengan ku, Zee? " tanya Ghibran drngan nada mengejek.

Zee menatap tak suka kearah Ghibran. " Tentu saja, aku kan kakak nya. " jawab Zee.

***

Mereka bertiga kini tengah mengunjungi toko buku langganan Ghibran. Biasanya Ia selalu membeli buku di toko tersebut karena memiliki berbagai buku super lengkap.

" Ghibran. " panggil Abbiyya saat melihat Ghibran yang tengah membantu si kembar mengambil buku.

Ghibran tersenyum senang saat melihat sosok Abbiyya yang kini menghampiri nya.

" Mencari buku biologi lagi? " tanya Ghibran saat melihat Abbiyya yang tengah memeluk sebuah buku.

" Ah, iya. Aku ingin mempelajarinya untuk persiapan ujian. " jawab Abbiyya. " Ngomong-ngomong, siapa dua kembar menggemaskan ini? " tanya Abbiyya. Mengelus surai rambut Zea dan Zee secara bergantian.

" Mereka berdua anak tetangga ku. Zea, Zee perkenalkan diri kalian... "

" Halo, kak. Nama ku Zea Adrian. Kakak bisa memanggilku Zea. " Zea memberikan senyuman terbaik nya untuk Abbiyya.

" Nama ku Zee Adrian, kakak Zea. " Zee juga memperkenalkan dirinya.

" Salam kenal. Namaku Navy Abbiyya. Kalian bisa memanggilku Abbiyya."

" Baik, Kak Abbiyya" jawab Zea dan Zee.

Abbiyya menatap buku yang dipegang olrh Zea. "Oh, buku musik. Kamu menyukainya? " tanya Abbiyya penasaran.

Ghibran mengelus surai Zea. "Dia suka dengan piano. sebab itulah aku mengajaknya untuk membeli buku yang berhubungan dengan piano." lalu pandangannya teralih kepada Zee yang tengah sibuk membaca buku bisnis, "...Dan kembarannya itu justru malah menyukai dunia bisnis." tambahnya lagi.

" Sepertinya dia akan menjadi sosok pria yang disegani banyak orang" Abbiyya memberi pendapatnya mengenai Zee. "...Apa kata para remaja biasanya? " Abbiyya nampak sedikit memikirkan sesuatu, "...CEO muda? ".

Ghibran menyetujui perkataan Abbiyya barusan. Mereka berdua bisa menebak jika Zee pasti akan menjadi CEO muda layaknya cerita kesukaan gadis-gadis remaja.

" Abbiyya, apa kamu sudah menemukan apa yang kamu inginkan? " tanya Nathan dengan pakaian kemeja hitam serta celana panjang hitam kini menghampiri Abbiyya yang tengah berbincang dengan Ghibran dan juga si kembar.

" Lama tidak bertemu, Ghib. " kata Nathan lalu memberi adu tos yang sering mereka gunakan untuk menyapa satu sama lain.

" Kau semakin tampan saja, Thur. " kata Ghibran.

" Terima kasih, kau semakin jelek saja.Ghib " kata Nathan.

Ghibran mendelik kesal. " Ck, bilang tampan kek... malah ngatain jelek. " Ghibran lalu memasang ekpresi wajah aneh, "...ku tarik kata-kata ku barusan. Kau benar-benar jelek, Thur. "

Seketika mereka berdua tertawa akan ejekkan yang mereka lontarkan.

Karena kebiasaan mereka sejak kecil sering memanggil nama tanpa embel-embel kakak maupun adik. Maka hal tersebut sudah biasa bagi mereka berdua. Ya, bisa ditebak jika Ghibran dan Nathan sudah berteman sejak masih kecil hingga sekarang.

" Wow, Kakak benar-benar sangat keren." Zea kagum akan sosok Nathan.

" Oh, jadi dia yang bernama Zea? ternyata sangat mudah membedakan kalian berdua. Kalian tahu? Ghibran sering curhat tentang mu, loh..."

" Benarkah? " tanya Zea penasaran.

Nathan menjawab dengan anggukannya.

Toko buku itu, menjadi saksi pertemanan mereka yang semakin terjalin dengan erat. Bahkan Zea dan Zee sekarang begitu akrab dengan Gunthur dan juga Abbiyya.

***

09 Januari 2022, Gedung musik.

Ghibran, Nathan dan juga Abbiyya kini duduk dikursi penonton. Mereka bertiga menemani Zea yang tengah mengikuti lomba piano bergengsi.

Kedua orang tua Zea tidak bisa menghadiri karena pekerjaan mereka. Sedangkan Zee tengah mengikuti les.

Lampu sorot kini menerangi sosok Zea yang sudah bersiap memainkan pianonya. Jari-jari mungilnya itu kini berada di atas tuts-tuts putih hitam.

Rasa gugup tiba-tiba saja menyerangnya. Tangannya nya gemetar. Memejamkan kedua matanya menjadi pilihan nya untuk menenangkan diri.

3rd Movement of Moonlight Sonata – Beethoven

Ghibran, Nathan, dan Abbiyya terdiam. Begitu juga dengan penonton dan dewan juri. Mereka benar-benar terkejut akan permainan piano Zea yang begitu sempurna. Alunan nya seakan menghipnotis.

Zea begitu menikmati permainan nya. dalam pikiran, ia tengah membayangkan sosok dirinya yang tengah memainkan piano di tempat sunyi, membayangkan desiran ombak yang menemaninya, membayangkan jika angin menyegarkan menerpa wajahnya.

Permainan diakhiri, tepuk tangan meriah ditunjukkan untuk Zea. Bahkan beberapa karangan bunga Zea terima dari para penonton yang mengaku menjadi fans nya.

***

Memenangkan perlombaan, itu tak bisa dibayangkan oleh Zea. Nyatanya, ia berhasil meraih juara 1 dan akan mengikuti lomba tingkat nasional.

" Selamat, Zea. " kata Abbiyya yang kini memberikan Zea kalung yang terbuat dari rangkaian bunga.

" Terima Kasih, Kak Abbiyya." Zea memeluk tubuh Abbiyya. Sedikit kesulitan karena tubuhnya yang pendek, membuat Abbiyya harus membungkuk'kan badannya agar memudahkan Zea memeluknya.

Ghibran mengelus surai Zea yang sudah panjang. " Penampilan mu luar biasa." puji Ghibran.

" Bahkan Ghibran sampai mengabadikan momen tersebut. " Kata Nathan.

Zea terkekeh geli saat melihat pertengkaran Ghibran dan Nathan. Ternyata, Ghibran merasa malu karena ketahuan merekam penampilan Zea secara diam-diam.

Abbiyya memaklumi sifat mereka berdua. Mengajak mereka untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Segera mereka mulai mengabadikan momen kebersamaan mereka melalui kamera ponsel.

Momen yang begitu berarti bagi mereka berempat.