Ruangan gelap yang tertutup rapat, membuat sinar matahari tak bisa menerobos masuk. Sedang di dalam ruangan itu, tak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suara ketukan pintu dan suara ibunya saling bersahutan.
Pemilik kamar enggan beranjak bangun, hanya menggeliat di ranjang tak besarnya. Sesekali matanya yang masih terpejam, mencoba membuka mata. Namun, tetap saja matanya terasa lengket dan berat.
Ketukan lebih keras kembali terdengar, namun kali ini tak bertempo. Seakan ingin mendobrak pintu, dari luar ibunya sudah tidak sabar dengan kebiasaan pagi putri satu-satunya itu.
Merasa tak ada jawaban, akhirnya ia menyusup masuk. Berkacak pinggang melihat anaknya masih tertidur pulas, padahal sudah berulang kali ia membangunkan.
"Kau mau ibu siram air atau menyeretmu dari kasur?" Ancam ibunya kesal, ia juga membuka penutup jendela dan berkacak pinggang di pinggir kasur. Namun tetap saja tak ada tanggapan, malah tidurnya makin nyenyak.
"Hei, kau akan terlambat."
"Memang sekarang sudah jam berapa?"
Suara parau dari balik selimut, akhirnya terdengar.
"Pukul 7."
Jawaban ibunya, berhasil membangunkannya dengan terlonjak. Matanya benar-benar langsung terbuka, segera bangkit dan turun dari ranjangnya. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur, tak lagi ia pedulikan.
Segara ia menyambar handuk, lalu secepat mungkin pergi ke kamar mandi. Takut jika adik dan kakaknya, lebih dulu memakai satu-satunya kamar mandi dirumah mereka.
Memang sudah jadi rutinitas pagi, untuk saling berebut. Biasanya Geu-Reum bangun lebih awal, agar bisa jadi yang pertama memakai kamar mandi itu. Tapi sialnya karena tidur terlalu larut malam, paginya ia terlambat bangun.
"Eitss, aku dulu. Aku sudah terlambat dan aku sangat terburu-buru." Ucap Geu-Reum dengan menarik kerah baju adiknya, yang akan menyerobot masuk kamar mandi.
"Aku sakit perut, aku sudah tidak tahan. Jadi, aku yang lebih dulu masuk." Adiknya tak mau mengalah,
Keduanya asyik berseteru, hingga terjadi saling dorong dan tarik-menarik untuk mencapai pintu. Namun saat ada kesempatan, kakak pertama mereka yang malah masuk lebih dulu.
Dengan senyum kemenangan ia menatap kedua adiknya yang baru bertengkar, sebelum menutup pintu. Berlanjut saling menyalahkan, mau tidak mau menunggu dan nantinya berebut kembali.
Geu-Reum yang akhirnya harus mengalah, saat ia kalah cepat dari adiknya. Ia satu-satunya anak perempuan, dari tiga bersaudara. Ia juga satu-satunya yang menjadi korban penistaan adik dan kakaknya, ia tidak cukup kuat melawan dua makhluk paling menyebalkan di muka bumi baginya.
Bahkan kenakalan mereka berdua sudah terjadi sejak kecil, menjahilinya setiap waktu. Hingga pernah Geu-Reum berdo'a dan memohon, agar kedua saudaranya itu hilang dari bumi.
"Ki-Yong, kuliah mu sudah hampir selesai kan?"
Pak Jang Woo-Sung, yang menjadi kepala keluarga. Membuka suara disela sarapan, mengajukan pertanyaan pada putra sulungnya.
"Masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan, mungkin sebulan atau dua bulan lagi. Aku juga berencana untuk melanjutkan S2, selagi bekerja."
"Itu bagus dan ayah setuju, tapi apa kau tidak berpikiran untuk menikah muda saja?"
"Aku masih sangat terlalu muda ayah, aku baru 23 tahun. Apa yang bisa diharapkan pada menikah muda, disaat aku belum punya pengalaman kerja yang cukup?"
"Kau bisa bekerja di kantor ayah, banyak tempat kosong disana."
"Tidak ayah, aku akan menyelesaikan kuliah dan bekerja. Baru aku akan mencari calon istri dan menikah, lalu memberi cucu untuk ayah dan ibu." Tegas Ki-Yong tetap pada pendirian,
Ia pria yang penuh ambisi. Tak gentar walau ada halangan atau rintangan, tetap maju hingga titik darah perjuangan.
Jika sudah seperti itu, ayahnya sudah dipastikan kalah. Ikut saja kemauan putra dari mendiang istri pertamanya, yang telah meninggal sejak putranya itu berumur 5 tahun. Lalu menikah lagi dengan teman lamanya, yang juga seorang janda tak memiliki anak. Dan pernikahan mereka dikaruniai dua putra-putri, Jang Geu-Reum dan Jang Woo-Young.
Berbeda dengan Ki-Yong yang kepribadiannya lurus dan selalu patuh pada kedua orangtuanya, terutama sang ayah. Woo-Young si anak bungsu di rumah keluarga Jang, sangat berkebalikan hingga 360 derajat.
Ia baru duduk bangku SMP, namun ia sudah punya banyak catatan buruk di sekolah. Membolos, berbuat onar, menyontek, preman sekolah, hingga nilainya yang terburuk di sekolah. Ia juga malas belajar, setiap hari hanya bermain game dan tidur di kelas.
Sudah jadi makanan sehari-hari, kedua orangtuanya hampir saja menyerah dengan kelakuan putranya itu. Padahal memberikan nama dari penggabungan nama ibu dan ayahnya, agar kelak memiliki sikap baik yang diturunkan keduanya. Tapi nyatanya, justru kebalikan yang membawa bencana.
"Jangan membolos hari ini, belajar yang baik. Ayah akan belikan apapun yang kau mau, jika tidak membolos sekolah dan rajin belajar." Pinta ayahnya, walau sudah berulang kali berucap.
"Aku malas belajar ayah, kepalaku hampir pecah saat belajar." Ujar Woo-Young,
"Kau ini, lihatlah kakak-kakakmu pandai dan rajin belajar. Kau bisa mencontohnya atau meminta bantuan mereka, bukan hanya bermain saja."
Ibunya yang sedari tadi diam memperhatikan, ikut tersulut emosi. Meletakkan sumpitnya disamping mangkuk nasi, sedikit kuat yang menimbulkan bunyi nyaring.
Ia benar-benar kecewa saat ini, menyesal pada diri sendiri yang terlalu memanjakan putra bungsunya itu. Hingga membuatnya tumbuh menjadi anak yang suka melawan dan kurang ajar, tak bisa barang sekali menenangkan hati kedua orangtuanya.
"Terus saja, bandingkan aku dengan Kak Ki-Yong dan Kak Geu-Reum. Aku punya jalan hidupku sendiri," Ucap Woo-Young terbawa emosi,
Tak bisa lagi menahan amarah yang menyesakkan dada, ia tak suka di bandingkan. Walau ia juga menyadari, dia yang terburuk di keluarga ini.
"Maka hiduplah seperti maumu, apa masih bisa kau bertahan hidup sendiri?" Tantang ibunya yang telah habis kesabarannya sebagai seorang ibu, pada kerasnya kepala putranya itu.
"Baik, aku akan hidup sendiri mulai sekarang. Memang sudah ku duga, jika aku ini bukan anak dari keluarga ini."
Anak lelaki yang baru beranjak remaja itu pergi meninggalkan meja makan, nasi di mangkuknya pun belum tersentuh sama sekali. Nafsu makannya menghilang, bersamaan dengan mood nya yang memburuk di pagi hari.
Tak ada yang mencegah kepergiannya, atau menyaksikan langkah kaki yang membawa tubuh tanggung itu menghilang. Semua orang di meja terbungkam dengan ucapan Woo-Young, ayahnya yang biasanya keras pun tak bisa berkata-kata. Juga ibunya yang tetap diam, walau dadanya makin sesak.
Sedang Geu-Reum sejak tadi bersembunyi, dengan mencuri dengar percakapan yang menjadi pertengkaran di pagi hari. Ia juga sama terkejutnya, ini kali pertama adiknya semarah itu. Hingga mengatakan semua isi hatinya, menyampaikan apa yang menjadi bebannya selama ini.
Suasana meja makan hening, tak ada yang mau bersuara. Bahkan acara sarapan pagi mereka, terasa tak menggugah selera lagi. Diam menyelimuti segalanya, Ki-Yong pun ikut bungkam dan hanya melirik kedua orangtuanya.
Ayah dan ibu nya tengah berada pada pikiran masing-masing, ingin saling menyalahkan atas ucapan putra bungsu mereka. Tapi memang keduanya lah yang salah disini, mereka yang telah membuat putranya tumbuh menjadi seperti itu.
"Aku berangkat dulu, Ayah..Ibu..Kak?" Ucap Geu-Reum hati-hati, agar tak semakin menyulitkan keadaan.
Melewati meja makan yang sedingin kutub es, berpamitan agar tak ikut sarapan. Menghindari bergabung dalam situasi canggung itu, melirik kakaknya yang memberikan isyarat. Seakan meminta bantuan, untuk keluar dari sana.
"Kau tidak sarapan dulu?" Tanya ibunya, yang sadar akan sapaan putrinya itu.
"Tidak bu, aku terburu-buru. Nanti aku akan makan di kantin sekolah saja,"
"Hati-hati di jalan."
Ayahnya ikut teralihkan, berusaha menutupi kegundahannya. Ibunya hanya melempar senyum terpaksa, tidak ada kekuatan untuk menarik ujung bibir yang selalu terpulas merah.
Geu-Reum sudah beranjak pergi, tubuhnya hilang di ceruk pintu. Tak lama Ki-Yong yang sejak tadi, menunggu waktu yang tepat. Juga ikut undur diri, segera berlari keluar setelah menyambar jaket dan tasnya.
Tak lupa berpamitan, untuk menutupi kecanggungan. Meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing, melanjutkan kesunyian dalam acara makan mereka.
"Kak,"
Ki-Yong terlonjak kaget, saat Geu-Reum tiba-tiba memanggilnya. Ia baru akan membuka pintu mobil, namun sosok Geu-Reum tertangkap pantulan dari kaca mobil.
"Kenapa kau belum berangkat?"
"Kak, apa Woo-Young akan benar-benar pergi dari rumah?"
"Tidak akan, nanti jika lelah ia juga akan kembali. Kau seperti tidak tahu, sikap kekanak-kanakkannya itu,"
"Tapi, aku khawatir dan merasa kasihan pada ayah dan ibu."
"Ini bukan yang pertama, dia memang punya tabiat seperti itu. Jadi, tenang saja dan berangkatlah ke sekolah."
"Baiklah, antarkan aku ya."
Wajahnya masih tertunduk lemas,
"Apa? Kenapa, biasanya kau naik bis."
Ki-Yong membelalakan mata kecilnya, tak bisa mengikuti kemauan adiknya itu.
"Aku sudah terlambat, dengan naik mobil mu aku bisa cepat sampai."
"Tidak boleh, aku juga terlambat." Tolak Ki-Yong, walau tangan Geu-Reum terus menarik-narik tangannya.
"Ayolah hari ini saja, apa kau tega membiarkan adik paling cantikmu ini. Mendapatkan hukuman, karena terlambat." Bujuk Geu-Reum pantang menyerah,
"Baiklah, tapi aku akan mengantarmu hanya sampai halte saja."
"Apa? Kenapa kau bisa setega itu?"
"Aku malas dengan teman-teman mu itu, mereka seperti tidak pernah melihat pria tampan."
"Apa peduliku? Pokoknya antar aku sampai depan gerbang," Ucap Geu-Reum dengan tangan terlipat di depan dada,
"Mau atau tidak sama sekali?"
Tawar pria yang memilik postur tubuh bak model, hendak membuka pintu mobil.
Menunjuk dengan kunci mobil, di telunjuknya. Geu-Reum pasrah pada akhirnya, dengan menerima bantuan yang hanya setengah-setengah .
"Baiklah,"
***
Dengan malas Geu-Reum berjalan menuju sekolahnya, merutuki dan menyumpahi kakak tampan nan rupawannya itu. Apa untungnya punya kakak seperti kakaknya itu, tampan tapi menyebalkan.
Bisa-bisanya gadis di luar sana mengagumi sosok berpostur tinggi itu, hanya menggilai sampulnya saja. Sangat menjengkelkan, jika terus di ingat.
Baru ia akan menyeberang jalan, setelah masuk ke dalam gerbang. Ia salah mengambil jalan, yang seharusnya berada di kiri. Tapi hampir saja seseorang dengan sepedanya, menabrak Geu-Reum yang tak melihat jalan saat menyebrang. Beruntung dengan cepat orang itu berhenti tepat waktu, sehingga gadis ceroboh itu masih bisa terselamatkan.
"Maafkan aku," Ucap Geu-Reum, dengan cengiran bersalah.
"Apa kau tidak melihat jalan, hah? Beruntung aku melihatmu, jadi aku bisa segera menghentikan kendaraan ku ini."
Cerocos seorang Jeon Wonwoo yang juga sekelas dengannya, tak jauh di belakangnya Kwon Soon-Young juga ikut berhenti disamping kawannya itu.
"Aku kan sudah minta maaf, aku terburu-buru." Bela Geu-Reum, wajahnya mulai tak bersahabat.
Mata tajam dan lurusnya berkeliling, lalu meninggalkan Geu-Reum dengan kembali mengayuh sepedanya. Lagi-lagi di ikuti Soon-Young, dengan memberi tatapan dan gerakan dua jari di depan mata jarum jamnya.
"Perhatikan jalanmu,"
"Menyebalkan, apa mereka tidak bisa memperlakukan seorang gadis dengan baik." Kesal Geu-Reum tak terima atas perlakuan dua karib rapat itu, dengan masih memandangi kepergian mereka.
Kelas sudah di mulai, pelajaran matematika menjadi pengawalan pagi hari kelas mereka. Pak Kwak Dong-Yeon menerangkan teori rumus matematika dengan santai, murid-murid yang tengah di ajarnya juga khidmat memperhatikan.
"Apa sampai di sini kalian paham?"
"Pak,"
Salah satu murid menunjuk tangan, Pak Kwak tersenyum dan mempersilahkan murid nya yang akan mengajukan pertanyaan.
"Ya, Cho Seung-Yeon."
"Aku ingin ke toilet,"
Satu kelas menahan tawa, baru saja mereka kagum dengan Seung-Yeon yang tidak biasanya mengajukan pertanyaan di saat pelajaran berjalan. Pak Kwak tak berbuat apa-apa, ia paham anak didiknya. Hanya tersenyum, dan mengijinkan Seung-Yeon pergi.
"Pak,"
Kali ini Wonwoo angkat tangan, Pak Kwak mengantisipasi. Takut, jika ini jebakan kedua.
"Kau juga ingin ke toilet?"
"Tidak, aku ingin bertanya soal nomer 23."
Laki-laki yang baru masuk kepala 3 itu bernafas lega, pengabdian selama 5 tahunnya mengajar tak sia-sia. Setidaknya ada murid yang masih mau giat belajar, alih-alih giat keluar-masuk toilet.
"Geu-Reum, kau jadi masuk ekstra musik kan?" Bisik Mimi yang mejanya berdekatan dengan Geu-Reum, mencuri kesempatan saat Pak Kwak menjelaskan di depan.
"Aku belum tahu," Ucap Geu-Reum, tanpa melepas perhatian ke depan papan tulis.
"Ck, kau harus bertindak cepat. Kesempatan itu tidak datang dua kali,"
Suara Mimi terlampau kuat, hingga Pak Kwak bisa mendengar dan menghentikan penjelasannya. Mengubah atensinya, pada siswi perempuan yang menelusupkan wajahnya ke meja.
"Jung Mimi, bapak mendengarmu dengan jelas." Tegur Pak Kwak, buru-buru Mimi menegakkan tubuhnya dan kembali fokus pada pelajaran.
"Maaf pak,"
Seperti biasa, setiap jam istirahat 7 pria kesepian telah berkumpul di singgasana mereka. Kali ini mereka sibuk memperhatikan adik kelas mereka yang berlalu lalang, juga tim cheerleader yang tengah berlatih di lapangan. Pemandangan indah yang tersaji gratis bagi mereka, sayang untuk di lewatkan.
"Gadis yang berambut panjang, adalah tipe ku." Ucap Jin-Hwan yang perhatiannya tertuju pada gadis junior tingkat, bersama dua temannya tengah berjalan melewati pria-pria pengagum rahasia itu.
"Aku juga, tapi yang berambut pendek lebih manis." Tambah Han-Bin ikut memperhatikan,
Kepala mereka bergerak mengikuti langkah gadis-gadis itu, sungguh indah ciptaan tuhan di depan mereka. Hingga sosok lain merusak pemandangan mereka, dua gadis tiba-tiba datang dan membuat ketujuh pria itu terlonjak kaget.
"Astaga naga!" Ucap Ji-Won sekenanya,
"Hampir saja jurus tendanganku keluar," Jin-Hwan sudah siap dengan kuda-kudanya,
"Kami tahu, kami lebih cantik daripada gadis-gadis itu." Cela Mimi,
Berlagak paling cantik, dengan rambutnya yang ia sibakkan ke belakang. Tanpa sengaja mengenai wajah Chan-Woo, yang terlambat untuk menyelamatkan wajahnya.
"Perasaanmu saja," Timpal Yunhyeong,
"Kau pikir kau tampan?"
"Tentu saja, aku sudah terlahir tampan. Aku juga punya banyak penggemar, yang mengagumi ketampanan ku ini."
"Tidak lah se-tampan kekasihku, kalian tahu? Kekasihku sangat tampan, dia bahkan mirip dengan aktor Kim Soo-Hyun. Kalian tidak akan bisa menandingi ketampanannya." Ucap Mimi bangga, ponselnya juga siap untuk ditunjukkan.
Dengan senyum kemenangan menunjukkan foto kekasihnya di layar ponsel, saat 7 lelaki itu bungkam.
"Benarkah? Apa dia punya kelainan mata, atau semacamnya? Kasihan sekali pria itu," Cemooh Junhoe, yang lain ikut menertawakan. Geu-Reum yang sedari tadi diam, hanya ikut menahan tawa.
"Yak!!" Pekik Mimi tak terima, matanya ikut mendelik.
"Sudahlah, sebentar lagi jam istirahat berakhir. Ayo, kembali ke kelas." Ajak Geu-Reum, segera menghentikan pertengkaran yang bisa lebih dari adu mulut.
Mimi mengikuti langkah Geu-Reum, jika tangannya tak ditarik paksa. Matanya tetap terarah pada sekumpulan lelaki yang masih puas menertawakan, hidup terasa lebih indah. Jika, ada salah seorang yang bisa mereka nistakan.
"Geu-Reum, jangan lupa malam ini." Teriak Dong-Hyuk, mengingatkan janji mereka malam ini di tempat biasa.
"Aku tahu, akan ku bawakan makanan juga." Sahut Geu-Reum tanpa berhenti berjalan, tapi kali ini langkahnya yang diseret Mimi.
Mimi adalah gadis yang anti pada sahabat-sahabatnya itu, akan jadi seperti ini setiap mereka bertemu. Bertengkar akan masalah sepele, tentu saja Mimi yang akan tersulut amarahnya. Apalagi, jika melihat Geu-Reum yang terlalu dekat dengan mereka. Maka dari itu ia memaksa diri untuk ikut, walau akan bertemu 7 lelaki perusak mood-nya dan hanya akan membuatnya emosi luar-dalam.
"Hah, menyebalkan sekali makhluk-makhluk itu. Tidak bisa aku berdamai, bagaimana bisa kau tahan dengan mereka?" Ujar Mimi masih tak puas hati,
"Kau seperti baru mengenal mereka saja," Jawab Geu-Reum enteng, malas menanggapi.
Mengalihkan pembicaraan dengan membuka buku pelajaran, dan mulai membacanya. Tak menghiraukan Mimi yang masih kesal, mendengus kesal dan matanya terbakar oleh kemarahan.
"Huhh..." Gumam Mimi frustasi, tak puas dengan jawaban Geu-Reum.
Menghela nafas kasar, mengacak-acak rambutnya sendiri, mendumel kecil. Lalu menelusupkan wajahnya pada meja, menenangkan hati dari kemarahan.
Bangku paling belakang, menjadi pusat perhatian satu kelas. Seorang gadis menghampiri meja Wonwoo, memberikan sekotak susu dan roti. Gadis yang juga teman sekelasnya, Lee Sang-Mi di kenal sebagai gadis paling cantik di kelas mereka.
Urutan ke-5 dari siswi most-wanted di sekolah, banyak digilai pria dan tak jarang menolak pria-pria itu. Namun, tak biasanya ia datang lebih dulu pada seorang pria. Terutama, pada pria dingin yang tak banyak bicara di kelas itu.
"Kau belum makan siang kan? Aku sengaja membelikan ini, makanlah." Ucap Sang-Mi manis yang dibuat-buat, tak lupa kerlingan untuk menggoda lawan bicaranya.
"Terimakasih," Balas Wonwoo datar,
Matanya bergerak memperhatikan, dua benda yang nampak aneh baginya. Kepalanya ikut berputar, memahami situasi yang tengah terjadi. Tanpa sedikitpun memiliki niat untuk menyentuh makanan itu.
Sang-Mi menyadari kediaman Wonwoo, tahu akan isi pikiran pria yang seperti tak memiliki darah. Pucat dan dingin, seperti vampir. Vampir yang tampan.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin menawarkan diri untuk masuk dalam kelompok mu."
Sang-Mi menjelaskan tujuannya, membuat kebanyakan siswa lelaki disana iri. Ia bangga untuk itu, saat menjadi rebutan dan pusat perhatian.
Wonwoo mulai paham atas kejanggalan. Gadis itu hanya ingin memanfaatkannya dalam tugas kelompok bahasa inggris, dimana Wonwoo adalah murid pandai di kelas.
"Tapi, Bu Ryu Hyo-Young kan yang akan membagi kelompoknya. Lagi pula, kenapa kau tak memilih Joshua sebagai kelompok mu? Dia malah sangat fasih berbahasa inggris," Ujar Wonwoo mencari alasan, mencoba menolak dengan halus.
"Kau juga sama pintarnya kan? Dia sudah menolakku,"
Sang-Mi habis kesabaran, ucapannya juga mulai tak terdengar manis lagi.
Ia mendapat dua penolakan sekaligus, saat ada banyak pria yang menggilainya. Diam-diam mengutuk dalam pikiran, sumpah serapah tak lupa ia rapalkan. Mengesampingkan rasa kagum pada ketampanan Wonwoo, yang mengusik tipe idealnya.
Di tampar kenyataan yang tak bisa di terima, mendapat penolakan.
Sifat asli gadis itu keluar, angkuh suka memaksa, egois dan bermuka dua. Itulah kenapa Wonwoo tak senang, saat gadis populer itu mendekatinya. Di bandingkan pria-pria pengagumnya, ia tak tertarik sama sekali pada Sang-Mi. Secantik apapun dia, tetap saja tak meluluhkan hatinya.
Mata elangnya menelusuri setiap sudut ruang kelas, mencari alasan lain untuk memojokkan Sang-Mi. Hingga ia menangkap sosok Geu-Reum tepat di depannya, saat gadis itu juga fokus memperhatikannya dengan sang selebriti sekolah.
Menjatuhkan pandangan kedalam manik mata di sebalik kaca matanya, lalu tersenyum miring saat Geu-Reum memalingkan wajah yang salah tingkah.
"Aku juga menolak mu,"
"Kau bercanda? Pikirkan lagi, kau akan menyesal menolakku."
"Tidak peduli siapa kelompok ku nanti, aku bisa mengatasinya. Sekalipun dia hanya parasit dalam kelompok,"
Wonwoo tak langsung menatap Sang-Mi, yang wajahnya merah padam dari efek kemarahannya. Namun, penekan kata dari lontaran bibirnya terdengar seperti sindiran bagi gadis itu.
Merapatkan bibirnya adalah satu-satunya jalan untuk menjaga harga dirinya, tak berbuat konyol yang akan membuatnya malu. Saat ada banyak orang, juga penggemarnya yang masih setia menjadi penonton.
"Sebenarnya aku menyesal telah menolakmu, maaf aku hanya akan jadi partner terburukmu."
"..dan aku tidak bisa menerima pemberian mu, jika tidak tulus." Tandas Wonwoo, makin membuat rahang gadis cantik itu semakin mengeras.
Tangannya segera menyambar sekotak susu dan roti di atas meja, membawa kembali makanan yang sengaja ia beli untuk Wonwoo. Tanpa banyak bicara, segera berlalu dari hadapan pria yang telah mempermalukannya. Membuangnya kemudian, sembari keluar dari kelas. Menyembunyikan amarah dan malunya, tanpa memedulikan bisikan teman-teman di kelas.
Kelas hening kembali, bel masuk juga telah berbunyi. Mereka sibuk menyiapkan diri dan buku-buku yang akan mereka gunakan, untuk pelajaran selanjutnya. Tak ada yang membahas kejadian tadi, bahkan penghuni bangku belakang pun senyap.
Entah Wonwoo yang memilih diam, atau teman-temannya yang tidak enak hati untuk bertanya atau membahas kejadian itu lagi. Sedang Sang-Mi juga nampak tenang seperti tak ada yang terjadi apa-apa, ia terlalu hebat untuk cepat mengembalikan keadaan.
Mimi menyenggol lengan Geu-Reun, lalu sedikit memelankan suaranya agar tak ada yang mendengar.
"Menurutmu, apa Wonwoo tipe pria yang ideal?"
"Entahlah, dia terlalu dingin dan membosankan."
"Tapi sebenarnya dia tampan, sepertinya Sang-Mi hanya beralasan tentang kelompok belajar itu. Ku dengar, dia menyukai Wonwoo."
"Mungkin saja begitu, aku juga akan melakukan hal yang sama. Agar bisa dekat, dengan orang yang ku suka."
"Kau menyukai seseorang? Siapa?Bukan salah satu dari 7 teman pria mu, kan?"
"Kau ini bicara apa? Tentu saja tidak,"
"Baguslah, setidaknya ada yang membuktikan mitos itu tidak benar. Karena menurut mitos, laki-laki dan perempuan yang bersahabat. Maka, salah satu nya akan menaruh perasaan."
Hatinya mencelos, kebohongannya seakan bisa tertebak. Mimi mengatakan hal yang sedang terjadi pada dirinya, hingga tak bisa ia sangkal. Tentang menyukai sahabat sejak kecilnya, menaruh perasaan yang salah pada teman sendiri.
Memang memiliki hubungan pertemanan dengan lawan jenis, hanya akan berujung pada kata menyukai. Ia berusaha menutupi dan menyangkalnya, tapi ia hanya manusia biasa.
Jika, hati tak kuat menahan godaan sendiri dan tak punya pendirian tetap. Tapi dalam kasusnya ini, dirinya lah yang salah. Ia yang tak bisa menahan perasaan, perasaan runyam yang memusingkan pada sosok Kim Han-Bin.
Bungkam dan memendam adalah keputusan paling tepat, biarlah hatinya yang bertahan untuk kebaikan. Akan ada masa, dimana indah itu datang pada waktunya. Walau seribu tahun lamanya, ia bisa bersabar.
Atau dia sendiri yang akan mulai bosan, mengakhiri perasaan. Mencari yang lain, dan mengikhlaskannya pada orang pilihannya yang lebih baik untuknya.
Tangannya kembali ditarik paksa, hingga mau tak mau harus terjebak di studio musik. Geu-Reum terpaksa mengikuti keinginan Mimi, untuk mau masuk ekstra musik yang tempo hari ditawarkan senior Kang. Hari ini ia resmi jadi anggota ekstra, jika bukan bujuk rayu dan paksaan temannya itu.
"Selamat bergabung, semoga kita bisa lebih dekat." Ucap Young-Hyun, tak lupa seulas senyum mampir di wajah rupawan.
Membuat hati siapapun yang melihat, bergetar tak kuat menahan pesonanya.
"Terimakasih senior," Balas Geu-Reum ragu-ragu, menutupi kegugupannya.
Pikirannya terus berputar-putar, khawatir akan kelanjutan dirinya sebagai anggota musik. Dimana tak ada niat dalam hatinya sendiri, juga ia yang tak memiliki bakat dalam hal bermusik.
"Tenang saja senior, Geu-Reum adalah gadis yang rajin dan pandai. Dia akan bisa cepat berbaur, soal materi yang tertinggal. Ia juga bisa dengan cepat mengejarnya, dia bisa diandalkan." Puji Mimi yang malah membuat Geu-Reum makin malu, kebiasaan temannya yang suka melebih-lebihkan.
Pelajaran ekstra musik baru akan dimulai saat Pak Kim Jong-In, yang menjadi pembimbing ekstra sudah datang. Biasanya mereka akan berlatih sendiri, sembari menunggu.
Perhatian mereka teralihkan, saat Hwang Kwang-Hee membawa selembaran kertas bertuliskan Not Angka. Dimana akan menjadi tugas mereka di pelajaran kali ini, yang langsung disambut antusias. Membuat mereka saling mendorong satu sama lain, berebut lembaran kertas putih dari tangan wakil pemimpin anggota ekstra.
Kwang-Hee pria yang berpostur langsing tinggi, mencoba berjinjit dengan tangannya terulur keatas. Namun, tetap saja teman-temannya yang anarkis masih bisa menggapainya. Tubuhnya hampir limbung, terhuyung mengikuti mereka yang saling berdesakan. Bagaikan deretan ilalang, yang bergoyang tertiup angin.
Geu-Reum berdiam diri, ia masih tak paham apa yang tengah terjadi. Memperhatikan kerumunan yang tak jauh dari dirinya berdiri, memberi tatapan bingung. Suasana yang makin ricuh, hingga ia ikut terdorong-dorong. Mereka terlalu bersemangat untuk hal seperti itu, tak peduli sekitar yang akan menimbulkan korban jiwa.
Sama seperti Geu-Reum yang tak ikut kericuhan, Young-Hyun yang hari ini mendapat amanat untuk menggantikan ketua ekstra yang tak hadir. Mencoba menenangkan para anggota, membubarkan masa yang tak kenal lelah. Namun ia kalah jumlah, hingga kekuatannya tak mampu menyudahi aksi mereka.
Tubuhnya goyah, terdorong kuat kebelakang. Hingga punggungnya merasakan menabrak seseorang, ia membalikkan tubuh. Menyeimbangkan diri dengan membalikkan tubuhnya, agar tak menjatuhi seseorang yang tak sengaja ia tabrak.
Mengukung diantara tubuhnya dan dinding, memojokkan seseorang yang hanya sebahunya. Matanya mengunci manik mata hitam pekat, tangan kekarnya menahan agar tak menghimpit terlalu kuat. Geu-Reum mengerjap berulang kali dengan tempo cepat, mengatupkan bibir keringnya saat kesusahan menelan ludahnya sendiri. Semakin gugup, saat jarak tubuhnya sangat dekat dengan pria.
Dari sisi belakang, kericuhan malah semakin menjadi. Pertahanan Young-Hyun ikut melemah, tangannya tak mampu lagi menahan dorongan. Tubuhnya semakin mempersempit jarak, menghimpit tubuh yang lebih kecil darinya.
Saling memalingkan wajah, saat keduanya hampir bersentuhan. Tangan Geu-Reum ikut menahan dada Young-Hyun, memberi celah barang sedikit.
Walau tak ada lagi jarak diantara mereka, tangan kecilnya tenggelam di dada bidang seniornya itu. Bisa ia rasakan degupan jantung Young-Hyun, tak jauh berbeda dengannya.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti ini."
"Mungkin senior bisa merubah posisi,"
"Tidak bisa mereka terlalu kuat mendorong ku, aku tidak bisa bergerak sama sekali."
Sekeras apapun mencoba menghindar, kedua bola mata mereka tak bisa membohongi. Untuk menjatuhkan pandang, saling menatap iris mata masing-masing. Mendalaminya, hingga bisa melihat pantulan diri mereka.
Deru nafas hangat tak luput menyapa kulit, merangkak naik keseluruhan wajah. Belum pernah ia sedekat ini dengan pria, mengingat ia belum pernah memiliki kekasih. Berciuman atau berpelukan, adalah hal yang sama sekali tak pernah terjadi dalam hidupnya.
Perasaan gugup dan degup jantung yang dua kali lipat lebih kuat, hanya pernah ia rasakan saat menyukai seseorang. Seperti saat bersama Han-Bin, tapi bersama Young-Hyun hatinya merasakan hal yang sama.
Tidak mungkin secepat itu menyukai senior tampan itu, ia menyadari senior tak melihat dirinya sebagai tipenya.
Senior Young-Hyun terlalu sempurna, tak bisa dimiliki atau memiliki sekalipun. Pria seperti nya, juga pasti punya tipe gadis yang pantas untuknya. Ini hanya kecelakaan, tak mungkin membuat nya menjatuhkan hati yang terpikat pada sosok biasa Geu-Reum.
Jarak wajahnya makin dipersempit, matanya berpindah pada bibir ranum Geu-Reum. Pikirannya kosong, ia tak tahu apa yang ia lakukan. Hanya membayangkan, benda kenyal yang sangat jelas di depan matanya itu. Pikiran kotornya semakin mendominasi, kala bibirnya terbuka sedikit.
"Kalian sedang apa?" Tanya Kwang-Hee yang telah berhasil, meloloskan diir dari kerumunan.
Wajah dan pikirannya terlalu polos, untuk hal itu. Menyadarkan keduanya, yang terlupa akan situasi. Bahkan tak tahu, jika kerumunan sudah berangsur hilang. Salah tingkah usai menjauhkan diri, tertunduk malu setelah tertangkap basah.
"K..ka..kami tidak seperti yang kau bayangkan,"
Geu-Reum cepat-cepat berdalih, memberikan klarifikasi dari pikiran laki-laki yang rambutnya sedikit gondrong.
"Aku tahu, aku tak melihat apapun." Ujar Kwang-Hee malas menanggapi, enggan banyak berkomentar.
"Kau anggota baru kan? Ini kertas mu, kerjakan tugas ini. Jika tak paham, tanyakan saja padanya atau anggota lain."
Geu-Reum menerima uluran kertas dari tangan panjang Kwang-Hee, mengangguk paham sebelum pria itu pergi.
"Maaf, kau pasti jadi tidak nyaman." Sesal Young-Hyun memberanikan diri, saat mereka kembali hanya berdua.
"Ah, tidak apa-apa senior. Itu bisa terjadi saat darurat, aku bisa memahami itu."
Wajahnya masih bersemu merah, membuatnya tak bisa menutup kegugupan. Bibirnya mengembang paksa, bola matanya bergerak menghindari tatapan. Pria itu terus menatapnya, membuatnya makin risih.
Young-Hyun tak bisa melepaskan tatapannya, pada sosok gadis yang baru beberapa menit yang lalu memasuki hatinya. Mencoba mencari celah, untuk merobohkan pertahanan hatinya.
Di saat ia selalu bersikeras menolak gadis-gadis yang mendekatinya, bahkan gadis tercantik cantik sekolah sekalipun. Hanya bersikap ramah tapi tetap acuh, untuk tak menyukai gadis manapun.
Setelah pengalaman pahit, yang membuat hatinya pernah tersakiti. Meninggalkan bekas luka teramat jelas, yang sulit disembuhkan. Berbeda saat ia melihat wajah polos Geu-Reum, seakan lukanya cepat memulih. Memberikan penawar, gadis itu adalah obat terampuh pada lukanya.
"Geu-Reum kau tidak apa-apa kan? Rambutku hampir tercabut semua, seseorang menarik rambut ku sangat kuat." Ucap Mimi segera bercerita beruntun, terburu-buru memaparkan cerita yang baru saja terjadi padanya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja."
"Kalau begitu, ayo kerjakan tugas ini. Aku akan mengajarkan mu cara mengerjakannya, kali ini aku lebih hebat darimu. Jadi, aku akan menjadi pembimbing bagimu."
Geu-Reum tak menjawab, ia melirik Young-Hyun sebentar. Di balasnya sekilas, lalu digaruknya rambut kepala yang tak terasa gatal. Mimi yang tak menyadari keberadaan Young-Hyun karena terlalu antusias, segera membungkuk sopan.
"Oh senior, maaf aku tak tahu kau juga disini."
"Tidak apa-apa, cepat kerjakan tugas itu."
"Senior juga, selamat mengerjakan,"
Mimi memberi senyuman sumringahnya untuk berpamitan, lalu mengajak Geu-Reum yang memilih diam. Menarik tangan dengan sedikit menyeretnya, terkesan terburu-buru.
Walau rasanya ingin melayangkan protes, tapi setidaknya ia harus berterimakasih pada Mimi. Ia bisa keluar dari kecanggungan, juga kembali menghirup udara segar.
"Young-Hyun, apa yang kau lakukan disini? Mana kertasmu?" Tanya Park Do-Joon kawan setingkat yang juga rapat dengannya muncul tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Ia masih menatap punggung dua junior tingkatnya, yang mulai menjauh.
"Aku belum dapat, mereka terlalu ricuh."
"Kau ini selalu mengalah pada mereka, kita senior disini. Ini aku ambilkan satu untukmu, kau tahu aku pertaruhkan seragamku ditarik-tarik mereka. Untung saja tidak robek,"
"Terimakasih Do-Joon, kau memang bisa diandalkan." Puji Young-Hyun, tangannya merangkul rekannya yang sangat suka mendumel.
"Sial kau." Celetuk Do-Joon,
***