Wanita yang mulai memasuki usia paruh baya, dengan raut wajahnya yang mulai menua tapi tetap cantik. Tengah menata makanan yang baru selesai ia masak pada meja kecil, menyiapkan sarapan untuk kedua putranya.
Dengan senyuman di wajahnya, ia memandang puas makanan yang selesai tertata. Walau bukan makanan mahal, setidaknya cukup untuk memberikan asupan bagi putra-putra nya.
Ia adalah orangtua tunggal untuk kedua putranya, setelah suaminya meninggal 10 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ia juga harus menjadi tulang punggung keluarga. Untuk membiayai sekolah dan makan sehari-hari, ia hanya bekerja sebagai pelayan restoran kecil dekat rumah.
Putra pertamanya baru masuk SMA, sedang putra bungsunya yang berumur 12 tahun tidak melanjutkan sekolah. Karena putranya itu malu berada di sekolah umum, saat ia memiliki kekurangan dan membuatnya berbeda dengan anak-anak yang lain.
Tubuhnya terlihat seperti anak seusianya, namun ia mengidap kelainan sejak lahir. Ia tuna rungu dan tuna wicara, sehingga ia merasa rendah diri saat berhadapan dengan orang lain.
Meski putus sekolah, sebisa mungkin ia tetap memberikan pendidikan untuk putranya. Selain murid yang pandai, putra bungsunya adalah anak yang giat belajar. Dengan bantuan seorang yang ia kenal dan profesinya sebagai guru, putranya masih bisa bersekolah meski hanya dirumah.
Juga dengan biaya murah tentunya, temannya sangat dermawan. Sehingga tak perlu banyak biaya untuk membayarnya, bahkan ia tak ingin dibayar.
"Won-Hyuk, bangunkan kakakmu. Kita akan sarapan bersama,"
Wanita itu menyuruh putra bungsunya yang tengah asyik bermain rubik, mainan kesukaannya. Menggunakan bahasa tubuh agar dimengerti putranya itu, juga gerakan bibir yang perlahan dan jelas.
Segera Won-Hyuk beranjak dari duduknya, mengiyakan perintah ibunya. Ia putra yang bisa dibanggakan, selalu patuh dan mengikuti perintah ibunya. Ia sangat menyayangi ibunya, juga kakak lelakinya yang masih bergumul dengan alam mimpinya.
Tangannya menggerakkan tubuh kakaknya perlahan, lalu lebih kuat saat tak ada pergerakan dari kakaknya itu.
"Pergilah, aku masih mengantuk." Ujar Wonwoo yang enggan untuk bangun, bangun di pagi hari adalah musuh terbesarnya.
Namun Won-Hyuk tak pantang menyerah, ia sibakkan selimut yang makin menempel pada tubuh tinggi kakaknya. Lalu menarik sebelah kakinya dengan sekuat tenaga, menarik hingga mencapai bibir pintu. Mereka tak punya ranjang, sehingga hanya tidur beralas kasur di lantai.
"Baiklah, aku bangun."
Wonwoo menyerah, adiknya tersenyum menang. Kakaknya benar-benar tukang tidur, sangat sulit membangunkannya. Mungkin jika terjadi gempa bumi, ia tetap terjaga dalam tidurnya.
Dengan malas ia bangkit, dan terduduk sebelum benar-benar bangun. Mengumpulkan tenaga yang belum sepenuhnya kembali, matanya masih terasa berat.
Baru ia akan kembali meringkuk, adiknya yang masih disana sudah lebih dulu menarik lengannya. Ia harus menyerah untuk kedua kalinya, dan benar-benar bangun.
Ibunya sudah duduk menunggu putranya di meja makan yang hanya cukup untuk tempat lauk, sayur dan mangkuk nasi saja. Mereka hidup sederhana, sehingga hanya satu meja kecil yang mereka punya.
Dapur dan ruang tv pun jadi satu, beruntung ada dua kamar dalam rumah yang disewa ibunya. Sehingga Wonwoo bisa punya kamar sendiri, sedangkan ibunya dan Won-Hyuk tidur satu bilik.
"Makan yang banyak,"
Ibunya meletakkan satu telur dadar di mangkuk Won-Hyuk, ia hanya menggoreng telur sejumlah mereka. Selain berhemat, uangnya juga hanya cukup untuk membeli lauk itu. Sedang sayuran yang hanya kimchi kubis, ia dapat dari majikan tempatnya bekerja.
Won-Hyuk tersenyum dan melahap nasinya dengan senang, ia selalu suka apapun masakan ibunya. Masakan ibunya adalah masakan terenak di dunia baginya, walaupun hanya telur goreng sekalipun.
"Wonwoo kau tidak makan?" Tanya Ibunya saat putra sulungnya itu, sudah siap dengan seragam sekolahnya dan bersiap untuk memakai sepatu yang telah usang.
Ia sudah bosan dengan sepatunya, namun melihat kondisi ibunya. Ia urungkan niatnya, menerima dan pakai saja. Selagi masih bisa digunakan, ia juga tak iri melihat teman-temannya memakai sepatu bagus dan bermerk.
"Tidak bu, aku sudah terlambat."
"Ini, belilah makanan yang kau mau." Ujar Ibunya dengan memberikan beberapa lembar uang yang digulung, untuk uang saku.
"Tidak perlu bu, aku masih punya uang saku. Ibu simpan saja,"
Ujung bibirnya ia paksakan untuk tertarik keatas, ia berbohong didepan ibunya. Ia sama sekali tak punya uang, dan jujur ia sangat lapar. Tapi ia tak tahan dengan pemandangan memilukan keluarganya, ia tahu kondisi ibunya. Dan selalu saja, ibunya menutupi itu. Uang adalah permasalahannya, ekonomi keluarganya sangat menyesakkan dadanya.
Dengan langkah berat, ia berangkat ke sekolah dengan sepeda nya yang sama-sama usang. Sepeda tuanya itu ia dapat dari pamannya di kampung, meski tak punya uang banyak. Mereka masih punya saudara yang baik, juga peduli pada mereka.
Namun mereka juga tidak bisa hanya terus berpangku tangan, dan menunggu belas kasihan. Mereka tahu diri untuk selalu melakukan semampunya, tidak banyak mengeluh dan terus bekerja keras.
Jam sekolah akan berakhir, jika sudah sore hari. Ia menuntun sepedanya keluar gerbang, ia baru akan mengayuh sepeda saat berada di luar sekolah. Ia suka berjalan-jalan lebih dulu di sekolah, menikmati hamparan hijau yang tertanam rapi di setiap sudut sekolah.
Menatap teman-temannya yang asyik bersenda gurau, dan memperhatikan seorang gadis dari kelas lain yang selalu duduk di bangku taman bersama dua teman gadisnya.
Ia menaruh perasaan pada gadis bersuai hitam panjang dan lurus itu, senyumnya yang manis, juga gerak-gerik tangannya yang lembut. Juga suara halusnya saat berbicara, yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Gadis itu selalu membuatnya sulit tidur, teringat ucapan manis yang terlontar di perjumpaan pertama mereka.
Na Eun-Seong, selalu ia ingat nama itu saat ia melihat tanda pengenal di seragamnya. Mereka tak pernah berkenalan, hanya ia yang tahu namanya.
Saat itu ia tak sengaja menabrak Eun-Seong, membuat buku-buku yang ia bawa berjatuhan. Ia membantu membereskan kekacauan yang ia buat, karena itu juga ia bisa merasakan cinta pada pandangan pertama. Sosok Eun-Seong adalah gadis idealnya, lembut dan penuh perhatian.
"Terimakasih, maaf merepotkanmu."
Ia bukan gadis pendendam, bahkan tak segan menjadi yang lebih dulu meminta maaf. Alih-alih marah pada Wonwoo, orang yang seharusnya disalahkan setelah menabrak nya.
Sejak itu ia tanam bunga cinta di hatinya, menyebut gadis yang mungkin tak lagi mengenalinya sebagai cinta pertama di masa SMA. Lagi-lagi senyumnya tertarik, bersamaan dengan Eun-Seong yang tengah tertawa lepas.
Hatinya makin mempererat rasa suka padanya, jantung yang bergemuruh seakan ikut memanggil nama gadis itu.
Gila, ia memang sudah gila dengan tergila-gila pada gadis yang sangat menawan dihatinya.
"Kenapa masih disini?"
Lamunannya buyar, sahabat karibnya datang di waktu yang sangat tidak tepat. Lelaki berkulit putih dengan mata yang hanya terlihat seperti segaris itu, mensejajarkan berdirinya. Ia juga menuntun sepedanya, setelah menemukan sahabatnya berdiri mematung di pinggir jalanan taman.
"Ouh, kau masih memperhatikan gadis itu?"
Lelaki sipit bernama Soon-Young mengikuti arah pandangan Wonwoo, saat sahabatnya tetap diam tak menyambut kedatangannya.
"Dia sudah punya pacar, sudahi saja perasaanmu dan cari yang lain."
Ia memang tidak lupa, hanya saja ia mengesampingkan fakta itu. Jika Eun-Seong telah memiliki kekasih, Yoo Yong-Ha adalah kekasihnya. Pria tampan yang pasti berbanding terbalik dengannya, putra dari pemilik sekolah.
Saingan terberatnya, yang jelas tak mungkin bisa ia jadikan saingan. Ia mungkin tak kalah dalam ketampanan, tapi untuk kekayaan. Sudah pasti ia harus suka rela mundur, ia tak punya apa-apa untuk membandingkan Yong-Ha dengan dirinya.
"Aku tahu, aku hanya mengaguminya. Jangan khawatir aku punya batasan,"
"Kau akan mendapatkan gadis yang menerima mu apa adanya,"
Wonwoo tersenyum kecut, Soon-Young merangkul tengkuk leher sahabat nya yang sudah ia kenal sejak sekolah dasar. Tumbuh bersama dalam suka dan duka, walaupun ia kalah tinggi dengan Wonwoo.
Tapi itu tak ia permasalahkan, toh! Ia memang tidak memiliki gen tinggi. Ia juga bersyukur masih memiliki wajah tampan, mungkin juga masih dibawah rata-rata sahabatnya itu.
Mereka pulang bersama, rumah mereka tidak berdekatan. Hanya jalan rumah mereka searah, sehingga setiap hari pulang dan berangkat bersama ke sekolah adalah rutinitas sehari-hari.
Belum sampai depan rumahnya, ia melihat banyak mobil dan orang-orang yang berlalu lalang.Segera ia percepat kayuhan sepedanya, saat orang-orang itu berjalan kearah rumahnya.
Benar saja, sudah banyak orang berseragam dan tetangga-tetangganya yang berkerumun dengan isak tangis. Ia juga tak lagi melihat rumahnya yang tadi pagi baik-baik saja, menjadi rata dengan tanah.
Kendaraan berat telah meluluh lantakkan bangunan yang telah menjadi tempat tinggalnya sejak ia lahir, banyak kenangan bersama mendiang ayahnya. Suka-duka ia jalani dirumah kecil dan sempit itu, walau tak layak huni rumah itu adalah peninggalan satu-satunya dari ayahnya.
Soon-Young masih mengikuti Wonwoo, ia sama terkejutnya. Ia tak bisa berkata-kata, apa yang ia lihat saat ini seperti mimpi buruk. Terlebih melihat sahabatnya yang sudah menghamburkan pelukan pada ibu dan adiknya, ditinggalnya sepeda tua yang tergeletak asal.
Bisa ia rasakan kesedihan mereka, ia bukan penghuni rumah yang telah dihancurkan. Namun ia sudah terbiasa bermain disekitar sini, banyak kenangan yang ia miliki disini.
"Ibu kenapa rumah kita?"
"Mereka menghancurkan semuanya,"
Tanah pemukiman itu memang sudah di beli, dan akan dijadikan pusat perbelanjaan. Namun pemilik tak memberi pengumuman sebelumnya, dengan sewenang-wenang menghancurkan dan mengusir paksa penghuni yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal disana.
"Cepat pergi dari sini, kalian sudah tidak bisa tinggal disini."
Seorang petugas dengan angkuhnya mengusir pemukim, yang sebagian besar berusia lanjut.
Mereka hanya pasrah menangis, namun ibu Wonwoo dan beberapa tetangganya bersikukuh untuk tetap bertahan. Hingga saling dorong terjadi, kericuhan antara petugas dan warga terjadi.
Mereka tak mau mengalah satu sama lain, Wonwoo mendekap adik lelakinya yang ketakutan dan Soon-Young ikut memeluk keduanya dengan derai air mata.
Petugas-petugas itu lebih kuat, mereka juga membawa senjata. Hingga membuat beberapa warga yang melawan harus menerima pukulan, membuat luka-luka terbentuk.
Wonwoo akhirnya ikut berdesakan, untuk menyelamatkan ibunya. Soon-Young mencoba menahan tapi Wonwoo tak terbendung lagi, ia mendekap Won-Hyuk yang makin ketakutan.
"Lepaskan ibuku,"
Wonwoo mendorong tubuh petugas yang akan menghajar ibunya, ia melindungi ibunya yang telah tersungkur.
"Ibu tidak apa-apa kan?"
Petugas kejam itu tak tinggal diam, ia malah menghujani pukulan pada Wonwoo. Tak peduli ia menghajar anak di bawah umur, ia hanya menjalankan tugasnya. Memberi pelajaran bagi mereka yang melawan dan menentang pekerjaannya, tak peduli anak kecil atau orang tua sekalipun.
"Hentikan.. pergi..menjauhlah dari putraku." Teriak ibunya, saat sang putra dipukul habis-habisan. Bahkan tendangan mampir di tubuh Wonwoo, yang telah ambruk di atasnya.
Sakit, semua badannya terasa sakit. Tak lagi ia rasakan tubuhnya menyentuh tanah, bahkan suara ibunya tak bisa ia dengar. Tubuhnya sangat lemah, seakan semua tulangnya hancur. Kepalanya ia paksa untuk menatap ibunya yang menangis kuat, air matanya juga jatuh dengan lemah memaksakan senyum di wajahnya.
Walau ibunya memukul keras petugas yang hanya jadi memukul udara, petugas itu tak menggubris. Malah makin menjadi, menendang dan memukul bertubi-tubi. Ibunya memohon dengan isakan tangis yang makin kuat, Wonwoo limbung tak sadarkan diri. Ia jatuh pingsan di atas tubuh dan pelukan ibunya, tak lagi merasakan tubuhnya kesakitan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ketukan pintu dari luar kamar membangunkannya, wajah memar dan tubuhnya penuh peluh. Ia mimpi buruk lagi, akhir-akhir ini ia jadi sering bermimpi buruk.
Bermimpi pada masa lalu kelamnya, juga memimpikan ibu dan adiknya.
Mungkin ia merindukan mereka, sudah hampir setahun ia tak bertemu mereka.
Sejak penggusuran rumah, mereka harus tinggal terpisah. Ibu dan adiknya memutuskan tinggal di desa bersama neneknya, sedangkan ia harus memulai kembali sekolahnya dan pindah ke kota besar.
Bersekolah dan bekerja secara bersamaan, menjalani kerasnya hidup diusianya yang masih belia. Selama ini ia juga belajar sangat keras, agar mendapatkan beasiswa dan meringankan beban ibunya. Beruntung ia bisa mengabulkan harapannya, mendapat beasiswa penuh di sekolah terbesar kota Seoul.
Bersama sahabat yang selalu di sampingnya saat situasi apapun, mereka berdua pindah ke Seoul. Tinggal berdua di rumah atap yang mereka sewa dengan harga murah, juga dibantu orang tua sahabatnya yang sudah menganggapnya anak mereka sendiri.
"Cepat bangun, jika tak ingin terlambat."
Alarm pagi hari dari Soon-Young adalah alarm terbaik untuk membangunkannya, segera ia menyambar handuk di kursi meja belajarnya. Bergegas mandi, agar Soon-Young tak banyak berkicau dan ia terlambat.
"Kau yang memasak semua ini?" Tanya Wonwoo saat ia sudah rapi dan duduk di meja makan, yang telah penuh sarapan pagi. Tidak biasanya ada makanan saat pagi hari, mereka hanya akan membeli roti atau minum susu sebelum berangkat sekolah.
"Tidak, Bibi ku tadi yang mengantar. Dia bilang nasi dan lauk yang ia masak tersisa banyak, jadi ia membawanya kemari." Jawab Soon-Young,
Adik perempuan dari pihak ayahnya, tinggal berdampingan dengan rumah sewanya. Ia juga peduli pada keponakannya, setelah ayah dan ibu Soon-Young memintanya untuk menjaga putra sulung mereka. Walau jarang-jarang ia memperhatikannya, hanya saat-saat tertentu ia mengingat keponakan bermata sipitnya itu.
"Tumben sekali, tidak basi kan?"
"Semua masih panas, aku juga sudah mencicipinya. Bibi ku memang pelit, tapi dia tidak sejahat itu."
Wonwoo mulai mencicipi dan memakannya dengan lahap, saat di rasa aman untuk dikonsumsi. Mengambil suapan besar, mengingat dari semalam ia tak makan.
Begitu pula Soon-Young yang sudah terlebih dulu melahap sarapannya, hingga ia mendapat mangkuk keduanya.
"Kau bertemu dengan Kak Eun-Woo kemarin?" Tanya Soon-Young dengan mulut penuh,
"Iya, dia juga mengembalikan uangku." Jawab Wonwoo sibuk mengambil kimchi, lalu melahapnya.
"Berhentilah mengasihaninya, dan berbaik hati meminjamkan uang padanya. Kau juga perlu uang, lagipula dia kan bekerja. Uang itu pun hanya ia berikan untuk kekasihnya yang tak tahu balas budi, kau terlalu baik hingga dimanfaatkan nya." Ujar Soon-Young, sembari menelan makanannya sebelum berbicara.
Menghentikan gerak sumpitnya pada mangkuk nasi, untuk mengacungkan sumpit itu pada Wonwoo.
"Aku tahu, ia juga sudah tak lagi berhubungan dengan kekasihnya. Ia akan hidup lebih baik, dia berjanji padaku."
"Kemarin aku juga melihat mu bersama Geu-Reum, ada hubungan apa kalian?"
"Dia datang tiba-tiba dan membantuku, saat bajingan itu memukulku."
"Ouhh.. jadi wajahmu itu terkena pukulannya, bagaimana kau akan menutupinya saat disekolah?"
"Ini sudah tidak terlalu terlihat jelas, luka lainnya bisa kututupi dengan plester luka. Obat yang kekasihmu berikan, sangat bagus. Dalam waktu semalam, lukaku bisa cepat mengering dan tanda kebiruan hilang begitu saja." Jelas Wonwoo, membuat Soon-Young bangga akan pujian untuk kekasihnya.
"Tentu saja dia yang terbaik, tapi apa tidak apa-apa? Maksudku, Geu-Reum juga melihatku di kafe. Apa dia tidak akan menyebarkan gosip tentang kita?"
Wajah segitiga nya berubah gusar, mengingat hal yang menjadi beban pikirannya sejak semalam.
"Entahlah, aku juga tengah memikirkan itu." Ucap Wonwoo, dengan bahunya terangkat. Lalu memberi tatapan dalam dari mata tajamnya pada Soon-Young, mengamati iris mata yang hampir tak terlihat.
"Soon-Young kita harus menerimanya dan mulai terbiasa dengan itu, kita tak bisa lagi menyembunyikan pekerjaan kita. Kita harus jujur, lagipula pekerjaan itu bukan dosa. Akui saja, jika anak-anak lain mengetahuinya. Abaikan saat mereka mulai merendahkan kita, melawan malah akan semakin menyulitkan kita."
Wonwoo mulai melontarkan isi pikirannya yang selama ini tertahan, untuk menghormati keputusan kawannya itu.
"Ingat tujuan kita, lulus sekolah dan sukses."
"Aku juga mulai memikirkan itu, mungkin aku akan menyetujui ucapanmu."
Pagi masih damai, setidaknya menjadi dekat dalam waktu yang lama. Membuat mereka bisa saling memahami, dan cepat dalam mengambil keputusan.
Soon-Young awalnya memang tak ingin orang lain tahu, jika mereka mengambil pekerjaan paruh waktu. Ia juga meminta Wonwoo merahasiakannya, namun itu bukan hal tepat. Menutupi kebohongan hanya untuk dilihat baik di depan orang lain, agar di pandang sama dengan teman-temannya yang memiliki kehidupan layak.
Sekali lagi pekerjaan itu bukan dosa, mereka tidak mencuri atau melakukan pekerjaan yang melanggar peraturan. Kafe mereka memang menerima pelajar bawah umur untuk dijadikan pegawai, namun dalam batasan waktu kerja yang sudah ditentukan. Sebelum pukul 10 mereka sudah selesai bekerja, bahkan bos mereka sendiri yang membuat peraturan itu untuk pegawainya yang masih sekolah.
Pemilik kafe tahu peraturan, ia juga orang yang telah berbaik hati memberikan pekerjaan pada murid SMA seperti mereka dan 2 pegawai lainnya. Mengikuti peraturan pemerintah dan memberikan hak bagi pegawainya, untuk menikmati masa sekolah atau mengerjakan tugas-tugas sekolah mereka.
Maka aktivitas di kafe nya sudah legal, semua peraturan dan tata tertib terlaksanakan. Pegawai di bawah umurnya juga aman, tidak perlu merasa was-was.
Walau tetap merasa antisipasi dengan situasi, Soon-Young maupun Wonwoo tetap khawatir. Langkah mereka hati-hati sejak menjejakkan kaki di lingkungan sekolah, bahkan saat berpapasan dengan murid lain. Mereka akan lebih dulu menatapnya, namun malah tatapan aneh yang mereka dapatkan.
Semua terlihat sama saja, tak ada yang ganjil. Hingga mereka masuk ke dalam kelas, suasana kelas tetap sama saja. Hanya semakin ricuh, dari ulah Seung-Yeon dan Jun-Hong yang berlarian dengan menjahili teman-teman sekelasnya.
"Kalian akhirnya datang juga, aku menunggu mu." Ucap Mimi dengan menumpangkan kedua tangan yang terlipat di atas perut, wajahnya yang datar langsung menunjuk Soon-Young yang linglung.
"Aku? Kenapa?" Tunjuk Soon-Young pada dirinya sendiri, menatap Wonwoo dan Mimi bergantian.
"Jangan pura-pura tidak tahu, mana tugasmu. Jangan bilang kau melarikan diri dari tugas, seperti Seung-Yeon. Aku tidak percaya akan satu kelompok dengan kalian," Ujar Mimi sembari menjulurkan tangannya, lalu mengacak rambutnya frustrasi. Kala Soon-Young yang wajahnya makin terlihat kebingungan, tak segera menanggapinya.
"Tugas? Ah benar, tugas Bu Ryu. Mimi, aku tidak bermaksud-"
Akhirnya Soon-Young mengingatnya, tapi ia benar-benar lupa akan tugasnya itu. Dimana ia satu kelompok dengan Mimi dan Seung-Yeon, segera memberi penjelasan pada gadis yang tengah frustasi.
Mimi sudah banyak bekerja dalam kelompok mereka, tapi dua orang dalam kelompoknya tak bisa diajak kerja sama. Walaupun ada Joshua dalam kelompoknya, tetap saja dua orang itu memiliki peran penting lainnya dalam kelompok.
Meninggalkan Wonwoo yang juga kebingungan dengan situasi saat ini, Soon-Young terus membujuk dan memberi penjelasan akan keterlupaannya pada tugas kelompok itu. Mengikuti Mimi, hingga mengambil tempat duduk di depan gadis yang tengah merajuk.
Wonwoo masih tak bergerak dari bedirinya, ia menatap kawannya yang tengah berjuang membujuk gadis paling cerewet di kelas. Hingga tak mendengar seseorang yang memanggilnya, pikirannya benar-benar tak fokus saat ini.
"Hei.. Jeon Wonwoo," Panggil Geu-Reum sedikit berteriak, saat pria tinggi itu tak menyahutnya.
Lalu ia menggunakan cara paling efektif, dengan memukul pundak tegap itu agak kuat. Yang akhirnya bisa membuat Wonwoo mengalihkan atensinya, dan menundukkan sedikit kepalanya untuk menatap gadis yang telah sembarangan memukulnya.
"Ini tugasku, tolong koreksi dan perbaiki. Jika kau tidak keberatan, aku mengerjakan itu semalaman. Tapi aku tidak tahu, apa sudah benar atau belum." Ujar Geu-Reum sembari menyodorkan buku catatannya,
"Baiklah,"
Wonwoo menyambut, matanya meneliti dengan tetap tertuju pada buku itu. Tak menanggapi Geu-Reum lagi, hingga gadis itu berpamitan dan pergi keluar kelas. Namun segera kesadarannya kembali, saat semuanya mengusik pikirannya. Ia mengejar gadis berkacamata yang sudah tak lagi dihadapannya, gadis itu mungkin masih menutupi rahasianya.
"Geu-Reum, tunggu sebentar."
"Ada apa?"
Langkah Geu-Reum langsung berhenti, membalikkan tubuhnya untuk menemukan sumber suara yang memanggil namanya. Menghadap penuh pada lawan bicara, saat mengetahui Wonwoo memanggilnya dan menyamankan berdirinya untuk mulai mendengarkan.
"Kau tak perlu menutupinya, kau bisa mengatakan semua yang kau lihat kemarin. Aku dan Soon-Young tidak masalah dengan itu, kau tak perlu terbebani akan rahasia kami." Ujar Wonwoo menajamkan matanya, sedang Geu-Reum menyipitkan matanya. Hidungnya sedikit berkerut, dengan bibir yang ia rapatkan.
"Baiklah, aku akan melakukannya. Jika aku sedang tidak sibuk,"
"Jangan lupa kembalikan buku ku, aku masih ingin menambahkan artikelnya. Nanti setelah itu aku berikan padamu lagi, sampai kita mendiskusikan bersama yang lain."
Geu-Reum melipat kedua tangannya di atas perut, lalu tersenyum sebelum pergi. Wonwoo mematung, terdiam akan ucapan gadis itu. Pikirannya masih berputar-putar, mencoba mencerna maksud perkataan yang baru saja terlontar.
Apa gadis ini bermaksud untuk mengancamnya, dengan mempunyai rahasianya sebagai kartu AS. Dan akan dikeluarkan pada saat yang tepat, dimana ia merasa ada waktu yang tepat untuk menjatuhkannya. Mengingat ia dan Geu-Reum adalah rival kelas dalam pelajaran, juga kompetisi.
Geu-Reum baru selesai membayar makanan ringan dari Market sekolah, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda masuk. Sebuah pesan dari Yunhyeong, menyuruhnya untuk membeli jus berbentuk minuman kotak.
"Memang dia siapa menyuruhku sesuka hatinya, tapi sejak kapan anak ini minum jus?" Ucap Geu-Reum sedikit kesal, karena ia yang selalu mendapat tugas membeli makanan ringan.
Namun ia juga sedikit merasa aneh akan kebiasaan Yunhyeong yang tak biasa meminum jus, biasanya lelaki penuh kepercayaan diri itu lebih suka susu plain. Tapi siapa yang peduli dengan kebiasaan baru lelaki itu, belikan saja apa yang ia mau.
Sebelum dia mengamuk dan hanya akan membuatnya emosi, ia tak mau emosionalnya naik hari ini. Segera ia ambil sekotak jus mangga, mengingat buah kesukaan sahabatnya itu.
Cemilan yang Geu-Reum beli hanya untuk makanan penutup, karena sebelumnya mereka sudah memakan makanan bergizi tinggi yang disediakan sekolah. Mereka perlu mengkonsumsi makanan sehat, untuk masa pertumbuhan dan energi mereka selama belajar.
Karena perlu banyak energi, maka mereka juga perlu banyak makan. Sehingga sudah menjadi kebiasaan, setelah menyantap makan siang. Akan ditutup dengan makanan ringan, yang kalorinya hampir sama banyak dengan nasi dan lauk yang baru mereka santap.
Semua pesanan kawannya sudah ia beli, ia bergegas ke tempat biasa mereka berdiam diri selama istirahat. Sedikit bersenandung selama perjalanan, jarak perjalanannya tidaklah jauh. Ia hanya perlu menyebrangi lapangan untuk mencapai bangku-bangku panjang di ujung lapangan, yang disediakan untuk bersantai para murid saat istirahat.
"Teman-teman aku datang-"
Kata-katanya tertahan, memilih diam untuk tak melanjutkannya dan mematung dengan wajah terkejut. Ia sangat bersemangat selama perjalanan, juga merasa senang saat punggung teman-temannya sudah terlihat dari kejauhan.
Semua karena seseorang yang berada ditengah-tengah mereka, seseorang yang tak ingin ia lihat sampai kapanpun.
Membuatnya hilang semangat dan selera makan, hatinya sedikit terasa perih. Mengetahui jika gadis yang duduk di sebelah Han-Bin dan tengah tertawa lepas adalah senior yang selalu mereka bicarakan, Da-Hyun gadis yang Han-Bin suka.
"Mana jus pesananku?" Tanya Yunhyeong yang langsung menyambar plastik putih ditangannya, tanpa memedulikan Geu-Reum yang sudah banyak mengabdikan jasanya.
"Senior, ini minuman untukmu."
Sekotak jus yang di pesannya, ia berikan pada Da-Hyun. Senior yang terlihat anggun itu, menerimanya dengan senyum manis. Tak lupa mengucapkan kata-kata yang terdengar lembut, makin membuat Yunhyeong tersipu.
Geu-Reum menatap tajam tak suka, dalam hati ia mengutuk senior yang baru ia jumpai itu. Kepalan tangannya tercipta, hingga membentuk buku-buku putih.
Niat hati untuk tak tersulut emosi, namun hanya berada dalam satu udara dengan gadis penggoda itu. Seluruh tubuhnya terasa panas, kedua mata bulatnya dibakar dengan kedekatan Han-Bin dan Da-Hyun.
Bulu mata di pinggir kelopak mata rata, yang tak memiliki lipatan kulit milik Dong-Hyuk mengibar. Mengamati Geu-Reum yang masih berdiri tanpa melepaskan tatapannya, pada dua makhluk yang tak lagi memedulikan sekitar.
Terlalu sibuk pada dunia mereka, saling melempar canda dan tertawa bersama. Ia menyadari sesuatu akan sahabat perempuannya itu, membaca wajah yang mulai berubah semu kemerahan.
"Apa yang kau lakukan Geu-Reum, duduklah." Ujar Ji-Won yang juga memperhatikan gadis berkacamata itu, menarik sebelah tangannya yang masih mengepal kuat. Untuk duduk disebelahnya, melirik sekilas sebelum membuka bungkus cemilan.
"Kau yang bernama Geu-Reum, senang bertemu denganmu." Sapa Da-Hyun dengan tangannya terulur, menawarinya berjabatan tangan.
Lagi-lagi Geu-Reum hanya diam dengan mata lurus pada tangan halus itu, semua mata menatapnya.
"Senior sudah mengenal dia kan, dia tidak terlalu penting untuk dikenal." Ucap Yunhyeong mencairkan suasana, sembari menarik mundur tangan senior yang di diamkan lama.
Langsung menyita perhatian 4 pria, yang sepemikiran dengan Geu-Reum. Mereka mulai risih akan kehadiran Da-Hyun, bahkan tak lagi menyukai sikap berlebihan Yunhyeong dan Han-Bin.
"Tidak masalah, Yunhyeong-ah! Kita tidak akan mengerti suatu hal sekecil apapun, jika kita tidak tahu apa arti yang sebenarnya. Dan tidak dapat menghargai persoalan tersebut,"
Da-Hyun menganjurkan bibir bawahnya kedepan, di sertai ujung bibirnya terangkat.
"Semoga kita bisa akrab."
"Setidaknya satu-satunya sahabat perempuanku, hanya memiliki satu muka." Sarkas Dong-Hyuk dengan menyadari, jika Da-Hyun tak sebaik yang ia pikirkan dari ucapan orang lain. Sebelum ia sendiri yang melihat kenyataannya, ia sensitif akan hal seperti itu.
"Makan ini Geu-Reum, kau harus banyak mengonsumsi makanan asin. Daripada hanya memakan, kata-kata manis." Timpal Ji-Won mengatribusikan pemikirannya dengan Dong-Hyuk, menyodorkan biskuit coklat yang baru ia buka.
"Sepertinya aku mulai tak tahan dengan udara disini, apa udaranya mulai tercemar?" Seru Jin-Hwan sembari menegakkan tubuhnya, untuk beranjak pergi dari duduknya. Ingin segera meninggalkan tempat, yang mulai tak nyaman baginya.
"Game ku lebih menarik sepertinya," Tambah Chan-Woo yang masih asyik menyibukkan dirinya sejak kedatangan Da-Hyun, bergumul pada permainan daring di ponselnya. Mencoba tak memedulikan sosok cantik di hadapannya, juga situasi yang tengah memanas.
"Kalian kenapa? Hei Kim Jin-Hwan, mau kemana?" Tanya Han-Bin yang akhirnya merasakan suasana mengeruh, tetap mengendalikan emosinya. Bersikap tenang, saat ia mulai tak enak hati pada Da-Hyun akan sikap sahabat-sahabatnya.
"Mereka biasanya tak seperti ini, mungkin mereka hanya mencoba mencari perhatian." Ujar Yunhyeong yang masih tak henti-hentinya, membela Da-Hyun di depan sahabatnya sendiri.
"...Heal the world, Make it a better place. For you and for me, and the entire human race-"
Junhoe menutup pembicaraan dengan menyenandungkan lagu yang tengah ia dengarkan, dari earbuds tertempel di kedua lubang telinganya. Menaikkan volume suara, usai mendengar semua percakapan orang-orang di sekitarnya.
Sejak tadi ia hanya menjadi pendengar, enggan ikut berkomentar. Memilih tak ambil pusing pada permasalahan, walau ia juga sama tak sukanya dengan kehadiran senior cantik itu ditengah-tengah mereka.
Suasana hening seketika, tak ada yang membuka suara atau berkomentar. Memberi ruang pada Yunhyeong yang masih asyik berbincang dengan senior favorit nya, walau lawan bicaranya mengabaikan dirinya.
Han-Bin menatap satu-persatu sahabatnya yang tersisa, memperhatikan mereka yang tengah menyibukkan diri mereka sendiri. Terlihat jelas di matanya, jika itu hanya alasan mereka saja.
Ia tidak tahu alasan mereka membenci Da-Hyun, padahal awalnya mereka sangat membuka diri dan tertarik pada senior itu. Namun kali ini sikap mereka berubah, dan Geu-Reum juga lebih berbeda kali ini.
Di tatapnya makin lekat, saat mata mereka bertemu. Mengunci iris mata cokelat gelap yang bergerak gelisah, walau terlihat samar saat cermin kaca matanya terpantul sinar matahari. Pikirannya menebak-nebak isi pikiran gadis itu, ia mengenal Geu-Reum yang di kenal misterius.
Namun baginya Geu-Reum adalah gadis naif, yang mudah di tebak suasana hatinya dari raut wajah. Ia juga akan terlihat jelas, saat tak menyukai sesuatu. Sama halnya dengan tatapan nya dengan senior Da-Hyun, diawal pertemuan mereka.
Apa ada hal lain yang tak ia ketahui diantara keduanya? Atau mungkin ia akan menanyakannya sendiri, saat hanya ada mereka berdua. Dan untuk 5 kawannya, biarlah mereka dengan pemikiran masing-masing.
Lagipula sikap mereka yang seperti itu hanya bertahan beberapa hari saja, semua akan kembali bersikap biasa saja. Jika sudah saling mengenal nanti, mereka hanya perlu beradaptasi. Seperti saat pertama kali mereka bertemu dengan Geu-Reum, perlu waktu cukup lama untuk menerimanya.
***
Geu-Reum datang sendiri ke studio musik, Mimi ijin tak ikut ekstra hari ini. Ia membolos ekstra untuk pergi berkencan, tapi ia menyuruhnya berbohong pada ketua ekstra dan Pak Kim. Beruntung alasannya bisa diterima, berbohong bukanlah passion nya. Ia tak pandai melakukan hal yang biasa dilakukan orang-orang, motto dalam hidupnya juga tertulis untuk selalu jujur.
"Kau sudah datang? Mau bergabung dengan kami?"
Young-Hyun menyapa nya lebih dulu, namun gadis-gadis di sampingnya terlihat tak suka dengan ide pria idola mereka itu. Saling melempar tatapan pada rekan di samping mereka, tanpa mengeluarkan pendapat. Melihat itu, Geu-Reum ragu untuk mengiyakan.
"Tidak masalah, kita kan satu tim. Jadi kita harus berbagi ilmu, dan bisa saling mengenal satu sama lain." Ujar Young-Hyun lagi, menengahi mereka dan membela Geu-Reum yang tak nyaman akan tatapan gadis-gadis di depannya.
"Iya, kita bisa berlatih bersama." Ucap salah satu gadis yang tadi menatap tajam padanya, dengan merangkul dan tersenyum manis.
"Aku Kim Song-Sun,"
Song-Sun memperkenalkan diri dengan ramah, bahkan dibanding 3 gadis yang masih melempar tatapan benci. Gadis berambut panjang sedikit keriting dengan poni yang terjepit kebelakang itu, terlihat lebih ramah dan friendly.
Membuat Geu-Reum mantap untuk membalas jabatan tangannya, juga ikut melempar senyum. Terpesona dengan senyuman manis Song-Sun, hatinya luluh.
"Jang Geu-Reum."
Tiga gadis lain yang masih tak beranjak dari berdirinya, ikut memperkenalkan diri. Namun tetap pada sikap awal mereka, berbanding terbalik dengan keramah-tamahan Song-Sun.
Memaksa senyum, saat mengucap nama dan berjabat tangan. Mungkin mereka hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan Young-Hyun, di belakang hanya mereka sendiri yang tahu.
Gadis bernama Jung Yi-Yeon sangat terlihat tak menyukai Geu-Reum, mata kucing dengan bulu mata lentiknya mengamati dari atas ke bawah. Ekspresinya tumpul, tahi lalat di tulang pipi kirinya jadi terlihat jelas.
Bersama dengan dua rekannya, ia tak lagi ikut bergabung. Mereka memilih untuk berlatih terpisah, mengambil tempat sedikit jauh dari mereka bertiga yang terlihat makin akrab.
Namun Yi-Yeon terus memperhatikan Geu-Reum dan Young-Hyun dari kejauhan, bahkan mempertajam saat jarak mereka sangat dekat. Dimana Young-Hyun berusaha membenarkan letak jemari Geu-Reum pada senar gitar, ia juga merutuki kedekatan mereka.
Sudah lama ia menyukai pria bertubuh kokoh dengan tubuh tinggi ideal bagi laki-laki itu, melakukan berbagai cara agar lelaki itu luluh padanya. Hingga tempatnya terasa terancam, sejak kehadiran Geu-Reum.
Di awal pertemuan ia sudah merasa ganjil, gadis itu bermain licik untuk mendekati Young-Hyun. Memakai topengnya dihadapan lelaki incarannya, mencari perhatian untuk dipandang lebih.
Ia tak menyukai Geu-Reum, dengan tak lagi memperdulikan status Geu-Reum sebagai kakak tingkatnya. Strata umur tak menghalangi cintanya, karena cinta itu buta.
Walaupun cintanya pada Young-Hyun seperti cinta delusi, dimana sikap manis dan perhatian berlebih yang ia dapatkan dari pria berambut hitam tebal itu. Membuatnya diberikan harapan dengan imajinasinya sendiri, mengembangkan perasaan sepihaknya sebagai signal.
Padahal Young-Hyun tak pernah memandangnya sebagai perempuan, alih-alih adik kelasnya. Junior tingkat yang ia anggap teman, selebihnya hanya embel-embel untuk mengakrabkan diri.
Keduanya di tinggal berdua, Song-Sun pamit untuk pergi ke toilet. Young-Hyun masih sabar mengajari Geu-Reum memetik gitar, membantunya untuk menciptakan menyeimbangkan nada.
Mereka dibiarkan bebas berlatih alat musik, untuk minggu ini mereka masih bisa bersantai. Minggu depan hingga 16 minggu kemudian, mereka harus dihadapi latihan ketat.
Karena akan mengikuti kompetisi, mempertunjukkan pemainaan alat musik sesuai kelompok. Kompetisi kelompok maupun individu, seperti kompetisi piano yang akan dilakukan individu dan orkestra sederhana untuk kompetisi kelompok.
Young-Hyun hanya mengajari pelajaran dasar pada Geu-Reum, mengingat ia belum dapat kelompok. Setidaknya ia bisa sedikit mengenal cara pengajaran ekstra musik, atau akan lebih baik jika ia menguasainya.
"Apa aku melakukannya dengan benar, senior?" Ucap Geu-Reum ditengah pembelajarannya, menatap khawatir untuk mendengarkan penilaian dari Young-Hyun. Mengingat ia banyak melakukan kesalahan, dan selalu lupa kunci yang diajarkannya.
"Kau sangat berbakat, tapi bisakah kau tak memanggil ku dengan sebutan senior?"
Young-Hyun menegangkan wajahnya, menahan tawa saat mendapati Geu-Reum kebingungan.
"Maksud senior? Em.. maksudku, apa yang seharusnya aku gunakan?" Ujar Geu-Reum, wajahnya menjadi kosong.
"Oppa?" Usul Young-Hyun tanpa berpikir panjang, menelengkan kepalanya yang makin menonjolkan ujung hidungnya yang lancip.
"Apa? Mana mungkin aku berani memanggil senior dengan sebutan itu, akan terdengar canggung."
Mata Geu-Reum berkedip-kedip cepat, setelah membulatkan matanya yang langsung disambut tawa lepas Young-Hyun.
"Tidak, aku hanya bercanda. Panggil saja senyamanmu, tapi aku juga tidak keberatan dengan sebutan Oppa di belakang namaku."
"Aku akan tetap memanggil senior, dengan sebutan senior."
Deretan gigi-gigi rapi dan putih Young-Hyun, saat tertawa melelehkan hati Geu-Reum. Mata rubahnya tertutup, tak henti-hentinya memberikan tekanan pada wajahnya sendiri.
Selucu itukah, hingga senior yang terlihat menakutkan untuk didekati itu tertawa begitu keras.
Kedua alis tak terlalu tebalnya saling bertautan, kala ia telah menghentikan tawanya. Menghirup udara dalam-dalam, mengisi pasokan udara ke paru-parunya.
Sudah lama ia tak tertawa selepas ini, karena itu juga perasaannya terasa lebih lega. Menetralkan otot-otot wajahnya, tertawa juga melelahkan. Air muka nya kembali serius, tapi tetap dengan tatapan lembut.
"Apa kau senggang hari minggu siang besok?"
"Sepertinya senggang, memang ada apa senior?"
"Kami akan tampil di festival universitas, aku ingin mengundang mu untuk datang. Jika kau tidak keberatan,"
Young-Hyun membuka tas ranselnya untuk mencari sesuatu, lalu menyerahkan dua lembar kertas kecil sedikit memanjang.
"Sebenarnya acara itu hanya diperuntukkan untuk mahasiswa disana, tapi aku memaksa panitia untuk memberikan ku dua tiket ini. Karena kupikir kau harus datang ke festival ini, kau harus banyak mengenal musik."
"Wah! Tentu saja aku akan datang, ini pertama kalinya aku ke acara seperti ini. Tapi, apa senior akan memberiku dua tiket?"
"Iya, aku akan memberikan dua tiket padamu. Kau bisa mengajak siapapun, yang terpenting kau datang."
"Aku pastikan untuk hadir, aku juga penasaran dengan penampilan band senior."
Young-Hyun mengulas senyum mengamati gadis yang kacamatanya turun, Geu-Reum begitu bahagia saat memandangi dua lembar tiket di tangannya. Ia sangat bersemangat, datang ke festival musik adalah pengalaman menarik yang selalu ingin ia lakukan.
Mengingat ia hanya melihat acara seperti itu atau konser melalui aplikasi online, membayangkan saja sudah membuatnya mengebu-gebu.
Rasanya mengucapkan terimakasih saja tak cukup, ternyata selain tampan pria itu juga sangat baik. Sekarang ia meyetujui, alasan para gadis menggilainya.
***