....but i still want you
.
.
.
.
.
.
.
.
"..Hati, bagaimanapun bentukmu. Bisakah kau hanya memberi satu harapan, bisikkan nama yang kau sepakati- hahh, ini terdengar aneh." Gumam Junhoe pada dirinya sendiri yang sibuk menuliskan sebuah puisi, hobi barunya setelah ia mengidolakan aktris Kim Tae-Ri.
"Kau harusnya menambahkan rasa setelah kata hati," Celetuk Ji-Won, sembari asyik mengunyah kentang goreng.
"Tsk, diamlah! Kau mengganggu konsentrasiku," Cibir Junhoe, ia tak bisa fokus jika seseorang mengajaknya bicara.
Mereka tengah melakukan kesibukan masing-masing, dengan meja penuh makanan yang telah di pesan. Sepulang sekolah, keenamnya menyempatkan untuk berkumpul di kafe yang tak jauh dari sekolah. Tempat lain setelah mereka tak lagi mengunjungi gudang bawah tanah, yang telah beralih fungsi menjadi markas perkumpulan.
"Geu-Reum apa kau diberitahu Bu Park, jika akan ada pertukaran pelajar?" Tanya Dong-Hyuk, seraya mengalihkan perhatian dari bukunya. Menatap Geu-Reum yang tengah menyesap minumannya, lalu memasukan sepotong kue coklat penuh whipped cream.
"Iya, apa kau akan mendaftar?" Jawab Geu-Reum, dengan krim berceceran di sekitar mulutnya. Jin-Hwan menyodorkan tisu tepat di bibirnya, hingga tisu itu menempel.
"Ehm, itu sebuah kesempatanku untuk bisa pergi keluar negeri. Lagipula, jika aku lolos kompetisi matematika kali ini. Maka aku akan terpilih, Bu Park juga bilang nilaiku dari kelas satu sudah hampir memenuhi persyaratan." Kata Dong-Hyuk bersemangat,
"Ku dengar, sekolah akan mengirim 3 murid tahun ini." Tambah Geu-Reum, masih menikmati sepotong kue coklatnya.
"Apa? Kalian akan pergi ke luar negeri?" Sahut Chanwoo ikut dalam pembicaraan, walau tak mendengarkan detailnya.
"Belum, tapi aku berencana begitu." Jelas Dong-Hyuk,
"Bagaimana dengan kami? Kalian ingin pergi begitu saja?" Timpal Jin-Hwan, semua mata memandangnya.
Pergi ke luar negeri, sama saja tidak akan berjumpa dalam waktu lama. Walaupun jaman sudah modern, perasaan rindu hanya akan sedikit terobati. Berbeda dengan bertatap muka langsung, meski terkadang bosan melihat satu sama lain. Setidaknya bisa selalu berjumpa, lebih menyenangkan.
Mereka telah bersama sejak lama, mana bisa berpisah sekaligus dengan jarak yang jauh dan waktu tak sebentar. Apalagi, jika mereka merasa nyaman atau menemukan teman baru disana. Akankah persahabatan sejak kecil mereka, harus berakhir begitu saja.
"Memang kalian bisa bahasa asing?" Celetuk Ji-Won, dengan gaya bicaranya yang slengekan.
"Aku sudah mempersiapkannya," Bela Dong-Hyuk,
"Aku juga, walaupun masih tingkatan dasar." Sahut Geu-Reum, tangannya ikut terangkat tinggi-tinggi.
Keenam nya kembali hening, tak lagi berniat untuk mengobrol. Sibuk pada pemikiran dan kesibukan masing-masing, lain dengan Jin-Hwan yang malah sibuk menatapi satu persatu kawannya dalam diam.
Pikirannya melayang, ia membayangkan saat hari itu datang. Saat dimana mereka akan berpisah, menjalani kehidupan monoton masing-masing. Bertambahnya usia dan kesibukan tanpa jeda, yang akan membuat mereka jarang bersama seperti ini. Walau hanya membayangkan, rasanya begitu menyesakkan dada.
Sekalipun bisa bertemu, mungkin hanya berapa kali dalam sebulan dengan formasi yang tak lengkap. Sama seperti situasi saat ini, kehampaan tanpa kehadiran Han-Bin dan Yunhyeong. Terlihat canggung dan sunyi, ia merindukan mereka.
Juga teringat akan kenangan kebersamaan mereka, sebelum huru-hara itu memecahkan jalinan sebuah persahabatan. Apa hanya ia yang berpikiran seperti itu? Bagaimana bisa mereka cepat melupakan dua sahabat, yang selalu menempel satu sama lain sejak kecil?
Seperti janjinya, sore ini Ki-Yong mengantarkan ibunya ke pusat perbelanjaan dimana menjadi satu-satunya tempat berbelanja di dekat rumah mereka. Karena ia juga tengah libur kuliah, jadilah ia yang menemani ibu tiri tercintanya itu. Setelah ayahnya mengabari, jika ia pulang terlambat dan tak bisa menemani istri nya berbelanja seperti biasa.
"Carikan makanan ringan yang Woo-Young pesan," Perintah Ibunya saat mereka tengah berkeliling,
"Menyusahkan sekali anak itu," Gumam Ki-Yong, yang langsung mendapat tatapan tajam dari wanita cantik yang telah memasuki umur separuh abad itu.
"Baiklah,"
Ki-Yong menciut, ibunya bukanlah lawan yang sebanding untuk bisa di bantah perintah atau di setiap ucapannya. Ia menurut saja, jika tidak ingin dikutuk ataupun ceramahan yang akan terus-menerus mengiang ditelinganya.
Lalu segera beranjak pergi, meninggalkan ibunya sendiri, untuk mencari pesanan adik termudanya itu. Sembari hatinya menggerutu, menyalahkan adik lelakinya itu yang tak mau ikut.
Tapi malah merepotkan dengan menitip bermacam-macam barang, padahal ia datang ketempat ini hanya ingin jalan-jalan. Menenangkan pikiran suntuknya selama seharian ini dirumah, bukan menjadi jasa penitipan membeli makanan ringan dan soda.
Bibir berpulas merah tak terlalu terang itu sedikit bergumam, saat ia melihat-lihat barang yang dijual ditempat itu. Tangannya menyambar sebuah botol sampo, setelah menghentikan troli belanjaanya pada deretan segala jenis sabun.
"Hye-Young-ssi," Panggil seseorang yang membuatnya harus berputar kepala, namun sepersekian detik bibirnya terkatup saat mendapati sang pemilik suara.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu," lanjutnya
Seorang pria berpawakan tak tinggi dan sedikit gempal, menghampiri dengan senyuman merekah. Kedua matanya seakan hilang, ketika kelopak matanya menyipit. Bibir kecoklatan khas perokok aktif itu, tak henti-hentinya memamerkan deretan gigi rapinya. Ia begitu bahagia, layaknya berjumpa kawan lama.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Hye-Young dengan nada tak suka, tatapan matanya pun was-was.
"Aku juga tinggal di sekitar sini, kau tidak lupa itu kan?" Jawab pria itu, senyumannya belum luntur.
"Hyun-Suk, aku harus pergi dulu." Ujar Hye-Young terburu-buru,
Ia tak bisa berlama-lama bersama mantan suaminya itu, khawatir jika Ki-Yong memergokinya dan akan bertanya macam-macam. Segera memutar arah agar tak berpapasan dengannya, namun punggungnya kaku dan kakinya lemas.
Tubuhnya serasa mati rasa tak bisa bergerak, saat suara pria itu mengudara kembali. Salahkan situasi mendukung ini, yang tak banyak orang berlalu-lalang. Sehingga ia harus menghentikan langkahnya, terpaksa mendengarkan apa yang akan dibicarakannya.
"Tunggu, apa kau menghindariku? Setelah hampir 17 tahun, apa kau begitu saja melupakanku dan anak-anak?" Ucap Hyun-Suk, dengan menatap nanar punggung sempit wanita yang pernah menjadi tanggung jawabnya.
"Tidak, itu perasaanmu saja." Ujung mata Hye-Young memicing, enggan untuk bertatap muka.
"Lalu, apa kau selalu menemui mereka?"
"Tentu saja, mereka masih putra dan putri ku."
"Kenapa kau tak memberitahukan rumahmu, jika kau sebenarnya pindah ke lingkungan sekitar sini."
"Suami ku yang tak memperbolehkan, itu urusan pribadi."
"Aku tahu kau membenci ku, tapi ku harap kau benar dengan ucapan mu itu dan kau tidak melakukan hal yang tak ada kebenarannya."
Hye-Young menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar sembari memejamkan mata. Menahan air mata, pengaruh dari hatinya yang terasa sakit. Mengulum bibirnya yang mengering, menggigit daging dalamnya kemudian. Ia tak berniat menjawab, melangkah pergi pun sulit ia lakukan.
Memilih mendiamkan pria yang masih menghantui pikirannya, masih setia menunggu jawaban. Terdiam lama untuk membayangkan masa lalu, dimana sebuah alasan hancurnya rumah tangga yang selalu ia impikan.
Sudah lama ia melupakan, bahkan mengubur dalam-dalam kisah masa lalu itu. Menyimpan serapat mungkin, hingga hanya ia yang mengetahuinya. Selama ini, ia juga menyembunyikan itu dari suaminya.
Menjadikan sebuah cerita fiktif, agar ia bisa membangun kehidupan baru yang lebih baik. Mengobati rasa sakit hatinya, akan kenangan pahit bersama cinta pertamanya.
Hyun-Suk merapatkan bibirnya, rahangnya ikut mengeras. Bola mata berbinar sejak kedatangannya, berubah merah dengan bergenang air mata di pelupuk matanya. Sesekali ia mendongakkan kepala, agar tak menjatuhkan harga dirinya dimana janji laki-lakinya yang tidak akan pernah menangis.
"Kau bisa melakukan ini padaku, tetaplah menyayangi anak-anak. Ini masalah kita berdua,"
"Tanpa kau menyuruhku pun, mereka adalah anak-anakku sampai kapanpun. Dan tanpa kau ketahui juga, kami selalu bertemu."
"Iya, itulah yang ingin aku dengar." Wajahnya tertunduk sebentar,
"Hye-Young-ah! Aku merasa aneh memanggilmu seperti itu" Lanjut Hyun-Suk, dengan mengulum senyum.
"Aku selalu menunggu saat seperti ini, bertemu denganmu untuk menjelaskan kesalahpahaman diantara kita. Walau aku tidak yakin, kau akan mempercayainya. Aku mencintaimu dan anak-anak, aku tidak pernah berselingkuh."
Bulir bening itu akhirnya lolos membasahi pipi tirusnya, hatinya mencelos. Bibir tipisnya bergetar, menahan isakan tangis. Konsepsi individu pada dirinya sendiri goyah, dulu sebelum kehancuran ini terjadi. Ia menguatkan diri, untuk mempercayai suami yang sangat ia cintai.
Juga demi anak-anaknya, ia bertahan. Namun, fakta dan bukti yang ia lihat sendiri. Apa bisa dikatakan itu bukan kesalahannya, alih-alih hanya kesalahpahaman.
"Ibu?"
Ki-Yong langsung merengkuh tubuh ibunya, wanita itu hampir limbung. Wajahnya khawatir, saat menemukan ibunya yang pucat pasi dengan bulir air mata di pipi tirusnya.
"Ah tidak, ibu hanya sedikit sakit kepala." Bohong Hye-Young, matanya melirik ke belakang dari celah tubuh tinggi Ki-Yong.
Tidak ada siapapun, Hyun-Suk telah pergi. Ia bisa bernafas lega, Ki-Yong tak menyadari kehadirannya. Saat pria tinggi itu datang, Hyun-Suk telah meninggalkan tempat berdirinya. Entah sejak kapan ia pergi, pikirannya hanyut bersamaan tangis sedu sedannya.
"Ibu sungguh baik-baik saja?" Tanya Geu-Reum yang langsung datang ke pusat perbelanjaan, setelah Ki-Yong menelponnya. Kebetulan ia juga baru kembali dari kafe, dan tak jauh dari tempat itu.
"Tidak apa-apa, maaf telah membuat kalian khawatir." Jawab ibunya, dengan seulas senyum untuk menenangkan mereka.
"Kita pulang saja bu, biar besok aku dan Geu-Reum yang melanjutkan sisanya." Cetus Ki-Yong sembari membukakan pintu mobil, ibunya mengangguk.
Geu-Reum menuntun ibunya, memasuki mobil hitam Ki-Yong. Menutup pintu, lalu mengambil tempat duduk di depan agar ibunya lebih leluasa di bangku belakang.
Ia melirik sekilas kakak lelakinya yang siap di kemudi, membaca situasi dan ibunya yang tak banyak bicara. Sedang pria itu tak peka akan tatapan adiknya, tatapannya fokus kedepan.
Sebelah tangannya terjulur untuk mengelus rambut hitam pendek itu, tanpa sepatah kata. Menjalankan mobilnya keluar dari parkiran basement, meluncur untuk segera sampai rumah.
"Pantas saja, aku seperti tidak asing saat pertama kali berjumpa dengan gadis itu." Ucap Hyun-Suk, yang sejak tadi memperhatikan ibu dan dua anaknya dari kejauhan.
Mengulum senyumnya lagi, saat menyadari salah seorang anak gadis yang sangat ia kenali. Gadis berambut hitam sebahu, dengan kaca mata bulatnya. Teman dekat Han-Bin, yang pernah terbelesit dipikirannya pada kemiripan gestur wajah keduanya.
Tapi ia tak membayangkan, akan hubungan gadis itu dengan mantan istrinya. Walaupun, mereka sudah dekat dan sering berjumpa. Lagi-lagi teori tentang dunia itu sempit, memang benar adanya.
Ia masih memandang mobil yang makin jauh dan segera menghilang, enggan bergerak dari tempat berdirinya. Saat putra tiri Hye-Young datang, ia langsung bersembunyi. Ia juga tahu dirinya bisa jadi yang disalahkan atas kejadian tadi, lagipula ia sudah selesai dengan urusannya.
Semua yang ingin ia katakan selama bertahun-tahun pada mantan istrinya itu, telah tersampaikan. Kedepannya biarkan ini berjalan seperti biasanya, ia tak mengharap lebih.
Hidup mereka sudah berbeda, menjalani apa yang telah menjadi pilihan. Asalkan tak ada lagi dendam diantara keduanya, walaupun berdamai hanya di depan kedua anak mereka yang tumbuh tanpa orangtua utuh. Memilih menanggung kesalahpahaman yang tak akan bisa di jelaskan, sekalipun ada bukti kuat.
Wanita itu sudah benar-benar membencinya, itu juga salahnya. Menjadi seorang pria dan suami, yang tidak tegas. Terpengaruh dan di bodohi wanita lain, memanfaatkan niat baiknya yang malah membuat rumah tangganya hancur.
Juga kedua anaknya yang membenci dirinya, itulah alasan sesungguhnya mereka memilih tinggal dan bekerja di luar negeri. Sesekali menemuinya pun, pasti karena merasa tak enak hati pada sosok ayah yang telah mengecewakan mereka. Namun setidaknya, kedua anak-anaknya masih menganggapnya sebagai ayah mereka.
***
Keriuhan interaksi para murid kelas, memenuhi atmosfer ruangan yang tengah mengisi kebebasan di sela pergantian jam. Usai pelajaran PE, mereka mendapat waktu 15 menit untuk istirahat sebelum memulai pelajaran selanjutnya. Para murid pria baru bergabung, setelah memberi ruang untuk para gadis berganti pakaian. Mereka mengalah, juga bersikap sebagai lelaki sejati.
Di luar kelas, Han-Bin berdiri dengan menempel pada tembok. Sesekali kepalanya menyembul ke dalam kelas, tak berani masuk ataupun meneriaki nama gadis yang tengah ia cari. Memilih menunggu seseorang yang ia kenali, untuk ia minta pertolongan.
Tak lama, seseorang yang ia kenal muncul. Wonwoo baru akan pergi bersama Soon-Young ke vending machine, tanpa ia ketahui Han-Bin yang berada disana. Membuat perjalanannya terhenti, dan dahaganya diperpanjang.
"Bro! Apa kau bisa membantuku, tolong panggilkan Geu-Reum." Pinta Han-Bin menahan pria yang sedikit lebih tinggi darinya, yang belum lama ia kenal. Jika, bukan karena Geu-Reum sendiri yang bercerita.
"Oh, ada apa kau kesini?"
Dari belakang, Geu-Reum dan Mimi lebih dulu datang. Sebelum Wonwoo sempat menjawab, memasang rasa penasarannya. Ingin mengetahui apa yang ingin pria itu lakukan, hingga mencari Geu-Reum di tengah pelajaran.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,"
"Kau bodoh, hah? Kenapa tidak nanti jam istirahat saja, kau ingin di hukum ya?"
"Kalau nanti, kau akan bersama dengan mereka. Lagipula, kelasku sedang jam kosong."
"Katakan saja,"
Han-Bin melirik ketiga makhluk yang berdiam diri, menjadi penonton setia dari obrolannya dengan Geu-Reum. Kenapa mereka tak pergi, dan malah diam mematung.
"Mungkin bukan disini, ayo ikut aku." Ajak Han-Bin, lalu tangannya memiting leher belakang Geu-Reum untuk menariknya menjauhi kerumunan.
"Kemana?" Protes Geu-Reum, dengan berusaha memberontak. Memaksa untuk dilepaskan, hanya sedikit memutarkan kepala saat dirasa ada celah.
"Aku akan kembali, kau pergi dulu saja." Teriak Geu-Reum pada Mimi,
"Menyebalkan, aku benci sendiri." Gerutu Mimi, ia cebikkan bibirnya dan menghentakkan kaki tiga kali. Baru kemudian, pergi ke kantin sendirian.
"Ayo, kita juga harus pergi aku haus."
Kali ini Soon-Young yang mengajak rekannya, setelah memperhatikan arah tujuan Mimi. Mengingatkannya pada tujuan awal, yang sempat terhenti. Namun pria yang tengah menjadi sandaran tangan dibahu lebarnya, terdiam. Lagi-lagi mata kecilnya harus bekerja, mengikuti arah pandang Wonwoo yang sebenarnya sudah ia ketahui.
"Jangan berlebihan, mereka kan hanya bersahabat." Ucap Soon-Young,
Wonwoo tak menggubris, masih sibuk mengamati dua makhluk lawan jenis yang saling berkelakar. Sesekali memukul satu sama lain, yang makin menampakkan keakraban keduanya. Tatapannya gusar, ada kilatan lain di wajahnya. Ia tak menyukai pemandangan itu, membuat hatinya tak lagi damai.
Memang mereka bersahabat, tapi ada udara lain diantara keduanya yang bisa ia lihat. Persaingan semakin diperketat, ia tetap ingin bersama Geu-Reum meski apapun dan siapapun yang akan menghadang didepan jalannya.
"Tapi, aku melihat dari sisi yang berbeda." Monolog Wonwoo tanpa berkedip, makin membuat Soon-Young kebingungan.
"Kau sensitif sekali," Cibir Soon-Young, lalu menarik lengan kawannya itu. Ia sudah tak bisa menahan dahaganya, ia harus segera menemukan sumber pembasah kerongkongannya.
Dibangku pinggir lapangan, Han-Bin mengajak Geu-Reum duduk disana. Tempat teduh yang tepat untuk berbincang, sembari mengingat bangku yang menjadi saksi kebersamaan mereka bersama keenam lainnya.
Sebungkus plastik yang entah sejak kapan dibawanya, ia sodorkan pada Geu-Reum. Setelah ia mengambil satu botol minuman bersoda, lalu menenggaknya untuk membasahi kerongkongannya sebelum berbicara.
"Jadi, apa yang kau ingin bicarakan?" Desak Geu-Reum, usai mengikuti gerakan Han-Bin yang menguras air dalam botol.
"Aku akan melakukan yang kau suruh, berbicara pada yang lain. Dan gudang bawah tanah, akan aku dekorasi." Ungkap Han-Bin,
"Benarkah? Katakan, jika kau butuh bantuanku." Seru Geu-Reum kegirangan, akhirnya mereka akan kembali berkumpul.
"Memang itu tujuanku, petang nanti kau harus datang kesana."
"Baiklah, tapi aku ada bimbingan belajar."
"Sejak kapan kau ikut?"
"Sudah hampir satu minggu ini,"
"Apa ada kompetisi?"
Han-Bin melontarkan banyak pertanyaan, hingga kalimat terakhir pria itu hanya Geu-Reum balas dengan mengangguk berirama.
"Aku juga ingin masuk kandidat siswa pertukaran pelajar, walau aku tidak yakin akan lolos atau gagal." Jelas Geu-Reum, memaikan ujung botol yang basah dari sisa minumnya tadi.
"Tiba-tiba?" Seru Han-Bin yang hampir tersedak, saat ia tengah minum.
"Tidak aku sudah memikirkannya bersama Dong-Hyuk, hanya saja aku belum bertanya pada kedua orangtuaku." Ujar Geu-Reum berubah lesu,
"Dong-Hyuk juga akan pergi?" Tanya Han-Bin makin penasaran, hanya dijawab anggukan beberapa kali oleh gadis yang tak menatapnya balik.
Sebagai sahabat tentu saja ia ikut senang dan bangga, saat teman terdekatnya berhasil. Hanya saja kata pertukaran pelajar, berarti mereka akan pergi jauh dengan waktu yang lama.
Entah kenapa hatinya sakit, seakan tak rela melepaskan kepergian mereka. Terlebih Geu-Reum yang paling dekat dengannya, yang akhir-akhir ini menjadi satu-satunya teman berbagi. Apa bisa ia merelakan perpisahan ini?
Malam berbintang, disambut para penghuni malam. Hewan malam yang terjaga saat siang hari, saling bersahutan diantara semak-semak. Sedangkan manusia memilih beristirahat, usai aktivitas di pagi hingga sore hari. Mengumpulkan energi untuk kembali ke kegiatan sehari-hari mereka, memulihkan keadaan tubuh yang lelah bekerja seharian.
Berbeda dengan pria muda yang baru menginjak usia 18 tahun, usia korea. Ia tengah sibuk menata barang-barang di gudang bawah tanah, yang telah hampir satu jam setengah ia lakukan. Sesekali berhenti untuk beristirahat sejenak, sejujurnya ia sangat tidak suka pekerjaan seperti ini. Tapi ini demi ketujuh sahabatnya, dan karena jarang di pakai. Tempat ini kembali kotor, padahal belum satu bulan dibiarkan.
Paman Yang baru selesai mengerjakan pekerjaannya di ruang kerja pribadinya, kesibukan seorang direktur perusahaan. Ia turun ke gudang bawah tanah untuk membunuh rasa penasarannya, pada apa yang tengah dilakukan Han-Bin malam-malam.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Paman Yang, memecah kesunyian dan mengejutkan Han-Bin yang tengah berkonsentrasi.
"Aku tengah mendekor ulang gudang ini," Jawab Han-Bin, kembali fokus oada pekerjaannya.
"Sendiri? Dimana teman-temanmu?"
Pertanyaan Paman Yang, membuat Han-Bin bungkam. Geu-Reum yang berjanji akan membantunya, tiba-tiba membatalkan janjinya untuk tambahan jam bimbingan belajar. Sedangkan keenam temannya yang lain, mereka masih belum berdamai.
Ia bingung untuk menjawab jujur atau bohong, pada akhirnya ia memilih diam untuk beberapa saat. Paman Yang menyadarinya dan tersenyum, lalu menepuk pelan bahu anak lelaki yang sudah ia anggap anak sendiri itu.
"Suatu hubungan antara manusia, memang selalu ada lika-liku. Tapi, kau adalah pilar yang mengokohkan sebuah jembatan dalam persahabatan itu. Juga sebuah mercusuar, yang memberikan navigasi pada mereka dengan hatimu."
"Itu berlebihan, aku hanya seorang pecundang."
Han-Bin tertunduk lesu, ia dudukan dirinya pada sofa panjang yang baru selesai ia bersihkan. Paman Yang ikut duduk disampingnya, mengamati wajah sendu anak muda itu.
"Kau hanya merendah, bahkan satu ekor singa bisa mengalahkan belasan anjing."
"Aku bukan singa atau anjing,"
"Itu hanya perumpamaan, kau naif sekali."
"Aku tahu, hanya saja saat dibandingkan dengan seekor singa. Aku tidak ada apa-apanya, aku hanya burung puyuh yang tak bisa mengapai langit."
"Bagaimana dengan Geu-Reum? Gadis itu, selalu menjadi penengah diantara kalian." Seru Paman Yang,
"Dia memang gadis yang istimewa." Ujar Han-Bin, masih menatapi jemari kakinya yang hanya memakai sandal rumahannya.
"Berpihak pada yang benar, walau hanya satu orang. Dia paling dekat dan mengerti dirimu, kalian juga berpacaran kan?" Ucap Paman Yang serta merta, mengingat kedekatan keduanya.
"Tidak, kami tidak punya hubungan seserius itu." Sanggah Han-Bin cepat-cepat,
"Lalu, kenapa kalian selalu bergandengan tangan?"
"Hanya bergandengan tangan, apanya yang aneh?"
"Yak! Dengar, kalian itu bukan anak tujuh tahun lagi. Bergandengan tangan dengan lawan jenis saat dewasa, itu terlihat berbeda dan punya makna yang berbeda."
"Kami hanya teman, lagipula aku punya seseorang yang kusukai." Ungkap Han-Bin malu-malu, pandangannya lagi-lagi kebawah dengan senyumnya yang tertahan.
"Siapa?" Desak paman Yang, penasaran.
"Seorang senior di sekolahku, dia gadis yang cantik dan sangat baik. Dia benar-benar tipe idealku, paman." Cerita Han-Bin semangat,
"Percintaan anak muda jaman sekarang, memang rumit. Tapi, satu-satunya cinta hanya akan kau temui saat menikah." Ujar paman Yang,
"Bahkan paman sudah menikah, tapi bercerai." Celetuk Han-Bin, yang langsung mendapat pukulan keras paman Yang di belakang kepalanya.
"Bocah ini, setiap pernikahan selalu punya masalah. Tergantung mereka yang menyikapi dan menangani masalah tersebut, seperti apa." Desis paman Yang, tak habis pikir anak lelaki itu malah memutar balikkan fakta.
"Paman gagal?" Celetuk Han-Bin lagi, seakan ia tak kapok untuk mendapatkan pukulan dari paman Yang.
Paman Yang terdiam sembari memandang langit-langit, saat tubuhnya ia sandarkan pada sofa. Kata gagal memang pantas untuknya, bagaimana ia bisa tak memikirkan kata sederhana itu.
"Ya, kau harus ingat menikah bukan untuk bercerai. Saling memahami, terbuka, mengalah dan percaya satu sama lain adalah kuncinya agar hubungan itu bisa diperbaiki. Wanita yang selalu dibelakang mu adalah cinta sejati, pasangan hidupmu yang sesungguhnya." Kelopak mata paman Yang terkulai,
"Cinta sejati? Klasik sekali diksi mu, Paman." Cibir Han-Bin, bola matanya memicing.
"Kau bicara begitu, karena kau belum mengerti. Sudahlah cepat selesaikan, besok kau sekolah kan? Aku ingin tidur, tubuh tuaku selalu cepat lelah." Putus paman Yang untuk terakhir kali, ia sudah tak sanggup melanjutkan argumennya dengan Han-Bin. Mata tuanya juga mulai berat, sudah waktunya untuk ia tidur.
Sosok paruh baya yang masih bertubuh tegap itu, telah menghilang dari pandangan. Meninggalkan Han-Bin yang tak melakukan apapun, ia hanyut akan pemikirannya sendiri. Kali ini kepalanya yang bekerja, kata-kata paman Yang terus memutar diatas kepalanya.
Sebenarnya seperti apa cinta sejati itu? Ia pernah berpikir, bagaimana pernikahan itu terjadi. Apa yang membuat mereka, hingga bisa hidup bertahun-tahun lamanya dengan satu pasangan.
Apa karena sebuah janji pernikahan, maka mereka tak berani mengingkarinya. Juga cinta sejati, seperti apa bentuknya? Yang ia tahu, cinta yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.
Pelan-pelan ia menutup pintu, lalu berjalan berjinjit untuk mengurangi suara yang bisa mengganggu tidur penghuni rumah. Geu-Reum terlambat pulang, ia harus mengikuti bimbingan belajar hingga malam hari. Setelah itu, ia makan malam bersama Dong-Hyuk untuk menyempatkan makan malam yang sudah terlambat.
"Kau baru pulang?"
Sebuah suara lebih dulu mengudara, sebelum sosok ibunya muncul. Membuat Geu-Reum terlonjak, hampir saja jantungnya ikut terlompat.
"Aku ada tambahan jam bimbingan belajar, Maaf bu! Aku lupa memberi kabar," Jelas Geu-Reum, kedua bola matanya bergerak gusar.
"Apa itu benar?" Selidik ibunya, kedua tangannya terlihat diatas perut.
"Sungguh, aku tidak berbohong." Seru Geu-Reum, meyakinkan.
"Kau tidak pergi ke rumah temanmu Han-Bin, kan?" Ibunya masih mencurigai,
"Tidak bu, aku menghabiskan satu hari ini disekolah" Bantah Geu-Reum cepat-cepat,
"Kalau begitu, mulai sekarang. Jangan pernah pergi ketempat itu, atau pun menemui pria itu." Perintah ibunya, tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
"Siapa? Paman Yang? Bagaimana bisa begitu? Dia pria yang baik bu," Geu-Reum membenarkan,
"Tidak ada orang baik, di dunia ini. Jangan menjadi gadis yang naif, Geu-Reum."
"Tapi bu-"
"Jang Geu-Reum, kau mulai membantah ibu? Inilah salah satu alasan, mengapa ibu menyuruhmu untuk tidak bergaul dengan mereka. Kau berani melawan dan membantah ucapan ibu," Suara Ibunya meninggi, saat memotong kalimat putrinya.
"Kenapa dengan ibu? Selama ini ibu baik-baik saja dengan ini, lalu sekarang?" Ucap Geu-Reum tak bisa menerima,
"Itu masalah orang dewasa, kau tak perlu tahu." Sesal ibunya,
"Dewasa? Sejak taman kanak-kanak hingga SMP, ibu selalu mengatakan aku belum dewasa. Saat ini aku sudah 18 tahun, ibu juga mengucap kata itu. Seperti apa dewasa itu bu? Bahkan ibu sendiri, tak bisa menunjukkan sikap kedewasaan diri ibu." Protes Geu-Reum, tak lagi bisa menoleran emosinya.
Ibunya bungkam, kembali tak memberi reaksi apapun. Namun genangan air mata, telah berkumpul di pelupuk mata. Ia tahan air matanya agar tak jatuh, enggan menampakan kelemahannya didepan putrinya. Sekali lagi, ia tak tahu apa yang tengah ia lakukan.
Sejak awal ia tahu, putrinya sudah mengenal pria masa lalunya itu. Kepindahan mereka di tempat ini, juga keinginannya. Ia belum bisa melupakan sosok mantan suaminya itu, dilema antara rasa benci dan cinta.
"Aku tidak tahu hubungan ibu dan beliau seperti apa, tapi yang jelas aku tidak tahu mengapa ibu tiba-tiba seperti ini. Padahal beliau menganggap ibu teman yang baik," Ujar Geu-Reum tanpa menyebut namanya, ibunya makin membulatkan mata. Terkejut akan kalimat terakhir putrinya itu, apa dia mengetahui sesuatu.
Saat itu, pertama kalinya ia bertemu paman Yang. Ia masih duduk di sekolah dasar, beliau memanggilnya dengan senyum khas di wajah luas yang mulai mengeriput. Lalu mengatakan,
"Kau mirip teman dekatku, Lee Hye-Young."
Awalnya ia fikir, ada orang lain yang bernama sama. Namun saat ia menjumpai secarik kertas yang menempel di lemari es, juga sebuah bingkai foto kecil di lemari kaca. Ia yakin, Hye-Young yang beliau maksud adalah ibunya. Tapi ia tak berani bertanya, karena paman Yang pun tak membolehkannya bertanya-tanya pada ibunya itu.
Kecurigaannya makin bertambah, saat ibunya malah melarang bertemu pria paruh baya yang begitu baik padanya juga ketujuh sahabatnya. Lagi-lagi ia punya batasan, untuk tak bertanya lebih jauh lagi. Itu sebuah konsumsi pribadi, sekalipun hubungan darah.
"Maaf bu, aku terlalu keras berbicara. Aku tidak bisa menurutimu untuk hal ini, beliau orang yang baik. Tak peduli, walau hanya aku yang melihat."
Geu-Reum menjejakkan kakinya pergi, meninggalkan ibunya yang masih setia bungkam. Mengakhiri perdebatan, saat ia rasa tak bisa menahan emosinya. Khawatir hanyaakan menyakiti perasaan ibunya, kepalanya juga pusing saat menahan air mata.
Ia tak sanggup lagi melontarkan argumen, tersudut pada kata-kata putrinya itu. Apa mungkin memang ia berlebihan, pada pria yang belum lama ini menemuinya untuk membukakan hati.
Tapi sisa rasa sakitnya lah, yang membuat hatinya tak bisa menerimanya. Setiap kali memutar memori itu, ribuan panah akan menghujaninya. Juga pertemuan yang terduga dan selalu ia hindari itu, kembali membuka pahitnya masa lalu.
Kebenaran ini tak akan pernah terjawab, ia sendiri juga tak ingin orang lain tahu. Membiarkan agar menjadi harta karun yang terkubur dalam, hingga tak seorangpun yang menemukan. Mengubur dalam-dalam hingga laut terdalam sekalipun, ia hanya ingin kehidupan keduanya ini bahagia hingga ia tak lagi bernafas.
Sungguh kegagalan itu menyakitkan, hati manapun pasti tak akan kuat dengan ini. Juga rasa bersalah pada anak-anak buah cintanya dengan Hyun-Suk, lantunan maaf di sela do'anya yang selalu ia rapalkan dalam hati. Ia tahu mereka sangat kecewa, hanya saja mereka memilih diam untuk kebahagiaan wanita tercinta yang tak bisa menjadi panutan ini.
"Aku hanya seorang pecundang," Lirih Hye-Young, kakinya lemas hingga ia terjatuh di lantai yang dingin.
Sedu sedan ditengah malam, menahan suaranya agar tak mengusik tidur penghuni rumah. Menangis bukanlah kelemahan, cucuran air mata itu hanyalah reaksi psikis. Dari pergejolakan emosi dirinya, ia benar-benar tak bisa mengendalikan ini. Tak ada tempat untuknya mengadu, berbohong hanya menyakiti batinnya saja.
Apa ia harus berdamai? Jujur pada suaminya, dan merelakan kebahagiaannya saat ini. Tapi setidaknya itulah yang setimpal untuknya, ia tak beda jauh dengan mantan suaminya itu. Jika ini di teruskan, hanya akan menambah rasa sakitnya. Namun, ia harus bertahan untuk kedua anaknya dan anak sambungnya yang sangat ia sayangi layaknya anak kandungnya sendiri.
Tuhan, ijinkanlah kebohongan ini menjadi pendamping di sisa hidupku. Mungkin kau akan marah atas perbuatan ku ini, tapi berikan kesempatan ku untuk bahagia. Walau hanya seujung nafasku, biarkan seperti ini sampai bumi tak lagi menginginkanku. Biar waktu yang membongkarnya, katakan maaf saat udara mengisi kehampaan hati mereka.-Lee Hye-Young
***
Toserba 24 jam masih ramai pembeli, pegawai lelaki berwajah tegas itu memamerkan senyum manisnya pada pelanggan terakhir yang mengantri untuk membayar. Pegawai lain sudah menunggu dibelakangnya, ini sudah waktu untuk jam pergantian shift.
"Changkyun bawa ini, aku membelikannya untukmu." Ujar pegawai lelaki yang bertubuh tegap berotot, sembari menyodorkan sebungkus plastik hitam.
"Sundae? Kenapa senior selalu mentraktirku? Lain kali aku yang akan mentraktir mu," Protes ChangKyun dengan wajah cemberut yang ia buat-buat,
"Tak perlu, aku hanya membeli lebih." Tolak partner kerja yang lebih tua darinya, tangan kekarnya terlipat diatas perut.
"Tetap saja," Changkyun mencebikkan bibirnya,
"Sudahlah, cepat pulang ini sudah lebih dari jam malammu."
"Baiklah, sekali lagi terimakasih Kak Wonho."
Pria kekar itu tersenyum, Changkyun sudah ia anggap seperti adik kandungnya. Ia mengusap gemas puncak kepala lelaki yang berpawakan kurus dan lebih pendek darinya, hatinya selalu tersentuh padanya. Walau belum lama ia mengenal, dirinya telah dibuat luluh pada kepolosan Changkyun.
Seseorang tiba-tiba masuk toko, membuat percakapan mereka terhenti. Changkyun tersenyum saat menyadari seorang pria yang juga melempar senyum padanya, lalu membungkuk sopan pada Wonho.
"Wonwoo-ya!"
***
Next >>>>