....
Langit senja menyambut malam, semburat jingga menampakkan diri kala matahari mulai terbenam. Geu-Reum masih belum pulang, ia ikut ke restoran mie yang tak jauh dari sekolah. Restoran keluarga milik orangtua Jin-Hwan, yang memang sudah biasa mereka kunjungi. Namun akhir-akhir ini jarang kedelapannya kunjungi, karena kesibukan dan juga kejadian beberapa hari terakhir yang membuat hubungan mereka merenggang.
Bersama sahabat-sahabatnya, kecuali Dong-Hyuk dan Yunhyeong. Geu-Reum mengunjungi restoran mie turun-temurun yang sudah berdiri sejak 35 tahun yang lalu, dan sekarang orangtua Jin-Hwan adalah penerus ke-5 restoran tersebut.
Mereka tanpa sengaja bertemu di gerbang sekolah, awalnya Geu-Reum tak mau ikut. Tapi saat Han-Bin tiba-tiba ikut bergabung, maka itu jadi alasan utamanya mengiyakan ajakan Junhoe dan Ji-Won yang paling mendesaknya. Lagipula, isi kepalanya ingin segera ia keluarkan pada pria itu. Tentang tawaran Young-Hyun, atau mengajak Han-Bin menjadi pasangan di Prom Night.
"Lama tidak berjumpa dengan kalian, bibi jadi sedikit lupa dengan kalian." Ujar Ibu Jin-Hwan, yang paling banyak menurunkan kemiripan wajahnya pada anak lelakinya itu.
"Karena kalian juga lama tidak berkunjung, paman siapkan menu baru dan spesial untuk murid-murid manis ini." Kata Ayah Jin-Hwan, dengan membawa nampan penuh mangkuk mie kuah yang masih berasap.
Di belakangnya kakak perempuan Jin-Hwan yang tak jauh beda dengan postur dan wajahnya. Membawakan nampan lain yang berisi mangkuk dengan isian serupa, namun wajahnya terlihat sedikit suram.
"Oh Geu-Reum, lama aku tidak bertemu denganmu." Seru Kim Ji-Eun, seraya wajahnya berubah ceria. Bahkan senyumnya sampai ke mata, membentuk bulan sabit di kedua matanya.
"Aku juga, aku merindukanmu kak." Balas Geu-Reum, tak lupa menampilkan deretan gigi-giginya. Memaksakan senyuman itu demi sopan santun pada yang lebih tua, juga pada kedua orangtua Jin-Hwan yang memberikan tatapan hangat.
"Sejak kapan kau akrab dengan teman-temanku? Hentikan, jika kau hanya ingin memanfaatkan mereka." Celetuk Jin-Hwan,
Ji-Eun menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya kasar. Menahan amarahnya pada adik lelaki satu-satunya itu, rahangnya mengeras.
"Diam, jika kau masih menyayangi nyawamu." Sarkas Ji-Eun, ia mengatupkan giginya saat berbicara. Jadi hanya orang-orang di sampingnya yang dapat mendengar, ia juga memelototi Jin-Hwan.
Tapi bukan Jin-Hwan, jika kalah begitu saja. Bukan adik-kakak, jika tak ada pertengkaran. Maka dengan membalas tatapan yang sama sayu nya, ia menggerakkan bibirnya seakan mengatakan kata-kata menantang.
"Sudah-sudah, kalian ini bisakah sehari saja tidak bertengkar?" Ujar Ayah Jin-Hwan melerai, lalu ibunya ikut andil dengan menarik putri sulungnya itu menjauh.
"Ah, ibu. Aku belum memberi pelajaran pada anak itu, dia sudah tidak sopan dengan orang yang lebih tua darinya." Protes Ji-Eun, tak mau dipisahkan.
"Lalu kau mau apa? Hentikan, itu akan membuat malu saja." Kata Ibunya,
"Kalau begitu, tolong ijinkan aku pergi malam ini." Tawar Ji-Eun, ucapannya berubah manis.
"Tidak! Daripada kau berkencan, kau bantu disini dan belajar." Tolak Ibunya, berulang kali dipukulinya lengan Ji-Eun.
"Sakit!" Rengek Ji-Eun, "Jika ibu tak mengijinkanku, maka aku akan-"
"Apa? Sampai kau berani, jangan harap kau bisa pulang kerumah." Ancam ibunya, terakhir ia menarik cuping telinga Ji-Eun untuk menyeretnya ke dapur.
Orang-orang mulai memperhatikan percekcokan ibu dan anak itu, beberapa juga tertarik untuk saling berbisik-bisik. Ayah Jin-Hwan yang ber-kriteria tenang, hanya memberikan cengiran tak enak pada pelanggannya.
"Kakakmu sudah mulai berkencan?" Tanya Ji-Won, yang menikmati pertunjukan dengan menyeruput mie nya.
"Biasalah, dia berkencan hanya untuk mengikuti gaya saja. Mahasiswa baru seperti kakakku, masih belum memikirkan kuliahnya." Ujar Jin-Hwan membenarkan, walau ia hanya ingin membalas kakaknya.
Ia dan kakak perempuannya, hanya berselisih umur 3 tahun saja. Sejak kecil mereka tidak pernah bisa akur, Ji-Eun yang akan selalu menang, dan Jin-Hwan yang mengalah. Baru saat dewasa, Jin-Hwan tak mau kalah dari kakaknya. Ia juga harus bisa membela dirinya, tak ingin terus-menerus mengalah.
Bahkan saling berbicara pun sangat jarang, jika tidak ada kepentingan atau bertengkar tanpa hal yang jelas seperti ini. Meski begitu Jin-Hwan ataupun Ji-Eun, saling menyayangi layaknya saudara yang lain. Hanya saja dengan pengungkapan yang berbeda, dan tingkatan tak sama dengan yang lain.
"Lalu kita bagaimana? Sejak taman kanak-kanak, aku tak pernah punya pacar." Ujar Junhoe, memandangi kawan-kawannya satu persatu.
"Benar, teman yang lain bahkan sudah banyak bergonta-ganti pasangan." Timpal Chanwoo menyetujui, pria itu tak biasanya langsung cepat tanggap.
"Itu karena kita selalu banyak bersama, jadi tidak bisa mencari kekasih." Balas Jin-Hwan,
"Aku menyia-nyiakan masa muda dan ketampananku," Ucap Junhoe murung
"Kau mulai terserang virus Song Yunhyeong?" Ejek Han-Bin, yang lain ikut terkekeh.
"Kalian tahu tidak? Jika prom night, diharuskan berpasangan." Sela Geu-Reum, bola matanya bergerak gusar.
"Tentu saja kami tahu, itu sudah tertulis jelas di poster pengumuman." Jawab Junhoe, Jin-Hwan, Ji-Won, Chanwoo dan Han-Bin, hampir bersamaan.
"Jadi, kalian akan berpasangan dengan siapa?" Tanya Geu-Reum, masih dengan memandangi kelimanya bergantian.
"Aku belum tahu," Ji-Won mengangkat bahunya, yang lain terdiam.
"Kau, Han-Bin! Dengan siapa kau akan berpasangan?" Seru Jin-Hwan sepersekian detik kemudian, usai mengamati Han-Bin yang tak bergeming.
"Senior Da-Hyun, dia malah yang mengajakku lebih dulu." Jelas Han-Bin, ia tak berniat menatap kawan-kawannya. Jika membicarakan gadis itu, ia memilih menatap kuah mie yang tak panas lagi.
"Aku tidak iri, jika itu dengan gadis itu. Aku hanya iri pada fakta, jika aku tak punya pasangan sama sekali." Ujar Jin-Hwan, Chan-Woo berdehem pelan.
"Sudah dipastikan, sama seperti tahun sebelumnya. Kita akan menjadi pria melajang lagi, kalau begitu kita saling berpasangan saja. Aku dengan Dong-Hyuk, dia pandai bermain game yang melibatkan otak." Ucap Junhoe memutuskan, ia dan Dong-Hyuk bagai pinang di belah dua. Walau terkadang keduanya tak akur, canggung satu sama lain. Namun, mereka bisa mengatasinya dan tetap bersama hingga saat ini.
"Daripada memilih lelaki seperti kalian, lebih baik aku memilih Geu-Reum. Kau belum punya pasangan kan?" Tawar Chanwoo,
"Sebenarnya, senior Young-Hyun juga mengajakku menjadi pasangannya." Ujar Geu-Reum ragu, bahkan pandangannya turun.
Ia menggigiti bibir bawahnya, hatinya baru saja ditikam fakta. Menahan genangan sungai kecil di pelupuk mata, apa yang ia harapkan benar-benar akan pupus. Jatuh cinta ternyata serumit dan sesakit ini, jika tahu seperti ini. Sudah sejak lama ia menghilangkan perasaan ini, juga menyerah sebelum kesakitan yang lebih dalam.
"Apa-apaan ini, apa kita ditakdirkan melajang selamanya." Seru Ji-Won tak terima dengan mengaduk sisa mie di mangkuknya, tak berniat membahas hal itu lagi. Fokus untuk menikmati makanannya, karena pada akhirnya ia juga tak akan mengubah kenyataan itu.
"Sudahlah, pasti kita akan menemukannya." Ujar Junhoe menengahi, terkadang pria itu bisa bijaksana di situasi dan waktu tak terduga. Ke-lima nya memilih bungkam, hanya suara sesapan mie yang terdengar.
Han-Bin ataupun Geu-Reum masih pada posisi yang sama, tak bergeming sama sekali. Mendalami dan hanyut dalam pikiran masing-masing, merasakan keganjalan di hati. Keduanya duduk berhadapan, tapi hampir tak saling melempar pandang atau menatap lama. Bertemu tatap pun segera keduanya alihkan, atmosfer kecanggungan keduanya menguar. Entah, apa yang menjadikan mereka bisa masuk dalam udara itu.
Usai mendapat mie gratis dan berpamitan pulang, keenamnya berjalan beriringan menuju halte. Jin-Hwan paling bersemangat, karena ia tak perlu tertahan di restoran. Biasanya sepulang sekolah, ibunya akan menyuruhnya membantu restoran yang tak cukup karyawan.
Beruntung tak terlalu banyak pelanggan hari ini, sehingga mereka tak terlalu sibuk. Biasanya pelanggan yang datang dua kali lipat itu, akan datang di hari atau jam tertentu. Sehingga perbantuan putra bungsu mereka, hanya sebagai cadangan. Juga hari ini kakaknya yang membantu, jadi ia bisa pulang lebih dulu.
Belum sampai halte, Chanwoo dan Junhoe berhenti di toserba yang mereka lewati. Mau tak mau, yang lainnya juga ikut. Mereka bagai kepala dan ekor dalam satu tubuh, akan mengikuti pergerakan satu atau lebih orang. Suka atau tidak suka, mereka harus ikut. Anehnya, hal itu malah jadi kebiasaan dan otomatis tubuh mereka juga akan langsung bereaksi.
Seperti saat ini, awalnya Ji-Won yang paling menolak. Enggan untuk ikut masuk ke dalam toserba, ia sudah lelah dan ingin cepat pulang. Tapi karena kebiasaan itu, akhirnya mereka ikut masuk tanpa pikir panjang.
"Selamat datang," Sapa pegawai toserba tersebut, bersamaan dengan suara bel saat pintu terbuka.
Tak ada yang membalas, hanya Geu-Reum yang melempar senyum. Para lelaki itu sudah mulai bringas untuk memilih makanan, bahkan Ji-Won sudah memeluk berbagai macam snack kesukaannya. Geu-Reum dilupakan, ia yang masuk terakhir tak berniat ikut jejak kawan-kawannya itu. Ia hanya menunggu mereka di dekat kasir, namun sedikit jauh saat dirasa penjaga toserba itu memperhatikannya.
"Permisi," Ujar sang penjaga toserba yang masih berdiri disebalik meja kasirnya,
Geu-Reum yang mulai bergidik ngeri. Dengan ragu-ragu menatap pria itu, segera tatapannya melunak dan hatinya tenang. Saat ia mengenali pria yang menyapanya lebih dulu itu, mengulas senyum dan berani mendekat hingga meja kasir.
"Aku ragu untuk menyapamu, khawatir. Jika aku salah orang, ternyata benar dirimu." Imbuhnya dengan mata berbinar, lipatan senyum di pipinya terbentuk.
"Lama tidak bertemu, aku bahkan tidak mengenalimu sama sekali." Gurau Geu-Reum dengan nada sok akrab, penjaga toserba itu tertawa ringan tanpa suara.
Sebenarnya ia bukan gadis yang mudah bergaul, tergantung pada lawan bicaranya. Seperti pria yang pertama kali ia jumpai di festival kampus, yang juga telah merusak ponselnya. Terlihat ramah dan menyenangkan, sehingga ia pun juga bisa sedikit berbaur. Walau masih ada rasa canggung, setidaknya pria itu bisa mencairkan suasana dengan tawa disetiap ucapannya yang tak lucu sama sekali.
"Oh, kau masih murid SMA juga? Ku kira selama ini, kau seorang mahasiswa." Ucap pria penjaga toko itu setengah mengatupkan bibirnya, tak percaya akan fakta sebenarnya. Ia jadi tak enak hati, bagaimana jika itu membuat gadis itu tersinggung?
"Tidak masalah, aku juga berpikir seperti itu padamu. Karena kita belum saling kenal, jadi wajar ada sedikit kesalahpahaman." Ujar Geu-Reum, senyumnya tak lepas dari wajah bulatnya.
"Kalau begitu, mari berjabat tangan untuk perkenalan." Pria itu mengulurkan tangannya,
"Aku Im Changkyun, murid kelas sebelas di sekolah peringkat 30 di Seoul. Peringkat kedua di Seongdong-gu, dan tak akan bisa mengalahkan SMA favorit se-Seongdong." Kata Chang-Kyun memperkenalkan diri dengan semangat, walau jabatan tangannya belum dibalas.
Geu-Reum ragu untuk membalas jabatan tangan itu, kedua alisnya saling bertautan. Setengah senyum di bibirnya, ia paksa. Merasa tak enak hati, ia membalas jabatan tangannya. Namun, belum sempat ia jawab. Han-Bin lebih dulu menghampirinya, pria itu langsung menarik tangannya.
"Geu-Reum kau mau minuman bersoda atau susu pisang?" Tanya Han-Bin dengan menunjukkan dua benda yang baru ia sebut, menimang benda itu bergantian.
Geu-Reum melirik sekilas Changkyun, ia masih tak enak hati. Khawatir, jika pria itu berpikiran tentang dirinya yang telah mengabaikan ajakan perkenalan itu. Changkyun juga diam mengamati, mencari tahu apa hubungan keduanya.
"Aku akan pilih susu pisang saja," Jawab Geu-Reum cepat, agar cepat juga kecanggungan ini berakhir.
"Baiklah," Ujar Han-Bin, lalu berbalik menuju tempat awalnya. Hingga terhenti saat ia mendapati sepasang mata dari pria yang tadi bercengkrama dengan Geu-Reum, tatapannya tak bersahabat. Tapi, ia tak pedulikan.
"Kita sudah saling mengenal, dan sekolah kita juga tak terlalu jauh. Jadi kita bisa saling menyapa saat berpapasan, juga menjadi teman kedepannya." Ujar Geu-Reum,
"Tentu," Kata Changkyun cepat, secepat air mukanya yang kembali berubah cerah.
Senyum yang tersungging di kedua ujung bibirnya, terasa berat saat ia paksakan. Sejujurnya hatinya tak nyaman, kala ia melihat pemandangan tak ia harapkan itu. Apakah persaingan di awal sudah menyambutnya, saat baru beberapa menit ia tahu nama dan siapa gadis itu.
Sesulit ini kah memperjuangkan cinta, pada pertama kalinya ia merasakan perasaan yang bisa memenuhi separuh jiwa. Juga pada satu-satunya gadis, yang langsung membuatnya jatuh hati di pandangan pertama. Haruskah ia mulai ikut bersaing?
***
Karena acara Prom Night yang memang paling ditunggu-tunggu satu penjuru sekolah, maka sekolah tak habis-habisnya membicarakan acara tersebut. Bahkan mengulang topik pembicaraan pun, tak bosan bagi mereka.
Antusiasme mereka juga makin memuncak, kala hari yang selalu meraka hitung makin mendekat. Tinggal 1 hari lagi, acara kebanggaan sekolah yang belum pernah diadakan. Di sekolah tanpa label internasional manapun, terselenggarakan.
Selain acara tahunan yang juga peringatan hari jadi sekolah, acara Prom Night ini juga sebagai sebuah apresiasi bagi para penghuni sekolah. Sekolah favorit terbaik di kota dengan distrik terbanyak ini, juga akan menapaki predikat international. Saat akhirnya, mereka bisa menjadi salah satu perwakilan untuk pertukaran pelajar.
Sama seperti yang lain, Mimi juga tak kalah bersemangatnya tentang acara paling elite di sekolah. Hingga Geu-Reum yang menjadi lawan bicaranya, mulai bosan. Ia malah jadi yang paling bersemangat dan tak sabar akan acara itu, tapi karena Mimi dan teman-teman yang lain terus-menerus bercerita hal itu. Geu-Reum mulai jengah, ingin topik pembicaraan yang lain.
Penyegaran argumen, untuk meningkatkan sumber pengetahuan. Bergosip contohnya, sudah lama ia tak mendapat asupan informasi yang makin seru. Jika ada bumbu penambah, atau akan lebih sedap saat tersedia bukti kuat untuk gosip tersebut.
Bergaul dengan Mimi, membuat kebiasaan pembicaraan yang di gemari wanita itu. Jadi makanan sehari-harinya, tak bisa menolak. Walau hati berkata tidak, tapi bibirnya menjadi sebuah kekuatan yang sulit di kalahkan.
"Geu-Reum kau beruntung sekali, bisa berpasangan dengan senior Young-Hyun. Aku bahkan, belum mendapatkan pasangan." Ujar Mimi mulai murung,
"Kau tidak membocorkan pada siapapun kan? Aku bisa membatalkannya, dan berpasangan denganmu." Selidik Geu-Reum, diakhiri dengan nada memohon.
"Tidak mau, kau fikir aku tidak bisa menemukan pasangan? Lagipula ini kesempatanmu, kau bisa dekat dengannya. Dan akan lebih baik, jika kalian berpacaran." Desak Mimi,
"Hentikan, itu tidak lucu. Aku tidak menyukainya, dan ku kira senior Young-Hyun hanya asal mengajakku saja. Tidak ada alasan lain, atau maksud tertentu." Kesal Geu-Reum, itu bukanlah yang ia harapkan. Ia belum menerima ajakan itu, tapi menolaknya juga tak bisa ia lakukan saat melihat betapa bahagianya senior itu.
"Cih! Aku juga tidak bilang ini lelucon, tetap saja kau menjadi satu-satunya gadis di sekolah ini. Yang akan menjadi pasangan senior paling tampan, dan paling di idolakan satu sekolah. Apa kau tidak merasa berbangga diri?" Cibir Mimi, bibirnya masih mencebik.
"Entahlah, aku tidak ingin memikirkannya." Ujar Geu-Reum pasrah,
"Kau ini, acara Prom Night hanya tinggal besok. Jadi harus mantap, dan aku akan membantumu menjadi lebih cantik di acara itu. Bagaimana??" Tawar Mimi, matanya jadi makin berbinar. Ia yang malah bersemangat untuk itu, sangat mendukung hubungan sahabatnya dan senior itu.
"Entahlah, aku jadi malas ikut." Geu-Reum tak memberi reaksi serupa dengan gadis yang kini senyumannya memudar, kembali setia pada bibir yang ia manyunkan kedepan.
Mimi menyerah, sahabatnya itu bukanlah tipe yang mudah dirayu. Ia tak mau lagi membahas hal itu dengannya, yang hanya membuatnya makan hati sendiri. Penolakan dan elakan, cukup membuatnya tak bisa maju lagi.
"Tapi, kau sungguh ingin membuatku cantik?" Tanya Geu-Reum, sekarang ia yang menatap Mimi. Membuat gadis itu mengangguk semangat, bibirnya melengkung membentuk senyum.
Dengan begitu, berarti ia sudah berhasil membuat Geu-Reum terbujuk. Walau tak sepenuhnya menyetujui, setidaknya ada satu yang bisa ia lakukan untuk teman paling terdekatnya itu. Membalas segala kebaikannya selama persahabatan mereka, Geu-Reum yang sudah banyak berjasa untuknya. Jika bukan karena gadis itu, ia juga tak akan bisa bertahan lama bersekolah.
Mungkin ia sudah lama keluar sekolah, gadis itu memberinya semangat dan mau berteman dengannya disaat orang lain menjauhinya. Sampai kapanpun, tak akan pernah ia lupakan kebaikannya. Hanya dengan itu ia bisa membalasnya, walau tak sebesar dengan apa yang telah ia berikan.
Di bangku paling belakang, mata tajam Wonwoo menyapu pandang kedua sahabat itu. Mengamati punggung sempit keduanya, memperhatikan gerak-gerik yang terfokuskan pada Geu-Reum. Ia tak bisa mendengar pembicaraan mereka, karena jarak bangku mereka cukup jauh dan nada bicara yang sengaja mereka pelankan.
Tapi ia tak acuh, isi kepalanya lebih mengganggu pusat perhatiannya. Ada yang mengganjal hatinya, ingin ia ungkapkan. Namun, sekali lagi perasaan ragu itu selalu saja lebih mendominan.
Jika, seperti ini terus. Aku tak akan bisa mejangkaunya, apapun yang terjadi aku harus mengatakannya.
Seperti hati yang telah dibuat bingung oleh cinta sepihak, yang membuatnya ingin menyerah. Pergolakan batin nya, makin merumitkan permasalahan cintanya ini. Terjebak dan terpuruk jauh dalam perasaannya sendiri, mencari jalan keluar sesulit mencari air di padang tandus.
Di penghujung hari, sehabisnya jam belajar-mengajar. Sepulang sekolah, Wonwoo berdiri di tepi jalan menuju gerbang sekolah. Berdiri sendirian, setelah Soon-Young ia suruh pulang lebih dulu. Tanpa banyak protes atau bertanya, pria sipit itu mengiyakan permintaan sahabat senasibnya itu.
Sepedanya terparkir tak jauh dari ia berdiri, sesekali ia jadikan teman bercengkrama. Berbicara sendiri, hingga menendang batuan kecil mengenai roda sepeda nya itu. Guna membunuh kebosanan dan kegugupan yang menghinggapinya, sejak 20 menit yang lalu ia berdiri di jalanan yang mulai lengang itu. Murid-murid yang tak lagi punya kepentingan di sekolah, sudah sejak tadi meninggalkan tempat. Mereka akan jadi lebih awal, jika sudah jam pulang.
Satu-satunya alasan ia mengorbankan waktunya, adalah untuk menemui Geu-Reum. Gadis itu berjalan sendiri keluar dari bangunan sekolah, jalanan yang ia lalui bagai panggung catwalk. Lenggak-lenggok jalannya tak memenuhi standar model, tapi itu membuat pria yang telah menunggunya membentuk lengkung di bibirnya. Meski dari kejauhan, ia bisa melihat betapa menariknya gadis itu.
Geu-Reum cantik dengan caranya sendiri, memesona tanpa dibuat-buat, lagi senyuman di wajah bulatnya. Mengalihkan titik pusat dunianya, itu yang membuat Wonwoo jatuh akan pesona gadis itu. Hingga lamunannya menjadi nyata, Geu-Reum tersenyum pada Wonwoo. Berjalan mendekat, semakin dekat, dan menjadi berhadapan.
"Kau sedang apa disini?" Tanya Geu-Reum, yang masih menyunggingkan senyum manisnya.
"Oh, aku menunggumu." Jawab Wonwoo terbata-bata, bersikap canggung yang dibalas senyum tak luntur Geu-Reum.
"Ada apa? Kenapa tak datang ke kelas saja? Kau bisa duduk disana dan membantu ku piket." Gurau Geu-Reum, tapi itu tak membuat Wonwoo bereaksi. Pria itu malah bungkam, ekspresinya tumpul. Sebelah alisnya terangkat, Geu-Reum tak bisa menmbaca situasi ini.
"Aku hanya ingin bicara empat mata denganmu?" Ujar Wonwoo, tanpa berniat mengubah air mukanya.
"Apa seserius itu? Hingga harus bicara empat mata, lagi pula ditempat seperti ini masih ada orang lain. Bahkan teman-teman yang piket bersamaku, masih di kelas dan belum pulang." Ucap Geu-Reum mengingatkan,
"Maka aku akan cepat mengatakannya," Seru Wonwoo, ada kilatan serius di matanya yang makin menciptakan aura dingin di wajahnya.
"Aku menyukaimu," Imbuh Wonwoo cepat, secepat Geu-Reum membelalakkan mata. Ia linglung, kepalanya malah berputar ke kanan dan kiri. Mencari orang lain selain dirinya, tapi tak ada siapapun. Kata itu benar-benar ditujukan padanya, tapi ia pastikan lagi.
"Aku? Kau sedang mengajakku bercanda?" Tunjuk Geu-Reum tak paham,
"Tidak, aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku menyukaimu, aku mencintaimu, dan aku ingin kau menjadi milikku, kekasihku." Tegas Wonwoo, ia pun jadi geram.
"Tiba-tiba? Aku tidak tahu apa yang harus ku jawab, ini terlalu mendadak." Ujar Geu-Reum, sudut matanya berkerut.
Mata tajam, serupa tatapan elang yang tengah mengintai mangsa itu. Melotot, pupil matanya besar. Kegugupannya tergantikan kekhawatiran, ia malah jadi tak enak hati dengan gadis berkacamata bulat itu. Bahkan kacamata yang terus-menerus ia benarkan letaknya, tak mengubah posisi.
"Kalau begitu, aku akan memberimu waktu hingga malam Prom Night." Deal Wonwoo, Geu-Reum menatapnya tak percaya.
"Kenapa begitu cepat?" Protes Geu-Reum, hidungnya melebar untuk menghirup udara dalam-dalam.
"Kau hanya perlu mengingat kebaikan dan kebersamaan kita, maka kau akan mendapatkan jawabannya. Pikirkan dengan baik, apapun jawabanmu aku akan menerimanya. Tapi, tolong beri aku kesempatan itu." Jelas Wonwoo, dengan begitu kemungkinan penolakan tak sampai 10 persen. Walaupun kemungkinan diterima pun, juga tak menjamin hingga 90 persen.
Dan acara itu, menjadi acara tahunan yang tak ingin ia datangi. Jika bisa, jangan pernah terjadi atau hari itu segera berubah ke hari lusanya. Itu bagai sebuah mimpi buruk untuknya, kenapa harus di hari dan acara itu?
Di bawah langit jingga ini, ia ingin membuat perjanjian. Jika ia tertidur untuk selamanya, ia ingin terbangun di tempat yang hanya ada ia sendiri. Namun jika ia masih terbangun, biarkan ingatannya terhapuskan agar ia tak memusingkan jawaban ini.
Mengapa ia tak bisa seperti gadis lain, seharusnya ia berbangga diri. Disaat gadis lain mengharapkan, hingga memimpikan pernyataan cinta dari para pria tampan itu. Sekali lagi, itu tak berhasil untuk mengubah pendiriannya. Hanya satu orang yang ia harapkan, yang tak berbalik mengharapkannya.
Aku ingin, jika itu dirimu. Han-Bin!
***