Suara hujan mengetuk jendelaku, membuat hatiku berdebar sebelum bertemu denganmu. Ku rasa aku mencintaimu, aku sudah jatuh cinta.
Perasaan yang baik ini ku harap itu tak berubah, aku terus merindukanmu. Seseorang yang menghampiriku setiap kali aku berjuang, seseorang yang tau meskipun aku tak mengatakannya.
Meskipun, aku sedang marah dan kesal setiap waktu. Seperti teman lama, dengan lembut dan kuat memelukku. Datanglah padaku perlahan-lahan, aku akan menunjukkan diriku padamu.
Seperti aroma yang menyenangkan, maka tetaplah disisiku selalu. Ini bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi dalam satu hari, suara rendahmu yang menggodaku. Membuat hatiku berdebar dan berbisik,
Bolehkah aku berharap tinggi?
Sebenarnya, aku sangat malu. Di depanmu, siapa yang mengenal lebih baik dariku?
Aku agak takut, untuk mengungkapkannya.
Tapi selagi itu kamu, tak apa!
Ku rasa aku mencintaimu, aku sudah jatuh cinta. Perasaan yang baik ini ku harap itu tak berubah, aku terus merindukanmu.
Ku rasa aku mencintaimu, ini bukan mimpi. Cinta ku yang malu-malu, telah menemukanku melalui hujan.
Ku rasa aku mencintaimu, aku sangat bahagia selalu.
Cintailah aku!!
***
Setelah malam pendek yang mereka habiskan bersama, usai hubungan persahabatan mereka yang juga telah kembali membaik. Mereka putuskan untuk menyudahi, mengingat banyak pekerjaan yang menanti juga esok harinya mereka harus ke sekolah.
Terutama murid teladan seperti Dong-Hyuk dan Geu-Reum, mereka tak boleh melewatkan malam tanpa belajar. Keduanya lebih dulu berpamitan, untuk melakukan kewajiban mereka itu.
Pria kurus dengan pipi tirus yang terhias lesung pipi itu, menemani Geu-Reum menunggu bus. Sebenarnya, rumah Dong-Hyuk tak perlu naik bus. Bahkan halte dengan rumahnya, tak sampai 10 menit berjalan kaki.
Tapi, ini demi kawan perempuannya dan hari juga sudah malam. Maka, ia tak tega meninggalkan seorang gadis menunggu sendirian. Juga ada hal lain yang sejak tadi mengganggu pikirannya, ingin segera ia pastikan dan menanyakan langsung pada gadis itu.
"Kau tidak biasanya seperti ini, apa kau mulai ada perasaan padaku?" Sindir Geu-Reum, pria yang duduk disampingnya menyipitkan mata.
"Percaya diri sekali," Cemooh Dong-Hyuk, kemudian mengalihkan pandangannya kedepan.
"Alih-alih diriku, apa kau menyukainya?"
Dong-Hyuk memang tak banyak bicara, tapi ia juga tak suka berbasa-basi. Maka apa yang ia pikirkan, tanpa banyak waktu akan langsung ia utarakan. Dan itu membuat lawan bicaranya terkejut, dalam artian tak mengerti dan khawatir telah tertangkap basah.
"Maksudmu?"
Kata itu akhirnya yang keluar, seolah-olah tak memahami agar tak makin dicurigai. Tapi bukan Dong-Hyuk, jika tak ingin tahu dan spontanitas.
"Kau suka Han-Bin, kan?" Ujar Dong-Hyuk,
Baik, pria ini memang punya keinginan tahu yang besar. Tapi bisakah suaranya tak sekuat itu, juga tak di tempat ini. Bagaimana, jika ada orang yang dengar atau salah satu dari mereka yang masih digudang bawah tanah tiba-tiba melintas.
"Ti.. tidak, aku tidak menyukainya." Elak Geu-Reum sembari mati-matian menutupi kegugupannya,
"Baiklah, mungkin itu hanya perasaanku. Tak perlu gugup, aku tak akan mengatakan ini pada mereka." Ucap Dong-Hyuk, kakinya ia silangkan dan tangannya telah terlipat diatas perut. Menunggu apa yang akan di pilih gadis yang telah tertangkap basah olehnya, sekali lagi ia sensitif pada perubahan wajah seseorang.
Geu-Reum melirik Dong-Hyuk takut-takut untuk menjawab, bibir bawahnya ia kulum sendiri. Membasahi bibir kering yang makin kering karena gugup, hatinya dilema.
"Aku menyukainya, sangat menyukainya. Bahkan sejak pertama kali bertemu dengannya, saat dia membantuku di taman." Ungkap Geu-Reum lantang, ia tak peduli lagi akan orang lain yang bisa mendengar dan mengetahui rahasianya. Ini sudah kepalang tanggung, serapat-rapatnya bangkai disembunyikan maka akan tercium juga.
"Kau pasti menderita selama ini, menahan perasaan itu sangat lama. Tapi, pada akhirnya kau tak mendapat yang kau harapkan." Ucap Dong-Hyuk prihatin, kini ia yang menatap Geu-Reum. Namun tak ia dapatkan wajah bulat itu, wajahnya tertunduk.
Apa menyukai sahabat sendiri itu sebuah kesalahan besar? Bahkan gadis yang selalu ceria dan selalu kuat dalam permasalahan apapun, bisa sekacau ini.
Perasaan cinta memang manusiawi, setiap orang punya hak untuk itu. Hanya saja penempatan hati pada seseorang yang menjadi permasalahannya, bisakah waktu dipercepat. Sehingga rasa itu bisa segera menghilang, akan lebih baik jika ada yang bisa menggantikan tempat itu secepatnya.
"Dong-Hyuk, haruskah aku pergi saja? Dengan tak melihat wajahnya, mungkin aku bisa melupakan perasaanku dan kita bisa bersahabat tanpa ada perasaan lebih." Ujar Geu-Reum lemah, bayang-bayangnya yang terkena sinar lampu tepi jalan. Bahkan terlihat lebih sendu, tubuhnya tak lagi tegak.
"Apa kau bisa? Bahkan aku yang lelaki pun sulit meninggalkan mereka, mereka bagai keluarga kedua untukku." Ujar Dong-Hyuk ikut menundukkan tubuhnya, merapatkan duduknya pada Geu-Reum. Melirik sekilas gadis yang anak rambutnya diterpa angin malam, menutupi separuh wajahnya.
Hidung mancungnya berkerut sedikit, saat menghirup udara dalam-dalam. Mengambil nafas untuk menambah pasokan dalam paru-parunya, ia baru akan memulai bercerita. Menenangkan diri lebih dulu, sebelum melanjutkan cerita sendu hidupnya.
"Sebelum ayahku meninggal, beliau selalu berjanji akan mengajakku keluar negeri. Tapi tuhan lebih menyayangi ayahku, mengambilnya untuk tinggal ditempat yang indah disana. Dan sejak itu, aku berjanji pada diriku untuk ayah, ibu dan adik perempuanku. Jika, aku harus menepati janji ayahku. Membanggakannya yang berada di surga, sukses untuk membahagiakan ibu dan Do-Hee." Lanjutnya,
Kedua mata Geu-Reum membulat, jika sudah membahas hal ini. Ia tak bisa berkomentar, teringat betapa sedihnya Dong-Hyuk saat ayah tercintanya itu harus pergi selama-lamanya.
"Sejak ada kalian, hidupku tak sunyi lagi. Kalian adalah pelangi di langit biru dengan awan putih yang berarakan, penuh warna." Tutup Dong-Hyuk dengan menatap Geu-Reum, seulas senyum tak lupa ia sunggingkan. Namun lagi-lagi gadis itu tak membalas, wajahnya makin tertekuk sedih.
"Tapi, aku ini sangat bodoh. Mengapa tak bisa menahan perasaanku, malah menumbuhkan perasaan gila itu." Rutuknya pada diri sendiri,
"Tidak, mencintai bukan hal yang salah ataupun sebuah kegilaan. Kau percaya takdir? Tuhan akan mengirimkannya, jika kau yakin dan tak menyerah. Mungkin sekarang kau tak mendapatkannya, siapa yang tahu dia akan membuka hatinya untukmu." Kata Dong-Hyuk menyemangati, walau ia tak sepenuhnya yakin pada ucapannya sendiri. Tujuannya hanya untuk membuat Geu-Reum senang, termotivasi akan kata-katanya juga akan lebih baik.
"Bahkan, ia tak melihatku sebagai perempuan. Lelaki itu hanya menganggap ku teman, perlakuannya hanya bonus untuk sahabat. Juga perhatiannya selama ini, terlalu ku anggap serius." Elak Geu-Reum, ia tak ingin lagi terbawa perasaan.
"Entahlah, tapi aku tak pernah merasakan perhatiannya. Dia selalu keras pada kami laki-laki, sedangkan padamu ia bersikap lembut. Anehnya aku pernah merasa iri padamu," Tandas Dong-Hyuk, sudut mata monolid-nya berkerut.
"Dia tak begitu, dia pernah tak makan sama sekali saat karyawisata SD. Demi kalian, tapi kalian malah menghilangkan kotak bekalnya. Sehingga ia hampir tertinggal bus untuk mencari kotak itu, dan ibunya marah besar padanya." Protes Geu-Reum tak terima, dengan kembali mengungkit kisah masa kanak-kanak mereka.
"Hah, kau benar-benar punya daya ingat yang baik. Bagaimanapun, aku lebih suka Han-Bin denganmu. Jadi jangan menyerah, kau harus mengejarnya. Dan keputusanmu untuk pergi, jangan menjadikannya beban karena itu. Kau harus melakukan dengan setulus hatimu, agar kau tidak menyesal nantinya." Ucap Dong-Hyuk, seraya tangannya mengusap lembut rambut Geu-Reum. Namun tetap membuat rambut hitam sebahu gadis itu berantakan, kepala kecilnya bergoyang untuk menolak sentuhannya itu.
Bukan ingin menjatuhkan harapan, hanya saja memang itu yang ia inginkan. Melihat sahabat yang bagai keluarga sendiri, hidup bahagia. Tentu, sebuah pemandangan yang ingin dilihat. Dan akan lebih baik, jika mereka bahagia dengan yang baik juga untuk mereka. Sekali lagi itu keputusan mereka, ia hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik.
Sampai Geu-Reum masuk ke bus, dan bus itu telah meninggalkan halte. Dong-Hyuk enggan beranjak, ia masih ingin duduk di halte tepi jalan yang tak terlalu ramai. Menikmati angin malam yang samar-samar menyapu wajah, namun tetap terasa dingin. Semakin menenangkan, saat suara hewan malam bersahutan dari balik semak-semak.
Usai bercerita tentang kenangan lama, juga mendiang ayahnya. Ia jadi merasa sentimental, jadi malam ini ia masih ingin menerbangkan pikirannya ke masa lampau. Menghadirkan sosok yang telah pergi 8 tahun yang lalu, dan sekarang hidup bahagia di surga.
Gudang bawah tanah, hanya bersisa empat orang. Junhoe dan Chanwoo ikut meninggalkan tempat, setelah Geu-Reum dan Dong-Hyuk yang lebih dulu undur diri. Mereka pergi ke warnet 24 jam untuk bermain game online, usai harapan pergi ke Arcade hanya tipuan.
Keempatnya pun hanya saling diam dengan menyibukkan diri sendiri, lelah bercerita panjang lebar. Walaupun hanya Yunhyeong yang banyak bicara, dan yang lain mendengarkan tanpa bereaksi.
"Yunhyeong, ayo mencari sesuatu yang bisa mengisi perut." Ajak Jin-Hwan untuk menghentikan ocehan Yunhyeong, yang membuatnya jengah.
Rentetan ceritanya, bagai burung yang baru di beri makan. Ia tak berhenti bicara, padahal tak ada yang mau mendengarkan ceritanya. Seru bercerita, tentang ke-narsisannya dan penggemar di dunia mayanya.
"Aku tidak lapar kau saja," Tolak Yunhyeong, ia masih ingin bercerita.
Baru mulutnya akan terbuka, Jin-Hwan sudah lebih dulu membungkam dengan tangannya. Lalu menariknya menuju dapur paman Yang, yang sudah seperti toserba.
"Yak! Song Yunhyeong!" Teriak Ji-Won saat ketenangannya terganggu, dengan tanpa sengaja kakinya tertendang Yunhyeong.
Hampir pria berambut tebal itu, mendapat jitakan Ji-Won. Tapi ia buru-buru lari mengikuti langkah Jin-Hwan yang juga tengah menariknya, dengan cekikikan.
Ji-Won menyerah, lalu kembali mendudukan dirinya dan menyambar ponselnya yang tengah ia gunakan untuk bermain game. Walau tak se-maniak Chanwoo dan Junhoe, tapi ia juga salah satu dari sekian banyak pria dengan hobi itu.
Bukan hanya anak-anak, lelaki dewasa pun juga menyukai permainan daring tersebut. Di tambah makin banyaknya upgrading game bervarian juga menarik, jiwa gammers nya bergejolak.
Namun, lagi-lagi ia harus mengurungkan niatnya. Ia letakkan ponselnya di meja depan sofa yang ia duduki, lalu memandang lama Han-Bin yang juga sibuk dengan iPad-nya.
Pria yang selalu bergumam kecil saat tengah fokus itu, diam-diam memiliki segudang bakat tentang musik. Belum ada yang tahu, jika Han-Bin sudah banyak menciptakan track musik. Itu pun karena ia belum percaya diri akan kemampuan jenius musik nya, jadi hanya ke tujuh temannya yang mengetahui maha karyanya.
"Kau, membohongi dirimu sendiri kan?" Ucap Jin-Won 3 menit kemudian, yang jadi lawan bicaranya masih pada posisi sama. Tanpa menatap pria yang memiliki gigi depan serupa kelinci, dan mata makin menyipit saat tertawa.
"Apa maksudmu?" Tanya Han-Bin balik,
Perhatiannya tak bisa teralihkan dari layar iPad, yang di berikan paman Yang tahun lalu. Sebagai hadiah ulang tahun ke-17 tahunnya, hadiah termahal yang pertama kali ia punya. Ia tengah membuat nada lagu, untuk puisi Junhoe yang tadi di berikan padanya.
"Ucapan dan hatimu itu tak sejalan, kau hanya ingin mengalihkan perasaanmu kan? Kau tak benar-benar menyukainya," Ungkap Ji-Won, ia tak lagi sabar saat Han-Bin mengabaikan dirinya. Di rebutnya benda persegi itu dari tangan Han-Bin, wajahnya berubah murka.
"Aku berkata sejujurnya, kembalikan." Protes Han-Bin, ia menerjang Ji-Won untuk meraih gadgetnya.
"Tidak akan, karena aku tidak sepenuhnya percaya begitu saja." Tolak Ji-Won, kedua tangannya sibuk. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengangkat iPad tinggi-tinggi, sedang tangan kanannya untuk menahan Han-Bin yang juga berusaha meraihnya.
"Lalu apa? Bahkan, ia juga menyukai pria lain." Ujar Han-Bin, masih tak menyerah.
"Benarkan? Kau masih menyukainya," Terka Ji-Won, Han-Bin mulai tenang.
"Jika aku katakan iya, kau mau mengembalikan iPad ku kan?" Seru Han-Bin, ia sudah kelelahan.
Ji-Won menyerah, Han-Bin mendapatkan kembali iPad nya. Di bukanya layar itu, untuk melanjutkan perkerjaannya. Tak memperdulikan Ji-Won yang masih menatapnya, ia menghindari pembicaraan ini.
"Alih-alih mengungkapkan perasaan mu pada orang yang baru kau kenal, akan lebih baik kau ungkapkan perasaanmu padanya. Sebelum orang lain, benar-benar memilikinya." Ucap Ji-Won dengan nada bicara lembut, gaya penuturan yang tak biasa pria itu gunakan.
Ji-Won adalah pria berjiwa bebas, tengil, dan sesuka hidupnya sendiri. Namun, ia adalah pendengar yang baik. Han-Bin sangat menyukai bercerita pada kawannya itu, terjaga aman rahasianya. Juga banyak nasihat yang di berikan, dengan masih menjunjung tinggi gaya khas acak-acakannya.
Sehingga rahasia paling sensitif pun hanya Ji-Won yang tahu, tak ada satupun diantara sahabatnya yang tahu. Walaupun mereka berjanji untuk terbuka sama lain, tapi untuk yang satu ini. Hanya konsumsi pribadi, yang tak akan pernah diungkap selama-lamanya. Khawatir akan akibat yang akan terjadi nantinya, tak ingin merusak kedamaian. Namun makin dibiarkan, itu malah menjadi beban.
"Entahlah," Tutup Han-Bin tak lagi bisa menjawab,
Ia benar-benar tak ingin membahas, hal yang sudah lama di lupakannya. Lebih tepatnya ia usahakan untuk menutup rapat, tanpa lagi membuka atau mengungkitnya lagi. Janji pada hatinya sendiri, walau itu tak mengubah apapun. Saat ia bisa melihatnya setiap waktu, maka itu hanya makin menyiksa dirinya.
***
Dalam siklus sekolah menengah, akan ada kebiasaan jam kosong dalam setiap tingkatan. Untuk tingkat pemula atau kelas satu, mereka para murid yang mendapat jam kosong. Akan mengerjakan tugas yang di berikan guru pembimbing, berdiam diri dalam kelas dan membenamkan diri pada tugas-tugas itu.
Sedangkan, untuk anak tengah di sekolah atau kelas dua. Bisa di sebut mereka penguasanya sekolah, saat jam kosong tersedia. Maka mereka bebas melakukan apapun, mengerjakan tugas pun dapat mereka lakukan hanya dalam waktu 3 menit saja. Kuncinya adalah pada kemampuan menulis cepat, juga mata tajam pada saat menyalin tugas si murid pandai di kelas.
Dan yang terakhir, untuk sulung di sekolah atau kelas 3. Tak akan ada waktu untuk beristirahat, sekalipun itu jam kosong. Maka waktu mereka akan tetap digunakan untuk belajar secara mandiri dan kesadaran sendiri, tak ada waktu yang terbuang sia-sia. Bagi mereka sedetik pun adalah pundi-pundi kesuksesan, belajar juga menjadi makanan sehari-hari.
Seperti prinsip tingkatan tersebut, kelas 2-3 tengah menerapkannya. Pelajaran Matematika mereka kosong selama 3 jam pelajaran, yang masing-masing jam tersedia waktu 45 menit. Pak Kang yang menjadi guru pembimbing matematika kelas 2-1 hingga 2-3, ijin tak masuk untuk kepentingan keluarga yang mendadak.
Beliau tak mengatakan dengan rinci, saat masuk kedalam kelas. Tapi yang jelas, beliau meninggalkan rentetan tugas yang cukup untuk mengisi kelas yang ditinggalkannya. Membuat murid-muridnya mendesah tak suka, bahkan ketua kelas yang menjadi penanggung jawab mulai mencari muka.
Menyuruh tugas itu untuk di kerjakan dan dikumpulkan, tak peduli telah selesai atau belum. Padahal Pak Kang tak masalah dengan itu, biasanya beliau hanya akan memintanya pada pertemuan berikutnya.
"Direktur utama berulah lagi," Cibir murid lelaki yang berwajah bulat dan pipi tembam, sedikit berbisik pada kawan sebangkunya agar tak terdengar si ketua kelas.
"Tuan muda itu pasti tengah patah hati, jadi dia menujukkan sifat menyebalkan itu." Timpal kawannya yang berwajah panjang sekenanya, karena sangat tak menyukai ketua kelas itu.
Kang Seung-Yoon, telah menjabat sebagai ketua kelas dalam dua periode. Sejak semester pertama ia ditunjuk teman-teman sekelasnya, karena ia yang terlihat paling pandai dan menerimanya dengan lapang dada. Namun semakin hari, lelaki berkaca mata tebal itu menjadi lupa diri. Berlagak sok dengan terkadang bersikap berlebihan, terutama mencari muka didepan guru.
Untuk jabatan di tahun keduanya, guru wali kelas mereka sendiri yang menunjuknya. Itu juga karena ia yang di nilai sangat rajin didepan guru, melakukan semua tugas yang di berikan guru tanpa penolakan. Sehingga tanpa persetujuan murid lain, akhirnya jabatan itu ia emban kembali.
Tapi suara-suara bisikan para murid di kelas, masih bisa tertangkap inderanya. Ia tak punya kelainan pada telinganya, mereka masih bekerja dengan baik. Hanya ia yang malas meladeni, sejujurnya ia bahkan tak peduli dengan ucapan mereka.
Dalam hidupnya ia tak memerlukan teman, sekalipun ia kesepian sepanjang hidupnya. Toh, hidup seseorang tak selalu bergantung pada orang lain. Ia terbiasa untuk itu, hidup sendirian usai kedua orangtuanya yang sibuk bekerja. Dan hanya meninggalkannya bersama kakak perempuan, yang juga sibuk bekerja.
Menjadi ketua hanyalah berkah untuknya, walaupun murid lain menilainya dengan pemikiran negatif. Ia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, mendisiplinkan mereka yang selalu sesuka hati mereka. Itu juga salah satu yang ia benci, harusnya mereka bersikap baik. Meskipun itu jam kosong, hormati kelas yang masih dalam pelajaran.
"Hei, Han-Bin! Tidak biasanya kau diam saja, mau bermain baduk? Aku membawa papan dan bijinya, kalian tahu? Aku sembunyikan di kaos olahraga ku, sehingga lolos dari Pak Choi." Ungkap si murid lelaki berpipi gembul, Boo Seung-Kwan. Kawan sebangkunya Lee Seok-Min, terkekeh dengan kebiasaan tawanya yang suka memukul orang disampingnya.
"Kau yang terbaik," Ucap pria berwajah tirus itu, yang di puji membanggakan diri sendiri.
"Malas, aku ingin mengerjakan tugas." Tolak Han-Bin, dagunya menempel pada sisi meja.
Mengangkat kepala pun sangat berat, apalagi belajar. Sejujurnya ia bukan murid yang pemalas, hanya saja hari ini pikirannya kacau. Jadi alasan mengerjakan tugas, hanya untuk pengalihan pikirannya dan tubuh yang tak ingin melakukan apapun.
"Sejak kapan kau begini? Kepalamu tidak terluka atau semacamnya kan?" Ejek Seung-Kwan, dengan memegangi kepala Han-Bin yang menyatu dengan meja.
"Eiiyy, dia hanya melakukan lelucon. Itu tidak lucu!" Timpal Yunhyeong yang menjadi teman sebangku Han-Bin, dan ikut dalam obrolan teman didepan mejanya itu.
"Diamlah, kerjakan tugas kalian." Seru Han-Bin kesal, ketiganya diam saling pandang. Lalu beringsut mundur, mereka tak bisa melawan Han-Bin yang sedang kurang baik suasana hatinya.
"Ada apa dengannya?" Gumam si pipi gembul, bibirnya ia manyunkan sempurna.
Han-Bin sedikit mendengar suaranya, lalu memukul pundak lelaki itu. Mungkin, dia memang ceroboh dan banyak bicara. Tapi mungkin, hanya dia yang bisa memberikan jalan keluar dari isi kepala yang sejak semalam mengganggu pikirannya.
"Yak! Seung-Kwan!" Panggil Han-Bin,
"Apa? Kenapa? Kau membuatku terkejut saja, ada apa?" Ujar Seung-Kwan, terperanjat.
Suara lengkingannya, menarik perhatian seisi kelas. Begitu juga Seung-Yoon, yang sejak tadi mendengar suara berisik mereka. Tapi masih memilih mendiami para makhluk yang paling memberontak, pada Hierarki Otoritas -kekuasaan pada suatu posisi- nya.
"Itu, e...e..kau."
Kedua bola mata coklat gelapnya, bergerak gusar. Ia ragu untuk mengatakan, gugup saat beberapa pasang mata ketiga pria itu memandanginya.
"Cepat katakan, aku juga harus mengerjakan tugasku." Desak Seung-Kwan, kali ini ia yang mengatakan hal yang bagai ketabuan bagi murid sepertinya.
"Kau mengerikan," Ucap Yunhyeong bergidik ngeri, juga tatapan aneh rekan sebangkunya.
"Bantu aku untuk menyatakan perasaan pada seorang gadis," Ungkap Han-Bin yakin, suaranya kembali normal.
"Hahaha, jadi itu yang membebani pikiranmu. Dude, are you kidding me? I'm good at that, you can trust me with that." Ucap Seung-Kwan tertawa keras, gestur tubuhnya bergerak seirama perkataannya.
"Wah! Sejak kapan, bahasa inggrismu sangat baik?" Kagum Seok-Min, matanya membulat dengan kilatan berbinar.
"Aku sering mendengar Joshua mengatakan itu, aku hanya mengikutinya." Ujar Seung-Kwan merendah, ia yang satu ekstra musik dengan pria blasteran itu. Sering bergaul dengannya, jadi ia juga sering mendengar percakapan bahasa asing dan lama-kelamaan menyerap dalam otaknya.
"Ahh, pantas saja." Ucap Seok-Min dan Yunhyeong bersamaan,
"Jadi, siapa gadis itu?" Tanya Seung-Kwan, kembali serius.
"Haruskah aku mengatakannya? Kau hanya perlu membuatkan kata-kata yang tepat, untuk mengungkakan perasaan ku pada gadis itu." Jawab Han-Bin tersulut,
"Kalimat yang akan ditujukan pada seseorang, harus pada penempatan yang tepat. Seperti apa dia, bagaimana bentuk wajahnya, dan siapa dia. Itu jadi kunci utama dalam penyusunan kata, kau tidak bisa sesuka hati mengumpulkan kata-kata menjadi satu begitu saja." Ujar Seung-Kwan tak mau kalah, ia hanya berucap asal. Rasa keingintahuannya tentang gadis yang Han-Bin suka, lebih mendominasi isi kepalanya.
"Baiklah! Tapi, kau jangan berteriak," Pinta Han-Bin
"Katakan saja!" Desak Seung-Kwan tak sabar,
Seok-Min yang sejak tadi hanya menjadi penonton, ikut penasaran. Berbeda dengan Yunhyeong yang sudah mengetahui, siapa gadis yang dimaksudnya. Memilih diam tanpa memasang ekspresi apapun, tapi ia tak mengalihkan pandangannya pada Han-Bin.
"Han Da-Hyun." Gumam Han-Bin,
"Hah? Siapa?" Ujar Seung-Kwan memastikan, karena suara Han-Bin yang hampir tak terdengar.
"Da-Hyun" Han-Bin masih belum bisa mengeluarkan suaranya,
"Kuatkan suaramu aku tak mendengarnya," Tandas Seung-Kwan geram, Han-Bin jadi ikut geram.
Apa telinganya tersumpal sesuatu?
"Senior Han Da-Hyun." Ucap Han-Bin sedikit kuat, namun tetap pada mode berbisik.
"Apa? Senior Han Da-Hyun?" Teriak Seung-Kwan dan Seok-Min bersamaan, mereka sudah seperti paduan suara yang menyamakan nada lagu.
"Kau gila? Apa tidak ada gadis lain?Aku tahu selera mu tinggi, tapi apa harus nenek sihir itu?" Cemooh Seung-Kwan kemudian, bibirnya mengerucut disela bicaranya yang terlalu bersemangat.
Lagi-lagi suara mereka menjadi pusat perhatian seisi kelas, mengusik fokus belajar para murid rajin yang tengah mengerjakan tugas. Sang ketua kelas tak bisa lagi menoleran, kesabarannya habis. Amarahnya telah memuncak, semakin di diamkan mereka jadi makin menjadi.
Satu gebrakan kuat di meja yang terbuat dari kayu, membuat kelas hening. Perhatian mereka teralihkan pada sosok ketua kelas yang telah penuh kemarahan, berdiri menatap bangku paling belakang dimana 4 lelaki sumber keributan itu. Tangannya tak lagi ia rasakan, padahal sedikit nyeri dan kesemutan.
"Diamlah! Kalaupun kalian tak mau mengerjakan tugas, hargai teman lain yang mau menaati peraturan." Ujar Seung-Yoon sedikit meninggikan suara, ekspresinya ikut tumpul.
Manik mata di sebalik kaca mata berbingkai hitamnya, bertemu dengan iris mata Han-Bin. Keduanya saling mematri dengan tatapan tajam, namun yang ditatap tak gentar. Bahkan Seung-Yoon lebih dulu menyudahi tatapannya, beranjak kembali duduk di bangkunya. Setelah di rasa tak ada protes dan penghuni bangku belakang itu diam, tak ingin tenaganya terbuang sia-sia hanya untuk meladeni mereka.
"Sok sekali!" Seru Seok-Min, Yunhyeong memasang ekspresi setuju.
"Kau tahu, dia tak beda jauh dengan tuan muda itu. Bersikap baik hanya di depan saja, kebaikannya hanya sebuah pencitraan." Tukas Seung-Kwan, suara bicaranya sengaja ia kuatkan sebagai penyindiran.
"Tidak usah mencibir, katakan saja apa yang harus ku katakan." Ucap Han-Bin malas,
Seperti yang telah Seung-Kwan ajarkan, sepulang sekolah ia meminta Da-Hyun menemuinya di taman belakang sekolah yang jarang di pakai.
Padahal ada banyak tanaman hias dan bunga warna-warni yang tertanam rapi di taman ini, bahkan bisa dikatakan taman yang sangat terawat ini. Jadi sebuah taman bunga yang tak kalah cantik dengan taman-taman kota Seoul, yang dibiayai mahal oleh pemerintah.
"Maaf membuatmu menunggu lama," Ujar seseorang yang tengah di tunggunya, Han-Bin buru-buru bangkit dari duduknya pada tumpukan kotak kayu.
"Tidak, aku memang ingin datang lebih awal untuk melihat taman." Ucap Han-Bin, seraya membersihkan celananya yang sedikit kotor dari kotak kayu yang ia duduki tadi. Da-Hyun tersenyum pada tingkah Han-Bin, yang juga tengah tertawa kecil yang tertahan.
"Kau suka bunga?" Tanya Da-Hyun melangkah mendekati tumpukan kayu, lalu ikut duduk. Tak peduli tempat itu kotor, ia hanya perlu mendudukkan diri sembari berbincang.
Wajah cantik Da-Hyun seakan mengartikan, tidak masalah. Saat Han-Bin menatapnya, lalu ikut duduk disampingnya yang sedikit jauh. Sekitar satu lengan, Han-Bin terlalu pemalu untuk berdekatan dengan perempuan. Kecuali Geu-Reum, tak akan ada jarak saat bersama gadis itu.
"Tidak juga, hanya sedap dipandang mata." Jelas Han-Bin, memandang kembali hamparan bunga yang bermekaran.
"Kau ingin membicarakan apa?" Tanya Da-Hyun saat mulai teringat tujuannya ke tempat ini, Han-Bin terdiam.
Ia menghirup udara dalam-dalam, bibirnya setengah menutup. Menimang kata yang berputar dikepalanya, menyusunnya menjadin kalimat yang tepat. Sepersekian detik kemudian, ia hembuskan nafasnya perlahan.
"Senior, aku..Aku ingin mengatakan hal yang mungkin terdengar aneh, dan terkesan tiba-tiba. Tapi, ini benar-benar menggangguku. Jika sebenarnya, aku-" Ungkap Han-Bin mantap, tanpa berani menatap wajah gadis di sampingnya yang sejak tadi sudah memasang wajah serius. Namun, segera ia putus ucapan Han-Bin.
"Bisakah kau menahan itu hingga acara prom night?" Pinta Da-Hyun,
"Kenapa?" Tanya Han-Bin, sudut matanya berkerut.
"Sebelumnya, aku fikir ini memang aneh. Tapi aku tak ingin buru-buru menyimpulkan, mungkin kau akan mengatakan hal yang sama seperti ku fikirkan atau malah sebaliknya." Jawab Da-Hyun tenang,
"Ada berapa persen jawaban senior menerimaku nanti?" Tanya Han-Bin yang malah terlihat lebih gusar,
Ini kali pertama, ia menyatakan perasaan pada seorang gadis. Membuatnya gugup setengah mati, dengan detak jantung yang tak karuan.
"Aku tidak tahu, aku perlu waktu memikirkannya. Tolong katakan lagi nanti, aku akan memberi jawaban. Jika kau tak keberatan, aku juga ingin kau menjadi pasanganku di acara itu." Ujar Da-Hyun, seulas senyum terbentuk di ujung bibirnya.
"Tentu, aku mau. Senior bisa mempertimbangkannya, aku sudah besar hati pada jawaban apapun yang akan senior berikan." Tegas Han-Bin, hingga ia bangkit dari duduknya.
Bibirnya membentuk lengkungan senyum penuh, sangat cantik gumam hati Han-Bin saat melihat senyum indah senior itu. Mungkin ini akan menjadi awal yang baik, sudah ia pastikan.
Kelas bimbingan belajar baru selesai, Geu-Reum akan pulang bersama Dong-Hyuk dan Wonwoo. Kedua pria itu jadi akrab, setelah mereka sering bertemu di pertemuan kelas belajar untuk kompetisi ini.
"Dong-Hyuk, Wonwoo, bisa ke ruangku sebentar?"
Baru akan menjejakkan kaki keluar kelas, Bu Park memberi perintah. Kedua lelaki yang dipanggil saling pandang, lalu serentak memandang Geu-Reum yang juga penasaran.
"Baik, bu." Ucap mereka bersamaan, Bu Park tersenyum mendengar jawaban dua murid lekakinya itu. Lalu mengambil buku-bukunya di meja, sebelum beranjak keluar kelas.
"Kau pulang duluan saja," Titah Dong-Hyuk, Geu-Reum mengangguk paham.
Tak menunggu lama, kedua pria itu mengekori Bu Park. Selain tak ingin membuat Bu Park marah menunggu, rasa penasaran juga berkeliling di atas kepala mereka. Ditinggalkannya Geu-Reum sendiri di kelas, lalu ikut beranjak meninggalkan kelas beberapa detik kemudian.
Hari sudah mulai sore, tapi sekolah belum sepi. Masih ada kelas tiga yang juga memiliki jam belajar tambahan, tapi baru akan selesai pada pukul 8 malam. Juga murid-murid yang masih mengikuti ekstrakurikuler, harus tertahan beberapa jam untuk mengikuti pelatihan mereka.
Geu-Reum berjalan perlahan di lorong kelas 2 yang hampir lengang tak berpenghuni, hanya beberapa murid yang bersisa di kelas untuk piket atau hanya berbincang.
Selagi ia tengah memikirkan, apa yang Bu Park bicarakan pada dua pria itu. Ia memilih membeli minuman dingin di vending machine, menghilangkan dahaganya yang sudah ia tahan satu jam yang lalu. Padahal sepulang sekolah ini, ia dan Dong-Hyuk akan membeli minuman bubble tea yang tengah banyak di bicarakan. Tapi karena keperluan mendadak itu, rencana mereka juga terpaksa di tunda.
"Kau belum pulang?" Sapa seseorang yang tiba-tiba berdiri disampingnya,
"Oh, senior. Kau tidak mengikuti tambahan belajar?" Tanya Geu-Reum, sembari menetralkan diri usai keterkejutannya. Young-Hyun hanya memasang cengiran khas diwajah kotaknya, memamerkan gigi-gigi putih nan rapinya juga anggukan kecil disela tawa kecilnya.
"Tentu saja aku ikut, murid kelas 3 seperti ku harus banyak rajin belajar kan?" Jawabnya cepat, secepat ia mengubah air muka cerahnya yang ia buat merajuk.
"Lalu, kenapa senior di sini?" Tanya Geu-Reum lagi, setelah ia tak puas dengan jawaban pria yang terus menyunggingkan sudut bibirnya.
"Aku ijin sebentar, untuk menemuimu."
"Aku? Ada apa?"
"Kau benar-benar menggemaskan, aku jarang bertemu denganmu. Sejak kau tak ikut ekstra lagi, jadi aku sulit untuk menemukanmu dan sedikit merindukan mu."
Young-Hyun tak bisa menyembunyikan rasa gemasnya pada adik tingkatnya itu, ia usap lembut puncak kepala rambut hitam sebahu si gadis. Sedang yang mendapatkan usapan, tak berhenti mengerjap matanya cepat. Bersamaan dengan semburat merah di kedua pipi gembilnya, namun jantungnya masih berdetak normal.
"Aku dan band ku akan mengisi acara prom night sekolah. Jadi, aku ingin mengajakmu untuk menjadi pasangan di prom night." Imbuhnya lagi, tangannya telah beralih pada saku celana seragam nya.
"Memang harus berpasangan?" Tanya Geu-Reum dengan dahinya mengerut, ini yang tak disukai dari pria itu. Tidak bicara langsung pada pointnya, selalu memberi jeda untuk membuatnya selau melontarkan pertanyaan.
"Tentu saja, akan ada game berpasangan. Itu pun, jika kau mau." Tukas Young-Hyun,
Bola matanya memutar, pandangannya jatuh kebawah. Sesuatu memutari otaknya, apa yang ingin ia jawab? Hingga kata lain keluar dari mulutnya, membuat Young-Hyun makin bahagia.
"Sebenarnya, aku juga tak punya pasangan. Tapi—"
"Baiklah, berarti kau setuju. Kita akan jadi pasangan, dan juga ada sesuatu yang ingin ku bicarakan padamu."
Selain suka berbicara setengah-setengah, pria bertubuh tinggi dan kokoh ini juga suka memotong pembicaraan orang lain dan memutuskan secara sepihak. Padahal Geu-Reum belum mengatakan setuju atau tidak, lagipula tawaran dari seorang Young-Hyun adalah sebuah berkah untuk semua gadis.
Seharusnya Geu-Reum juga merasa terhormat dan bangga akan hal ini, ia tak munafik untuk mengakui rasa senangnya itu. Tapi ia tak mengharapkan ini, ada orang lain yang ia pikirkan. Ia ingin melayangkan protes, tapi kalimat terakhir Young-Hyun lagi-lagi membuat lidahnya mengalihkan pertanyaan.
"Kenapa tak bicarakan sekarang saja?"
"Itu tidak seru, aku ingin mengatakan ditempat dan waktu yang tepat. Jadi, tunggu saja hingga lusa."
"Baiklah,"
Young-Hyun kembali mengusap rambut Geu-Reum, tapi sedikit lebih kuat dari yang tadi. Hingga anak rambutnya naik keatas, membuatnya seperti tersengat aliran listrik. Lalu berpamitan, usai ia teringat kelas belajarnya dan urusannya bertemu Geu-Reum selesai.
Baiklah?
Kata itu masih menggema di inderanya, lidahnya berkhianat. Tapi, lagi-lagi karena perasaan tak enak hatinya. Bukan ingin memberi harapan palsu, atau berlagak sok jual mahal. Ia mengiyakan ajakan tulus Young-Hyun, karena ada sedikit rasa penasaran akan hal apa yang ingin pria itu katakan. Dan untuk berpasangan, mungkin nanti bisa ia pikirkan kembali.
***
Continuing in part2