Chereads / Cloud Beside Rainbow / Chapter 8 - 0.6 Heart Throbbing

Chapter 8 - 0.6 Heart Throbbing

"...Bahkan, jika aku bertemu denganmu untuk waktu yang singkat

Hariku terlalu singkat,

Matahari sudah terbenam dan rembulan pun sudah naik"

.

.

.

.

.

Perasaannya sedikit mulai tenang, setelah menangis hampir 10 menit. Pria itu mengajaknya duduk di bangku besi yang tak jauh dari mereka berdiri, di tengah-tengah taman yang tanahnya ditumbuhi rumput manila.

Geu-Reum tak membawa sapu tangan atau tisu, jadi ia gunakan tangannya untuk menyeka air mata. Pria yang telah menginjak ponselnya hingga rusak, menungguinya untuk menebus rasa bersalahnya.

"Kau sudah baik-baik saja?" Tanyanya, dengan sedikit melirik wajah gadis yang masih sesegukan. Geu-Reum mengangguk, untuk menjawab pertanyaan pria itu.

"Maaf, membuat anda kerepotan."

"Tidak masalah, ponselmu bagaimana?"

Kelopak mata sembab Geu-Reum terkulai, manik mata berkilaunya menatap pria yang duduk disampingnya. Menunjukkan ponsel rusaknya, yang masih dalam genggaman. Menghela nafas lemah, ia kembali sedih.

"Apa ada seseorang yang ingin kau hubungi?"

Geu-Reum mengangguk lagi,

"Tapi, aku tidak ingat nomer nya. Aku akan tersesat disini," Ujar Geu-Reum,

Kedua telapak tangannya, menutupi seluruh wajah bulatnya. Menyentuh pipinya yang masih terasa basah, sedikit lengket terkena air mata dan keringat.

"Jadi kau takut tersesat disini, karena tak menemukan temanmu?"

Pria itu merasa hampir meledak, menggigit dalam bibir atas bawahnya dan menekan hidung untuk menahan tawanya agar gadis itu tak tersinggung. Berdehem sesekali, guna menetralkan wajahnya yang sedikit kelu akibat tawanya yang tertahan.

"Tidak akan, kampus ini memang terlihat besar tapi tidak lah serumit labirin. Mereka juga memberi tanda di setiap sudut, jadi kau tidak akan tersesat."

Benar apa yang di katakan pria berlesung pipi samar di kedua pipinya, ada banyak penanda arah yang tertulis pada plang-plang. Tidak mungkin akan tersesat, saat penanda itu tertulis dengan jelas.

Kedua manik matanya bergerak ke sudut mata, melirik pada pria yang menatapnya. Melihat reaksi pria itu saat ia telah mempermalukan dirinya sendiri, menangis di depan orang yang tak dikenal. Karena ia yang tak teliti mempelajari tempat, dan cepat menyerah sebelum berusaha.

"Maaf aku sudah menyulitkan anda,"

"Tidak masalah,"

"Hei Changkyun, apa yang kau lakukan di sana?"

Seseorang bertubuh tinggi langsing, meneriaki nama pria yang tengah menemani Geu-Reum. Membuatnya menenggakkan tubuh, lalu melambaikan tangan pada temannya itu.

"Ouh maaf, aku akan menyusulmu."

"Sekali lagi aku minta maaf, pekerjaan anda jadi terbengkalai. Anda pasti akan dalam masalah," Ujar Geu-Reum jadi tak enak hati,

"Tidak, pekerjaanku juga hampir selesai. Aku akan mengganti rugi ponselmu yang rusak, tapi apa aku bisa mencicilnya?" Ucap Changkyun dengan cengiran, tangannya bergerak keatas kepalanya. Menggaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal, gerakan refleks saat ia merasa ragu.

"Anda tak perlu melakukannya, sebelumnya ponsel ku memang sudah rusak."

"Eiiy, tetap saja aku telah merusakkan total ponselmu itu. Aku akan tetap menggantinya, aku akan selalu datang kesini untuk menemuimu."

"Ya?"

Geu-Reum sedikit bingung dengan arah pembicaraan pria bernama Changkyun itu, kedua alisnya tersentak. Datang kesini menemuinya, untuk apa?

Bahkan mereka belum saling memperkenalkan diri, apa dia menebak statusnya secara sepihak?

"Kalau begitu aku pergi dulu, hati-hati dalam perjalanan mu." Ujar pria itu sudah mulai beranjak dari duduknya, membenarkan lipatan hoodie yang ia kenakan.

"Ya, terimakasih." Balas Geu-Reum tak lagi mempermasalahkan sedikit kesalahpahaman,

Ikut berdiri, lalu membungkuk sopan. Ia juga berpikir pria itu lebih tua darinya, walaupun bukan pun ia juga tetap harus menjaga sopan santun pada orang lain.

"Ouh ya, tak perlu se-formal itu bicara padaku. Aku masih pelajar SMA, sampai jumpa."

Changkyun kembali membalikkan tubuhnya, setelah beberapa langkah. Ia mengira gadis yang tak ia ketahui namanya itu, seorang mahasiswa universitas. Hanya menebak, karena ia tak berkenalan secara resmi. Segan untuk bertanya lebih dulu, ia juga akan merasa canggung dengan itu. Melihat dari penampilannya saja sudah terjawab, meskipun gadis itu terlihat lebih muda dari usianya.

Lalu berpamitan lagi dengan melambaikan tangan kemudian, dan tersenyum. Melenggang pergi dengan cepat, sedikit berlari saat temannya telah menunggu. Geu-Reum tak bergeming, pria itu benar-benar salah paham. Apa dirinya sudah terlihat seperti mahasiswa, alih-alih murid SMA kelas 11 semester ganjil.

Hari telah berganti hampir gelap, acara yang berjalan selama 1 jam setengah ditambah waktu tersesat dan menangisnya. Membuatnya tak menyadari waktu berjalan sangat cepat, bahkan ia baru teringat. Jika ia belum menyapa Young-Hyun, ia berpikir akan menemuinya setelah pergi ke toilet. Tapi kebodohannya menggagalkan semuanya, kampus juga sudah tak seramai tadi.

Matahari makin menenggelamkan dirinya, Geu-Reun berjalan menyusuri kampus yang luas. Gerbang masuk jadi terasa jauh, saat kakinya mulai lelah. Sejak tadi kakinya terus ia gunakan untuk berjalan, berkeliling kampus yang dua kali lipat lebih luas daripada sekolahnya.

Tujuannya sudah berada di depan mata, ia bisa sedikit bernafas lega. Melihat jalanan yang mulai samar karena gelap, walaupun lampu jalanan berdiri gagah di pinggiran jalan. Tapi, bagaimana dengan Wonwoo? Apa dia sudah lebih dulu kembali, berpikiran jika dirinya juga telah meninggalkannya?

"Geu-Reum."

Suara dalam menyapa inderanya, matanya membulat. Tak mungkin ia salah dengar, ia juga tak mempunyai riwayat penyakit telinga. Jelas ia mendengar suaranya, dan mengenal barriton lelaki yang sejak tadi ia pikirkan.

"Wonwoo?"

"Kau kemana saja? Aku mencarimu,"

"Aku juga mencarimu, ku kira kau sudah pulang lebih dulu."

"Awalnya memang aku akan pulang lebih dulu, tapi kau menelponku dan mematikannya saat aku menjawab panggilan itu. Jadi aku kembali kesini, kenapa kau masih disini?"

"Aku tersesat, lalu ponsel ku terjatuh dan rusak. Aku tidak bisa menghubungimu lagi, aku sedikit takut berada disini sendirian."

Geu-Reum berujar pelan, menundukkan kepalanya. Ia tahu kalimat terakhirnya ini sedikit aneh, mengatakan sesuatu yang terdengar punya arti ambigu. Pria itu mungkin akan salah paham, tapi ia berkata sejujurnya.

"Sekarang aku di sini, jangan jauh-jauh dariku."

Tangan hangat Wonwoo menggenggam tangan dingin Geu-Reum, bisa dirasakan kehangatannya menjalar keseluruh tubuh. Wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaannya, pantulan lampu bersinar di matanya. Kedua bola matanya membentuk bulatan, menyerupai bulan malam.

Ia suka bersentuhan fisik seperti ini, terasa aman dan nyaman. Sejak kecil, ia punya kebiasaan itu untuk menenangkan diri. Akan merasa lebih tenang saat tangannya digenggam, seperti saat ia menangis atau ketakutan. Alasan lain karena ibunya selalu menggenggam tangannya untuk mengantarkan tidurnya, sensasi di sela-sela jari yang menggelitik.

Pikirannya membawa ingatan masa lalu, pada sosok Han-Bin kecil. Sahabatnya itu juga selalu menggengam tangannya, kemanapun dan kapanpun. Ia juga selalu menjaganya, mengaitkan tangan seakan tak ingin berjauhan.

Manisnya kenangan itu mengusik ketenangan malam, dadanya malah terasa sesak saat kenyataan membangunkannya. Akankah pria itu akan memegang tangannya sekali lagi? Hatinya selalu berkata, "Biarkan itu tejadi lagi, saat kau memegang tanganku. Lagi, dan lagi, dan lagi."

***

Hujan deras langsung menyambut, saat ia keluar dari toserba. Padahal langit terlihat baik-baik saja sebelumnya, sudah jadi hal biasa saat memasuki musim penghujan. Hujan yang datang tak terduga, tak memberikan barang sedikit tanda akan kedatangannya.

"Kenapa aku lupa tak membawa payung?"

Gadis bersuai hitam panjang, mengamati hujan dengan merutuki dirinya sendiri yang selalu lupa membawa benda wajib saat hujan. Mengeratkan sweater nya saat angin berhembus dan melangkah sedikit mundur, saat percikan air hujan yang jatuh melalui atap toserba mengenai sepatunya.

Ia akan terjebak lama di toserba ini, mengingat hujan makin deras. Titik-titik air yang jatuh, tak ingin cepat-cepat menyudahi untuk membasahi alam semesta. Malah makin gencar untuk turun dari langit, seakan ingin menumpahkan semua air langit.

"Pakailah ini, kau akan dapat masalah. Jika menerobos hujan begitu saja, hujan juga makin deras." Ujar seorang pria dengan wajahnya tertutup masker, mengulurkan sebuah payung yang sedikit basah.

Gadis itu baru akan menyebrangi hujan, ia terburu-buru sehingga membuatnya berkeras hati untuk melakukan itu. Tak memperdulikan akibatnya nanti, tapi entah siapa dan darimana pria itu datang.

Dengan berbaik hati memberikan payung miliknya, ia melipatnya setelah digunakannya. Terlihat saat air hujan masih menempel pada payung, juga tetesan dari ujung payung yang banyak menetes.

"Tidak masalah,"

Ia berusaha menolak tapi pria itu terus menyodorkan payungnya, tanpa bersuara dengan tatapan mata teduh yang mirip dengan seseorang kenalannya.

Tak ingin menyakiti perasaannya, juga tak enak hati menolak niat baik seseorang yang tak ia kenali itu. Ia menerima payungnya, mengambil alih payung hitam dari tangannya yang basah dan dingin saat tak sengaja bersentuhan. Lagipula ia memang sangat membutuhkannya saat ini, ia sudah terlambat untuk kelasnya.

Pria yang terus memandangnya tanpa bersuara, langsung pergi sembari menghalangi hujan menggunakan tudung kepala hoodie nya. Berlari dibawah rintik-rintik bening yang membasahi hoodie hijau nya, ia sendiri yang malah menerobos saat hujan makin deras. Melangkah hati-hati di sela laju kakinya, mengingat jalanan yang licin.

"Siapa dia, kenapa dia berbaik hati padaku?"

Matanya mengerjap beberapa kali, namun membulat sempurna. Saat pikirannya terbuka, teringat seseorang yang memiliki gantungan kunci serupa. Gantungan kunci miniatur boneka kecil winnie the pooh yang menggantung di pinggangnya, bergoyang-goyang saat ia berlari. Menatap sekali lagi payung dalam genggamannya, mengamati sembari kepalanya terus berputar-putar.

"Tunggu,"

Ia mengikuti pria itu, menembus lebatnya hujan. Tak peduli pakaiannya basah, padahal ia harus pergi ke kampus. Payung yang pria itu berikan tak ia gunakan, hanya ia tenteng. Sembari berlari mengejarnya yang telah berhenti, tengah menunggu di lampu penyebrangan.

"Permisi,"

"Kenapa kau tak memakai payung itu?"

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Jangan seperti ini, pakai payung yang ku berikan. Kau jadi basah kuyup,"

"Aku tidak peduli, tolong jawab aku!"

Merasa pertanyaannya selalu dialihkan, ia menaikkan suaranya untuk terakhir kali. Membuat pria itu terdiam, diam yang punya banyak makna. Wajah yang tertutup masker, hanya menampakkan mata yang pupil matanya melebar.

Tangan pria itu menggengam tangan basah gadis yang terus mendesaknya, mengambil payung yang ia berikan. Dibukanya payung hitam itu, untuk memayungi gadis itu lebih dulu. Lalu memutuskan jarak, ikut masuk berteduh di bawah payung. Mendekati dengan tatapan lurus, enggan memutus kontak mata untuk mendalami manik mata si gadis.

"Lama tidak bertemu,"

⇩⇩⇩⇩⇩

Brakk...

Pintu lokernya ia buka paksa, saat ia akan mengambil buku dalam loker siswa miliknya. Sejak ia dapat loker itu, pintunya memang sudah rusak dan bahkan sulit untuk dikunci. Jadi harus dengan kekuatan kuat untuk membukanya, dan sejarah mengatakan bahwa hanya sang pemilik yang bisa membukanya.

"Kenapa mimpiku terasa nyata, apa itu yang disebut Jamais Vu? Tapi, siapa lelaki itu? Aku juga tak ingat dimana itu," Gumam Geu-Reum pada dirinya sendiri,

Tangannya sibuk mengambil buku-buku, lalu menutup kembali keras-keras. Ia tak bisa protes atas fasilitas sekolah yang telah rusak itu, terima saja selagi masih bisa digunakan.

"Hai Geu-Reum."

"Ya ampun,"

Tumpukan buku-buku ditangannya melorot, seseorang membuatnya terkejut hingga ia harus mengorbankan buku-bukunya berserakan di lantai.

"Oh, maaf aku tidak sengaja mengejutkanmu." Ucap Da-Hyun yang telah membuatnya terlonjak kaget, ia juga membantu memunguti buku-bukunya. Menyerahkan buku terakhir yang ia pungut, saat keduanya telah berdiri sejajar.

"Ya, tidak apa-apa. Terimakasih," Ujar Geu-Reum enggan menatap mata lawan bicaranya, terburu-buru untuk pergi dari hadapannya.

Namun sudah lebih dulu di cegah gadis yang lebih tinggi darinya, tangan gadis itu menahan lengannya yang terpaksa harus ia turuti. Menatap manik mata hazel gadis itu, sungguh membuatnya terpesona. Seniornya itu memang sangat cantik, pantas saja banyak pria yang menggilainya termasuk Han-Bin dan Yunhyeong.

"Aku ingin bicara denganmu."

"Ada hal apa, hingga senior ingin bicara padaku?"

"Tidak, itu bukan hal mendesak."

Mata Geu-Reum berkeliling, apa mau seniornya itu. Ia menahannya, tapi kemudian tak tahu apa yang membuatnya menahan Geu-Reum.

"Kalau begitu, aku permisi." Ujar Geu-Reum, beberapa langkahnya kembali terhenti.

"Apa ini sifat aslimu, dibalik kepolosanmu?" Ucap Da-Hyun, dengan sudut bibir berkilauannya mencibir.

"Apa maksud senior?"

Geu-Reum tak lagi bersabar, air mukanya menggelap. Rahangnya mengeras dengan menggertakkan giginya atas bawah, menahan sesuatu yang ingin meledak dalam dirinya.

Da-Hyun tersenyum miring, memberikan senyum setengahnya. Kedua mata mereka bertemu, menatap kedalam iris mata masing-masing.

"Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Jika kau itu sebenarnya bermuka dua, alih-alih diriku. Dan ternyata kau lebih licik daripada aku,"

"Maaf, sepertinya aku tidak punya waktu untuk omong kosongmu."

"Apa kau menikmati hidupmu saat ini? Mengambil semuanya, menipu orang lain dengan wajah yang sok polos itu."

"Aku tidak pernah merasa seperti apa yang kau tuduhkan, aku menikmati hidupku. Tak peduli atas pemikiran orang lain terhadapku, aku menikmatinya dengan cara ku sendiri."

Geu-Reum bisa benar-benar pergi sekarang, lawan bicaranya tak lagi menahan atau sudah merasa kalah. Serangan yang bagai peluru senapan, mampu membungkam seniornya itu. Ia tak akan kalah atau mengalah saat ia tak salah, terlebih pada senior yang tak pernah ia terima kehadirannya.

Seringaiannya berganti desahan nafas kasar, ia sibakkan rambut depan yang tak menutupi dahinya ke belakang. Mata sewarna hazel nya berkeliling, ia gigit daging dalam bibir bawahnya. Hidung nya melebar, menghirup udara dalam-dalam.

Tiba-tiba pandangannya teralihkan, pada sebuah buku jurnal kecil bersampul kecoklatan dengan flip di ujung tengah buku itu. Di ambilnya untuk melihat isi dalamnya, yang ia yakini mikih Geu-Reum yang tercecer saat buku-bukunya terjatuh.

"Apa ini? Apa dia juga menyukai sahabatnya sendiri, gadis yang plin-plan dan ceroboh."

Da-Hyun mengamati buku itu, membuka tiap lembarnya dengan hati-hati. Sudut bibirnya kembali mencibir, saat ia temukan sebuah foto pemilik buku dengan tulisan isi hatinya. Buku itu adalah buku harian Geu-Reum, dimana rahasianya ia tuliskan semua.

Termasuk perasaannya pada Han-Bin, ia juga menyimpan foto kebersamaan mereka dan sebuah foto Han-Bin yang ia ambil diam-diam. Itu adalah rahasianya, bahkan sahabat-sahabatnya tak ada yang mengetahui. Gadis itu tak tahu jika bukunya terjatuh, hingga Da-Hyun yang menemukan.

Ia jadi tahu semua nya, bahkan rahasia terbesar Geu-Reum sekalipun. Gadis yang telah merebut mantan kekasihnya itu, juga menyukai sahabatnya sendiri. Ia tahu Geu-Reum datang ke festival musik, dan Young-Hyun sendiri yang mengundang gadis itu. Seseorang terpercaya nya yang memberi tahu, itulah kenapa ia menemui dan sangat marah pada gadis itu.

Jam istirahat adalah waktu jeda bagi para murid untuk mengembalikan energi, beristirahat sejenak dari rutinitas sekolah. Juga dimanfaatkan untuk mengisi perut, dengan makan-makanan yang bergizi tinggi.

Sekolah-sekolah di Korea pada umumnya, memiliki kantin yang makanannya telah disiapkan sedemikian rupa. Dikhususkan untuk menyeimbangkan gizi mereka, disaat aktivitas berjam-jam mereka di sekolah. Makanan yang disajikan pun tak luput dari pengawasan ahli gizi, agar makanan yang mereka konsumsi benar-benar memenuhi standar.

Seperti siang ini kantin menyajikan berbagai macam lauk dalam satu piring, mencakup 4 sehat 5 sempurna. Menu hari ini adalah nasi, kimchi, salad nugget, udon seafood, lengkap dengan sup dan juga makanan penutup. Dengan tenang para murid berjejer mengantri, menunggu giliran.

Geu-Reum hanya memainkan makanannya dengan sumpit, ia tak berselera makan. Ia masih memikirkan buku hariannya yang hilang, padahal tadi pagi masih ada. Tidak mungkin tertinggal di rumah, ia selalu memasukkan ke dalam tasnya usai ia gunakan.

Kalau pun terjatuh, jangan sampai ada orang yang menemukan. Apalagi senior nenek sihir yang ia temui tadi, akan menjadi masalah besar.

Terlebih, jika rahasianya itu tersebar hingga Han-Bin tahu semuanya. Itu hanya akan membuatnya dipermalukan, atau akan terjadi hal lain yang tak bisa ia bayangkan.

"Kau kenapa?" Tanya Mimi yang menyadari keanehan kawannya itu, tanpa ada yang tahu Geu-Reum menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Tidak apa-apa," Jawab Geu-Reum cepat, kembali melahap makanannya dengan terpaksa.

"Apa kau sakit? Makananmu tidak berkurang sejak tadi," Ujar Dong-Hyuk

"Dia pasti sedang diet, lihat saja pipinya sudah hampir menenggelamkan hidungnya." Timpal Junhoe, yang langsung mendapat tatapan membunuh dari Geu-Reum.

"Kau mau mati,"

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kau memikirkan mereka?" Sahut Jin-Hwan,

"Tidak, ada hal lain yang lebih penting ku pikirkan daripada mereka."

Geu-Reum kembali tertunduk, masih tak bosan memainkan udon nya. Melahap sumpit yang terlumur bumbu mi, enggan memakan untuk menyeruput mi nya. Memandangi kuah sup sedikit berminyak, melihat pantulannya sendiri bagai air sungai di siang hari.

"Oh ya, jadi sedang ada apa diantara kalian? Sudah hampir 4 hari ini kalian tak bersama Han-Bin dan Yunhyeong, kalian juga jadi sering berlama-lama di kantin." Ucap Mimi menatap Geu-Reum dan 5 pria yang duduknya berhadapan, secara bergantian.

"Karena seseorang yang mencuci otak mereka," Celetuk Chanwoo, yang masih asyik mengunyah dan bermain game.

"Sebenarnya tidak bisa disebut seperti itu, lebih tepatnya otak mereka yang teracuni." Tambah Ji-Won, tangannya bergerak ke nampan Junhoe didepannya.

Ia tak bisa makan seafood, pria gigi kelinci itu punya alergi pada jenis makanan tersebut. Maka dari itu ia akan memberikan jatah makanannya, jika itu berbau atau berbentuk seafood. Penampungnya sudah pasti Junhoe, pria itu sangat suka makan. Tapi ia juga suka berolahraga, jadi tubuhnya tak mudah gemuk hanya tingginya yang melampaui.

"Katakan saja siapa," Desak Mimi

"Senior Da-Hyun, mereka berdua dekat dengannya dan melupakan kami." Jelas Dong-Hyuk geram,

"Begitu? Ku pikir kalian juga menyukainya, karena dia cantik." Ujar Mimi datar,

"Apa kau juga tahu sifatnya?" Geu-Reum mulai penasaran.

"Kalian yang terlalu kolot, satu penjuru sekolah sudah tahu itu. Ia mendekati para lelaki, hanya sebagai pelariannya saja."

"Apa dia—" Ujar Ji-Won seraya membulatkan matanya,

"Jangan berlebihan, bukan seperti itu. Dia hanya, ingin memanas-manasi senior Young-Hyun saja. Mereka kan mantan kekasih," Jelas Mimi, semua pasang mata fokus terhadapnya.

"Hah? Senior Young-Hyun dan senior itu, pernah berpacaran."

Geu-Reum terkejut bukan main, tak menyangka dunia sesempit itu.

"Sejak mereka SMP, ku dengar senior Da-Hyun terlalu mengekang senior Young-Hyun agar selalu terlihat sempurna. Walaupun mereka terlihat seperti pasangan yang serasi, tapi hati dan keinginan mereka saling bertentangan."

Kata Mimi yang masih setia, menjadi juru bicara dalam makan siang kali ini. Mereka sudah seperti guru yang tengah menerangkan pelajaran, pada murid-muridnya.

"Ku tebak Young-Hyun yang memutuskannya," Cibir Junhoe,

"Entahlah, senior Da-Hyun terlihat baik-baik saja di luar. Tapi melihat tingkahnya, bisa di bilang ia belum bisa melupakannya."

Mimi mengangkat bahunya, sumpit yang sejak tadi ia julurkan selama bicara. Kembali ia benamkan pada nasi, mengambilnya untuk ia suapkan kedalam mulutnya. Mengakhiri perbincangan dengan mengunyah makan siangnya, menikmatinya kembali setelah cukup lama ia biarkan. Nasinya juga telah berkurang setengah, segera ia habiskan agar tak dingin atau terlambat masuk kelas hanya karena makanannya belum habis.

Mata Geu-Reum berkedip beberapa kali, mencerna cerita yang terlontar dari bibir tipis Mimi. Lalu tanpa sengaja matanya bertemu, dengan mata seseorang yang tengah ia dan teman-temannya hindari.

Han-Bin dan Yunhyeong baru datang, dengan membawa nampan makanan. Mereka tengah berkeliling mencari tempat duduk, namun langkahnya terhenti. Memberi jeda, untuk mendalami manik mata yang juga tengah menatapnya. Kelopak mata tanpa Double eye-lid nya terkulai, iris mata kehitamannya menyapu pandang sosok yang sudah lama tak menyapanya.

"Ouh! Ayo kita duduk disana," Seru Yunhyeong, saat ada bangku yang baru ditinggalkan murid lain.

Namun Han-Bin hanya diam, tak fokus pada kawan disebelahnya yang menatap aneh padanya. Yunhyeong yang penasaran akan tingkah sahabatnya itu pun, mengikuti arah pandangan mata burung puyuhnya.

Ia tak berkomentar, lalu mengulum bibirnya sendiri dan menundukkan matanya. Hatinya juga sama seperti Han-Bin, merindukan sahabatnya. Tapi harga diri yang ia junjung tinggi, enggan mengalah.

Saling menyalahkan, ia merasa tak bersalah hanya mereka saja yang berlebihan. Senior favorit nya itu tak sepenuhnya buruk seperti yang mereka pikirkan, gadis itu benar-benar baik di matanya.

Lagipula, ia dan Han-Bin yang paling dekat dengan Da-Hyun. Mungkin sahabat-sahabatnya iri pada mereka, jadi dengan mendiamkan mereka menjadi suatu kepuasan hati bagi sahabat-sahabatnya itu.

"Ayo duduklah, aku sudah lapar." Ucap Yunhyeong, kali ini sebelah tangannya ia gunakan untuk menarik Han-Bin.

Keduanya duduk di bangku belakang agak berseberangan dengan Geu-Reum dan yang lainnya, Han-Bin mengambil posisi tempat duduk yang bisa menghadap Geu-Reum. Walau tertutup kepala murid lain didepannya, yang juga tengah menikmati makanan mereka.

Mata tak bisa berbohong, ada kilatan lain di mata Geu-Reum. Tak henti-hentinya ia mencuri pandang pada Han-Bin yang sudah tak menatapnya, ia merindukan pria itu.

Biasanya ia yang akan menghibur dengan lontaran candaannya, membagi makanannya yang di rasa jadi kesukaan Geu-Reum. Diantara sahabat-sahabatnya yang lain, Han-Bin yang lebih perhatian. Ia seperti seorang ayah yang sangat memedulikan anaknya sepenuh hati, tatapan mata lembut saat berbicara.

Begitupun Han-Bin, ia rindu sahabat-sahabatnya. Sejak kecil hanya mereka yang ia punya, susah senang mereka lalui bersama. Layaknya persahabatan orang lain, mereka juga punya kedekatan satu sama lain. Setiap malam memikirkan itu, hatinya sesak dan tanpa sengaja air matanya menetes. Ia pria yang sensitif sebenarnya, tapi ia sembunyikan untuk menguatkannya sendiri juga sahabat-sahabatnya.

Ditatapnya Yunhyeong yang makan dengan lahap, memindahkan salad nugget miliknya ke piring Yunhyeong. Sahabatnya sangat menyukai makanan tersebut, terbukti saat makanan itu sudah lebih dulu bersih tak bersisa. Yunhyeong tersenyum senang, mulutnya penuh makanan. Tapi ia tetap paksakan untuk memasukkan nugget, Han-Bin terkekeh.

"Pelan-pelan saja, kau seperti tak makan berminggu-minggu."

Ia lebih suka mendahulukan orang lain, ia juga lebih senang memperhatikan sahabat-sahabatnya. Dalam persahabatan mereka, ia seperti pemimpin yang punya tanggung jawab penuh. Ketujuh sahabatnya setuju dengan itu, Han-Bin punya jiwa kemimpinan dan sangat menyayangi sahabat-sahabatnya.

***

Kedudukan matahari telah berada di sebelah barat, udara dari panas mulai dingin. Bayang-bayang benda berada di sebelah timur, seseorang tengah berdiri menghalangi sinar nya. Young-Hyun sendirian di lorong kelas, sudah hampir 15 menit ia disana.

Usai jam ekstrakurikuler nya, ia bergegas menemui Geu-Reum. Gadis itu tak ikut ekstra hari ini, ia absen untuk pembimbingan belajar. Sejak festival kemarin, ia juga belum bertemu lagi dengannya.

Satu-persatu murid di dalam kelas itu keluar, melempar pandang padanya. Sesekali murid gadis berbisik dan tertawa setelahnya, ia tak menggubris. Guru pembimbing pun tak luput menyapanya, menanyakan apa yang tengah murid kelas tiga lakukan di kelas dua.

"Geu-Reum." Sapanya, saat gadis yang ia tunggu keluar paling akhir.

"Ouh, senior ada apa?" Ucap Geu-Reum dengan wajah kebingungan, Young-Hyun menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku ingin menemuimu,"

"Untuk apa?"

"Untuk menemuimu,"

Kedua alis Geu-Reum terangkat, senior itu tak memberi jawaban yang memuaskan hanya mengulang-ulang jawabannya. Membuatnya harus menahan amarah, jika tidak mengingat pria itu adalah senior yang ia hormati.

Young-Hyun tertawa kemudian, mata rubahnya menyipit. Deretan gigi putih rapinya, terlihat saat tawanya makin keras. Menggoda gadis itu adalah kebahagiaan sederhana baginya, tertawa selepas ini membuat beban pikirannya plong.

"Wajahmu sangat lucu," Ucap Young-Hyun seraya menghentikan tawanya,

"Jadi senior, kenapa ingin menemuiku?"

Geu-Reum mengubah nada bicaranya saat ia mulai geram, pria itu hanya terus tertawa tanpa sebab. Padahal tak ada yang lucu menurutnya, dan Young-Hyun juga tak jelas arah tujuannya datang kesini.

Sepersekian detik kemudian, bibirnya melengkung membentuk senyuman. Ia tahu perbuatannya tadi saat menertawakannya, membuat gadis itu kesal hati. Tapi melihat wajah marahnya, malah terlihat menggemaskan baginya.

"Aku merindukanmu,"

"Ya?"

Semburat merah menghiasi wajah bulatnya, pupil mata di sebalik kacamatanya ikut membesar. Dengan santainya pria berhidung lancip itu, mengucapkan kata yang bisa membuat orang salah paham. Blak-blakan menyuarakan pemikirannya, kalimat yang membuat denyutan jantungnya dipercepat.

"Kau tidak menemuiku saat festival, jadi aku ingin betemu denganmu."

"Maaf, hari itu aku ada sedikit urusan."

"Tidak masalah, karena sekarang aku sudah lebih baik. Setelah bertemu denganmu,"

"Hanya karena itu?"

"Iya, sampai jumpa Geu-Reum."

Young-Hyun mengulas senyumnya lagi, tangannya meraih puncak kepalanya. Mengusap lembut, sebelum berlalu pergi. Berpamitan dengan cara yang berbeda, juga sedikit terkesan canggung. Sesuatu yang mendorong nya, hingga tanpa sadar melakukan hal yang diluar nalarnya.

Bus yang akan mengantarnya pulang, sudah berhenti menunggu penumpang yang masuk. Ia sedikit berlari saat bus itu lebih dulu sampai sebelum dirinya, keterlambatannya karena perbincangan dengan senior Young-Hyun. Beruntung bus belum berjalan, ia tidak harus menunggu lama untuk bus selanjutnya.

Diambilnya bangku bagian belakang dan bersandar di jendela. Tempat favoritnya saat pulang sekolah, ia bisa melihat jalanan dan langit di sore hari.

"Cepat naik,"

"Maaf, terimakasih."

Matanya tiba-tiba membulat, sosok yang tengah berbincang dengan sopir bus mengalihkan atensinya. Han-Bin berlari untuk mengejar bus yang sudah berjalan, masuk kedalam bus setelah sang sopir menyadari ada penumpang yang tertinggal.

Kepalanya celingukan, mengamati jalanan yang biasa ia lalui dan nomer bos ke arah rumahnya. Benar, ia tak salah naik bus. Tapi, pria itu masuk kedalam bus yang sama dengannya. Padahal arah rumahnya berlawanan, lebih dekat jalurnya daripada jalur rumah Geu-Reum.

Kenapa Han-Bin ada disini?

Pria itu berjalan dengan tatapannya lurus ke bawah, tak menatap Geu-Reum yang terus memperhatikannya sejak ia masuk. Kedua tangannya ia benamkan ke dalam saku celananya, lubang telinganya juga ia sumbat dengan earphone putih. Ia duduk disebelah Geu-Reum, masih tak membalas tatapan gadis berkacamata itu.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Han-Bin hening, fokusnya pada sandaran bangku didepannya. Volume lagu pada earphone yang menggantung di telinganya, ia kencangkan. Hingga tak mendengar suara apapun, selain lagu yang terputar dari ponselnya. Daftar lagu yang tersimpan di ponselnya, ia buat Turn mode. Matanya mengerjap tanpa pergerakan di tubuhnya, menunggu putaran lagu selanjutnya dimainkan.

"Dengarkan ini, lagu kesukaanmu."

Sebelah earphone yang ia kenakan, berpindah ke telinga Geu-Reum. Membungkam Geu-Reum yang terus berisik melontarkan pertanyaan, padahal ia tak mendengarnya sama sekali.

...I've never needed much

Just that simple rush

Moment you walk in

Yeah, I'd rather be blind

Than not look in your eyes

Cause no one else can see

How you look to me

All I want is you

No make up or perfume

So give me that kind of love that makes the hair stick straight up upon your neck

The kind you give your life for theirs like Montagues and Capulets

Don't need to live forever

Growing old with you is much better

Just give me that kind of love...

Sebuah lagu milik penyanyi Amerika, Max Schneider. That kind of love, lirik dan nada lagu yang selalu membuatnya jatuh hati setiap mendengarkan suara penyanyi pria itu. Disandarkan kepalanya pada sandaran bangku, menyamai Han-Bin yang lebih dulu bersandar. Tak ingat lagi akan pertanyaan untuk alasan Han-Bin masuk ke bus, yang bukan tujuannya dan duduk di sebelahnya.

"Lama tidak bertemu,"

Geu-Reum menoleh cepat, mengalihkan pandangannya pada pria berambut sedikit kecoklatan. Kepalanya yang tiba-tiba, bersandar di bahunya.

"A..apa yang kau lakukan?"

"Aku mengantuk, setiap mendengar lagu ini."

Nafasnya tertahan, mengatur detak jantung agar tak terdengar pacu detakannya. Khawatir akan terdengar Han-Bin, menutupi wajah memerahnya memandang keluar jendela.

"Aku merindukanmu," Ucap Han-Bin seraya membenarkan tubuhnya, menyamankan kepalanya dibahu Geu-Reum.

"Dan teman-teman yang lain."

Kali ini hatinya mencelos, Geu-Reum memperhatikan rambut beraroma mint milik Han-Bin. Kecoklatannya tak nampak, jika tak terkena sinar matahari. Itu adalah rambut aslinya, diturunkan dari ibunya.

Di balik diamnya Han-Bin, ia memendam kesedihan. Ia selalu seperti itu, memendam masalah nya sendiri. Berpikir untuk tak membebani orang lain, memang ia hidup sendiri di dunia ini?

Hening kembali menyelimuti, perjalanan masih sangat jauh. Halte dekat rumahnya dan sekolah, memerlukan waktu sekitar 25 menit. Kadang ia akan memanfaatkan waktu untuk tertidur selama perjalanan, namun kali ini ia harus terjaga. Ditambah bahunya terasa berat, juga mengatur detak jantungnya yang hari ini banyak bekerja.

"Aw, sakit!" Teriak Geu-Reum saat tangan Han-Bin menyentuh jerawat di pipinya, membuyarkan lamunannya yang tengah memandangi langit sore.

"Kau sedang jatuh cinta? Jerawatmu besar sekali,"

Han-Bin menegakkan tubuhnya, sandarannya terusik bersamaan dengan Geu-Reum yang terlonjak kaget. Tangannya ia lipat di atas perut menatap Geu-Reum yang merajuk.

"Memang tumbuh jerawat, karena sedang jatuh cinta? Sok tahu sekali!" Cibir Geu-Reum, ia pegangi pipi nya menutupi jerawat yang sedikit perih ulah Han-Bin.

Mendengus sebal sembari bergerak memunggungi Han-Bin, ia kembali menikmati lukisan alam dari jendela kaca bus. Matanya menerawang jauh, pikirannya menembus cakrawala. Pepohonan tepi jalan, orang-orang yang berlalu lalang, dan lampu jalanan terlihat bergerak saat bis melaju cepat.

Jerawat Cinta?

Saat remaja jatuh cinta dan tumbuh jerawat di wajah, sering kali dikaitkan dengan jerawat cinta. Faktanya, pada masa-masa pubertas. Remaja mulai mengenal cinta, bersamaan dengan munculnya jerawat.

Hal ini membuat banyak orang memberi embel-embel 'cinta', pada remaja yang sedang berjerawat. Kemudian muncul istilah jerawat cinta, hingga sekarang. Nenek nya juga pernah mengatakan hal itu, saat ada satu jerawat tumbuh di wajahnya.

Padahal hormon pada masa puber, akan membuat beberapa masalah kulit termasuk jerawat. Juga saat tanggal merah bagi setiap gadis datang, jerawat itu akan senang bermunculan diwajahnya.

Kalaupun jatuh cinta, sudah pasti jatuh cinta pada pria di sebelah nya.

***

Strength long ±4600 words

Happy Reading, ^^

Semoga bisa berakhir dengan mulus,

and the last

VOTE

▶▶▶▶

NEXT