Hanya satu hari, andai aku bisa bersamamu
Hanya satu hari, andai aku bisa memegang kedua tanganmu
Hanya satu hari, hanya satu hari
Andai kita bisa bersama
Langit senja merangkak naik, warnanya berubah oranye bercampur jingga juga keunguan. Fenomena alam bagai sebuah maha karya seni yang nyata, mengagumkan. Matahari pun mulai meredup dan akan digantikan bulan, menyapa malam yang gelap.
Bus akhirnya berhenti di tujuan, menurunkan penumpangnya pada halte pemberhentian. Mereka berdiri di tepi jalan, tak berniat beranjak sejak keluar bus. Hening masih jadi teman setia yang menyelimuti keduanya, hanyut dalam pikiran masing-masing. Memandang jalanan yang tak terlalu ramai, beberapa mobil berlalu lalang menjadi objeknya.
"Kau harus naik bus lagi untuk pulang, ada apa denganmu hari ini?" Ucap Geu-Reum, sinar matahari terbenam berpendar pada kedua bola matanya saat menatap Han-Bin.
"Aku tahu, berapa lama kita saling mengenal?" Cibir Han-Bin, merubah posisinya untuk berhadapan. Membelakangi cahaya oranye kemerahan, meredupkan pantulan yang menerpa wajah Geu-Reum.
"Kalau saja kau terlupa, lagipula bagaimana bisa kau salah bus?"
"Aku kan sudah mengatakannya,"
"Lalu, kenapa kau tak bertemu dengan yang lainnya juga?"
"Aku masih ragu, hanya denganmu aku berani."
Kelopak matanya terkulai, Han-Bin menundukkan wajahnya. Menyembunyikan kesedihannya, juga kekecewaan atas dirinya sendiri. Geu-Reum luluh, ia tahu sahabat nya itu memikul beban berat dari keputusannya.
"Cepatlah pulang, itu bus mu." Ucap Geu-Reum dengan sedikit mendorong tubuh Han-Bin, saat bus tujuan rumahnya berhenti.
"Kau mengusirku? Aku masih ingin disini, lagipula aku juga bisa menginap di rumahmu." Seru Han-Bin, baru saja ia masuk dalam suasana sedih. Tapi, gadis berkacamata itu menggagalkan.
"M..Mana bisa begitu?" Sanggah Geu-Reum gugup, matanya membulat saat membayangkan Han-Bin menginap dirumahnya.
Bukan hal baru, jika sahabatnya itu akan bermalam dirumahnya. Tapi dalam situasi seperti ini, mana mungkin bisa ia menahan perasaannya. Malah akan ada kecanggungan diantara mereka nantinya, yang akan mempermalukan harga dirinya sendiri.
"Memang kenapa? Ada Kak Ki-Yong dan Woo-Young, aku bisa tidur dengan mereka. Atau kau mau berbagi ranjang denganku?" Goda Han-Bin ia condongkan tubuhnya, mendekatkan sedikit wajahnya. Menekan kalimat terakhirnya, dengan memelankan suaranya.
"Dasar mesum!" Seru Geu-Reum, wajahnya memanas.
"Kenapa? Dulu kita selalu tidur siang bersama, bahkan satu ranjang untuk 8 orang."
"Itu kan dulu, saat kita masih kecil. Dasar bodoh!"
Geu-Reum melampiaskan salah tingkahnya, dengan menghujani pukulan sekuat-kuatnya pada lengan sedikit berisi Han-Bin. Pria itu benar-benar mempermainkan jantungnya, Bagaimana bisa ia berpikiran sejauh itu? Disaat dirinya selalu berusaha menjaga jarak untuk tak memikirkan itu, bahkan hanya sekedar berciuman. Ia buang jauh-jauh pikiran kotor itu, jika sempat terbelesit dalam otak liarnya.
"Iya..iya, aku hanya bercanda. Hentikan!" Pinta Han-Bin, meringis kesakitan atas pukulan gadis yang bertenaga super itu.
Dibandingkan tubuhnya yang kecil, gadis itu memiliki kekuatan setara petinju kelas dunia. Bahkan Junhoe yang lebih besar darinya, bisa ia kalahkan hanya dengan pukulan tangan dan tendangan kaki pendeknya.
Han-Bin menangkap tangan Geu-Reum untuk menghentikan pukulannya, menariknya sedikit mendekat. Mengunci kedua manik matanya, bertatapan lama. Keduanya mulai hanyut, hanya desahan angin yang mengiringi mereka.
"Jangan seperti yang lain, tetap seperti ini. Menjadi Geu-Reum yang banyak bicara, sahabatku yang cerewet."
"Mereka juga masih menunggumu, bicaralah pada mereka. Pasti mereka akan mengerti,"
"Tidak, belum waktunya. Biarkan mereka begitu, aku tidak ingin mengetahuinya dari orang lain. Biar aku sendiri yang tahu nanti, senior Da-Hyun baik padaku. Aku juga ingin merasakan jatuh cinta, biarkan walau hanya sebentar."
Hati setiap orang berbeda, hanya mereka yang tahu isi hati masing-masing. Hanya mendengar beberapa kalimat yang menjadi perwakilan hatinya, sudah membuat Geu-Reum kecewa. Sebegitu sukanya kah Han-Bin dengan senior itu? Apa hanya sebatas sahabat Geu-Reum di matanya?
Menangis sedu sedan pun, tak akan mengubah apapun. Pada akhirnya ia yang akan mundur, kalah sebelum perang. Geu-Reum hanyalah gadis yang tak bisa tegas, pasrah pada keadaan, takut menyakiti perasaan orang lain atas keputusan ataupun keegoisannya.
Benar, Han-Bin punya hak dalam memilih kebahagiaannya. Ia berhak jatuh cinta pada siapapun, tidak perlu mengungkapkan pun sudah terlihat jelas kenyataannya. Tersenyum senang dan mengucapkan kata 'selamat', untuk mengapresiasikan keikut senangan. Cukup untuk menutupi kepedihan, jika mencintai biarkan ia bahagia dengan pilihannya nanti.
Tangan yang menggenggam tangannya di bawah langit senja saat ini, tidak akan ia lepaskan. Biarkan saja untuk hari ini, membawanya pada kenangan manis yang akan tersimpan selamanya. Hanya satu hari saja, tidak lebih. Sebelum hatinya benar-benar berpaling, dan ia hanya akan menjadi bingkai layar belakang dalam masa depan Han-Bin bersama orang lain.
Akhir pekan tiba, seperti janji yang telah di buat. Mereka berada di museum untuk mengerjakan tugas kelompok mereka, namun ketiganya masih menunggu So-Yul yang belum datang. Gadis itu terlambat 15 menit dari waktu yang telah mereka sepakati bersama, padahal ia yang sangat mewanti-wanti untuk tidak terlambat. Justru, ia sendiri yang malah tak menepati ucapannya itu.
"Dasar tak tepat waktu," Desis Taehkyeon mulai tak sabar,
Orang-orang yang berlalu lalang memasuki museum, memperhatikan Taekhyeon yang menggerutu tak jelas. Berjalan mondar-mandir, dengan wajah memerahnya yang bersungut-sungut.
"Maaf, teman-teman aku terlambat"
So-Yul akhirnya datang, tanpa wajah berdosa. Membuat Taekhyeon makin meradang, ia selalu menyimpan dendam pada gadis yang terus melempar senyum tak merasa bersalah itu.
"Apa yang kau lakukan hingga terlambat, hah? Kau tahu kami berdiri lama karena menunggumu, hingga kaki ku kesemutan." Ujar Taekhyeon geram, sembari kedua tangannya berkacak pinggang.
"Kenapa tak mencari tempat duduk, kalau tahu begitu? Aku perlu menata rambutku di salon, kau berlebihan sekali." Sahut So-Yul tak mau kalah, ia juga melipat tangannya di atas perut.
"Kau—"
Wonwoo menahan Taekhyeon yang makin naik pitam, pria itu sangat gemar meladeni percekcokannya dengan So-Yul. Ia menghentikannya sebelum perang dunia terjadi, ditambah orang-orang semakin tertarik memperhatikan mereka. Geu-Reum juga menarik So-Yul untuk menjauh, memisahkan dua manusia yang suka bergaduh.
Didalam museum pun keduanya masih beradu mulut, hanya saja tak separah tadi. Jika tidak diingatkan dimana mereka saat ini, Wonwoo dan Geu-Reum malah terlihat seperti orangtua yang membawa anak-anaknya.
Mereka pun akhirnya sengaja ditinggalkan berdua, agar keduanya bisa saling yang menyadari kesalahan masing-masing dan berdamai. Wonwoo dan Geu-Reum berkeliling berdua, setelah Wonwoo meminjam audio guide yang disediakan disana.
"Tidak apa kan, jika seperti ini?"ujar Wonwoo saat ia menyerahkan sebelah earphone, dan langsung dipakai Geu-Reum.
"Tidak masalah," Geu-Reum tersenyum.
Awalnya ia khawatir, jika Geu-Reum akan menolaknya. Ia berbohong, jika audio guide yang disediakan disana hanya tinggal satu. Padahal ia hanya ingin lebih dekat dengan Geu-Reum, membuat hari ini seakan seperti sebuah kencan.
Kesempatan langka, dimana ia bisa pergi berdua bersama Geu-Reum. Tak terhitung saat mereka menonton festival, karena sejak hari itu. Ia baru mengetahui, bagaimana perasaannya pada gadis itu.
Geu-Reum mendengarkan penjelasan dengan saksama, sesekali ia catat pada notebook nya. Sembari melihat-lihat koleksi yang dipamerkan museum, hingga ia terlupa dengan sosok pria di sampingnya. Ia terlalu fokus, ini kali pertama ia datang ke museum.
Karena dulu ia pikir tempat yang penuh peninggalan sejarah itu, membosankan dan menakutkan. Ia hanya mendengar dari orang-orang, jadi ia pun berpikiran seperti itu dimana ia sendiri belum pernah mengunjungi museum.
"Sepertinya kau menikmati tempat ini," Ujar Wonwoo, mata mereka berlainan arah pandang.
Geu-Reum mengamati pria yang menjadi pembuka perbincangan, yang sudah hampir 30 menit tak terdengar. Sedangkan, yang bersuara mengalihkan pandangannya dengan menatap lukisan ilustrasi pada masa penjajahan.
"Kau juga,"
Seulas senyum menghiasi wajah Geu-Reum, ia tak bermaksud tersenyum perhatian. Ia hanya tersenyum saat perasaan bahagianya di tempat ini bisa disadari orang lain, biasanya orang-orang hanya akan mengabaikan apa yang dilakukan dan dirasakannya. Tak peduli dengan apa yang ia sukai, padahal ia hafal semua yang ada pada mereka.
"Aku mencatatnya sejak awal, tapi tidak semua ku tulis. Hanya poin-poin nya saja, tapi kurasa cukup."
"Aku juga sudah mengingatnya, mungkin aku bisa menambahkan ingatanku pada catatanmu."
"Baiklah, kau memang bisa di andalkan."
Usai hampir seharian berkeliling, mereka memutuskan untuk menyudahi kunjungan museum itu. Lagipula materi untuk tugas mereka, juga sudah cukup terkumpul. Walaupun, hanya Geu-Reum dan Wonwoo yang mengerjakan. Sedang dua anak manusia berbeda jenis itu, masih tak berdamai.
Sepanjang perjalanan memutari museum, mereka tak saling bicara sama sekali. Bahkan berjalan pun berjauhan, hingga tak fokus pada tujuan awal mereka untuk tugas kelompok. Bahkan mereka sudah pulang lebih dulu, mengingat mereka juga punya kendaraan pribadi dan sopir yang setia menunggu.
Lain dengan Geu-Reum ataupun Wonwoo, mereka terbiasa hidup apa adanya. Geu-Reum yang notabenenya putri pengusaha kaya pun, lebih memilih naik bus dibandingkan memiliki supir pribadi. Ia lebih suka susana saat menunggu bus, juga berlama-lama menatap jalanan dari kaca jendela bus.
Sedangkan Wonwoo masih setia dengan menaiki sepeda sejak SD, selain ramah lingkungan. Uangnya tak cukup untuk membeli motor sport seperti milik Taekhyeon, kalau pun rajin menabung. Mungkin hanya skuter bekas yang ia dapat, lagipula ia juga tak ingin membebani ibunya. Bisa bersekolah pun ia sudah bersyukur, ia akan menjadi anak yang berbakti pada ibu dan mendiang ayahnya.
Belum lama mereka keluar gedung museum, hujan sudah turun dengan deras. Membuat Wonwoo dan Geu-Reum terjebak di halte yang tak berpenghuni, mungkin karena hari sudah sore dan langit terselimuti mendung. Jadi orang-orang lebih memilih kendaraan cepat, seperti taksi. Enggan menunggu saat hujan turun, takut jika pakaian mereka basah.
Awan kelabu yang menutupi langit, membawa gumpalan air untuk dijatuhkan ke tanah. Terlihat lebih gelap dengan hujan yang sebentar deras, sebentar mereda. Hanya terbawa angin, saat rintikan hujan makin deras. Wonwoo dan Geu-Reum duduk bersebelahan di bangku halte, menyisakan sela di tengah-tengah mereka.
Entah apa yang mereka pikirkan, keduanya tak berniat memulai perbincangan. Sibuk mengamati air hujan yang membasahi jalanan, sesekali memeluk tubuh yang mengigil diterpa angin dan sedikit kebasahan.
"Kau bisa pergi lebih dulu, sepertinya hujan tidak terlalu deras." Ujar Geu-Reum saat ia menangkap wajah gelisah Wonwoo,
"Tidak, aku tidak masalah menunggu hujan hingga benar-benar mereda." Ucap Wonwoo, sembari mengubah posisinya. Menumpu tubuh dengan kedua tangannya berada di sisi-sisi tubuhnya, menengadahkan wajah yang makin membuatnya terpercik air hujan.
Sebagai seorang pria, ia tak mungkin meninggal seorang gadis menunggu sendirian di tengah hujan. Walaupun ia sendiri terburu-buru untuk jam kerjanya, tapi ia berkorban untuk itu. Tak peduli ia akan terlambat bekerja, asalkan ia bisa menemani Geu-Reum hingga masuk ke dalam bus.
"Jangan memaksakan, pergilah kau harus bekerja bukan?"
"Kau yakin tidak apa-apa, jika kutinggalkan sendirian?"
Geu-Reum menganggukkan kepalanya cepat, tak lupa seulas senyum mampir diwajahnya agar Wonwoo mempercayainya. Tapi Wonwoo tak mengindahkan, ia tetap saja khawatir.
Apalagi saat tiba-tiba dua pria aneh datang ikut duduk di bangku halte, dengan tatapan mencurigakan yang ditujukan pada Geu-Reum. Ia makin tak bisa meninggalkan gadis itu, tapi ia juga terdesak akan jam kerjanya.
"Kalau begitu, ayo pergi bersama." Ujar Wonwoo tiba-tiba,
"Apa?" Kata Geu-Reum masih tak paham, tapi ia juga tak memikirkan hal lain dari ajakan Wonwoo yang sudah bertengger di sepedanya.
"Naiklah, aku akan mengantarkanmu pulang. Daripada kau sendirian disini," Suruh Wonwoo,
Kali ini berhasil membuat Geu-Reum membulatkan mata, tak percaya akan tawaran yang mendadak itu.
Ia menyuruhnya naik ke sepeda yang tak ada bangku untuk penumpang, tidak mungkin jika duduk di Frame kerangka depan sepeda.
"Tapi.." Gumam Geu-Reum, membasahi bibirnya sendiri. Matanya berkeliling, memikirkan alasan lain untuk menolaknya. Ia tidak bisa menerima, walaupun pria itu berniat baik.
"Apa kau tidak masalah, maksudku aku ini berat. Apa kau bisa?"
"Naik saja!" Desak Wonwoo,
Hatinya benar-benar tersentuh akan sikap Wonwoo, tapi jantungnya tak bisa berkompromi. Meneguk liur sendiri pun sangat kesulitan, ia gugup bukan main. Namun, saat ia menyadari arah pandang Wonwoo pada dua lelaki dibelakangnya. Ia buru-buru menyetujui, mungkin itu juga alasannya menawarkan tumpangan.
"Baiklah," Pasrah Geu-Reum, lalu memposisikan dirinya di kerangka sepeda. Duduk diantara handle bar dan Wonwoo, membuatnya terkukung Wonwoo saat kedua tangan pria itu digunakan untuk mengendalikan sepedanya.
"Mungkin kau sedikit tidak nyaman, tapi aku tak bermaksud apa-apa." Ucap Wonwoo sebelum mengayuh sepedanya menembus tirai hujan, agar tak ada kesalahpahaman. Menganggap dirinya pria mesum, yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Ya,"
Geu-Reum tak banyak berkomentar, ia tak mempermasalahkan itu saat ia menahan debaran jantung nya.
Beruntung wajahnya tak terlihat Wonwoo, betapa merah padam wajahnya saat ini. Hanya akan mempermalukan diri sendiri, jika pria itu tahu.
Bahkan air hujan yang membasahinya, tak lagi terasa dingin. Tubuhnya seakan memanas, ditambah punggungnya yang mau tak mau menyentuh dada bidang Wonwoo. Di sebalik sikapnya yang dingin, pria itu penuh perhatian.
Darah yang terus berdesir naik ke wajahnya masih memanas, sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara. Keduanya memilih bungkam, untuk menetralkan perasaan masing-masing.
Ini seperti adegan romantis dalam drama, berboncengan sepeda di tengah hujan. Mereka sebagai pemeran utama yang sedang jatuh cinta, menyalurkan perasaan bersama air hujan yang turun. Namun, kenyataannya mereka bukanlah tokoh utama drama romantis itu. Tak ada hubungan apapun diantara mereka, hanya sebatas hubungan teman sekelas yang baru kembali dari mengerjakan tugas kelompok.
Setidaknya ada yang bisa menjadi judul drama untuk mereka, hanya sekedar menikmati suasana hujan seperti orang lain. Walaupun, Wonwoo sendiri tengah menikmati imajinasi nya sendiri. Ia ingin menyimpan pengalaman ini, meletakkannya dengan rapi. Jika, suatu saat ia ingin membuka kenangan ini.
Hanya satu hari ia bersyukur untuk ini semua, alam berpihak padanya. Tak apa jika nantinya gadis itu tak memilihnya, biarkan seperti ini untuk beberapa saat. Meski jantungnya berdebar begitu cepat, saat bersinggungan sedekat ini. Hatinya selalu membisikkan alunan perasaan bahagia, tak ingin melepas dan mengakhiri. Cukup sehari saja, hari ini adalah hari yang akan menjadi kenangan selamanya.
"Tidak apa-apa, aku sudah bisa naik bus atau taksi dari sini." Ujar Geu-Reum, saat Wonwoo masih bersikeras untuk mengantarkannya hingga ke rumahnya.
"Tapi, tunggu sebentar." Ucap Wonwoo yang langsung buru-buru masuk kedalam kafe tempatnya bekerja, Geu-Reum terpaksa untuk menunggunya.
Sembari membersihkan kaca matanya dari air hujan, menggunakan tisu dalam tasnya yang masih terselamatkan. Ia berdiri di depan kafe, sedikit menahan dingin yang menyerang tubuhnya. Angin berhembus, membuat pakaian basah yang melekat di tubunya sedikit menggigil.
"Pakai ini,"
"Untuk apa? Rambut ku saja sudah basah,"
Wonwoo kembali dengan sebuah topi miliknya yang ia tinggal di loker karyawannya, lalu ia pakaikan pada Geu-Reum. Rambut pendeknya sudah basah, namun ia tak ingin gadis itu makin basah kuyup dan membuatnya jatuh sakit.
"Pakai saja, setidaknya bisa menghangatkan kepalamu."
"Terimakasih Wonwoo-ya, aku pergi dulu."
Hari ini benar-benar indah, suara derasnya hujan pun terdengar merdu. Jatuh cinta seindah dan segila ini, bahkan membuatnya terus tersenyum tanpa sebab. Enggan menyudahi tatapan pada punggung gadis yang membuatnya tak waras hari ini, hingga ia menghilang di persimpangan jalan.
Ia bangga pada dirinya sendiri, memperlakukan seorang gadis dengan baik. Memperhatikan hal-hal yang bisa membuat seorang gadis terpesona, ia tak belajar dari siapapun. Semuanya tergerak dari dirinya sendiri, sebuah reaksi normal yang hanya ditujukan untuk seseorang yang istimewa baginya.
Tersadar akan tanggung jawabnya, segera ia menyudahi lamunannya untuk kembali bekerja. Sebelum ia benar-benar di pecat, atau akan mendapatkan omelan Soon-Young.
Pakaiannya basah semua, beruntung ada seragam dan pakaian ganti yang ia tinggal di loker. Hanya rambutnya saja yang tak bisa ia keringkan, cukup menyisir asal dengan jemarinya. Mungkin bisa mengurangi air hujan yang menempel di rambutnya, lagipula itu tak akan membuatnya demam.
"Keringkan rambutmu dengan ini," Ujar Soon-Young sembari melemparkan handuk kecil miliknya, lalu duduk disebelah Wonwoo.
"Oh, terimakasih." Terima Wonwoo, langsung menyambar handuk pemberian Soon-Young dan mengusapkannya pada rambut basahnya.
"Apa kau sengaja, agar bisa libur kerja?"
"Kau ini bicara apa? Apa aku pernah ijin tak masuk kerja karena sakit? Kau tahu kan absensi ku yang paling baik, lagipula kekebalan tubuhku ini bagus. Jadi aku tak akan mudah sakit,"
"Kau menyukai gadis itu ya?"
"Tidak,"
"Jangan mengelak, aku tahu semuanya."
"Kau menguntit ku?"
"Bukan begitu, aku melihat mu dengan Geu-Reum didepan kafe tadi."
Tatapan matanya mengendur, gerakan handuk dikepalanya ikut terhenti. Wajahnya tertunduk gelisah, pikirannya mulai berkeliling. Entah mengapa setiap memikirkan gadis itu, perasaannya terbagi dua.
Hatinya dilema, disatu sisi ia menikmati manisnya jatuh cinta. Tapi di sisi lain, ia tak percaya diri untuk menyukai Geu-Reum. Mengingat gadis itu memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dirinya, juga perasaan sepihaknya. Apa gadis itu juga merasakan hal yang sama?
"Apa perasaanku ini salah? Sadarkan aku sebelum lebih jauh," Gumam Wonwoo sendu
Pria bermata sipit disampingnya luluh, ia ikut terbawa suasana. Ia paham betul kawan seperjuangannya itu, selama ini ia memikul beban berat. Bahkan dalam urusan cinta, ia banyak mengalah. Namun baru kali ini, kawannya itu seserius ini pada perasaannya. Bukan sekedar pengagum rahasia, yang memandang jauh tanpa diketahui keberadaannya.
"Itu bukan kesalahan, dia hanya belum menyadarinya."
"Benarkah? Aku pikir juga begitu, aku hanya tidak percaya diri pada diriku sendiri."
"Apa kau masih mengkhawatirkan status? Dengar, cinta itu tak pandang bulu dan aku yakin. Jika gadis itu akan menerimamu apa adanya, katakan saja secepatnya."
Soon-Young merangkul bahu kawannya yang turun, menyemangati Wonwoo yang tak lagi menegakkan tubuhnya.
"Aku belum berani,"
"Kau ini, bertindaklah cepat atau orang lain yang akan mendahuluimu."
Mata elangnya menatap mata serupa jarum jam milik Soon-Young, kawannya yang ceroboh dan cerewet. Tapi ia penuh perhatian, dan satu-satunya tempat untuk mencurahkan perasaan. Memberikan nasihat atau pendapat, yang bisa membuat pikirannya cerah.
Nyalinya menciut setiap kali ia memikirkan hal itu, tapi ia harus mengatakannya. Mengingat ada banyak rival yang menghalangi nya, mungkin bisa ia sebut begitu.
Senior yang hari itu menemuinya, terang-terangan mengatakan perasaannya pada Geu-Reum. Dan 7 sahabatnya, walau tidak pasti benar atau tidaknya. Diantara ketujuh pria yang selalu bersama Geu-Reum, pasti ada juga yang menaruh hati pada gadis itu.
Benar yang dikatakan pria sipit itu, ia harus bergerak cepat. Jika tidak ingin didahului orang lain, mengulang kesalahan yang sama. Menyesali hal itu kemudian, ia akan mengesampingkan kegugupan dan kekhawatirannya itu.
Tak mempedulikan apapun jawaban, yang akan Geu-Reum berikan nanti. Setidaknya, ia menjadi orang pertama yang menyatakan perasaan. Mungkin dengan begitu, Geu-Reum juga bisa mempertimbangkannya.
Jika hari ini kita bisa bersama,
Seterusnya aku ingin selalu bersamamu
Bukan hanya satu hari, satu bulan atau satu tahun
Tapi, selama-lamanya hingga kita benar-benar menjadi satu .....
***