Chereads / Cloud Beside Rainbow / Chapter 5 - 0.3 Smiling Flower

Chapter 5 - 0.3 Smiling Flower

....

Berulang kali hatinya mencoba untuk mengabaikan, mengalihkan pikirannya pada hal lain agar tak mengingatnya kembali. Tapi hanya melihat pria itu bersama gadis lain, hatinya seakan di hujani ribuan anak panah beracun. Perih dan mematikan secara perlahan, dimana hanya bisa ia rasakan dalam diam. Menangis sendirian menjadi pelampiasan, menyesal atas keputusannya yang dulu.

Bukan salahnya atau salah pria itu, semua terjadi begitu saja. Dulu mereka saling menjatuhkan hati, juga karena kesalahan mereka berdua. Nyaman satu sama lain, tanpa ada banyak perdebatan dan argumen. Hubungan yang mengalir apa adanya, hanya ada kepercayaan satu sama lain.

Perpisahan yang semata dilakukan hanya karena mulai bosan pada masing-masing, tak ada hal menarik pada hubungan keduanya. Diawal yang indah mereka saling mengelu-elukan, di pertengahan hingga akhir hubungan mereka serasa hambar.

Kata putus akhirnya terlontar, tak ingin lagi melanjutkan kisah bersama. Berpisah setelah sekian lama bersama, 3 tahun lamanya.

"Masihkah kau dingin dengan perempuan?"

"Aku pria yang hangat, hanya pada seseorang aku sedingin ini."

"Kau masih menyalahkanku?"

"Tidak, jika kau sendiri yang merasa bersalah."

"Semua hubungan hanya tergantung pada kecocokan pasangan, saling bisa mengimbangi."

"Kita tak bisa seimbang, kau terlalu hebat dan aku tak bisa menyamai itu."

"Lalu, apa selama ini kau tak lagi mengingat ku?"

"Sudah lama aku lupa, lebih tepatnya melupakan. Kita adalah masa lalu, masa sekarang hanya ada aku. Aku hidup dengan caraku, tidak terbebani cara hidup seseorang yang ingin terlihat sempurna di mata orang lain."

"Itu salahmu, kau terlalu kaku dan tidak bisa berbaur. Aku ingin seperti pasangan lain yang memiliki kekasih yang romantis, pencemburu, agresif, menuntut semua hal ten-"

"Kita sudah benar dalam mengambil keputusan, aku tidak bisa seperti yang kau harapkan. Aku bukan pria idealmu, aku hanyalah robot usang bagimu."

Di tinggalnya ia sendiri dalam penyesalan dan kesesakan dada, mata yang tak pernah mengering saat mengingat cinta pertamanya itu. Pria dingin dan kaku, tidak bisa diandalkan. Dirinya ingin sosok yang hangat dan melunak, agar bisa ia banggakan pada teman-temannya. Tapi tak pernah sekalipun kekasihnya itu mau dipertemukan dengan mereka, beribu alasan yang selalu di ajukan.

Bodohnya ia yang mau saja menuruti, dan malah mencintainya hingga berkelanjutan. Tak bisa berpaling, masih mengharapkan yang tak pasti. Penyesalan di akhir yang akhirnya ia dapat, dengan menatap ke belakang kisah cinta yang terindah untuknya.

Da-Hyun punya caranya sendiri untuk membalaskan sakit hatinya pada mantan kekasihnya, Young-Hyun. Walau tidak yakin seberapa besar pembalasan dendamnya, bisa menyakiti perasaan pria itu.

Selama satu tahun perpisahan mereka, hanya Da-Hyun yang selalu merasa tersakiti. Ia juga ingin membuat pria itu merasakan apa yang ia rasakan, hatinya masih meyakini. Jika, perasaan Young-Hyun masih ada untuknya.

Geu-Reum sudah lebih dulu duduk di tempat biasanya, meja kayu panjang yang di bayang-bayangi pepohonan. Ia melamun dengan mukanya yang muram, menatap lurus tanaman aglonema yang tertanam di pot tak jauh dari duduknya.

Pikirannya kacau atas permasalahan keluarganya, tentang adik lelakinya. Yang ia khawatirkan, benar-benar terjadi. Ucapan adiknya kali ini juga tak main-main, sesakit itukah hingga adiknya tak ingin pulang.

"Dora, kau tumben sekali sudah di sini lebih dulu." Sapa Ji-Won kebiasaan, memanggil Geu-Reum dengan nama tokoh kartun. Lalu mengambil duduk di bangku paling ujung, jauh-jauh dari Geu-Reum untuk siap berlari.

"Kau tidak mengajak Mimi, kan?" Ujar Junhoe dengan kepalanya celingukan, mencari sosok yang sangat ingin ia hindari untuk saat ini dan setiap waktu.

"Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanya Jin-Hwan yang menyadari perbedaan air muka kawannya itu, lebih diam dan sedih.

"Adikku seharian tidak pulang, ibuku sangat sedih." Jelas Geu-Reum lemah, wajahnya tertunduk.

"Woo-Young? Adikmu yang itu?" Ucap Junhoe mengulang nama adiknya, memastikan ia tak salah nama.

"Iya, siapa lagi adikku?" Geram Geu-Reum, lalu menghela nafas berat.

"Dia merasa tak adil di rumah, karena selalu dibandingkan dengan ku dan kak Ki-Yong. Ku kira dia hanya menggertak, ternyata ia sunguh-sungguh dengan ucapannya. Sejak kemarin pagi ia pergi dari rumah, sekolah pun bilang dia tak ada di sana." Ujar Geu-Reum makin sedih, 7 teman setianya diam mendengarkan.

Mereka ikut terhanyut dalam cerita Geu-Reum, mereka pada dasarnya memang suka menistakan dan bergurau. Tapi saat teman mereka kesusahan, maka mereka akan bersikap dewasa. Ikut terbebani akan masalah yang menimpa kawannya, berusaha meringankan beban.

"Kau sudah mencari di Warnet?" Biasanya aku bertemu anak itu, di warnet 24 jam langgananku." Cetus Chan-Woo mengingat-ingat tempat, dimana ia pernah bertemu adik sahabatnya itu.

Geu-Reum menggeleng, karena ia tak tahu tempat yang biasa adiknya datangi. Ia juga belum mencari, terlalu khawatir pada situasi saat ini.

"Bagaimana dengan bertanya pada teman-temannya?" Usul Yunhyeong, langsung disetujui yang lain.

"Aku tidak punya nomer mereka, bahkan Woo-Young tak pernah menyimpan nomerku. Dia sangat membenciku, aku menyesal selalu memarahi dan berkata kasar padanya." Sesal Geu-Reum, tangisnya juga pecah. Tak tahan lagi akan kesedihan yang menyesakkan dada, teman-temannya menatap iba.

"Tenanglah, adikmu pasti tidak begitu. Kau melakukan itu juga untuk kebaikannya, ia akan baik-baik saja dengan itu." Ucap Dong-Hyuk, tangannya merangkul bahu Geu-Reum dan memberi usapan lembut.

"Kita akan membantumu mencarinya," Tambah Han-Bin menenangkan, raut wajahnya sedih.

"Jangan menangis, kau semakin jelek saat menangis." Hibur Ji-Won, tetap pada aksen mengejek.

"Teman-teman,"

Geu-Reum terharu atas sikap persahabatan mereka, 7 pria yang setia kawan dan bisa di andalkan. Berterimakasih untuk selalu mau jadi tempat berkeluh kesah, memberikan nasihat atau bantuan semampu mereka.

Tidak akan pernah bisa tergantikan, sahabat-sahabat terbaik seperti 7 pria yang selalu bersikap apa adanya itu. Tak melihat perbedaan, selalu mendukung satu sama lain. Tak saling menjatuhkan, untuk bangkit bersama.

Pelajaran selanjutnya baru beberapa menit dimulai, para siswa saling protes ada Bu Ryu yang menjadi guru bahasa inggris mereka. Ia memberikan tugas berkelompok dan membagi kelompok, sesuai kemampuan setiap murid agar saling mengimbangi. Mereka semakin ricuh saat anggota kelompok mereka tak sesuai harapan, ingin bertukar anggota yang menjadi keinginan mereka.

"Tolong tenang," Titah Bu Ryu mencari perhatian muridnya yang ricuh, dengan menghentakkan tangan pada permukaan meja kayu.

"Ibu tidak akan menerima protes kalian, karena ini sudah jadi keputusan yang terbaik."

"Mana bisa begitu bu? Mengapa aku dan Eui-Gon dipisahkan? Kami selalu bersama, jika ada tugas kelompok." Protes Park Ji-Soo tak puas hati, saat ia dan kekasihnya harus berada di kelompok yang berbeda.

"Alasannya sudah jelas, kalian bisa lebih konsentrasi untuk mengerjakan tugas. Bukan hanya berpacaran saja," Jawab Bu Ryu menyinggung, Ji-Soo bungkam dengan wajah kesalnya.

Bu Ryu adalah guru yang tegas dan bijaksana, ramah, juga murah senyum. Namun, sangat salah menganggapnya mudah ditaklukan. Beliau punya cara mendidik nya sendiri, mengetahui yang terbaik untuk murid-muridnya. Bahkan tau seperti apa muridnya itu, walau tak jarang muridnya mengeluh.

"Lalu, bagaimana dengan kelompok Geu-Reum yang bersama Wonwoo?" Ujar Jun-Hong mewakili perasaan kawan lainnya, dimana murid terpandai di kelas menjadi satu kelompok.

"Geu-Reum pandai pada matematika dan sains, tapi ia tak pandai di bahasa inggris. Sedangkan Wonwoo murid pandai di semua mata pelajaran, jadi adil bukan?"

Semua murid tak lagi bisa menjawab, hanya membuang waktu untuk melawan keputusan paten Bu Ryu. Hidup memang harus mengikuti peraturan, jika masih ingin berada di jalurnya. Mereka juga harus mematuhi keputusan Bu Ryu, jika nilai mereka tak ingin tercatat buruk. Pasrah saja pada keadaan, setidaknya masih ada satu orang yang bisa di andalkan dalam kelompok.

***

Rumah masih terasa sepi sejak kemarin, sudah hampir 2 hari satu malam terasa hening dan senyap. Meja makan yang setiap malam akan penuh makanan pun kosong, penghuni rumah tak menampakkan diri.

Geu-Reum menarik kursi lalu duduk sendirian, tak ada yang menemaninya. Makan malam pun tak nampak tersaji, semua peralatan makanan bersih.

Ayahnya baru datang ikut bergabung, keluar dari kamarnya. Mengenakan pakaian santai rumahannya, usai pulang bekerja. Menghampiri anak perempuannya yang tengah duduk sendirian, menatap dan melempar senyum pada sang ayah.

"Kau lapar?"

"Sedikit, tapi-"

"Ayah akan buatkan ramen, tunggu sebentar."

"Lagi? Apa setiap malam kita akan makan ramen?"

Baru kali ini ia mendengar anak perempuan nya itu memprotes dirinya, tapi ia tak bisa marah. Justru merasa sedih juga bersalah, ia hanya seorang pria yang tak bisa berbuat apa-apa.

Selama ini ia selalu berkomentar tentang masakan istrinya, tapi ternyata memasak sesulit itu. Bahkan hanya memasak mi instan pun, sangat sulit baginya.

"Makan apa kita malam ini?"

Ki-Yong datang paling akhir, ia gosokkan kedua tangannya. Wajahnya ikut antusias, perutnya sangat lapar. Ia baru pulang dari kuliahnya, ingin segera mendapat makan malam. Namun, wajahnya beringsut suram saat tak ada makanan di meja.

"Ayah akan membuat Ramen," Ujar Ayahnya tanpa menatap kedatangan putranya, sibuk membuka bungkus mi.

"Kemarin mi instan, sekarang juga? Bagaimana kita bisa dapat nutrisi, jika seperti ini?"

"Kak, pesan makanan cepat antar saja." Usul Geu-Reum,

"Benar juga, ayo kita lihat apa yang akan kita makan?"

Ki-Yong bersemangat, ia mengambil bangku di depan adiknya dan duduk disana. Mengeluarkan ponsel dari saku celananya, menatap layar ponsel dengan sumringah.

"Aku ingin tangsuyuk dan jajangmyeon."

"Banyak sekali, tapi kedengarannya enak. Ayah mau makan apa?"

"Tidak, ayah kenyang. Ayah akan tidur, kalian saja yang pesan." Ujar Ayah, sambil tangannya mengurungkan niat untuk membuka bungkus mi keduanya.

Berjalan lesu menuju kamar, tetap tanpa menatap kedua anaknya. Menundukkan kepala dengan rambut berubannya, berusaha menutupi air muka kelabu. Enggan memperlihatkan wajah suram nya, walau tetap terlihat mencolok. Anak-anaknya juga sudah beranjak dewasa, bukan lagi bocah kecil polos yang bisa dibohongi.

"Ayah kenapa?" Tanya Geu-Reum yang kepalanya berputar 180 derajat, hingga dagunya mengenai bahu.

"Apa ibu masih mengurung diri?" Ucap Ki-Yong berbalik tanya, menatap adik perempuannya.

"Jika makanan tidak ada, sudah pasti ibu masih belum baik."

Hening diantara keduanya, mereka mencoba baik-baik saja. Namun, melihat ayah dan ibunya seperti ini. Mereka menyerah, terlalu menyesakkan dada. Woo-Young tak kembali sejak kemarin, sejak pertengkaran pagi dengan ibu. Ia benar atas ucapannya, tak main-main lagi. Hatinya sangat kecewa, selalu menjadi yang disalahkan.

"Apalagi? Kau sedih seperti itu, apa dia akan pulang?"

Suara Ayahnya dalam kamar tertutup menguar hingga luar ruangan, Geu-Reum dan Ki-Young melempar pandang. Menajamkan kedua telinga mereka, mendengarkan percakapan kedua orangtua mereka. Lebih kearah pertengkaran, mereka menunggu waktu untuk memisahkan atau memilih tak ikut campur.

"Ini salahmu, kau tak biarkan dia melakukan apa yang dia mau. Mengekang dan mengatur kehidupannya," Teriak Lee Hye-Young, tangannya menyeka air mata yang tak berhenti menetes.

"Lalu kau memanjakannya, hingga ia menjadi kelewatan batas. Kau lah yang salah, harusnya mendidik anak dengan tegas." Ujar Woo-Sung tak mau kalah, tangannya berkacak pinggang. Menatap istrinya dengan air mata tertahan di ujung mata bawahnya, menguatkan diri untuk istrinya.

"Aku? Kau juga sama, kita berdua orangtua yang gagal mendidik anak."

Woo-Sung mengusap kasar wajahnya, kehabisan kata-kata. Memejamkan matanya, lalu ikut duduk disamping istrinya. Menarik sang istri kedalam dekapan hangat, pertahanannya ikut runtuh. Ia tak bisa melihat wanita paling dicintainya menangis, mengusap lembut puncak kepala. Memberikan ketenangan, saat istrinya menangis sedu sedan.

"Kita bersalah, kita gagal membesarkan anak."

Hye-Young membalas pelukan sang suami, membenamkan dirinya dalam kehangatan yang menenangkan. Tak peduli air matanya membasahi baju sang suami, ia hanya ingin meluapkan kesedihannya. Juga rasa khawatir tentang keadaan anak bungsunya, karena dia semua ini terjadi. Harusnya ia bisa menahan emosi, menjaga ucapannya, dan bersikap tegas.

Dari balik pintu Ki-Yong dan Geu-Reum masih setia menjadi pendengar, tak berani masuk kedalam. Memilih menunggu diluar, menyimpulkan sendiri tentang keadaan di dalam.

Ponsel Geu-Reum berdering, saat ia baru akan mendudukan dirinya kembali. Mendapati nama Chan-Woo dalam layar, segera menggeser tanda hijau untuk menerima panggilan.

Sepersekian detik senyumnya mengembang, mendengar kabar baik adiknya dari sahabatnya itu. Sahabatnya itu telah menemukan keberadaan Woo-Young, segera ia memberitahu kakaknya.

Secepat mereka mencari tempat yang disebutkan Chan-Woo, tanpa memberitahu kedua orangtuanya. Terlalu bahagia dan terburu-buru, tak sempat untuk berpamitan. Biar nanti saja mengabari melalu pesan singkat, saat Woo-Young sudah ditemukan.

Anak lelaki yang baru kembali pulang dari toserba, dengan sebelah tangannya menenteng plastik. Berdiri didepan pintu kamar, wajahnya ragu-ragu dan cemas. Menggigit ujung kukunya, menandakan ia tengah gusar.

Hatinya bimbang akan sesuatu, merasa bersalah pada kawannya yang sudah 2 hari ini menginap dirumahnya. Di tambah ibunya marah karena kawannya itu terlalu lama menginap, sedang ia tak enak hati untuk mengatakan.

Dalam perjalanan ke toserba, ia menghampiri warnet yang biasa ia dan kawannya itu datangi. Ia tak berniat untuk bermain, tapi ingin menemui seseorang.

Beruntung ia menemukan orang yang ia cari, mengutarakan maksud hatinya. Mengatakan tentang kawannya itu, pada sahabat dari kakak perempuan sang teman.

"Terimakasih atas informasi mu, Seong-Hwa."

"Tolong cepat beritahu kakaknya, mereka pasti juga khawatir pada Woo-Young."

Chan-Woo menepuk pundaknya, dengan seulas senyum. Mengakhiri pertemuan, setelah mengabulkan permintaan anak abg itu.

Seong-Hwa memberanikan diri membuka pintu, mendapati sosok yang membuatnya merasa bersalah. Woo-Young menyambut dengan tatapan datar, ia duduk di bangku meja belajar. Pakaiannya telah berganti seragam sekolahnya, mengganti pakaian rumahan milik Seong-Hwa. Tas yang berisi buku-buku pelajaran pun siap di kemas, selama ini ia hanya meminjam pakaian sahabatnya itu.

"Kau mau kemana? Kau mau pulang?"

"Tidak, aku akan mencari tempat tinggal baru. Aku akan mencari pekerjaan, lalu menyewa rumah."

"Kau akan berhenti sekolah?" Tanya Seong-Hwa, matanya ikut membulat.

"Mungkin," Woo-Young mengangkat bahunya,

"Kau jangan bodoh, kau hanya sedang emosi sesaat. Kita sedang dalam masa pubertas, jadi emosi kita tidak stabil. Lagi pula, siapa yang mau menerima bocah SMP yang belum lulus?" Ujar Seong-Hwa, mencoba menyadarkan kawannya yang telah bertindak terlalu jauh. Khawatir, jika ia malah salah langkah.

"Pekerjaan apapun, serabutan pun akan kujalani. Aku sudah tak bisa bertahan, aku tidak ingin pengekangan." Jelas Woo-Young masih bersikukuh pada keputusannya,

"Tapi kau masih menyayangi mereka, mereka pun sama. Bersikap keras itu hal wajar, tandanya mereka sangat menyayangimu." Seong-Hwa memperkuat pendapatnya,

"Tidak, kau tidak tahu." Tatapan Woo-Young tak seteduh biasanya, penuh kegusaran dan kesedihan.

"Aku ingin memiliki hidupku sendiri, tanpa dibandingkan kakak-kakakku. Terimakasih Seong-Hwa kau banyak membantuku, maafkan aku yang selalu merepotkanmu. Katakan pada ibumu, atas ucapan terima kasihku. Dan beritahukan ibumu, jika aku sudah pergi."

Seong-Hwa berdiri membeku, membungkam mulutnya sendiri dengan ucapan Woo-Young. Bahkan tangan Woo-Young yang menepuk bahunya, tak lagi ia rasakan. Tubuhnya seakan mati rasa, hatinya mencelos. Tidak mungkin Woo-Young mendengar perbincangannya bersama ibunya, kemarin malam.

Ia makin tak enak hati, mungkin temannya itu pergi juga karena risih akan ucapan ibunya. Ia tak bisa berbuat apa-apa, entah apa yang akan di pikirkan Woo-Young.

Terlalu malu untuk menunjukkan mukanya, saat ia juga tak bisa mengembalikan keadaan. Mengurungkan niat untuk mengejar sosok kawan terdekatnya, yang sudah menghilang dari pandangan.

Udara malam langsung menusuk, saat ia baru membuka pintu. Tapi dinginnya angin malam, tak akan mematahkan semangatnya. Malam akan menjadi temannya saat ini, juga saksi akan perjuangannya. Wajahnya menengadah, menatap langit gelap yang bersih. Tak ada bulan atau bintang, membuat langit seakan hampa.

Keheningan malam menyelimuti, sayup-sayup suara hewan malam saling bersahutan. Rasanya ia jadi sangat kesepian dan hatinya tak bisa berbohong, jika ia merindukan keluarganya. Hati dan pikirannya tak sejalan, sejujurnya ia takut untuk berada di luar sendirian. Ego-nya mengalahkan semuanya, tak ingin mengakui yang sesungguhnya.

"Jang Woo-Young."

"Huhh, bahkan aku bisa mendengar suara mereka."

"Hei, bodoh."

"Kenapa hanya umpatan kak Geu-Reum yang ku dengar,"

Bibirnya mengukir senyum, ia teringat kakak perempuannya yang selalu mengutuknya. Melebur dalam kenangan manis dan hangatnya bersama kedua kakaknya, juga kedua orangtua yang selalu memberikan rasa aman.

Seulas senyum sendu makin terukir diwajahnya, menatap lurus pada jalanan. Lalu memutar tubuh untuk memulai perjalanan, memulai hidup barunya yang akan ia tempuh.

"A.. apa yang kalian lakukan disini?" Tanya Woo-Young, ia terkejut bukan main akan kehadiran dua kakaknya. Jadi yang ia dengar tadi, benar-benar nyata.

Kedua kakaknya berdiri dengan bersandar pada bagian depan mobil, tak lupa tangan terlipat di dada dan tawa puas mereka. Saat melihat wajah ketakutan adiknya, mereka merindukan itu.

"Menjemput mu apalagi?"

"Kau jangan coba kabur lagi,"

Geu-Reum dan Ki-Yong berjalan mendekati Woo-Young, senyum hangat dengan tatapan lembut masih terpancar. Ki-Yong memiting batang leher adik lelaki yang lebih muda 8 tahun darinya, menjepit kuat dengan lengannya. Woo-Young meronta minta dilepaskan, ia kesakitan karena itu.

"Bagaimana kalian bisa tahu aku disini?"

"Itu mudah saja, kau sangat mudah ditemukan. Walau, di tumpukan jerami sekalipun."

"Kenapa kalian harus mencariku, biarkan saja aku pergi. Lagipula aku kan-"

"Yak, apa yang kau pikirkan? Ibu bahkan menangisi mu selama kau pergi, kami jadi tak pernah makan dirumah." Potong Ki-Yong, tangannya ikut memukul pelan perut adiknya itu. Namun, Woo-Young tetap merasa kesakitan.

"Pulang lah, kami merindukanmu."

Hatinya melunak, keegoisannya yang sedikit demi sedikit terkikis pun ikut menghilang. Balok es sekuat apapun bisa mencair, meleleh dan kembali pada bentuk aslinya.

Woo-Young tak pernah membenci siapapun, ia hanya membenci dirinya sendiri. Selalu membuat orang yang ia cintai kesusahan, tak merasa bersalah setelah menyakiti perasaan.

Selama hidupnya, cinta pertamanya adalah keluarga. Walau terkadang ia bertengkar dengan dua kakaknya, tapi itu hal wajar dalam persaudaraan. Juga pertengkaran dengan ibu dan ayahnya, bisa dikatakan ia yang salah. Bodohnya ia tak bisa menahan emosi nya sendiri, benar apa kata Seong-Hwa. Ia sedang masa pubertas, emosi tidak stabil dan tak bisa mengekspresikan diri sendiri.

Mereka tiba dirumah, mobil Ki-Yong sudah terparkir sempurna. Woo-Young masih berdiam diri, enggan keluar dari mobil. Tangannya digenggam lembut Geu-Reum, juga senyuman untuk menyemangatinya. Dengan langkah hati-hati, Woo-Young mengikuti langkah kedua kakaknya memasuki rumah yang sudah lama tak ia jamah.

"Woo-Young."

Ibunya langsung menghamburkan pelukan pada putra bungsunya, menangis tersedu-sedu dalam dekapan. Ayahnya ikut mengukung keduanya, mengelus lembut puncak kepala putra kebanggaannya. Woo-Young ikut terhanyut, tangis nya pecah seraya penyesalan yang menyesakkan dada.

Pesan yang dikirim Ki-Yong, membawa sinar bagi rumah yang gelap. Ibu maupun ayahnya, begitu bahagia. Bahkan kata-kata tak bisa menggambarkan perasaan mereka, sebuah pelukan penyambutan pun. Tak berarti apa-apa, jika untuk menebus kesalahan mereka.

"Ibu berjanji, tidak akan memarahimu lagi." Ujar ibunya, menangkup wajah anaknya yang sudah lama ia rindukan.

"Tidak bu, lakukan apa yang menurut ibu salah. Aku merindukan itu, aku suka itu."

Woo-Young tak bisa menahan tangisnya, sesegukan saat berucap.

"Ayah juga, aku akan berubah dan belajar dengan baik. Jadi marah lah padaku, saat aku berbuat salah."

Ayah makin memperkuat pelukannya, membaur dalam satu dekapan. Kebahagiaan memang hal termahal didunia, tak ada harga untuk itu. Memiliki keluarga lengkap dan hangat, juga sudah sangat mewah dan mahal baginya. Rasa syukur yang selalu terucap, atas apa yang ia punya saat ini. Putra-putri yang membanggakan, istri yang penuh perhatian, keluarga adalah separuh jiwanya.

Ki-Yong dan Geu-Reum ikut dalam pelukan menyesakkan yang penuh kasih sayang, menghantarkan rasa nyaman dalam hangatnya dekapan. Berbisik pada hati masing-masing, jangan pernah lepaskan pelukan ini. Keluarga adalah rumah yang sebenarnya, melindungi dan tempat berkeluh kesah.

"Kalian adalah separuh jiwa dan nafasku, tidak peduli hubungan darah diantara kita seperti apa. Aku tidak peduli akan itu, kalian adalah adik-adik termanisku."

Ki-Yong menatap kedua adiknya yang berdiri bersejajar dengannya, lalu menatap langit malam yang masih sama seperti kemarin.

"Bagiku, kalian anggota tubuhku." Ujar Woo-Young tak mau kalah, kakaknya serentak menatap lurus padanya.

"Apa maksudmu?" Tanya Geu-Reum tak mengerti,

"Kak Ki-Yong tangan kanan, dan Kak Geu-Reum tangan kiriku. Kalian melengkapi ku, ada untuk membantuku keluar dari masalah diriku sendiri. Merangkulku untuk berjalan bersama, menggenggam tangan saling menguatkan."

Tangan Woo-Young menggengam tangan kedua kakaknya, yang mengapitnya. Tersenyum puas pada kata-kata yang terlontar, ia bangga akan ucapannya itu. Hatinya merasa lebih baik, memiliki mereka adalah berkah terbaik dalam hidupnya.

"Apa ini? Kau membuatku merinding." Ucap Geu-Reum menggoda adiknya yang berusaha sok puitis, namun juga tersentuh akan diksi nya.

"Wah, Jang Woo-Young sudah berapa lama kita tidak bertemu? Kau jadi semakin dewasa, apa waktu berlalu sangat cepat?"

Mereka hanyut dalam tawa, menghiasi malam dengan suara kebahagiaan. Tangan yang saling bertautan, enggan terlepas. Terlalu nyaman oleh sentuhan halus jemari yang menyatu disela-sela, menggelitik hati untuk ikut berdamai pada keadaan. Cukup untuk kali ini dan hari ini, kekacauan itu mengusik. Biarkan ketenangan dan kebahagian yang menyelimuti, menyelamatkan rumah paling berharga didunia beserta penghuninya.

Sore hari di akhir pekan, Geu-Reum dan 7 sahabatnya berjalan-jalan di jalanan Sinchon. Salah satu kawasan di seoul yang terkenal, sebagai kawasannya hangout anak-anak muda. Karena dekat dengan banyak universitas ternama, maka kawasan ini pun banyak sekali tempat nongkrong. Untuk para mahasiswa yang menempuh studi di universitas, yang berada di sekitar.

Kebanyakan tempat adalah cafe atau coffee shop, yang memiliki desain interior yang menarik. Bahkan, jarak dari satu ke cafe dengan cafe yang lainnya sangat berdekatan. Di kawasan Sinchon juga terdapat sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ternama, yakni Hyundai Department Store. Kawasan ini juga terkenal dengan hiburan malamnya yang semarak. Karena mereka masih pelajar di bawah umur, maka mereka hanya mampir ke cafe.

"Cafe mana yang terbaik?" tanya Han-Bin yang lebih dulu mengajukan pertanyaan, mereka terhenti untuk berdiskusi dengan berdiri melingkar.

"Aku tidak pernah datang ke sini, aku ikut saja." Ujar Geu-Reum,

"Cafe nomer 3 dari sini, kiri jalan, pintu kaca, dengan nama 'Sehr Gute'. Kata kakakku sangat terkenal di sini, harganya juga murah." Ucap Jin-Hwan, mengingat kakak perempuannya yang seorang kopiholic memberitahunya sebelum pergi.

"Ya sudah, kita kesana saja." Seru Ji-Won cepat-cepat menyetujui, ia tak peduli cafe mana yang ingin di masuki. Ia hanya ingin cepat minum, kerongkongannya kering setelah banyak berjalan.

"Tapi apa kita kesini hanya untuk duduk di cafe?" Keluh Chan-Woo, ia bukan tipe yang suka berlama-lama di satu tempat.

"Aku ingin pergi ke Arkade, ku dengar dari senior Minho di sini yang terbaik." Timpal Junhoe bersemangat,

"Atau kita bisa mencari spot foto, banyak tempat yang membangun aesthetic ku di sini." Ujar Yunhyeong, yang lain tak memberi komentar.

"Kalau begitu salah satu dari kita, yang harus memesan." Usul Dong-Hyuk, langsung mendapat persetujuan.

Mereka mulai dengan permainan lama, hompimpa melegenda mereka. Saling melempar tatapan, persaingan ketat diantara mereka.

"Gunting.. batu.. kertas."

Han-Bin yang memimpin permainan, tangan mereka sudah siap di udara. Menunggu aba-aba untuk menjatuhkan pilihan, dimana akan menjadi nasib mereka selanjutnya.

Dan hasilnya, Geu-Reum yang kalah. Ia satu-satunya perempuan, dan ia juga yang paling buruk dalam permainan itu. Selalu saja ia yang kalah, peruntungan menang baginya tidak lebih dari 10 persen.

Ia mengutuk dirinya sendiri yang selalu kalah, memandang sebal 7 pria yang asyik mengoloknya. Dengan setengah hati ia menuju kafe yang Jin-Hwan bicarakan sebelumnya, tanpa melihat 7 rekannya yang bahagia pergi ke tempat hiburan yang penuh mesin permainan koin. Meninggalkannya yang harus mengantri panjang, di kafe dengan interior bergaya klasik kebarat-baratan.

Beruntung atau tidak, hari ini kafe tidak terlalu ramai dalam antrian. Walaupun tempat duduk hampir semuanya penuh, dengan muda-mudi yang berakhir pekan. Pasangan pun banyak terlihat disana, tak ada yang duduk sendiri.

Setiap bangku terisi, mereka sengaja datang bersama rekan atau kekasih. Bisa dilihat dari gaya berpakaian dan wajah mereka, jika mereka adalah mahasiswa dari universitas dekat sini.

Tak perlu waktu lama menunggu, Geu-Reum sudah mendapat giliran memesan. Setelah satu pelanggan di depannya, selesai dengan keperluannya.

"Selamat datang di Serh Gute, apa yang ingin anda pesan?" Sapa pegawai kafe perempuan itu ramah, Geu-Reum sibuk membuka ponselnya untuk melihat pesanan kawan-kawannya yang tadi ia catat.

".. dua Caramel Macchiato, satu Frappuccino Green Tea Crème, satu Raspberry Cream Frappuccino Red Velvet Cookies, dan empat Double Shot Ice Shaken Espresso 12 oz."

Geu-Reum membaca tulisannya yang ia ketik, terlalu fokus tanpa melihat lawan bicaranya yang juga sibuk mengetikan pesanan.

"Semuanya 102.000 won, anda dapat diskon akhir pekan 10 persen. Jadi, anda hanya perlu membayar 91.800 won. Pembayaran menggunakan uang tunai atau kartu?"

Geu-Reum menyerahkan selembar uang seratus won, pegawai itu pun langsung menyambut. Lalu memberikan kembalian dan nota pembelian pada Geu-Reum dengan senyum ramah, menyuruhnya untuk menunggu pesanan kemudian. Ia menunggu bersama pembeli lain, mengantri lagi sesuai urutan angka pembelian.

Matanya berkeliling melihat-lihat setiap penjuru kafe, menghilangkan kebosanan saat menunggu pesanannya. Ia menangkap sosok yang tak asing, seorang lelaki bermata sipit salah seorang barista kafe itu.

"Pesanan nomer 115,"Panggil pria bermata sipit yang sejak tadi Geu-Reum perhatikan, kepalanya ikut berputar mencari pelanggan yang ia panggil.

"Soon-Young? Kau Kwon Soon-Young kan?" Ucap Geu-Reum antusias, saat ia benar-benar mengenali sosok itu. Teman sekelasnya, bermata sipit dan yang paling berisik di kelas.

Soon-Young tak menjawab, ekspresi wajahnya juga ikut berubah. Wajah segitiga nya menampakkan keterkejutan, rahangnya turun dan gigi atas bawah nya agak terpisah.

Rahasianya selama ini terbongkar, dimana ia menutupi pekerjaan paruh waktunya itu selama disekolah. Namun, ia tak menyangka jika akan bertemu salah satu teman kelasnya.

"Kau tidak mengenaliku? Aku Geu-Reum, teman sekelas mu." Ujar Geu-Reum berusaha mengenalkan dirinya,

"Ouh.. ehh.. sepertinya aku sedikit tidak bisa mengenalimu." Bohong Soon-Young, tanpa menatap mata lawan bicaranya.

"Ini pesananmu kan? Ambil ini, antrian akan jadi panjang. Maaf, terimakasih telah membeli."

Pesanan yang dipanggil Soon-Young, memang pesanan Geu-Reum. Segera ia mengambil pesanannya, mengingat antrian juga makin panjang. Tatapan pelanggan lain juga terlihat mulai tak bersahabat, ia urungkan untuk mengobrol lebih lama dan cepat-cepat pergi.

Pria sipit itu bisa bernafas lega setelahnya, melihat gadis berkacamata yang hampir menangkapnya basah telah pergi. Ia benar-benar tidak beruntung hari ini, setidaknya Geu-Reum tak banyak bertanya. Hanya saja ia khawatir bagaimana nasibnya di sekolah, jika Geu-Reum memberitahu satu sekolah tentang yang ia lihat hari ini.

"Aku yakin dia Soon-Young, tapi kenapa dia tak mengenali ku?" Gumam Geu-Reum di sela perjalanannya, saat keluar kafe. Lalu mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing dan segera menemui sahabat-sahabatnya.

Namun sekali lagi, langkahnya terhenti di dekat gang belakang kafe itu. Ia mulai penasaran dengan suara yang terdengar tengah beradu mulut, kakinya juga tanpa sadar berjalan mendekat.

Tidak biasanya ia tertarik dengan hal seperti ini, ia juga akan lebih dulu menghindar. Tapi kali ini sesuatu mendorongnya, hingga ia berakhir di sebalik dinding yang dekat dengan sumber suara tadi.

Di tempat sepi itu, ada 3 orang yang saling beradu mulut. Satu-satunya perempuan diantara ketiganya, menangis dan meronta-ronta. Saat salah satu lelaki bertubuh paling besar, menarik tangannya paksa.

"Ikut aku, jika kau masih ingin melihat dunia."

"Aku tidak mau, walaupun aku mati sekalipun."

"Kau berani padaku, setelah kau mengadu pada bocah ingusan ini?"

Tangan pria itu menunjuk wajah pria yang di sebutnya bocah, sedang yang ditunjuk menampakkan wajah tak suka. Tapi ia tetap memilih diam, sesekali melihat si perempuan.

"Dia tidak ada hubungannya dengan ini, aku sendiri yang telah menyadari kebusukanmu."

"Kau salah, kita adalah pasangan kekasih dan aku akan menikahimu."

"Itu tidak akan pernah terjadi,"

"Aku memang tidak memaksamu, tapi kau harus mengembalikan uang ku."

"Uang mu? Kau bahkan hanya parasit yang menempelku, bagaimana bisa kau sebut itu uangmu. Alih-alih aku yang bekerja siang malam,"

"Berikan saja uang itu jalang."

Pria itu mulai tak sabar, ia berbuat kasar pada wanita yang juga kekasihnya itu. Menampar kuat, hingga si wanita tersungkur ketanah. Ia masih tak puas dan ingin menghajar kembali, namun si pria yang berdiam diri tak tinggal diam.

"Hentikan!"

"Mau apa kau bocah?"

"Berani kau menyentuhnya, kau harus berhadapan dengan ku."

"Apa ini lelucon? Aku tidak biasa menghajar bocah seperti mu, tapi karena kau yang minta."

Satu pukulan keras mengenai wajah si pria yang ingin melindungi si wanita, tubuhnya limbung dalam sekali tinju. Namun ia tak gentar, segera ia bangkit dan membalas tinjuan. Keduanya saling beradu kekuatan, tinjuan bergantian mengenai wajah mereka. Si wanita berusaha melerai dengan teriakannya, namun tak digubris.

Di balik persembunyiannya, Geu-Reum ingin ikut melerai. Namun, ia tak bisa apa-apa. Seluruh tubuhnya gemetar, ia sangat takut. Kakinya tak bisa berdiri tegap, jika saja tak ada dinding ia sudah ambruk. Bahkan suaranya hampir keluar, sebelum cepat-cepat ia bungkam mulutnya dengan tangan.

"Kak, cepat pergi dari sini. Lari sejauh mungkin," Seru pria yang tengah menjadi bulan-bulanan, saat tubuhnya terhimpit dengan kerah bajunya yang ditarik keatas.

Si wanita terdiam menatap wajah pria yang menolongnya penuh memar, isaknya tak lagi ia dengar. Tanpa banyak berpikir, ia segera menuruti ucapan pria yang lebih muda darinya itu. Mungkin ia juga bisa mencari pertolongan diluar, dan bisa bersembunyi dari kekasih bajingannya.

Mereka saling bertatap muka, saat melewati jalan menuju keramaian. Ia melihat dari atas kebawah, Geu-Reum gugup karena tertangkap basah. Namun, dengan wajah kacau si wanita itu menghampirinya dan menyentuh lengan atasnya.

"Tolong selamatkan adikku, aku akan mencari bantuan."

Setelah itu, ia berlalu pergi dengan sedikit berlari. Segera mencari bantuan, seperti yang ia katakan. Geu-Reum mematung, ia tak bisa mencerna dengan baik ucapan wanita yang tetap terlihat cantik saat ia berantakan.

Tapi hatinya tergerak saat melihat perkelahian mereka semakin sengit, bahkan pria bertubuh besar mendominasi pertikaian. Ia harus segera menolong, sebelum pria yang ditawan itu lebih parah.

"Hentikan," Teriak Geu-Reum sekuat-kuatnya, ia juga melempari si pria bertubuh besar dengan minuman yang baru ia beli. Tak ingat lagi pesanan 7 temannya, dan tak lagi peduli akan ketakutan yang menjalari tubuhnya.

"Sial, kau-"

Geu-Reum tak memberi kesempatan bicara pada pria itu, ia terus melemparinya hingga mengenai wajah nya terlihat makin murka. Di gigitnya bibir bawah dengan beringsut mundur, saat pria itu beralih mengincarnya. Tapi pria itu jatuh sepersekian detik kemudian, saat pria yang ditawannya tadi memukul belakang kepalanya dengan sebuah balok kayu.

Mata bulat Geu-Reum makin membulat, mulutnya membuka sempurna. Terkejut dengan apa yang terjadi di hadapannya, karena ini pertama kali baginya. Lalu matanya menatap sosok yang menyebabkan ini semua, seseorang yang langsung ia kenali. Wonwoo teman sekelasnya yang memukul pria itu hingga pingsan, ia tak meyadari karena sejak tadi wajahnya terhalangi tubuh pria yang tengah terkapar.

Tak lama bantuan datang, namun hanya dua petugas keamanan setempat. Di belakang mereka wanita tadi kembali, wajahnya sangat terlihat khawatir. Petugas keamanan membawa tubuh pria yang tak sadarkan diri, sedang si wanita akan menjadi saksi.

Namun sebelum pergi, ia berbicara empat mata dengan Wonwoo. Berdiri jauh meninggalkan Geu-Reum yang juga memperhatikan keduanya, menebak hubungan mereka berdua.

Tapi enggan bertanya saat mereka telah selesai berbincang, tak lupa si wanita berterimakasih pada Geu-Reum. Lalu mengikuti petugas keamanan yang telah jauh membawa tubuh kekasihnya, ke kantor yang tak jauh dari tempat kejadian.

"Kau tidak apa-apa kan?" Tanya Geu-Reum hati-hati, kepalanya sedikit mendongak untuk bisa melihat wajah Wonwoo.

"Tidak apa-apa," Jawab Wonwoo mengalihkan pandangannya yang sejak tadi menatap kepergian mereka, menatap Geu-Reum yang sangat pendek di sampingnya.

"Apa boleh tahu, siapa wanita itu?"

"Dia kakak sepupuku, dan laki-laki itu kekasihnya."

"Oh seperti itu, tapi kenapa-"

"Dia datang untuk mengembalikan uang padaku, tapi bajingan itu mengikutinya untuk meminta uang itu."

"Oh begitu,"

Kepalanya mengangguk-angguk paham, lalu matanya jatuh pada pakaian yang dikenakannya. Mengingatkannya pada Soon-Young yang beberapa menit lalu bertemu dengannya, pakaian yang sama.

"Kau juga bekerja di kafe itu?"

"Emm.. aa.. iya."

Wonwoo ragu-ragu menjawab, ia juga kehilangan kepercayaan diri saat membahas hal itu. Ia dan Soon-Young memang bekerja paruh waktu, keduanya juga merahasiakan itu. Bukan malu karena mereka tidak seperti yang lain, hidup dengan berkecukupan. Hanya saja, mereka tak ingin terlihat paling menyedihkan diantara yang lain.

"Aku melihat Soon-Young saat aku membeli-"

Geu-Reum memukul dahinya sendiri saat mengingat minuman yang ia beli, telah ia gunakan sebagai senjata pertahanan.

"Ya ampun, bagaimana ini."

"Kenapa?"

"Aku baru membeli minuman untuk teman-teman ku, tapi aku sudah membuangnya."

"Tunggu disini, berikan notamu."

Dengan wajah tak mengerti ia mengeluarkan nota pembelian dalam tas jinjingnya, lalu memberikannya pada Wonwoo. Pria tinggi dengan suara bariton itu, berlari masuk ke dalam kafe. Geu-Reum menurut saja, untuk menunggunya.

Wonwoo segera membuat minuman yang sama, dengan yang Geu-Reum beli. Rekannya yang lain memandang heran padanya, namun ia tak mempedulikannya. Bahkan Soon-Young yang telah memberondonginya banyak pertanyaan, ia acuhkan.

"Aku yang akan membayarnya, tolong masukkan diskon khusus pegawai dan voucher gratis milikku." Ujar Wonwoo memberikan selembar nota pembelian Geu-Reum, pada rekan kerja perempuan yang bertugas sebagai kasir.

"Hei...Hei apa yang kau lakukan. Wajahmu juga kenapa?" Ujar Soon-Young, dengan tangannya menunjuk wajah Wonwoo.

"Aku hanya ingin berbalas budi." Jawab Wonwoo seadanya, tetap fokus pada pekerjaannya.

"Kau gila? Ini terlalu mahal, memang kau ada uang?"

"Aku dapat diskon dan Kak Eun-Woo tadi membayar hutangnya."

Mata sipitnya tetap tak bisa mengalihkan pandangannya pada kawan seperjuangannya itu, untuk siapa minuman sebanyak dan semahal itu. Bahkan ia sendiri yang membuatnya, tanpa bantuannya ataupun rekan lain.

Pertanyaan yang diajukan untuknya pun ia acuhkan, terlalu fokus pada pekerjaannya. Lalu hanya menatap pria yang lebih tinggi darinya, pergi dengan membawa minuman-minuman itu.

Di luar Geu-Reum masih setia menunggu Wonwoo, ia duduk di tepian lantai depan kafe itu. Lalu segera beranjak saat Wonwoo telah kembali, ia sedikit terkejut juga bahagia. Saat pria itu mengulurkan 2 paper box, yang setiap sisinya terisi cup yang sama dan satu tambahan minuman.

"Anggap saja ini ganti rugi, kau juga dapat bonus."

"Apa kau yang membayarnya?"

"Tidak, aku minta klaim dari kafe. Aku bilang minumanmu terjatuh, jadi mereka memberikannya."

"Apa bisa semudah itu?"

"Tentu saja, sudah cepat pergi temui teman-temanmu. Aku juga harus kembali bekerja,"

"Baiklah, terimakasih Wonwoo-ya. Selamat bekerja, sampai jumpa."

Dengan hati yang kembali senang, Geu-Reum segera pergi meninggalkan Wonwoo yang masih menatap kepergiannya. Tak terasa senyumnya juga ikut mengembang, walau hanya ujung bibirnya yang tertarik.

Untuk pertama kalinya ia berbincang dengan gadis berkacamata itu, dan langsung membuatnya terkesan. Ia tidak banyak tingkah seperti gadis lain, ia polos dan sangat manis. Mungkin ia bisa akrab untuk kedepannya, berteman dengannya juga tidak terdengar buruk.

Dia gadis yang apa adanya, mudah bergaul, dan tak terlihat pilih-pilih teman. Selama ini ia hanya berteman dengan Soon-Young, karena ia merasa memiliki nasib sama dengannya. Sedang sikapnya yang acuh, hanya untuk pertahanan dirinya agar tak tertindas.

Namun ia terlupa sesuatu, apakah Geu-Reum bisa dipercaya atau tidak? Karena terlalu merasa berhutang budi, ia lupa bertanya dan meminta menyembunyikan rahasianya itu.

Tapi rahasia sebesar apapun akan terbongkar juga, mungkin ini juga akhir dari kebohongannya.

Ia juga harus siap dengan itu, pekerjaan ini bukan dosa. Seharusnya ia bangga bisa menghasilkan uang sendiri, alih-alih meminta uang pada orangtua. Semua harus cepat diakhiri, ia juga sudah siap menghadapinya saat satu sekolah akan mencemooh atau hal lainnya.

***

5650 kata, semoga bisa dinikmati :))

vote-nya thanks...