Dengan hati-hati Geu-Reum mengambil buku dari tas nya, mengeluarkan yang akan digunakan di jam pertama. Tangannya masih terasa perih, jika digerakkan sedikit rasanya amat sangat ngilu. Harusnya dengan alasan ini, ia bisa ijin sakit agar tak masuk sekolah. Tapi hanya luka bakar yang tak parah, ibunya tak mengijinkan libur sehari.
"Selamat pa— hahh, ya ampun! Kenapa tanganmu?"
Jung Mimi gadis bersuai panjang kecoklatan, terkejut dengan tangan teman dekatnya yang kedua tangannya terbalut perban. Membolak-balikan telapak tangan Geu-Reum, memperhatikan apa yang terjadi pada gadis itu.
"Hanya luka bakar, aku tidak sengaja memegang panci panas saat memasak mi instan."
"Bagaimana bisa terjadi? OMG, kau ceroboh sekali."
Ucapan yang terlontar mirip dengan tujuh teman pria nya, mereka sama-sama khawatir dengan cara mereka. Mereka adalah teman-teman terbaik, peduli dan selalu memperhatikannya.
Beruntungnya ia punya orang-orang yang selalu penuh kasih sayang untuknya, setelah kedua orangtuanya. Bahkan tak pernah terbayangkan, untuk bisa memiliki sahabat seperti mereka.
"Aku tidak apa-apa, ini juga akan cepat pulih."
Geu-Reum memberikan seulas senyum terpaksa, agar Mimi tenang dan berhenti membolak-balikkan telapak tangannya. Mimi mengangguk, lalu melepaskan genggaman.
"Baiklah, apa kau bersama dengan mereka kemarin?"
"Iya, kami seharian membersihkan gudang untuk markas kami."
"Astaga, kau perempuan Geu-Reum. Bagaimana bisa, kau sangat suka bermain dengan para lelaki kekanak-kanakan itu."
"Memang kenapa? Mereka baik dan menyenangkan, walau terkadang ada perkelahian kecil diantara kami."
"Lalu kau tidak ingin punya kekasih dan berkencan, kau bukan anak 7 tahun lagi. Kau harus berubah, sesuai usia mu."
Geu-Reum memutar bola matanya, berkeliling pada pikirannya. Memikirkan alasan, mengapa ia tisak bosan dengan pria-pria itu.
"Aku suka seperti ini,"
"Tidak mungkin, jika dirimu itu aku. Aku sudah meninggalkan mereka, bahkan mereka bukan tipe ku semua. Mereka tidak tampan dan gentle, hidup mereka hanya untuk bermain dan selalu bertingkah konyol." Ujar Mimi dengan menepuk dahi tak tertutup poni, yang entah sudah keberapa kali ia lakukan.
"Apa maksudmu, Han-Bin tampan."
Mimi menyipitkan matanya dan dahinya berkerut, mencerna perkataan gadis berkacamata di depannya. Sadar salah berucap, Geu-Reum gelagapan salah tingkah. Segera mencari alasan, agar tak semakin mencurigakan.
"Em..m..ma..maksudku, mereka memang kekanak-kanakan. Tapi mereka tampan, jika kau sering bersama dengan mereka."
"Aku tidak akan tahan, walau hanya sehari. Kau tahu pacar baru ku lebih tampan,"
Mimi menggeleng cepat kepalanya, menyentuh dahinya seakan kepalanya pening. Lalu menunjukkan ponselnya,
"Mau lihat?"
.
.
.
"Tidak, kau pikir dia menyukaimu?"
Ji-Won lebih dulu bersuara, setelah Han-Bin selesai bercerita. Mereka ber-tujuh tengah berkumpul di bangku pinggir lapangan, saat jam istirahat.
"Tentu saja, senior itu yang mendatangiku lebih dulu. Dia masuk ruangan laboratorium saat kami ada kelas praktek, dan tersenyum padaku." Ujar Han-Bin bersungguh-sungguh, meyakinkan rekannya yang tak mempercayainya.
"Apa yang kalian bicarakan, sudah pasti senior Da-Hyun terpesona dengan ketampananku." Timpal Yunhyeong tiba-tiba, dengan mengusap kedua alisnya bersamaan.
Saat kelas praktek kimia tadi, Yunhyeong duduk disebelah Han-Bin. Saat Da-Hyun, senior tingkat 3 masuk dan melempar senyum kearah mereka. Jadi mereka beranggapan, bahwa senior yang satu tahun diatas mereka tertarik pada salah satu dari mereka.
"Perutku mual." Cibir Chan-Woo sembari memegangi perutnya, yang lainnya hanya terkekeh dengan wajah Yunhyeong yang murka.
"Senior Han Da-Hyun terkenal sebagai senior yang ramah, jangan salah paham." Jin-Hwan menyuarakan pendapatnya,
"Iya, dia juga baik. Setiap bulan ia selalu menjadi relawan donor darah, aku sering berjumpa dengannya setiap mendonor." Tambah Dong-Hyuk, tangannya ikut begerak saat berbicara.
"Kau donor darah? Pantas saja kau makin kurus, apa banyak yang di keluarkan? Satu gelas, ember atau— tidak mungkin, satu tangki?" Cerocos Junhoe penasaran dengan ke-ingin-tahu-annya, namun dengan pertanyaan yang tak wajar.
Jika sudah begitu, tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Cukup diamkan dan alihkan pembicaraan, usahakan tak berkontak mata dengannya.
Mereka berbeda kelas, hanya Han-Bin dan Yunhyeong yang satu kelas. Sekolah mereka memiliki banyak kelas, 7 kelas di setiap tingkatnya. Sehingga jam istirahat adalah waktu berkumpul mereka, bercerita sembari makan siang. Mereka juga lebih suka berada di bangku yang diteduhi pohon besar, sembari melihat hamparan rumput lapangan hijau.
Menyantap makanan yang mereka bawa dari kantin, jika seperti itu mereka jadi lupa sekeliling. Bahkan karena sering bersama, mereka jadi tak dekat dengan teman yang lain. Hanya sekedar menyapa, mencontek atau bergurau di kelas masing-masing. Mereka merasa lebih nyaman satu sama lain, sudah jadi kebiasaan sejak mereka kecil.
"Senior Da-Hyun, juga pernah menghampiriku saat aku ekstra sepak bola." Ucap Han-Bin mengingat-ingat kejadian 3 minggu lalu, saat Da-Hyun yang suka datang tiba-tiba. Menyapanya di lapangan, tak lupa dengan senyum manisnya.
"Terserah, dia pasti masih punya kewarasan." Celetuk Ji-Won, bibirnya tak berhenti mengunyah hingga satu bungkus keripik habis ia lahap.
"Teman-teman, aku datang."
Geu-Reum yang datang paling akhir, membawa satu plastik penuh isi makanan ringan. Disambut suka cita ke-tujuh pria, Ji-Won yang paling bahagia langsung menyerobot plastik putih itu.
"Kalian sedang membicarakan apa? Kalian membicarakan aku kan?"
Lalu, mengambil bangku kosong di sebelah Chan-Woo yang berhadapan dengan Yunhyeong.
"Percaya diri sekali," Yunhyeong yang menimpali, Geu-Reum memelototi.
"Han-Bin menyukai Senior Da-Hyun."
Jin-Hwan menjelaskan topik pembicaraan dan perdebatan mereka, membuat hatinya mencelos sedih.
"Dia yang menyukai ku." Tandas Han-Bin membenarkan, tetap bertahan pada sudut pandangnya sendiri.
Sinar matahari meredup, birunya langit berubah keabuan. Awan putih bergerak menjauh, tergantikan dengan awan mendung. Geu-Reum memilih diam setelah mendengar penjelasan, juga saat 7 sahabatnya yang masih berdebat tentang senior itu. Han-Bin yang paling bersemangat, bahkan selalu ada senyum kecil saat nama itu disebut.
"Apa akan hujan ya?" Ucap Junhoe mengamati perubahan langit yang tiba-tiba, sebelumnya cerah berawan menjadi kelabu.
"Kau mau sosisnya tidak?"
Tangannya mengambil sebuah sosis yang tinggal satu dalam plastik, bertanya pada Geu-Reum yang hanya terdiam sejak tadi. Karena ia masih ingin makan sosis, dan hanya bersisa satu milik Geu-Reum.
Merasa tak ada jawaban, ia melahap sosis tanpa ampun. Selain punya kebiasaan yang sama, mereka juga punya kesamaan makan yang sama. Sosis adalah makanan favorit mereka, sehingga setiap mereka berkumpul sosis harus selalu ada. Bahkan mereka bisa saling bertengkar, demi sebuah sosis.
Geu-Reum meraba plastik mencari sesuatu didalamnya, saat tak dapat ditemukan. Ia merogoh plastik lebih dalam, lalu mengeluarkan semua isinya.
"Siapa yang mema—"
Mata di balik kacamatanya membulat, mendapati tersangka yang telah mengambil jatah sosis nya.
"Koo Junhoe, itu milikku. Kembalikan!" Teriak Geu-Reum geram,
Ia bangkit dari duduknya, mencoba menggapai Junhoe yang duduk paling ujung. Menyeberangi meja panjang dan lebar, dengan tubuh yang hampir naik ke atas meja. Tangan pendeknya ia gunakan untuk meraih sosis, dan berusaha menjitak kepala besar Junhoe.
"Gadis bar-bar ini." Ucap Chan-Woo, dengan memundurkan sedikit tubuhnya untuk menghindari kekacauan. Juga masih setia menjadi penonton perkelahian, memperebutkan sebuah sosis.
"Kau tadi bilang tidak mau."
"Kapan? Kapan aku bicara seperti itu, hah?"
Perkelahian makin sengit, Junhoe masih bisa menghindari serangan. Hingga sosis habis tak bersisa, mengunyah tanpa berdosa. Lalu menjulurkan lidah, saat kunyahan makanannya telah masuk kedalam perut.
"Dasar babi, babi rakus."
Geu-Reum makin geram, kedua tangannya mengepal dan terlipat diantara sisi wajahnya. Kedua bola matanya menatap nyalang pada Junhoe, menandakan perang akan dimulai.
Lalu terjadilah saling mengejar di lapangan luas dibawah sinar matahari yang masih meninggi, namun Junhoe lebih unggul dibanding Geu-Reum. Berterimakasih pada kaki panjangnya, sehingga langkah lebarnya bisa berlari lebih jauh. Ejekannya semakin menjadi, saat menyadari Geu-Reum yang kesulitan mendapatkannya.
"Ayo kejar aku, kau yang malah seperti babi gemuk sekarang. Oiink. .oiink.. oiink." Ejek Junhoe dengan gerakan tubuh seolah-olah menggambarkan seekor babi, juga bersuara seperti babi.
Geu-Reum terengah-engah, menekuk lututnya yang mati rasa karena berlari. Masih dengan kemurkaan di wajahnya, meneriaki nama pria yang telah mencuri sosisnya.
"Kau akan mati ditanganku."
***
Usai jam pelajaran berakhir, para murid yang mengikuti ekstra mempunyai jadwal sendiri. Ada tambahan waktu, untuk tetap berada di sekolah. Biasanya sejak kelas satu, mereka di haruskan untuk memilih satu ekstra. Namun berbeda dengan Geu-Reum yang bisa naik kelas tanpa masuk ekstra manapun, dimana nilai ekstra banyak memengaruhi nilai kenaikan kelas.
Jika tidak karena otak pandainya yang tak perlu nilai tambahan ekstra. Cukup ikut banyak olimpiade dan memenangkannya, maka ia bisa dapat dispensasi. Selain itu juga ia malas untuk mengikuti ekstra, menghindari bersosialisasi yang mana hanya bisa ia lakukan dengan orang yang sudah dekat saja. Tidak bisa beradaptasi dengan cepat, jika bukan karena 7 pria itu. Ia sudah berhenti sekolah sejak lama, dan sejak bertemu Mimi sikapnya juga sedikit berubah.
Kali ini ia harus ikut tertahan di sekolah, karena Mimi punya hal mendesak yang datangnya tiba-tiba. Sehingga memintanya membawakan buku-buku untuk ekstra, ke studio musik. Jika bukan karena Mimi selalu baik padanya, ia pasti akan menolak.
Mengingat buku-buku itu sangat tebal, setebal kamus bahasa. Dengan susah payah dan sesekali umpatan, ia mengangkat tumpukan seberat dosa itu. Langkahnya juga hati-hati, khawatir jika menabrak orang yang lewat.
Ia berhasil sampai tujuan, tapi tenaganya mulai kehabisan. Hampir tubuhnya terhuyung jatuh, saat mencapai bibir pintu. Seseorang menarik tumpukan buku-buku tebal, lalu mengambil separuh tumpukan untuk membantu.
"Kenapa kau yang membawanya, dimana Mimi?" Ucap Joshua pria keturunan Amerika-Korea berwajah lugu dan berhati lembut, anggota ekstra musik yang juga teman sekelasnya.
"Panggilan alam," Bisik Geu-Reum, disambut bibir membulat Joshua. Tanpa suara, dengan anggukan paham akan maksud kata itu.
Baru pertama kali, ia masuk studio musik yang penuh bermacam-macam alat musik. Para anggota juga tengah sibuk, kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Berbeda tingkatan dan kelas, teman sekelasnya tak banyak yang masuk ekstra ini. Hanya Mimi dan Joshua, mengingat ekstra ini punya sistem seleksi untuk bisa bergabung.
Jadilah ekstra ini sulit untuk bebas bergabung, tapi tetap saja banyak yang mendaftar. Karena ekstra musik juga paling populer, diantara ekstra lain. Selain bisa mengikuti kompetisi besar, banyak senior dan pria tampan sekolah berkumpul di ekstra ini. Mungkin selain bakat, mereka juga mencari visual tampang.
Seperti senior yang tengah dikerumuni gadis-gadis, mengajari cara bermain alat musik bass. Geu-Reum memperhatikan kerumunan bagai idol yang dikelilingi penggemar, sejak masuk kedalam. Joshua menyuruhnya untuk meletakkan buku-buku di meja, jadi ia harus masuk kedalam ruangan yang asing baginya.
"Kita bisa mulai latihannya, Pak Kim akan datang terlambat." Ujar pria yang tadi tengah jadi sekuntum bunga diantara kumbang, menghampiri Joshua dan Geu-Reum.
Baru kali jni juga Geu-Reum bertemu dengan senior yang orang-orang bilang sangat tampan, mungkin pria ini juga yang dimaksud Mimi setiap bercerita. Senior tampan dengan bakat luar biasa, bersuara merdu dan bisa memainkan semua alat musik. Wajah rupawan juga tak lupa tersebut, pantas saja gadis itu sangat bersemangat setiap akan ekstra. Walau sudah punya kekasih, tetap saja ia melirik pria lain.
"Kau anggota baru?"
Geu-Reum masih di bawah alam sadarnya saat berhadapan dengan senior tampan itu, hingga tak menyadari senior mengajukan pertanyaan padanya. Membuat kedua pria disamping dan depannya memperhatikan, saling melempar pandang.
Joshua menyenggol lengannya, baru ia tersadar. Kedua matanya membulat, malu dengan apa yang baru saja terjadi. Salah tingkah, yang malah membuat senior tampan itu tertawa.
"Maaf senior, aku tidak bermaksud mengabaikan pertanyaan mu."
"Tidak masalah, apa aku harus mengulangi pertanyaan ku?"
"Aku mendengarnya, senior tak perlu mengulangnya."
Lambaian tangan dengan wajah malu juga bersalah, cepat-cepat dia lakukan agar senior itu tak benar-benar marah padanya.
"Aku bukan anggota ekstra, aku hanya membantu temanku membawakan buku-buku ini."
Tak lama orang yang tengah dibicarakan datang, dengan sumringah diwajahnya menyapa senior paling diidolakan itu.
"Apa kabar, senior Kang Young-Hyun." Ucap Mimi dengan suara lembut yang ia buat-buat, bahkan tak malu bersikap sok manis dengan menyebut lengkap nama senior itu.
"Mimi, apa dia temanmu?"
"Iya senior, kenapa? Dia tidak berbuat kesalahan kan, kau ini ceroboh sekali."
"Tidak, dia tidak melakukan apa-apa. Aku hanya menawarkan dia untuk masuk ekstra,"
Ketiga orang yang berada disana dibuatnya terkejut, wajah mereka sama. Geu-Reum yang lebih terkejut, itu sangat berlebihan untuk bercanda. Lain dengan dua yang tersisa, bingung dengan maksud senior itu. Masuk ekstra musik tanpa harus seleksi, mana bisa?
"Kau bicara apa, kita sedang tidak membuka pendaftaran anggota baru." Ucap Joshua mengingatkan,
"Lagipula, aku tidak bisa bermain musik. Nanti, aku malah mengacaukannya."
"Jangan khawatir kami disini awalnya juga tidak bisa, jika rajin berlatih kau pasti juga bisa. Untuk seleksi, aku bisa bicarakan pada Pak Kim."
"Benar-benar, aku setuju jika Geu-Reum bisa ikut bergabung. Aku jadi punya teman,"
"Tapi, akan ku pikirkan lagi. Mungkin minta ijin pada ibuku dulu, aku belum bisa langsung memutuskan."
"Tentu saja, kau bisa memikirkannya."
Young-Hyun terus melempar senyum pada Geu-Reum yang malu-malu, ia terpesona dengan kepolosan gadis junior tingkatnya itu. Menggemaskan pikirnya, juga terlihat menyegarkan mata dibanding gadis-gadis disini yang wajahnya banyak memakai polesan.
Melihat Geu-Reun yang berpenampilan apa adanya, malah membuatnya tertarik. Itulah kenapa ia ingin bisa memandang lama gadis berkacamata itu, setidaknya ekstra tidak akan membosankan seperti biasanya.
Gudang lama yang sudah disulap menjadi markas berkumpul 8 sahabat itu, resmi di buka. Malam ini mereka berkumpul untuk belajar bersama, walau tak berjalan sesuai rencana. Hanya Dong-Hyuk dan Geu-Reum yang khusyuk mengerjakan tugas rumah mereka, sedang penghuni lain sibuk memakan cemilan dan bersenda gurau.
"Dora, kau tak bawa keripik udang kesukaanku?" Ujar Ji-Won dengan panggilan kesukaannya pada Geu-Reum, mengingat rambutnya memang seperti tokoh kartun.
"Jangan panggil aku dengan nama itu, jika kau masih mau hidup." Tegas Geu-Reum tanpa mengalihkan pandangannya, terlalu sibuk mengerjakan tugas dibanding meladeni makhluk bermata sipit itu.
"Memang,apa yang akan kau lakukan?"
Ji-Won tak gentar dengan ancaman, ia justru menambah kemarahan dengan melempar kacang yang baru ia nikmati.
Kilatan mata Geu-Reum berhasil tertuju pada lawannya, mengalihkan tatapannya untuk memelototi Ji-Won. Hampir saja marahnya meledak, jika Jin-Hwan tak memotong peperangan itu.
"Aku tadi melihatmu masuk studio musik, apa kau ikut ekstra itu?"
"Tidak aku hanya membantu Mimi membawa buku-buku ke sana, tapi aku mendapat tawaran masuk kesana."
"Benarkah?"
Mata Jin-Hwan membulat, namun tetap memastikan. Lalu diikuti keterkejutan yang lain, Geu-Reum hanya mengangguk. Tatapan mengintimidasi ketujuh pria itu, membuatnya menciut.
"Aku tidak percaya, dia pasti membual. Mana mungkin mereka mau menerimanya," Ujar Yunhyeong yang selalu menjadi juru penyanggah setiap pembicaraan, tak lupa sibuk berswafoto.
"Memang kenapa? Suara ku bagus, aku juga bisa bermain suling." Bela Geu-Reum tak mau kalah,
"Kau kan bermain suling saat SD, apa sekarang masih bisa?" Tambah Chan-Woo
"Tapi, jika begitu itu tidak adil. Disaat yang lain mengikuti seleksi, kenapa kau dengan mudah masuk kesana?"
Dong-Hyuk mulai tertarik ikut masuk dalam pembicaraan, ia juga mengarah kan pandangannya pada Geu-Reum.
"Apa kau melakukan sesuatu?" Tanya Junhoe, matanya ikut menyipit untuk kesan mencurigai.
"Jangan berpikiran macam-macam, ini hanya keberuntungan. Nanti aku juga tetap diseleksi, ini semua berkat senior Kang." Geu-Reum mengerjapkan matanya,
"Siapa senior Kang?" Tanya Han-Bin yang sedari tadi sibuk bermain game di ponselnya, ikut menyela.
"Kang Young-Hyun, senior yang sekelas dengan Da-Hyun. Dia pria populer ekstra musik, dia juga anggota band Myday. Pemain bass yang dicintai, dengan suara emas dan dijuluki tangan tuhan." Jelas Dong-Hyuk, si ensiklopedia sekolah berjalan.
"Tangan tuhan? Sehebat apa dia?" Tanya Junhoe yang selalu penasaran, kali ini pertanyaannya masuk akal.
"Dia bisa memainkan semua alat musik, kudengar dia juga lah yang menciptakan semua lagu di band mereka." Jawab Dong-Hyuk
"Hanya band indie kan?" Han-Bin meremehkan,
"Tapi bukan band indie main-main, mereka sering diundang ke stasiun tv besar." Lanjut pria kurus penuh pengetahuan itu,
"Wah, aku tidak terima jika kau masuk kesana. Aku juga harus masuk ekstra musik, kau harus membantuku." Protes Jin-Hwan, matanya terbakar ketidakadilan yang diterimanya.
"Apa maksudmu, mana bisa begitu? Lagipula, bagaimana dengan ekstra bela diri mu. Jam nya kan bertabrakan, memang bisa?"
Geu-Reum mencoba mencari alasan, ia tidak bisa membawa Jin-Hwan begitu saja. Itu hanya akan membuat dirinya malu, tidak enak dengan senior juga anggota ekstra lain. Juga, jika ada orang lain yang tahu hal itu. Bisa-bisa semua akan minta bantuannya, hingga ia yang disalahkan telah menyalahi aturan.
"Benar juga, tapi tetap saj—" Jin-Hwan tetap bersikukuh, namun di sela Han-Bin.
"Jin-Hwan, ayo ikut ekstra seni melukis saja. Senior Da-Hyun juga mengikuti ekstra itu, lagipula itu ada di akhir pekan. Kita bisa ikut tanpa seleksi, bagaimana?" Usul Han-Bin membujuk Jin-Hwan, yang makin bingung untuk memilih.
Geu-Reum mendengus kesal, saat nama itu kembali terucap. Hatinya terbakar api cemburu, ia tidak suka Han-Bin selalu menyebut senior yang tak ia ketahui sosoknya. Yang jelas, senior itu adalah saingannya. Tapi Han-Bin lebih merespon gadis yang baru ia kenal, dibandingkan dirinya yang sudah lama mengenal Han-Bin.
"Cepat selesaikan tugas kalian, lalu cepat pulang." Bentak Geu-Reum,
"Kau ini kenapa, salah makan?"
Tangan Junhoe menggapai kepala Geu-Reum, lalu memutar berlainan arah.
Awalnya Geu-Reum pasrah mendiamkan tangan besar yang dengan lancang menyentuh puncak kepalanya, membuat rambutnya ikut berantakan. Lalu amukannya meledak, dipukulnya tangan Junhoe. Beranjak ke lengan dan tendangan bertubi-tubi ikut turun menghujani, membuat Junhoe yang terpojokkan tubuh Chan-Woo hanya bisa pasrah.
.
.
.
.
.
.
.
.
Geu-Reum pulang lebih awal, meninggalkan tujuh pria menyebalkan baginya hari ini. Mereka selalu membahas senior saingannya itu, memicu kobaran api kecemburuan. Apa tidak ada lagi yang peduli dengannya, saat ada gadis lain yang lebih menarik. Bersahabat antara laki-laki dan perempuan memang sulit, harus ada hati yang mengalah.
Tidak ada kata saling menyukai, jika tak ingin seperti ini. Tapi, bukan salah hati yang memendam rasa. Karena memang sejak awal bertemu, Han-Bin adalah cinta pertamanya. Memilih diam untuk tetap bisa menjaga persahabatan, hingga pernah untuk menghilangkan perasaan itu. Tetap saja sulit, jika selalu bertemu dengan nya.
Ia turun dari bus, lalu berjalan sedikit untuk sampai rumahnya. Langkahnya ia buat pelan, ia malas untuk cepat kembali kerumah. Hatinya masih tidak enak, mood-nya juga buruk. Akan semakin buruk, jika dirumah nanti ia bertemu adik lelaki dan kakak lelakinya yang suka membuat amarahnya memuncak.
Seekor kucing di pagar gang yang tengah ia lalui, menyita perhatiannya. Ia berhenti untuk melihat kucing bulu putih bercampur kuning kecoklatan, kucing itu mengeong saat mata mereka bertemu. Ujung bibirnya tertarik, seulas senyum menyapa si kucing.
"Kau juga pasti sendirian kan? Sepertinya kita se-nasib, mencari teman hidup itu sulit kan?"
Geu-Reum bicara sendiri, kucing tak paham bahasa manusia. Setidaknya kucing itu tidak lari, saat Geu-Reum mendekati. Ia juga mengelus lembut bulu-bulu kucing yang nyaman saat disentuh, hangat dan lembut.
Tak lama, seekor kucing lain datang. Berjalan menghampiri kucing yang tadi diajak bicara, keduanya beradu kepala seakan berpelukan. Geu-Reum kembali murung, hidup tak selalu sama dengan yang lain.
"Kurasa tidak, bahkan seekor kucing punya pasangan. Memprihatinkan sekali,"
Senyumnya berubah kecut, sembari menatap kedua kucing yang tengah bermesraan di depannya. Lalu kembali berjalan pulang, dengan langkah yang masih diperlambat.
Jika waktunya tiba, seseorang pasti akan datang dengan sendirinya. Tapi egois kah, jika ia tetap mengharap pria itu. Yang bahkan tak pernah melihatnya sebagai perempuan, karena mereka terlalu sering bersama-sama.
Mungkin tak ada perasaan lebih, daripada seorang sahabat di hatinya. Mereka juga punya tipe ideal, selera yang berbeda, dan hak untuk memilih. Bagaimana bisa ia memaksakannya, disaat tak ada sedikit perasaan untuk gadis yang selalu bersama sejak kecil.
***