Derap langkah buru-buru menggaung di telinga. Menimbulkan suasana riuh yang jauh berbeda ketika Felis masih berada di Indonesia. Mentari sudah berada tepat di atas kepala kala itu. Felis juga sudah sampai di kafe tempat pertemuannya dengan Tante Anggi. Ia menengok ke sekitar, mencari keberadaan tantenya.
"Felis, kamu sudah datang. Sini, sini! Duduk dulu," ajak Tante Anggi ramah. Felis juga langsung menurutinya.
"Makasih, Tan," ucap Felis setelahnya. Felis kemudian menatap Tante Anggi selama beberapa detik dengan tatapan bingung karena ada seseorang yang seumuran dengan tTantenya dan tidak Felis kenali, duduk di hadapan Felis.
"Oh iya, kenalin ini teman tante," Tante Anggi mengerti dengan cepat kode mata yang diberikan Felis padanya.
"Tyas," ujar Kakak itu sembari menjulurkan tangannya.
"Halo Kak Tyas, aku Felis. Salam kenal," Felis menerima jabatan tangan dari Tyas, dan memperkenalkan dirinya. Mereka kini berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, mengingat mereka bertiga berasal dari negara yang sama.
"Salam kenal juga," balas Kak Tyas sembali mengulum senyum ramah.
"Oh iya, Kak Tyas di sini untuk mengembalikan sebuah barang yang seharusnya milikmu," Kak Tyas merogoh sakunya, kemudian melanjutkan perkataannya, "kunci apartemen ini milikmu, kan?" tanyanya, kemudian menyodorkan kunci apartemen itu kepada Felis, yang masih setengah tak percaya karena kunci apartemennya bisa sampai berada di tangan Kak Tyas.
"I-ini benar-benar kunci apartemen punya aku. Kenapa bisa ada di kakak?" Felis menerimanya dengan senang hati.
"Saya tidak sengaja menemukan ini di minimarket dekat apartemen kamu ketika sedang membeli beberapa barang dengan Anggi. Kemudian setelah melihat kunci itu, Anggi langsung menyadari bahwa itu kunci apartemenmu. Tetapi ketika kami hendak menghubungi kamu, seorang klien menghubungi kami dan mengatakan bahwa ada kepentingan mendesak. Jadi, maaf baru bisa mengembalikan ini padamu sekarang," terang Kak Tyas pada Felis, yang tadi sempat menampilkan raut wajah penuh penasaran.
"Eh, enggak appa-apa kok, Kak Tyas!" Felis menjawab permintaan maaf Kak Tyas dengan nada santai, walau tetap ramah. Kemudian, Felis mendapat tatapan menyelidik dari Tante Anggi.
"Felis, apa kamu bisa masuk apartemen, semalam?" tanya Tante Anggi pada Felis, mengingat kunci apartemen Felis semalam tidak berada dalam genggamannya.
"Sebenernya enggak sih, Tan…" jawab Felis, dengan jujur kepada Tante Anggi.
"Kamu tidur di mana dong malem tadi? Jangan bilang, kamu jadi gelandangan semalaman? Eh Felis, tante jadi ngerasa bersalah bang-" sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya, Felis terlebih dahulu menginterupsi perkataan Tante Anggi agar tidak terjadi kesalah pahaman.
"Eh ah Tan, enggak gitu… aku enggak jadi gelandangan semalam, sumpah!" Felis sedikit gugup sekarang, mengingat malam tadi ia bisa-bisanya tidur dengan pulas di dalam apartemen Zain.
"Terus, kamu tidur di mana?" tatapan menyelidik Tante Anggi masih belum lepas dari wajah Felis, membuat Felis merasa sedikit risi akannya.
"Em itu… aku tadi malam tidur di… ah, apartemen temen kok Tan!" jujur, Felis sedikit malu, juga gengsi jika memberi tahu Tante Anggi fakta bahwa Felis bermalam di apartemen Zain.
"Temen yang mana? Aiko? Yukino? Seinget tante Cuma mereka yang pernah kamu kenalin ke tante?" tanya Tante Anggi dengan disertai wajah dengan rasa penasaran yang tidak bisa dibilang rendah.
"Em bukan tan. Ada satu lagi… yang itu loh, em.." Felis sedikit gugup sekarang.
"Ghea?" tanya Tante Anggi, lagi karena Tante Anggi hanya kenal dengan sebagian kecil teman Felis.
"Bukan, tan. Ghea kan di Indonesia. Maksud aku temenku yang itu loh…" Felis memberi sedikit kode walau tetap sangat tidak jelas.
"Eh Felis, tante jadi penasaram beneran, asli!" wajah penasaran Tante Anggi sedikit membara melihat reaksi Felis yang semakin gugup.
"Temen Felis yang cow-" Felis belum sempat menerangkan lebih jelas, namun Tante Anggi sudah menyelanya terlebih dahulu.
"Cowok? Kamu kenapa-kenapa enggak? Gimana, ada bagian tubuh yang sakit?" raut penasaran Tante Anggi dalam sekejap berubah menjadi khawatir, berjalan mendekati Felis dan menggenggam tangannya.
"Eh, enggak kaya yang tante pikirin tan, asli. Tadi malam, Aku tidur di apartemen Zain," terang Felis.
"Owalah, Zain…. Bilang dong dari awal. Kalau kaya gitu kan tante enggak harus curiga.." Tante Anggi menghela napas, tenang. Kemudian ia duduk kembali ke tempatnya, sembari memasang senyum misterius yang ia tujukan pada Felis.
"Kenapa enggak harus, Tan?" tanya Felis penasaran dengan kata-kata Tante Anggi.
"Hehe, kamu mau tau aja apa mau tau banget?" tanya Tante Anggi sok misterius.
"Mau tau banget, Tan!" Felis menjawab jujur dengan nada yakin akan ucapannya itu.
"Ehm yang penasaran…" Tante Anggi menggoda Felis sambil mengerlingkan matanya.
"Eh enggak jadi, aku inget hari ini ada janji ketemuan sama Yukino. Aku permisi Tan, kak tyas," karena takut digoda lebih lanjut oleh Tante Anggi, Felis memilih untuk segera pulang ke apartemennya yang semalaman tidak bisa ia masuki karena kehilangan kunci itu.
*****
Zain menghela napas melihat tingkah kakak perempuannya, Husna. Ia terlihat sangat bahagia melihat tempat yang ia anggap sebagai surga dunia itu. berlari kecil-kecil kesana kemari dengan riang sambil merentangkan tangan dan menatap tempat itu dengan tatapan kagum.
"Kenapa harus akihabara?" tanya Zain pada Husna, disertai dengan tatapan jengah.
"Kaya enggak ngerti gue aja, lo!" berhubung Husna belum terlalu fasih dalam berbahasa jepang, Ia memutuskan untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media komunikasinya dengan Zain.
"Minta temenin?" tanya Zain, lagi walau sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
"Hehe, nanti gue kasih bonus janji!" Husna mengangguk-angguk sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
"Ogah!" Zain menolak terang-terangan, memberi kode kepada Husna untuk memberikannya upah yang tidak sedikit.
"5000 yen!" tawar Husna pada Zain sembari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
"10.000!" pinta Zain pada kakaknya, berhubung kakaknya sudah memiliki penghasilan sendiri yang tidak bisa dibilang sedikit jumlahnya untuk kehidupannya seorang diri sekarang.
"Mahal amat! Sama sodara pelit banget lo. 6000 deh!" Husna menaikan tawarannya pada Zain.
"9000!" Zain menurunkan permintaannya sejumlah Husna menaikkan penawarannya.
"7000 fix ya, jangan nambah lagi. Bangkrut gue, Dek!" Husna mengambil keputusan sepihak yang tentunya tetap disetujui oleh Zain. Lumayan untuk tambahan uang saku mahasiswa satu itu.
"Ya udah 7000. Mana?" Zain menjulurkan tangannya, meminta 7000 yen yang sudah disepakati mereka tadi.
"Temenin dulu, baru duitnya!" Husna mulai berjalan maju sambil menggandeng tangan Zain.
"Di mana-mana duit dulu!" Zain protes dengan keputusan kakaknya yang sedikit semena-mena terhadapnya.
"Yaudah nih dp, 3000!�� Husna menuruti permintaan Zain, walau tetap menggunakan sikap semaunya, khas dia.
"500 lagi. Biar setengah-setengah, pas!" pinta Zain lagi. Kali ini, Husna sangat ingin memanggil adiknya itu dengan sebutan 'mata duitan' untuk waktu yang tidak sebentar.
"Ini, nih ambil. Cepet sini! Matre banget lo!" ejek Husna sembari memberikan 500 yen lagi pada Zain.
"Iya-iya bawel amat sih lo!" Zain balas mengejek Husna dan dengan cepat menyambar uang pemberiannya.
"Mimpi apa gue sealem punya adek mata duitan kaya lo?" Husna tidak mau kalah jika dalam urusan ejek-mengejek dengan Zain. Itu sudah menjadi sikap bawaannya sedari kecil.
"Kakak gue yang baik, cantik walau masih cantikan Bunda… berhubung duit lo banyak dan ada kesempatan, jadi gue manfaatin deh, sekalian mototin lo!" Zain juga semakin tidak mau kalah dengan kakaknya.
"Ya udah, berhubung gue lagi ba- eh, Zain sini! Liat itu cosplayernya ganteng banget! Bantuin gue minta fotbar dong?" pinta Husna pada Zain.
"Iya-iya. Buat hari ini gue turutin deh semua mau lo!" Zain memutuskan untuk menuruti kakaknya, Husna untuk hari ini. Zain sebenernya sangat mengerti penderitaan yang dialami kakaknya. Menjadi anak pertama, terlebih seorang perempuan itu sangatlah berat. Tuntutan orang tua selalu mengekang seitan pergerakan Husne sedari kecil. Husna juga sudah diperingatkan berkali-kali bahwa dia adalah seorang pengganti tulang punggung keluarga untuk menyekolahkan adiknya, Zain.
Terlebih Husna memiliki kondisi tubuh yang rentan sakit, membuatnya sering memendam apa yang ia derita seorang diri. Ia pusing, demam, menggigil, depresi karena nilai tidak sesuai ekspektasi, serta tuntutan orang tua yang semakin menjadi kian hari. Zain sangat mengerti keadaan kakaknya, bahkan sering kali ia memergoki Husna menangis karena kedua orangtuanya memarahinya ketika mendapat nilai merah. Namun dibalik semua itu, ia adalah sosok kakak yang baik. Yang selalu ceria dan membawa perasaan hangat pada adiknya.
"Hehe, nanti gue traktir deh. Janji!"
Hari ini, Zain benar-benar menuruti segala keinginan kakaknya dan menemani liburannya untuk mengelilingi Tokyo. Walau ia ingat ada tes besok, tetapi itu semua ia rahasiakan dari Husna, memilih menemani sekaligus menikmati keliling Tokyo bersama Husna, walau diselingi beberapa pertengkaran kecil, yang membuat liburan mereka semakin menyenangkan.
*****
Sementara itu, Felis sedang merebahkan diri di apartemen minimalisnya yang semalam tidak bisa ia masuki. Felis teringat soal kunci cadangan. Ia meletakkannya di celah Kasur untuk mencegah kehilangannya dan terkurung di dalam apartemen ketika Felis sedang berada dalam keadaan darurat dank unci utama apartemennya tidak bisa ditemukan.
Namun Felis rasa, itu bukan keputusan tepat untuk meletakkan kunci cadangan apartemennya di celah Kasur, mengingat Felis malah terkunci di luar apartemen, bukan di dalam. Felis memutuskan untuk memberikan amanah pada Zain untuk menyimpankan kunci cadangannya, ketika pemuda itu sudah kembali nanti. Semoga saja, Zain bersedia untuk memenuhi permintaan Felis.
__________________________
Kyle_Keii