Chereads / Felis's Rain / Chapter 22 - 21#~Pulang?

Chapter 22 - 21#~Pulang?

"A-ah gue lagi males pulang. Gimana kalau gue anter lo ke tempat ujian?" tawar Kenzo kepada Felis.

"Sebenernya enggak apa-apa, sih…. Tapi masalahnya gue udah janjian mau berangkat bareng Zain. Kalau mau ikut tanya aja sama Zain. Dia yang ngajak gue duluan masalahnya," Felis berterus terang kepada Kenzo. Raut muka Kenzo yang semula berseri-seri mendadak sesikit muram dengan aura kecemburuan pekat di sekitarnya.

"Eh nggak usah, deh gue takut ganggu kalian berdua. Lagi pula gue baru inget kalau punya urusan lain. Dah!" Kenzo mengutarakan pernyataan sampai bertemu lagi secara beruntun, dan langsung keluar dari apartemen Felis dengan sedikit berlari.

Felis memandangi sosok Kenzo yang terus menjauh. Awalnya, Felis sedikit penasaran terkait dengan sikap Kenzo hari ini yang sedikit aneh. Namun Felis memutuskan utnuk menghiraukan hal tersebut lantaran ia harus segera berangkat menuju lokasi ujiannya. Felis keluar dari apartemennya, kemudian mengunci puntu apartemennya baik-baik.

"Siap?" tanya Zain yang menghampiri Felis.

"Siap, dong!" Felis menjawab dengan mantap, kemudian berjalan beriringan dengan Zain menuju lokasi ujian mereka berdua.

"Oh tunggu bentar, Zain," Felis menghentikan langkah mereka berdua ketika mereka hampir sampai di dekat ruang tes mereka masing-masing, yang meniumbulkan kerutan pada dahi Zain, yang mewakilkan perasaan penasarannya akan perkataan Felis barusan.

"Emm itu, gue mau minta tolong sama lo buat nyimpenin kunci cadangan apartemen gue. Sumpah masalahnya akhir-akhir ini nggak tau kenapa gue jadi ceroboh banget, dan gue takut peristiwa kemaren terulang lagi… em, lo keberatan atau enggak?" tanya Felis pada Zain terkait permintaannya barusan.

"Yakin mau titipin ke gue? Gue jadi bisa masuk apartemen lo kapanpun gue mau, loh?" Felis melanjutkan langkahnya sembari bercengkerama dengan Zain.

"Emm kalau gitu nggak jadi. G-gue si—"

'Eits, sekali ngomong ngga bisa ditarik lagi. sini kuncinya,"

"E-eh Zain, lo ish, nakut-nakutin gue mulu hobi lo!"

"Hehe, kita beda ruangan kan, ya…. Tuan putri silakan bersiap untuk ujian di dekat ruangan anda sendiri. Saya permisi," Zain berniat untuk menggoda Felis dengan berbicara menggunakan Bahasa jepang formal dengannya sembari tersenyum miring sebelum ia berbalik dan. Felis hanya endengus geli sembari tersenyum, kemudian menuruti perkataan Zain tadi.

Felis menunggu di depan ruang tes seleksi pertama, tes tertulis. Rasa gugup yang semula hadir, perlahan-lahan mencair dengan sendirinya ketika Felis menerima pesan singkat dari Zain. Mereka membicarakan segala hal secara abstrak, tergantung pemikiran apa yang terlintas di kepala mereka. Tetapi sepertinya cara tersebut cukup efektif untuk mengatasi kegugupan mereka sebelum tes tersebut berlangsung.

*****

6 bulan kemudian, Indonesia

"Ma, udah deh, plis! Mama mendingan nurut aja sama sarannya Kak Felis. Gitu kok susah?!"

"Vik, mama enggak papa, kok. Mama lagi capek aja. Mama juga nggak mau gunain tabungan Felis Cuma buat Mama sendiri.

"Tapi penyakit Mama tambah parah mulu. Udah waktu minum obat, tanggung lagi ini. Waktunya istirahat, tanggung lagi itu. Kapan bisa sembuhnya kalau kaya gitu, Ma?" untuk ke sekian kalinya Viko menasehati Lia. Felis sudah pergi lebih dari setengah tahun lamanya. Selama itu juga, masalah demi masalah terus bermunculan yang terus disembunyikan oleh keluarganya dari Felis.

Tiga bulan yang lalu, ada seseorang yang menawarkan Rafi untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Sedikit lebih tinggI dari gajinya saat ini. Namun siapa sangka, minggu lalu, ada seseorang yang ingin mengakusisi perusahaan tempat Rrafi bekerja. Hal itu juga menjadi ancaman bagi para tenaga kerja yang memiliki kemungkinan besar untuk di-PHK akibat pengakusisian tersebut.

Jadi, Lia hanya membayar asisten rumah tangga di rumahnya untuk satu bulan penuh. Setelah itu, ia tidak pernah lagi menyewanya, dan memilih untuk menabung uang pemberian Felis, ketimbang menjalankan amanah dari Felis secara seratus persen. Mau bagaimana lagi, menggunakan tabungan Felis untuk membantunya dalam melakukan pekerjaan rumah bukanlah hal yang harus benar-benar Lia perjuangkan saat ini. Karena masih ada hal yang harus lebih Lia prioritaskan saat ini. Seperti kondisi ekonomi keluarga yang semakin menurun, juga biaya sekolah Viko, dan biaya rawat inap Farrel.

"Kamu foKus aja sama ujiaMu dulu. Mama macu cuci piring dulu….."

"Ma, mama beneran enggak apa-apa, nih? Tadi soalnya aku liat mama kaya enggak nyaman gara-gara kecapekan dan terlalu aktif dalam seluruh pekerjaan rumah.

"Mama enggak apa-apa, sayang…."Lia mencoba meyakinkan. Awalnya, Viko terus menatap Lia dengan tatapan mencurigakan, mengingat minggu lalu, Viko memergoki sang ibu mengalami muntah darah, batuk yang tak kunjung usai, disertai dengan penurunan berat badannya yang drastis secara berkala dan berkepanjangan.

Lumayan banyak perubahan yang terjadi ketika sebelum dan setelah Felis pergi meninggalkan keluarganya untuk menempuh perkuliahan di Jepang. Rumah tangga mereka yang sebelumnya ramai dan hangat, kini kian hari kian senyap. Karena Viko yang sangat ambisius akan tujuan hidupnya, ia jadi mengorbankan seluruh waktunya untuk belajar. Tak ada waktu yang disisakannya untuk berkumpul dan bercanda bersama keluarganya.

Kesehatan Lia terus memburuk. Rafi juga mulai sakit-sakitan. Ditambah besarnya biaya yang harus mereka kelurakan setiap bulan untuk biaya rawat inap Farrel, juga untuk membeli perlengkapan sekolah Viko. Sepertinya setelah Felis pergi, Viko menjadi tambah kekanak-kanakan. Ia selalu menuntut Lia dan Rafi untuk membelikannya buku tambahan untuk menunjang pendidikannya. Padahal, masih banyak alternative yang bisa ia dapat, seperti mencari soal-soal via internet, juga meminjam buku soal-soal dari perpustakaan.

Itu akan jauh lebih menghemat biaya daripada harus membeli setiap buku penunjang dan memberatkan kedua orangtuanya. Namun, Viko kini sudah termakan oleh gengsi. Ia malu jika meminjam buku di perpustakaan. Ia malu jika teman-temannya melihat keadaan Rafi dan Llia—kedua orang tuanya yang sudah tua dan sakit-sakitan.

Sepertinya akan menjadi sangat bijak jika Felis memutuskan untuk pulang ke Indonesia saat liburan akhir tahun ini. Ini tanggal 27 Desember. Viko sebentar lagi memasuki jenjang universitas. Lain halnya dengan Felis, Viko tidak menginginkan untuk menempuh perkuliahan di luar negeri. Viko bermimpi untuk masuk ke salah satu universitas swasta bergengsi. Itu bukan mimpinya sedari kecil. Namun itu mimpi yang timbul setelah ia bergaul dengan teman-temannya di SMA. Sungguh jika Felis pulang dan mendengar pemikiran Viko yang sepeerti ini, Felis pasti akan langsung mengatakan jika Viko salah pergaulan.

Sejak Felis pergi pula, sudah sangat jarang yang menjenguk Farrel. Paling-paling, Lia dan Rafi akan menjenguk Farrel hanya ketika mereka membayar tagihan rumah sakit setiap bulan. Viko malah mungkin sudah lupa jika ia memiliki seorang kembaran yang sedang tertidup sangat panjang saat ini. Sangat miris jika melihat pemikiran Viko sekarang. Melupakan saudara, emngabaikan keluarga, demi gengsinya yang semakin besar.

Viko bahkan memiliki sebuah motor yang sangat mahal untuk ukuran perekonomian keluarga mereka. Memang, Viko sudah berjanji akan membayarnya dengan tabungan dari uang sakunya sendiri. Tapi, paling-paling ia hanya mampu membayar paling banyak sampai lima puluh persen dari tagihan penuh setiap bulan. Sisanya, ia diam-diam mengambil uang tabungan Felis yang telah Felis berikan kepada Lia sepenuhnya.

Perbuatannya sangatlah membuat seseorang emosi apabila mendengarkan atau membaca perbedaan penuh sikap Viko dan Felis, sikap Viko sebelum dan setelah Felis pergi, banyaknya masalah yang ditimbulkan Viko, serta banyaknya beban yang ditanggung Felis. Felis yang berjuang mati-matian untuk tidak dan mengurangi beban keluarganya, dan Viko malah dengan santainya menambah beban keluarganya tanpa wajah berdosa sedikitpun.

Semoga saja, Felis tidak pingsan ketika pulang ke Indonesia dan mendengar perilaku Viko selama ia pergi untuk menempuh pendidikan di negeri sakura selama kurang lebih tujuh bulan ini.

*****

Di saat yang sama, Felis sedang berjalan menuju apartemennya, beriringan dengan Zain sepulang dari kampus. Mereka berhasil untuk menjadi mahasiswa tetap dari University of Tokyo, walau ada sedikit drama yang terjadi setelah ujian kala itu.

"Zain, ada rencan apulang ke Indonesia enggak?" tanya Felis pada Zain ketika mereka sedang bercengkrama ringan di perjalanan pulang menuju apartemen mereka masing-masing.

"Sebenernya kalau di pikir-pikir lagi, pulang ke Indonesia juga penting, sih. Tapi…"

"Iya, gue juga paham. Makanya itu gue tanya lo. Ternyata biaya hidup di Jepang asli mahal banget. Kalo buat beli tiket pesawat bolak bali, mana adek gue minta oleh-oleh lagi…"

"Hm. Apalagi yang paling kerasa buat bayar apartemennya. Udah cari yang paling murah, tetep aja mahal. Yakali mau nunggak bayar…"

"Maka dari it--- Eh, hai Tan" Felis dan Zain berpapasan dengan Tante Anggi di lorong apartemen yang sepertinya sudah mendengar seluruh pembicaraan mereka tadi.

"Hayo, kalian lagi ngomongin apa?" Tante Anggi memasang wajah sok curiganya pada Felis dan Zain.

"Cuma lagi diskusi mau pulang ke Indonesia atau enggak sih, Tan…" Felis menjawab pertanyaan Anggi dengan jujur.

"Pulang aja," Anggi memberikan saran yang terkesan perintah pada Felis serta Zain.

"Pengennya juga gitu, Tan. Tapi…" Felis menjawab dengan sedkit ragu pada Anggi.

"Pada bingung biayanya?" tebakan Anggi sekarang sangat tepat. Seakan-akan tidak memiliki kata-kata untuk menjawabnya, Felis dan Zain hanya mengangguk dengan kompak beberapa kali.

"Gimana kalau gini aja, ada satu apartemen punya kenalan Tante, di sana agak luas, lebih luas dari apartemen kalian berdua sekarang. Nah kalau kalian mau, kalian sewa apartemennya satu aja, buat berdua. Bayarnya bagi dua. Itu jauh lebih hemat menurut tante,"

___________

Kyle_Keii