"Emm, Ghe lo pasti paham kalau jadi gue, kan?" Felis menatap Ghea dengan sedikit sayu. Suaranya terdengar sedikit lebih lemah daripada tadi.
"Iya gue paham. Gue ngertiii banget, tapi…." Ghea masih belum puas karena menerima penolakan dari Felis. Ia ingin mencoba membujuk Felis dengan cara lain.
"Eh udah malem. Kalian balik aja dulu. Masalah itu kan bisa dibahas besok lagi. Masih ada beberapa hari, kok!" Arfa yang bisa membaca situasi, segera menengahi mereka berdua. Helaan napas lega Felis terdengar lirih ketika Arfa berhasil menengahi pertikaian kecilnya dengan Ghea.
"Ih kamu! Aku belum selesai ngomongnya sama Felis!" Ghea sedikit protes akan perlakuan Arfa barusan.
"Ghe, semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Mungkin Felis butuh waktu. Jangan terlalu memaksa juga…. Memang, menurut kamu reuni ini penting, tapi pendapat setiap orang masing-masing berbeda. Mungkin dia punya sesuatu yang menurutnya lebih penting dari reuni ini…. Lagipula Felis kan sahabat kamu, harusnya kamu yang lebih ngerti dia, dong!" ketika mendengar penuturan Arfa, Ghea bungkam seketika. ia sadar, seharusnya tadi tidak begitu memaksa Felis.
Benar yang dikatakan Arfa. Setiap orang memiliki skala prioritas, juga pendapat masing-masing. Tidak boleh saling memaksakan kehendak.
"Hm, iya…. Felis, maaf ya gue kesannya jadi maksa lo buat ikut reunian…." Ghea menunduk sembari meminta maaf pada Felis.
"Iya Ghe, enggak apa-apa…. Gue pikir-pikir lagi dulu, ya…. Kalau udah dapet kepastiannya, gue pasti langsung hubungin lo, kok!" begitu mendengar penuturan Felis, Ghea memeluknya sedikit erat.
"Makasiiiiih," Ghea berseru dengan riangnya.
"Iya, udah ah, sesek gue nih!" Felis membalas pelukan Ghea sebentar, kemudian menjauhkan tubuh mereka berdua.
"Heheh…. Hati-hati pulangnya nyonya! Dah, ketemu lagi besok ya!" Ghea yang ceria telah kembali, ia mengucapkan salam perpisahan hari ini pada Felis.
"Iya, dadah gue pamit dulu!"
*****
Suasana kota diterangi cahaya artifisial disepanjang jalannya, karena langit malam yang kian pekat. Manusia di dalamnya mayoritas sudah kembali ke kediamannya masing-masing, tak jarang juga yang sudah masuk ke alam mimpi.
Felis dan Zain berjalan beriringan menuju apartaemen mereka masing-masing. Balum ada satupun yang membuka pembicaraan dari mereka. Masih tetap diam, dan membisu. Menggunakan perjalanan ini sebagai sarana untuk menenangkan pikiran setelah Felis beradu argument dengan Ghea tadi. Felis memang benar-benar ingin pulang ke Indonesia. Tujuh bulan tanpa saling menghubungi sama sekali, itu bukan hal yang mudah dalam waktu yang singkat.
Felis bermimpi suatu hari nanti, ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya, menjadi seorang dokter bedah yang sukses. Kemudian, ia bisa mencarikan atau membiayai pengobatan yang terbaik untuk Farrel hingga dia pulih total.
Mimpi itu, terus menguatkan Felis setiap ia hampir terjatuh dan berputus asa. Tekad Felis untuk selalu kuat dalam menghadapi setiap permasalahan yang menimpanya juga menyelamatkannya beberapa kali tepat sebelum ia terjatuh ke lembah keputus asaan.
Sebenernya, ketika Felis masih kanak-kanak, ia selalu menyukai langit, terutama malam. Bintang-bintang berkerlap-kerlip, menemani purnama yang sendiri, membuat gradasi dalam pekatnya langit malam. Felis sering berkunjung ke toko buku terbesar di katanya untuk membeli buku tentang bintang. Biasanya sebulan sekali.
Suatu hari, Felis melihat sebuah buku dengan cover langit malam berbintang yang amat indah. Itu sungguh menarik perhatian Felis sepenuhnya. Felis dengan segera mengambil buku tersebut. "Bintang dan Astronomi" judul buku yang menarik perhatian Felis.
Buku tersebut hanya tersisa dua buah. Maka dari itu, walau menghabiskan hampir seluruh tabungannya, Felis tetap bersikeras untuk membelinya. Kebetulan, sang Ayah yang menemaninya membeli buku kala itu tidak melarang Felis untuk membeli buku tersebut, setelah Felis bujuk dengan seribu cara.
Felis langsung membaca buku tersebut dengan mata berbinar kala itu. Gadis berusia lima tahun itu habis membaca satu buku astronomi yang tebalnya hampir mencapai lima sentimeter dalam waktu satu malam. Felis benar-benar berniat untuk memperdalam pengetahuannya dalam astronomi kala itu.
Buku tersebut menjadi satu-satunya bacaan Felis yang menarik disbanding cerita fiksi anak-anak yang dipunyainya. Setiap ada waktu luang, Felis membaca ulang buku tersebut. Felis tidak bisa langsung mengerti ketika pertama kali membaca buku tersebut. Itu yang mendorongnya untuk membaca ulang buku tersebut hingga Felis merasa paham.
Sungguh hal yang sangat jarang terjadi pada anak usia lima tahun. Felis tidak pernah membelanjakan uang sakunya lagi dan berniat untuk terus menabungnya untuk membelli buku astronomi lainnya. Mimpi yang sejak kecil ia punyai, untuk menjadi seorang astronot.
Felis ingin pergi ke bulan, ia ingin melihat bintang dalam jarak yang lebih dekat. Ia ingin mengetahui lebih detail tentang system tata surya, tentang galaksi bima sakti, tentang alam semesta ini, tentang benda-benda langit.
Sayangnya, ada sebuah peristiwa yang memaksa Felis untuk membuang jauh-jauh mimpinya menjadi seorang astronot. Hal tersebut berdampak besar baik dengan pikiran, kepribadian, mental, hingga keseharian Felis.
*****
"Felis, gimana kalau kita terima aja tawarannya Tante Anggi?" Zain membuka pembicaraan ketika mereka mulai memasuki lingkungan dekat apartemen mereka.
"H-hah? Lo yakin?" Felis sangat terkejut mendengarnya. Ia sungguh tidak menyangka jika Zain akan berkata seperti itu.
"Hm. Lagian gue juga mikir kalau itu jauh lebih hemat daripada nyewa apartemen sendiri-sendiri kaya sekarang," jawab Zain dengan nada yakin, dan meyakinkan.
"Iya, sih…. Tapi beneran nih, enggak apa-apa?" tanya Felis sedikit ragu, dengan suara agak lirih.
"Emang kenapa kok apa-apa?" tanya Zain balik pada Felis terkait pertanyaannya tadi.
"Enggak sih, takut aja," Felis kembali melirihkan suaranya, dan menolehkan kepalanya ke arah lain, menghindari kontak mata degan Zain.
"Nggak ada hantu, kok. Besok kita hubungin Tante Anggi gimana? Nanti lo ke apartemen gue dulu, kita pesen tiket ke Indonesia bareng-bareng," tawar Zain pada Felis.
"Hm!" Felis mengangguk dengan mantap, matanya sedikit berkaca-kaca. Jujur, Felis sedikit tidak menyangka bahwa Zain akan mengusulkan hal tersebut walau Felis pasti akan sangat menyetujui usul Zain. Bebannya akan adu argumen kembali dengan Ghea terangkat dari bahunya.
Felis dan Zain meneruskan perjalanan mereka menuju apartemen Zain. Setelah itu, Felis juga Zain berniat untuk memesan tiket pesawat via online. Untunglah, mereka belum kehabisan tiket kala itu. Felis dan Zzain mendapatkan tiket pesawat dengan tempat duduk bersebelahan.
"Besok mau ketemu Tante Anggi jam berapa?" tanya Zain pada Felis.
"Pagi-pagi aja gimana, sebelum berangkat ke kampus?" usul Felis.
"Okey,"
"Nanti gue hubungin Tante Anggi dulu. Semoga aja dia bisa,"
"Iya,"
"Udah malem banget, pulang sana habis itu bobok, jangan begadang," ujar Zain pada Felis.
"Iya- iya ini juga mau balik. Makasih!" Felis kemudian berbalik dan kembali menuju apartemennya dengan hati berbunga. Ia tidak sabar akan bertemu keluarganya di Indonesia.
Semoga saja, semua baik-baik saja.
_____________________
Kyle_Keii