"Hehe, Arfa tetep nomor satu kok, walau cogan lain nomor satu koma nol satu," dengan cengiran khasnya, Ghea mengeluarkan pernyataan pemikirannya secara spontan, mengakibatkan unsul kengawuran terkandung dengan kental di dalamnya.
"Hah? Bisa-bisanya lo ya! Ghea mah tetep nomor satu kalau masalah cogan!" Felis sedikit sudah menduga jawaban dari sahabatnya itu, membuatnya bertepuk tangan ketika mendengarnya langsung.
"Nah, lo harus ikut reunion pokoknya, Lis!" Ghea menyarankan yang terkesan memerintah Felis.
"Iya deh iya, gue bakal ikut reunian," Felis menyetujui usul Ghea. Kini, keputusannya untuk pulang ke Indonesia sudah bulat.
"Nah, sip kalau gitu! Zain jangan lupa diajak, ya!" Ghea mengingatkan Felis dengan nada setengah menggodanya.
"Enggak urus gue sama Zain," Felis mengutarakan pemikirannya yang ia ragukan sendiri.
"Yakin?" Ghea meragukan pernyataan Felis barusan.
"Ish udah lah! Yuk pulang?" ajak Felis pada Ghea, yang langsung disetujui oleh Ghea.
Felis dan Ghea masih berceloteh ria selama dalam perjalanan. Melepas rindu sembari mencari tahu dengan sedikit detail kabar dan apa saja yang telah dilalui masing-masing dalam setengah tahun lebih terakhir ini.
Dengan irama kaki yang mengkuti orang-orang sekitarnya, Ghea merasa sedikit kelelahan, mengingat kini saat pulang dan terbebas dari pekerjaan, jadi langkah buru-buru menjadi bawaan mereka. Langit sudah sepenuhnya gelap, berhubung tempat tinggal Ghea sekarang adalah sebuah apartemen yang baru dibangun, jadi suasana di sekitar sini cukup sepi.
Felis mengantarkan Ghea hingga depan pintu apartemennya, karena Ghea ingin memberikan Felis sesuatu, seperti apa yang telah ia katakan dalam perjalanan pulang tadi. Felis dan Ghea menyusuri lorong dan terpaksa naik ke lantai atas menggunakan tangga, karena lift apartemen baru tersebut belum selesai di bangun.
Kamar Ghea termasuk lantai atas dari apartemen ini. Jadi, wajar jika Felis juga Ghea merasa kelelahan setelah selesai melangkahi anak tangga terakhir. Kamar Ghea berada di tengah lorong. Memaksa mereka untuk menggarakkan kaki mereka beberapa langkah lagi.
Ketika Ghea hendak membuka pintu apartemennya, Felis serta Ghea mendengar seruan dari dalam. Seperti interaksi antar dua orang lelaki. Felis dan Ghea lantas kebingungan dibuatnya.
*****
Kedua pemuda di kamar Ghea sedang bermain bersama, menggunakan ponsel mereka.
"Lo serang itu kenapa malah balik?!" seru seorang pemuda yang tengah dibuat kesal dengan temannya.
"Woy gua malah kekepung, bantuin sini!" temannya membalas seruan pemuda tersebut, ketika melihat dia sudah berhasil mengalahkan musuhnya dalam permainan itu.
"Eh lo sendiri kaga bantuin gua tadi!" pemuda tersebut enggan membantu temannya yang sedang dikeroyok oleh musuh lantaran tidak membantunnya tadi ketika dia dalam posisi yang sama.
"Buru bantu! Hp gua udah sekarat ini! Hah menang kan gua! Kalah lu!" akhirnya, pemuda tersebut memberikan bantuan, dan satu per satu musuk yang mengepung temannya tumbang. Alhasil, mereka berdua berhasil memenangkan permainan online tersebut.
"Ngapa lo yang seneng? Orang gua yang nge-kill tadi!" pemuda tersebut sedikit sewot lantaran seruan temannya.
"Bodo amat, yang penting gua juga menang!" temannya tak memedulikan sewotan pemuda tersebut, dan tetap memasang wajah gembiranya karena berhasil memenangkan permainan tersebut.
"Lo sih noob! Males gua jadi mabar sama lo!"
"Santai bos, traktiran menyusul! Eh ngomong-ngomong tadi kita main lama juga, ya? Jam berapa sekarang?"
"Hp lo kan ada!" pemuda tersebut mengingatkan temannya akan salah satu fungsi dari fitur yang tersedia dalam benda pipih yang sedang ia genggam kuat-kuat.
"Wait, udah mau setengah sebelas!" seru teman pemuda itu, begitu melihat angka yang tertera pada bar atas ponselnya.
"Eh iya, gua balik dulu, pajak tunangannya jangan lupa!" pemuda tersebut mengingatkan temannya akan utang temannya padanya.
"Lah lo ngingetin aja! Utang dobel traktiran nih gua sama lo!" temannya tentu saja tidak lupa. Meski hanya sebagai candaan mengingat mereka sudah menjalin hubungan pertemanan yang erat sejak kecil.
"Yoi!"
Tuan rumah, alias teman dari pemuda tersebut mengantarkan pemuda itu menuju pintu apartemennya. Sementara di lain sisi, dengan daun pintu yang sama, Ghea hendak membuka pintu tersebut dari arah luar dengan menempelkan ibu jarinya terlebih dahulu di gagang pintu, mengingat gagang pintu tersebut sudah dilengkapi oleh sensor sidik jari, serta Ghea sudah memindai sidik jarinya tepat setelah ia tiba di apartemen pagi tadi, bersama Arfa.
Dengan kaki yang sama-sama melangkah maju, dan pintu yang terbuka ke arah dalam, Ghea dari sisi serong kiri hampir bertabrakan dengan Arfa di sisi serong kanan. Beruntung Ghea dan Arfa memiliki reflex yang cukup bagus. Mereka langsung menjauhkan diri masing-masing ketika sadar bahwa terdapat Felis dan Zain di sini, dan mereka sedang berada dalam pelukan masing-masing.
Atmosfer di sini canggung seketika. Ghea dan Arfa langsung mempersilakan Felis dan Zain masuk kembali dan duduk di sofa apartemen mereka.
"Emm eh Zain, lo besok mau ikut reunion nggak?" tanya Ghea berusaha mencairkan suasana.
"Reuni apa?" Zain yang tidak tahu menahu dengan perkembangan berita sekolah mereka hanya bisa memasang wajah bingung.
"Oh iya, gue lupa kalau lo belum masuk grup kelas kita. Jadi gini, tanggal satu Januari besok, bakal ada reuni tiga angkatan SMA Praditya. Satu angkatan si atas kita, angkatan kita, dan satu angkatan di bawah kita. Tadinya kakak kelas yang dua angkatandi atas kita juga mau gabung, tapi berhubung sedikit anggota mereka yang bisa ikut, mereka mutusin untuk batal ikutan,"
"Reuniannya di mana?" tanya Zain pada Ghea.
"Ngumpulnya di sekolah, habis itu kita ngadain pesta BBQ di halaman sekolah, sekalian bakar-bakar jagung gitu. Jadi, sebenernya dari 31 Desember sih, sekitar jam tjuh malam, kita udah kumpul. Nanti jadi pulangnya sekitar jam tiga atau empat an lah," terang Ghea pada Zain.
"Tapi masalahnya, tanggal satu Januari gue udah harus balik ke sini," Zain berkata terus terang.
"Enggak bisa diundur sedikit, ya? Satu hari, aja!" pinta Ghea pada saudara jauhnya itu.
"Berarti tanggal dua Januari baliknya?" Zain bertanya dalam rangka memastikan untuk mencegah kesalahpahaman.
"Bareng gua aja kalau gitu ke Jakartanya," ajak Arfa, teman dekat Zain sejak kecil.
"Boleh tuh! Udah lama gua nggak ngkut kebut-kebutan sama lo di tol!" Zain teringat ketika Arfa dan dia balapan tidak resmi di tol menuju Jakarta ketika tengah malam.
"Ah lo ngingetn aja!" Arfa seketika juga menjadi teringat akan peristiwa tersebut. Yang terjadi beberapa bulan sebelum mereka terpisah oleh jarak beratus-ratus kilometer jauhnya.
"Felis ikut, kan?" tanya Ghea pada Felis.
"Enggak tau," Felis menjawab dengan ragu, sembari menunduk lesu. Felis masih menimbang-nimbang tentang taawaran Anggi, kondisi ekonominya, serta perasaan Zain.
"Kenapa? Ikut lah, pliis!" Ghea hanya mengetahui dasar dari masalah Felis. Dia belum tahu bahwa masalah-masalah Felis tersebut sudah beranak pinak akhir-akhir ini.
"Em gue pikir-pikir dulu, ya?" Felis bernegosiasi dengan sahabatnya satu ini.
"Ih Felis gitu…" Ghea memasang wajah cemberut serta memelas kepada Felis.
"Ghe, gue emang enggak ada rencana mau pulang ke Indonesia tahun baru ini," Felis berterus terang dengan Ghea.
"Felis, kali ini aja. Lo kan udah satu setengah tahun lebih enggak ketemu mereka. Masa lo nggakkangen sama kita-kita? Masalahnya, semakin ditunda takutnya nanti aktivitas kampus semakin sibuk, dan takutnya, rencana matang buat reunion Cuma wacana aja, dan enggak terlaksana. Makanya, kali ini lo harus ikut!" Ghea mengutarakan segala argumen beserta fakta yang terlintas di pikirannya, untuk membujuk Felis.
"Emm, Ghe lo papsti paham kalau jadi gue, kan?" Felis menatap Ghea dengan sedikit sayu. Suaranya terdengar sedikit lebih lemah daripada tadi.
"Iya gue paham. Gue ngertiii banget, tapi…." Ghea masih belum puas karena menerima penolakan dari Felis. Ia ingin mencoba membujuk Felis dengan cara lain.
"Eh udah malem. Kalian balik aja dulu. Masalah itu kan bisa dibahas besok lagi. Masih ada beberapa hari, kok!" Arfa yang bisa membaca situasi, segera menengahi mereka berdua. Helaan napas lega Felis terdengar lirih ketika Arfa berhasil menengahi pertikaian kecilnya dengan Ghea.
"Ih kamu! Aku belum selesai ngomongnya sama Felis!" Ghea sedikit protes akan perlakuan Arfa barusan.
"Ghe, semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Mungkin Felis butuh waktu. Jangan terlalu memaksa juga…. Memang, menurut kamu reuni ini penting, tapi pendapat setiap orang masing-masing berbeda. Mungkin dia punya sesuatu yang menurutnya lebih penting dari reuni ini…. Lagipula Felis kan sahabat kamu, harusnya kamu yang lebih ngerti dia, dong!" ketika mendengar penuturan Arfa, Ghea bungkam seketika. ia sadar, seharusnya tadi tidak begitu memaksa Felis.
Benar yang dikatakan Arfa. Setiap orang memiliki skala prioritas, juga pendapat masing-masing. Tidak boleh saling memaksakan kehendak.
"Hm, iya…. Felis, maaf ya gue kesannya jadi maksa lo buat ikut reunian…." Ghea menunduk sembari meminta maaf pada Felis.
"Iya Ghe, enggak apa-apa…. Gue pikir-pikir lagi dulu, ya…. Kalau udah dapet kepastiannya, gue pasti langsung hubungin lo, kok!" begitu mendengar penuturan Felis, Ghea memeluknya sedikit erat.
"Makasiiiiih," Ghea berseru dengan riangnya.
"Iya, udah ah, sesek gue nih!" Felis membalas pelukan Ghea sebentar, kemudian menjauhkan tubuh mereka berdua.
"Heheh…. Hati-hati pulangnya nyonya! Dah, ketemu lagi besok ya!" Ghea yang ceria telah kembali, ia mengucapkan salam perpisahan hari ini pada Felis.
"Iya, dadah gue pamit dulu!"
_____________________
Kyle_Keii