"Zain, ada rencan pulang ke Indonesia enggak?" tanya Felis pada Zain ketika mereka sedang bercengkrama ringan di perjalanan pulang menuju apartemen mereka masing-masing.
"Sebenernya kalau di pikir-pikir lagi, pulang ke Indonesia juga penting, sih. Tapi…"
"Iya, gue juga paham. Makanya itu gue tanya lo. Ternyata biaya hidup di Jepang asli mahal banget. Kalo buat beli tiket pesawat bolak bali, mana adek gue minta oleh-oleh lagi…"
"Hm. Apalagi yang paling kerasa buat bayar apartemennya. Udah cari yang paling murah, tetep aja mahal. Yakali mau nunggak bayar…"
"Maka dari it--- Eh, hai Tan" Felis dan Zain berpapasan dengan Tante Anggi di lorong apartemen yang sepertinya sudah mendengar seluruh pembicaraan mereka tadi.
"Hayo, kalian lagi ngomongin apa?" Tante Anggi memasang wajah sok curiganya pada Felis dan Zain.
"Cuma lagi diskusi mau pulang ke Indonesia atau enggak sih, Tan…" Felis menjawab pertanyaan Anggi dengan jujur.
"Pulang aja," Anggi memberikan saran yang terkesan perintah pada Felis serta Zain.
"Pengennya juga gitu, Tan. Tapi…" Felis menjawab dengan sedkit ragu pada Anggi.
"Pada bingung biayanya?" tebakan Anggi sekarang sangat tepat. Seakan-akan tidak memiliki kata-kata untuk menjawabnya, Felis dan Zain hanya mengangguk dengan kompak beberapa kali.
"Gimana kalau gini aja, ada satu apartemen punya kenalan Tante, di sana agak luas, lebih luas dari apartemen kalian berdua sekarang. Nah kalau kalian mau, kalian sewa apartemennya satu aja, buat berdua. Bayarnya bagi dua. Itu jauh lebih hemat menurut tante,"
"Hah? Ma-mana bisa gitu, tan?"
"Bisa lah, kana da dua tempat tidur. Ya kalian pikir-pikir aja dulu, deh. Nanti kalau kalian tertarik, bisa hubungi Tante, okay?!"
"O-oke, Tan,"
Felis dan Zain melanjutkan sisa perjalanan mereka dalam kebisuan yang canggung. Masing-masing bergelut dengan pikiran mereka yang berkecamuk. Di satu sisi, mereka menyetujui usul Anggi. Sedangkan di sisi yang lain, terbesit keragu-raguan yang amat besar karena berbagai alasan yang melandasinya.
Pertama, Felis dan Zain masing-masing adalah seorang lelaki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan apapun selain teman. Kedua, felis dan Zain benar-benar sudah cukup umur untuk memiliki pemikiran yang dewasa untuk masing-masing. Ketiga, mereka tidak sedang bermain drama yang akan menjadi sebuah asmara antar teman seapartemen. Mereka juga memiliki privasi masing-masing yang tidak ingin diketahui siapapun, terutama lawan jenisnya.
Tapi satu hal yang pasti, Felis sangat ingin untuk bisa berkunjung ke negara kelahirannya itu. Zain juga tidak lain dengannya. Terutama Felis yang perasaan khawatir akan keluarganya di Indonesia semakin berkecamuk. Bahkan tidak jarang Felis didatangi mimpi buruk yang selalu mengganggu tidurnya, dan selalu membuatnya gelisah sepanjang hari akibat khawatir pada Farrel, Viko, Lia, serta Rafi.
Tawaran Anggi tadi, jujur sangat ingin Felis terima. Namun, Felis memikirkan perasaan Zain. Felis sadar, ia tak boleh begitu egois sementara harus melibatkan persetujuan kedua belah pihak. Felis ingin mencoba membuka pembicaraan, tapi ia takut mempercanggung suasana ini. Felis ingin menunjukkan sedikit ekspresi tertarik pada tawaran Anggi, tapi ia takut jika hal itu bisa menyinggung perasaan Zain nantinya.
Felis memutuskan untuk tetap diam. Walau pita suaranya sudah sangat gatal ingin mengemukakkan pendapatnya, tapi otaknya mencegah mati-matian agar Felis tidak mengatakan hal yang ingin ia kemukakan. Hingga bereka bersimpangan di pintu apartemen yang berbeda, belum ada seorang pun baik Zain maupun Felis yang membuka pembicaraan setelah peristiwa tadi.
Felis memilih untuk menenangkan diri, duduk di tepi tempat tidur sembari memandang bangunan pencakar langit, jalanan, dan kota Tokyo dari jendela di sebelah kirinya. Matahari yang jingga sudah mulai membalap dengan langit yang gelap dan pekat. Bintang tak tampak satupun. Hanya rembulan yang sendiri.
Dulu ketika Felis masih tinggal di desa, ia selalu bermain menebak konstelasi dengan Lia, Rafi, Farrel, dan Viko. Mereka berkumpul dengan harmonis, begitu juga dengan tetangga-tetangga mereka. Bersenandung ria, bermain kembang api bersama jika tahun baru, maupun ketika menjelang hari raya, ditemani kerlip bintang, dan dewi malam yang memantulkan sinar sayup-sayup. Jujur, Felis rindu di masa-masa ketika rembulan tidak sendiri.
Pertama kali pindah ke kota, Felis bertanya pada Lia dengan polosnya, "Ma, bintangnya pada kemana? Kok bulannya sendirian, kasian…" ujarnya. Lia ataupun Rafi pasti hanya menjawab, "Paling lagi mendung, mau hujan," padahal-padahal, ini musim kemarau. Sungguh, hal itu menumbuhkan sejuta rasa penasaran Felis.
Felis waktu itu duduk di kelas lima SD ketika secara tak sengaja menemukan sebuah artikel yang berjudul, "Kemana Menghilangnya Para Bintang" kala itu juga, Felis mengetahui sesuatu tentang Light Pollution atau polusi cahaya. Bintang yang tak terbatas jumlahnya hanya terlihat satu dua. Awalnya, rasi orion masih terlihat pada bulan-bulan tertentu. Namun seiring berjalannya waktu, rasi paling terang juga menghilang dari langit malam, hingga hanya tersisa satu atau dua bintang, bahkan hanya rembulan seorang diri saat purnama.
Felis tadinya ingin bersekolah di luar negeri, tepatnya di Chili, salah satu negara bagian amerika, dimana terdapat sebuah gurun dengan langit malam tanpa polusi cahaya. Tapi seiring berjalannya waktu, Felis mengubah cita-citanya menjadi bersekolah di luar negeri dengan beasiswa dan membanggakan kedua orang tuanya, serta mengangkat derajat keluarganya.
Mimpi itu terus Felis pendam dan perjuangkan selama bertahun-tahun seorang diri. Lia dan Rafi waktu itu sangat mendukung keputusan Felis di depannya ketika Felis pertama kali mengutarakan mimpinya. Namun, pada malam hari ketika semua lampu kamar sudah dimatikan, Lia dan Rafi membicarakan tentang mimpi Felis tadi. Bahkan Rafi mengatakan bahwa hal itu hanyalah bualan semata. Kebetulan, waktu itu Felis terbangun hendak ke kemar mandi. Walau akhirnya, Felis mengurungkan niatnya karena mendengar percakapan Lia dan Rafi.
Felis tidak percaya bahwa ia sangguh membuktikan bahwa omongan Felis waktu itu bukan hanya bualan semata, pada Lia juga Rafi. Tak mudah, memang. Tapi ya, mau bagaimana lagi? Yang sudah pasti Felis ketahui jika ia menginginkan sesuatu yang besar, tidak ada jalan pintas untuk mendapatkannya. Ia harus terus berusaha. Patah semangat, kehilangan motivasi, sakit, jatuh, kemudian kembali bangkit. Perjuangannya tak mudah selama ini.
Dan, walau salah satu mimpinya kini sudah tercapai, masih ada seribu mimpi lagi yang harus Felis perjuangkan dalam hidup. Ini bukanllah titik akhir, melainkan titik awal dari mimpi-mimpi Felis selanjutnya.
Tok tok tok
Lamunan Felis terinterupsi oleh ketukan di pintu apartemen Felis. Dengan segera, Felis bangkit dari zona lamunannya, dan bergegas membukakan pintu untuk si tamu tadi.
"Ada apa?" Felis bertanya pada Zain yang ternyata menjadi pelaku penginterupsi lamunannya tadi.
"Nggak lagi sibuk, kan?" tanya Zain, walau ia sudah tahu pasti jawaban Felis.
"Enggak sih…" jawab Felis, sesuai dengan tebakan Zain.
"Ikut gue, yuk!" ajak Zain pada Felis.
"Kemana?" Tanya Felis, bingung.
"Ikut aja dulu. Mau nggak?" tawar Zain sekali lagi pada Felis.
"Okey, bentar gue ambil hp dulu," putus Felis untuk menerima ajakan dari Zain.
Felis dan Zain berkeliling kota Tokyo malam yang terang benderang, dihiasi berbagai cahaya artifisial. Cahaya artifisial ini, sesungguhnya merugikan beberapa pihak. Missal burung0burung yang bermigrasi. Tak jarang mereka menganggap bahwa cahaya artifisial ini sebagai rembulan, atau rasi bintang. Walau itu hanya salah satunya.
Satu malam itu, Felis dan Zain berkeliling kota Tokyo untuk menyenangkan diri mereka masing-masing. Mungkin bagi Felis, ini adalah yang pertama kalinya, walau bagi Zain, ini adalah kali keduanya. Gedung pencakar langit di mana-mana. Pejalan kaki yang buru-buru berlalu lalang secara cepat. mobil dan angkutan umum darat tidak sepadat di Jakarta. Membuat Felis semakin meyakini bahwa Jepang jauh lebih maju dari pada Indonesia.
Walau hanya berkeliling tanpa tujuan yang jelas, tetapi Felis sangat menikmati perjalanannya dengan Zain kali ini. Kecanggungan diantara mereka mendadak sirna, tergantikan oleh canda dan tawa riang dari lubuk hati. Setelah beberapa lama lagi Felis berjalan mengikuti Zain, mereka tiba di sepan salah satu mini market di Jepang. Tidak, tunggu. Tujuan Zain bukanlah mini marketnya, melainkan sebuah bangunan di seberang mini marketnya.
"Itu, apartemen yang ditawarin sama tante lo"
"Kalau di liat-liat bangunannya bagus juga," ungkap Felis terhadap kesan pertamanya ketika melihat tampak depan dari gedung apartemen.
"Bukan hanya itu, lokasinya strategis, dan harganya tergolong murah!"
Felis tidak menyangka jika Zain yang akan membuka topik ini lebih awal darinya. Mungkin karena Zain anak dari seseorang dengan kelas ekonomi keluarga yang menengah ke atas, jadi Felis tidak berharap jika Zain akan memedulikannya hingga sampai pada tahap ini, bahkan tertarik dengan penawaran Anggi.
Felis dan Zain mungkin akan menyetujui tawaran Anggi. Felis dan Zain mungkin juga akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat, selama Universitas belum beroprasi secara normal. Semoga saja, dengan membuat keputusan seperti ini, Felis dapat memperbaiki lagi hubungan kekeluagaan antar keluarganya yang saat ini sedang berada di ambang keretakan hubungan antar keluarga. Felis juga harus kembali memberikan motivasi dengan tingkahnya.
Semoga saja, dengan pulangnya Felis ke infonedia, jalan pikiran Viko bisa kembali seperti sedia kala. Semoga, dengan pulangnya Felis ke Indonesia, maka Farrel akan semakin didekatkan dengan kesadaran, dan terbangun dari mimpi panjangnya. Semoga saja, ketika Felis pulang ke Indonesia, kondisi Lia baik-baik saja, dan terbebas dari virus yang menyerangnya dengan ganas kala itu.
_______________________
Kyle_Keii