Tetap tenang, fokus, jangan terlena dengan hasrat duniawi yang kadang tidak bisa ditahan. Berbohong demi kebaikan, pura-pura tidak peduli, peduli dalam diam. Mengerti segala keadaan, menguasai pembicaraan, perhatian dan teliti dalam segala hal. Mengorbankan suatu hal demi seseorang, menghindari hal buruk demi kebaikan, tersenyum ketika terluka, menangis dalam diam di satu per tiga malam. Felis melakukannya, semua itu dalam kesendirian.
Baru beberapa hari Felis tinggal di negeri sakura, namun efek yang ia rasakan akan perubahan amat besar, meskipun berangsur-angsur berkurang. Bahasa yang asing, lingkungan yang asing, gaya hidup dan jadwal yang berbeda, dengan orang-orang asing dan berbeda, di tempat yang berbeda dari tiga belas hari yang lalu.
Berada di apartemen lantai lima, membuatnya lumayan kesulitan ketika ingin berkunjung ke suatu tempat. Tapi dari atas sini, pemandangan negeri sakura terlihat sangat indah. Kerlip lampu jalanan, hiruk pikuk pejalan kaki yang terlihat buru-buru, sahut-sahutan suara yang terdengar sayup. Langit sangat pekat malam ini. Tanpa rasi orion di utara, atau crux di selatan.
Apartemen Zain berada di lantai yang sama dengan Felis, namun berjarak dua nomor dari nomor apartemennya. Felis kadang menghubunginya untuk menanyakan beberapa hal yang tidak ia mengerti. Zain tak jarang juga menghubungi Felis lebih dahulu walau hanya untuk menanyakan hal-hal kecil, yang sering kali membuat suasana hati Felis menjadi jauh lebih baik.
Dalam menghadapi masa adaptasi ini juga, Tante Anggi memiliki peran yang tidak bisa dibilang kecil. Proyeknya yang berada dalam distrik yang sama dengan lokasi apartemen Felis membuatnya bisa membantu banyak dalam proses pengenalan lingkungan sekitar, mengingat ia sudah berada di negeri sakura sekitar tujuh bulan lebih awal daripada Felis.
Felis sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk pergi meninggalkan keluarganya dan menempuh pendidikan di negeri sakura. Ia berharap tujuh tahun kemudian ketika ia kembali ke Indonesia,keadaan keluarganya menjadi jauh lebih baik daripada sekarang ini. Beban yang Felis tanggung sebagai anak perempuan pertama, masalahnya dengan saudara serahimnya, tekanan akan pendidikannya, penyesalan, rasaa bersalah, serta rasa sakit itu segera pergi, sirna, dan menghilang untuk selama-lamanya.
Felis ingin segera terlepas, terbebas dari segala kekangan pikirannya. Ia ingin bahagia. Ia berhak bahagia. Tetapi sebelum ia mendapatkan haknya, ia terlebih dahulu harus menjalankan keawjibannya. Kewajibannya sebagai anak erempuan pertama, kewajibannya sebagai seorang kakak, kewajibannya sebagai pelajar, bahkan kewajibannya untuk menyelesaikan masalah, bukan lari dari masalah. Felis tahu akan itu, tetapi kali ini, mentalnya belum begitu siap. Ia berpikir ia belum bisa menanggung beban lebih berat dari ini, dan berusaha untuk lari dari masalah, walau hanya untuk sementara.
*****
Zain mencatat materi dan meringkasnya di buku catatannya, kemudian membaca, memahami, dan menghapalkannya. Ujian tes untuk masuk ke universitas akan dilaksanakan dua hari lagi. proses adaptasi Zain akan negeri sakura juga telah mengalami peningkatan sekitar tujuh puluh persen dari sebelumnya. Jadi, Zain bisa lebih leluasa dalam membuat dirinya sendiri nyaman dalam lingkaran social yang berbeda dari sebelumnya.
Tentu saja gaya hidup sehat, bersih, dan hemat tetap dan selalu Zain terapkan. Meski awalnya agak dan sangat sulit mengingat a belum beradaptasi, tetapi kini, mungkin ia sudah hampir menjadi terbiasa akannya. Zain kini memiliki sebuah ambisi untuk bisa lolos dan masuk ke University of Tokyopada jurusan kedokteran. Ambisi yang cukup tinggi dan cukup sulit untuk diraih. Terus maju pantang mundur menjadi slogan untuk hari ini. Esok hari juga harus lebih baik. agar ambisi bisa tercapai.
Pukul sepuluh malam, namun Zain belum juga memiliki niat untuk pergi ke alam mimpi. Ia masih sangat berfokus pada pengulangan materi ujian serta beberapa huruf kanji yang kadang masih terbalik satu dengan lainnya. Setelah beberapa kali membacanya ulang, pemuda dengan tinggi serratus tujuh puluh lima centimeter itu berhasil menghapalnya dengan sempurna.
'Tok-tok-tok'
Ketukan pintu apartemen Zain menginterupsi kefokusan penuhnya. Zain dengan segera membukakan pintu apartemennya dengan sigap. Jujur, Zain penasaran akan sosok orang yang mengusiknya ketika malam sudah mulai larut begini.
"Loh, Felis?" Zain sedikit terkejut mengingat tidak biasanya Felis akan mengusiknya lebih dari pukul lima.
"Zain, gue minta tolong boleh?" tanya Felis dengan raut wajah panic. Bibirnya gemetar, wajahnya pucat. Tangannya bahkan sudah berkeringat dingin.
"Apa?"
"Kunci apartemen gue ketinggalan di kamar lo kayaknya, Zain?" Felis mengatakan hal itu dengna suara sedikit gemetar. Dalam melodi suara itu ada tersirat keraguan Felis terhadap ucapannya sendiri.
"Hah? Kok bisa?"
"Sumpah gue lupa banget waktu itu kayanya ketinggalan di sini deh. Gue cari di tas enggak ada," terang Felis.
"Yaudah sini masuk duu, cari bareng-bareng," Zain mencoba menenangkan Felis.
"O-Okey"
"Permisi" kalimat itu spontan terucap dari mulut Felis ketika ia mulai melangkah memasuki apartemen Zain.
"Santai aja,"
"Terakhir seinget lo kunci apartemen lo ketinggalan di kamar gue kan. nah itu di sekitar mana?"
"Tadi siang waktu belajar bareng di sekitar deket balkon kalau enggak salah," Zain mengangguk dan mencarinya dengan teliti.
"Ada enggak?" tanya Felis setelah berselang beberapa menit.
"Eh enggak ada lis, sumpah!" Zain berucap dengan suara lirih yang masih bisa ditangkap dengan sangat jelas oleh telinga Felis.
"Eh serius lo? Jangan main-main, deh!" Felis berusaha untuk tidak percaya dan menganggap ucapan Zain hanya gurauan semata.
"Iya bener ini enggak ada. Coba lo yang cari, deh," Felis mengangguk. Mencarinya unuk beberapa saat, namun tak membuahkan hasil. Raut kepanikan dalam wajahnya bertambah dengan drastis.
"Waduh, gimana dong? Dimana, ya… kok enggak ada? Terus gue masuk ke apartemen malem ini gimana?" Felis mencari sekali lagi, dua kali lagi, dan berulang kali. Akan tetapi kunci apartemennya belum juga ditemukan. Felis tadinya sengaja mencari apartemen dengan kunci manual agar menghemat biaya. Namun siapa sangka aka nada kejadian seperti ini. Ia sungguh menyesal sekarang atas piilihannya itu.
"Bukannya ada kunci cadangan?" Felis hanya menggeleng lemah, sembari merogoh tas, dan kantung pakaiannya.
"Hm, coba cari sekali lagi, siapa tau lo kurang teliti nyarinya," Felis kembali menggeleng. Ia sudah mencarinya puluhan kali. Tetap saja belum membuahkan hasil.
"Aargh! Bego banget sih. Masa kunci apartemen bisa nyampe hilang ginii" Felis merutuki sifat kecerobohannya sendiri.
"Enggak adaa, enggak ada beneraan. Gimana dong ish. Yah gue jadi gelandangan deh, mamaa kunci apartemen Felis hilaang" Ia mulai putus asa setelah mencari beberapa kali lagi, di beberapa tempat berbeda.
"Enggak ketemu, yaudah deh, maaf ngerepotin," Felis ptus asa dan akhirnya memilih untuk tidak mengganggu aktivitas Zain lebih lama lagi.
"Eh, terus lo malem ini tidur di mana?" tanya Zain dengan tersirat nada khawatir dalam pertanyaannya tadi.
"Di depan apartemen kali? Atau enggak tidur, tidurnya besok pagi. Ah liat nanti aja deh!" Felis menjawab dengan tegar padahal, kondisi fisiknya sedang menurun saat ini. Mungkn ia terserang demam. Bahkan suaranya terdengar berbeda dari biasanya. Zain yang menyadari perbedaan itu segera meraba dahi Felis dengan punggung tangan kanannya.
"Lo demam." Ujarnya setelah merapa dahi Felis selama beberapa detik.
"Hah? Hebat lo bisa tau," Felis yang baru menyadari kondisi badannya sedikit terkejut karena Zain bisa menyadarinya.
"Kedengeran jelas dari suara lo," terang Zain yang hanya dibalas dengan anggukan beberapa kali dari kepala Felis.
"Gitu, ya?" tanya Felis, meyakinkan.
"Malem ini lo tidur di apartemen gue aja. Lusa kan udah tes. Yakali gue biarin lo yang demam keluyuran enggak tidur sampe besok?" putus Zain setelah menimbang beberapa kemungkinan, baik yang positif maupun yang negative.
"Terus lo tidur di mana?" tanya Felis, mengingat apartemen Zain hanya tersedia satu tempat tidur, lemari, karpet, serta meja dan kursi belajar. Juga beberapa perabot kecil lain.
"Lo tidur di Kasur, gue selain di kasur," Zain berucap dengannada ringan, tidak mengambil pusing masalah.
"Selain dikasur gimana?" Felis meminta kejelasan atas ucapan Zain yang lumayan absurd.
"Ya nggak gimana-gimana. Bebas gue mau tidur di lantai, di karpet, di meja belajar, orang apartemen gue kok!" Zain sedikit meninggikan diri mengingat kondisi tak berdaya Felis kala ini.
"Ntar gentian lo yang sakit?" tanya Felis khawatir, yang hanya diacuhkan oleh Zain. Zain berjalan mengambil satu botol obat dan satu gelas air.
"Ini paracetamol, ini airnya. Lo minum obat habis itu tidur. Gue mau main game. Dah." Zain memutus pembicaraan secara sepihak dan memilih duduk tenang di kursi belajarnya sembari memainkan permainan di telepon genggamnya.
"Makasih," tubuh Felis sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk melanjutkan perdebatan. Ia memilih untuk mengikuti saran Zain dan bergegas pergi ke alam mimpi.
'Sombong gitu. Besok sakit tau rasa!' batin Felis melampiaskan perasan kesal yang terbesit atas tingkah Zain barusan.
Malam semakin larut, setelah meminum obat, Felis menyelimuti diri dan memejamkan mata. Perlahan, jiwanya terseret masuk menuju alam mimpi. Mengistirahatkan tubuhnya agar bisa pulih dengan cepat dan beraktivitas seperti biasanya. Semoga saja kunci apartemennya segera ia temukan kembali. Semoga saja demamnya segera pergi, dan tidak mendatanginya lagi dalam jangka waktu yang dekat.
Sementara itu, Zain meraba kembali dahi Felis ketika ia rasa Felis sudah terlelap dalam tidurnya, untuk mengecek suhu tubuh Felis. Ia menghela napas ketika suhu tubuh Felis masih belum normal. Tetapi mengingat kantuk sudah menyerang, Zain memilih kembali duduk di kursi belajarnya dan tidur dalam lipatan tangan yang ia letakkan di meja belajarnya.
Kyle_Keii