Melodi riuh suasana bandara kala itu, menghantar beberapa perasaan tak terlukiskan. Haru karena akan melepas anak perempuan satu-satunya mereka menuju kehidupan baru sementara untuk menempuh pendidikan. Sedih karena tak rela untuk meninggalkan keluarga dan sahabat tercinta dalam kurun waktu yang lama. Takut akan rindu dengan suasana ketika mereka masih bersama. Bercampur aduk.
Indah, mentari sore ini bewarna jingga kemerahan, dengan seburat pelangi dari biasan gerimis, juga latar awan putih dan langit biru yang sedikit terlihat. Sama indahnya dengan suasana kala ini. Hujan, namun cerah. Sedih, tapi bahagia.
Ya, Felis berhasil terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa itu. Walau dengan proses yang cukup panjang dengan banyak rintangan di dalamnya. Berkat bantuan keluarganya, dan Ghea tentu saja, Felis berhasil melalui itu semua.
Felis akan meninggalkan tanah kelahirannya. Sedih, sangat sedih. Ia tak mau berpisah dan berada pada jangkauan jarak yang cukup jauh, bahkan melewati batas negara. Ia ingin selalu berada di sisi orang-orang yang menyayanginya dengan tulus.
Namun Felis sadar, ia harus melangkah maju. Ia ingin membahagiakan keluarganya. Ia ingin bisa membiayai pengobatan Farrel agar ia segera sadar dari komanya, bahkan jika harus ke ujung dunia sekalipun, ia rela.
Langkah pertama yang ia harus ambil adalah dengan menempuh pendidikan pada jenjang selanjutnya dengan tanpa menyulitkan siapapun, memberatkan siapapun, bahkan tanpa siapapun mengetahui kesulitan yang akan ia hadapi.
Ia sudah berhasil mendapatkan beasiswa, tiket untuk bisa melaju pada langkah pertamanya. Kini, ia harus terus melangkah maju jika tidak ingin tertinggal di belakang. Ia harus melangkah lebih cepat agar tidak tertinggal dari yang lainnya. Ia harus melangkah lebih sering, lebih giat melangkah daripada yang lainnya agar ia bisa segera kembali kepada kampong halamannya.
Felis menyalimi kedua orangtuanya, berpamitan dengan Viko, juga Ghea sebelum ia benar-benar harus masuk ke pesawat dengan tiket tempat duduk yang sudah dipilihkan secara acak dan dibagikan pada para penerima beasiswa pada pertemuan terakhir sebelum keberangkatan.
Felis menghela napas panjang. Memandang sejenak kepada sekeliling bandara, kemudian masuk ke pesawat dengan langkah lesu. Ia menegakkan badannya, dan mencari nomor tempat duduk yang tertera pada tiketnya.
Felis langsung duduk di sana, memasang sabuk pengaman dengan cepat, lantas pergi tidur dengan earphone yang menghiasi telinganya dengan elok. Felis berharap hari yang melelahkan ini akan segera berlalu. Hari-hari dalam kurun tujuh tahun yang akan datang berlangsung dengan cepat, bahkan tak terasa sama sekali. Semoga saja.
*****
Felis hanya tertidur dalam jangka waktu tidak sampai lima menit. Setelah itu, ia dengan keadaan setengah terbangun, menyeka wajahnya kemudian duduk dengan tenang karena pesawat baru akan beranjak dari tanah, menuju udara.
Setelah kondisi pesawat stabil di udara dengan goncangan yang kian berkurang, Felis menatap ke sekitar. Ia kemudian menengok ke kanan, tempat teman sebelahnya duduk. Ia merasa wajahnya sedikit familiar. Dia seorang lelaki, beralis tebal dengan hidung mancungnya. Felis sangat terkejut ketika mengetahui itu adalah seseorang yang sangat ia kenal.
"Zain?" Kehadiran pemuda itu sangat tidak Felis duga. Mengingat Felis sudah beberapa bulan tidak bertemu dengannya.
"Loh Felis? Lo kok bisa ada di sini?" ternyata, pemuda itu juga tidak menduga akan kehadiran Felis.
"Bisa, dong. Gue emm…. Gue dapet beasiswa ke jepang, jadi…" Felis terlihat agak ragu ketika menceritakan hal itu pada Zain.
"Loh, kok bisa samaan gitu? Gue juga salah satu kandidatnya, loh! Gue nanti mau ngambil jurusan kedokteran kalau dapet, sih" Zain ternyata juga mendapatkan baesiswa dari program yang sama dengan Felis. Bahkan jurusan tujuannya juga sama.
"Gue juga pengennya ngambil kedokteran… eh tapi kok waktu tes tertulis gue enggak liat lo, ya? Waktu wawancara juga…" Felis jujur mengatakan.
"Gue sebenernya kaya liat lo sekali waktu setelah wawancara. Tapi waktu itu gue ragu itu lo atau bukan. Soalnya gue litany sekelibet banget. Yaudah enggak gue tegur" ujar Zain terus terang. Felis hanya membulatkan bibirnya, ber-oh singkat.
Kemudian seorang pramugari datang untuk memeriksa tiket mereka. Tak berselang lama, pramugari itu datang untuk menawarkan makanan. Dengan suasana hati yang sedang tidak karuan, Felis memutuskan untuk menolak tawaran pramugari itu dengan halus.
Felis menatap ke arah luar dari jendela pesawat di sebelah kirinya. Pemandangan langit dari atas sini sungguh indah. Bahkan Felis memotret banyak foto melalui telepon genggamnya yang sudah ia masukkan ke dalam mode pesawat, agar tidak mengganggu penerbangan.
Pikirannya kalut dalam kumpulan awan putih yang terlihat berserabut dengan pantulan sinar jingga, biru, bercampur gelap. Melodi hening menyelimuti, ia tak bisa membayangkan seberapa panjang proses, seberapa lama menanti, dan akhirnya ia benar-benar lolos dan berhasil mendapatkan beasiswa ini.
Proses yang dimulai pertengahan bulan juli, baru selesai di awal bulan april tahun setelahnya yang ditandai dengan keberangkatan mereka berdua ke negeri pencipta anime itu. di sana, kini sedang mengalami musim semi. Ketika bunga-bunga sakura mulai bermekaran dengan cantiknya.
"Felis," Zain membuyarkan lamunan Felis seketika.
"Iya?" tanya Felis akan alasan Zain memanggil namanya.
"Lo waktu itu ngumpulin EJU atau sertifikat kemampuan bahasa, nggak?" tanya Zain pada Felis.
"Enggak. Gue enggak ada masalahnya. Belum pernah tes juga," jawab Felis jujur "Emang kenapa?" sambungnya lagi.
"Enggak, sih. Gue tanya aja," jawab Zain.
*****
Felis kembali memasang sabuk pengamannya karena pesawat sebentar lagi akan mendarat. Setelah itu, mereka mengalami goncangan singkat ketika pesawat kembali menyentuh tanah. Melonggarkan sabuk pengaman, membawa barang bawaan kemudian satu per satu turun dari pesawat.
Felis bernapas lega ketika telah kembali ke daratan mengingat ini kali pertamanya ia menaiki pesawat terbang. Setelah itu, Felis kembali melihat sekeliling, membandungkannya dengan apa yang ia lihat di bandar udara di Indonesia sekitar dua jam yang lalu.
Kisah Felis di negeri sakura di mulai di sini. Lika-liku kesulitan, tawa, canda, air mata, yang akan ia lalui selama tujuh tahun. Melodi kehidupannya akan berubah. Hampir berubah dengan total dari melodi kehidupannya di Indonesia.
Felis tidak sabar menantinya, walau ia sedikit khawatir aka nada masalah yang tidak bisa ia selesaikan. Namun yang bisa ia lakukan saat ini adalah dengan melakukan yang terbaik. Terus melangkah maju, dan tidak kenal mundur. Teguh pendirian dan tidak akan goyah. Ia memperkuat tekad kembali, memantapkan hati.
Langkah demi langkah akan ia tempuh, rintangan demi rintangan akan ia tuntaskan. Dersama dengan tawa, canda, air mata, keringat, peluh, hingga darah akan menemaninya. Ia akan berjuang. Demi orang-orang yang disayanginya. Demi dirinya sendiri. Demi kesuksesannya di masa depan.
Selamat tinggal, Indonesia.
_________________
Kyle_Keii