Ketika Felis menekan knop dan mendorong pintu ruang rawat inap VIP nomor 107, di dalamnya ia tak lagi melihat tubuh Farrel di atas brankar, bahkan ruangan itu sekarang kosong melompong. Tak ada nakas, brankar, sofa, ataupun perabot lainnya. Ia sangat syok, begitu juga dengan Ghea. Berbagai spekulasi negatif mulai berdatangan ke kepala Felis.
Tidak, ia menangis lagi. Tuhan, semoga saja keadaan Farrel sekarang baik-baik saja, dan tak seperti apa yang sedang Felis spekulasikan kini. Sembari merapalkan doa, Felis mulai beranjak dari posisinya, sembari mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat.
Felis keluar dari ruang rawat inap VIP nomor 107. Ia lantas langsung mencari seseorang, entah itu petugas rumah sakit, perawat, suster atau bahkan mungkin seorang dokter. Siapapun yang sepertinya mengetahui keadaan Farrel sekarang, dimana dia, serta mengapa ruang rawat inap VIP nomor 107 mendadak kosong?
Di tikungan ujung lorong, Felis hampir menabrak seseorang. Ternyata ia Dokter Irfan. Dokter Irfan melihat raut wajah Felis yang sepertinya sedang dalam keadaan yang kurang baik. karenanya, Dokter Irfan Hendak bertanya pada Felis.
"Ada apa?" tanyanya.
"Dok, Farrel…. Kenapa dia enggak ada di ruangannya?" tanya Felis dengan raut wajah panik.
"Farrel baru saja dipindah ruangan. Saya ingin menginfokan kalian tapi waktu itu kalian belum datang," terangnya.
"Dipindahkan ke ruangan yang mana, Dok? Apakah kondisinya memburuk?" tanya Felis beruntun.
"Tenang saja, kondisi Farrel tidak menunjukkan penurunan. Dia dipindah ruangan karena ruang rawat inap nomor 107 mengalami kebocoran pada atap akibat badai semalam. Jadi, Farrel di pindahkan ke ruang rawat inap nomor 108. Apakah ada masalah?" tanya Dokter Irfan.
"Huft enggak ada kok dok, makasih dok. Saya kira tadi Farrel kenapa-kenapa," jawab Felis jujur. Kini, ia sudah mulai tenang.
"Ya sudah, mari masuk dulu ke ruangan Farrel. Saya akan menjelaskan kondisinya di dalam." Ajak Dokter Irfan.
"Baik, Dok!" seru Felis semangat, yang kemudian menyambar tangan Ghea dan menariknya agar berjalan sejajar dengan Felis.
*****
"Seperti yang saya jelaskan tadi, kondisi Farrel bisa dibilang ada sedikit peningkatan dari yang sebelumnya. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan acuan. Jadi, agar tidak memberi harapan palsu, lebih baik Felis jangan mengatakan hal ini terlebih dahulu pada keluarga," saran Dokter Irfan.
"Baik, Dok. Oh iya Dok, boleh saya minta tolong untuk dituliskan surat rekomendasi akademik?" tanya Felis.
"Untuk daftar beasiswa? Boleh, sini," jawab Dokter Irfan santai.
"Wah, makasih Dok!" seru Felis dengan semangat.
"Iya, pakai bahasa inggris kan, ya?" tanya Dokter Irfan untuk memastikan.
"Iya Dok." Jawab Felis dengan yakin.
Setelah mendapat surat rekomendasi akademik dari Dokter Irfan dan Pak Adit, Felis dan Ghea menuju kantor pos yang letaknya tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit Cahya Aruna. Mereka mengendarai sepeda beriringan di kiri jalan. Hati Felis sedang dalam keadaan berbunga sekarang ini.
Kondisi Farrel mengalami peningkatan, dokumen untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu pesaing dalam memperebutkan beasiswa ke negeri sakura sudah lengkap. Bahagia itu, sederhana. Tidak harus soal material, hanya mendapatkan sesuatu yang bisa menjadi pemicu mood sudah membuat Felis bahagia. Terlebih ketika ia mendengan kabar bahwa kondisi Farrel telah mengalami peningkatan, meski itu belum bisa dijadikan sebagai acuan.
Felis menggowes sepedanya sembari bersenandung ria. Ghea yang melihat siluet bahagia Felis dari belakang juga tertular. Ghea sudah melihat banyak sekali air mata Felis. Namun ini baru yang ketiga kalinya ia melihat suasana hati Felis yang terlihat amat bahagia.
Namun langit kini tak sebahagia Felis dan Ghea. Masih sekitar tiga ratus meter lagi sebelum mereka sampai di kantor pos. tiba-tiba, hujan turun dengan lebatnya memaksa mereka berdua untuk berteduh sementara. Untunglah ada semuah mini market di depan mereka. Sehingga Ghea dan Felis tak perlu khawatir dokumen-dokumen yang sudah susah payah Felis kumpulkan menjadi basah kuyup.
*****
Empat puluh tiga menit sudah berlalu, tapi hujan ini malah kian lebat tiap menitnya. Teras mini market tak bisa dijadikan tempat untuk berteduh lagi. Felis dan Ghea terpaksa masuk ke dalam mini market dengan alasan membeli sesuatu sekalian meneduh. Untung saja penjaga mini market ini mengijinkan mereka untuk meneduh di dalam mini market.
Di luar, petir dan kilat sahut menyahut dengan derasnya hujan. Jalanan mendadak sepi, lalu lintas mendadak hening. Beberapa orang yang tidak membawa jas hujan dan tadinya meneduh di teras mini market itu, mengikuti jejak Felis dan Ghea untuk berlindung dari terpaan hujan di dalam mini market.
Suasana dalam mini market juga kalut dalam keheningan. Karena sudah lelah berdiri, Felis dan Ghea terduduk di lantai mini market, sembari bersandar pada container es krim dan memakan es krim yang baru saja mereka beli.
"Fuah, dingin-dingin gini emang paling enak ya makan es krim!" seru Ghea.
"Iya, kalo dingin makan es terus kalau panas lo mau makan api, gitu?" sarkas Felis.
"Hehe iya, api cemburumu padaku," Ghea berniat mengeluarkan canda untuk menghilangkan kebosanan Felis.
"Ih jijik gue, Ghe! Gue masih normal, masih suka sama lawan jenis, bukan sejenis, ya!" Felis menjawab dengan sedikit tawa menyelingi.
"Ea ngaku Felis…. Suka sama siapa hayo?" goda Ghea.
"Ya suka sama lawan jenis bukan berarti udah ada yang disukain juga kan, Ghe! Enggak usah ngada-ngada, deh!" Felis mengelak dari pertanyaan Ghea.
"Enggak sama Zain lagi?" tanya Ghea, ambigu.
"Enggak. Zain Malik udah sama Gigi Hadid sekarang," Felis mencari alternative jawaban karena sudah tau maksud yang sebenernya dari pertanyaan Ghea.
"Bukan Zain yang itu, tapi Zain yang itu, loh. Ih Felis masa enggak paham, sih?" nah, kan.
"Asal lo tau aja nih ya, Ghe. Gue belum pernah suka sama siapa-siapa di real life, okey? Gue Cuma pernah suka sama Niall, Harry, Louis, Liam, Zayn, Weilong, sama Xiao Nai," jawab Felis dengan mantap.
"Weilong sama Xiao Nai siapa lagi?" tanya Ghea, heran.
"Aktor luar negeri. Lagi suka aja sama mereka nggak tau kenapa." Felis menyahuti dengan santai.
"Kan cinta itu buta dan tuli, ye nggak?" goda Ghea untuk ke beberapa kali.
"Enggak cinta juga kali, Ghe!" Felis menjawab ketus. Ia agak heran mengapa Ghea terlihat sangat bahagia jika berhasil membuatnya kesal.
"Haha iya, terserah nyonya besar aja," pasrah Ghea pada akhirnya.
Candaan demi candaan, tawa demi tawa keluar dengan ringannya dari mulut Ghea dan Felis. Selagi mereka bisa saling melempar canda, selagi mereka bisa tertawa lepas. Sebelum jarak dan batas negara memisahkan raga mereka, sebelum hujan kembali menghujami hati dan pikiran fisik. Tidak hanya hujan yang berupa salah satu dari siklus daur air, tapi hujan yang merupakan embun dari kesedihan. Berkumpul di pelupuk, dan luruh karena tak kuasa menahannya.
_______________
Kyle_Keii