Matahari terbit dan terbenam seperti hari-hari biasanya. Kegiatan Felis kian hari juga tak memiliki perubahan yang berarti. Hanya terasa kepadatannya yang semakin meningkat. Tak hanya Felis, Ghea, dan teman-teman Felis yang lain juga merasakan hal yang sama.
Tiga tahun di SMA Praditya sungguh terasa sangat singkat. Walau beberapa hari diantaranya terasa sangat lama jika diingat kembali.
Namun semua itu kini tak lebih dan kurang, hanya memori yang tersisa. Memori hari kemarin, kemarinnya lagi, satu minggu yang lalu, satu tahun yang lalu, hingga pertama kali bertemu.
Memori tentang yang singgah kemudian pergi, memberikan tawa juga tangis, bersenang-senang dan bersedih, berkelompok dan individu, melalui hari yang padat juga membosankan. Semua itu sangat berarti. Walau hanya memori.
Pagi ini, memori mereka juga akan diuji. Memori mereka tentang seluruh materi dan latihan soal, yang dijelaskan dan ditugaskan, mulai dari yang mudah hingga sulit, yang sederhana hingga rumit, yang berjawaban panjang juga singkat.
Ayam berkokok menjadi alarm, menggugah jiwa dari alam mimpi. Bersiap menghadapi ketegangan yang bisa di bilang memiliki sedikit sekali peran, beberapa per sekian persen dalam menentukan masa depan mereka. Setidaknya dalam jangka waktu yang pendek.
Alunan musik klasik untuk menenangkan diri teralun halus di telinga Felis sembari menyusuri jalanan pagi yang sepi. Menghirup udara segar dalam keadaan tubuh yang fresh dan merapalkan harapan sukses akan ujian setiap kali mengingatnya.
Di parkiran sepeda yang lebih sepi dari biasanya, Felis memarkirkan sepedanya. Lantas menuju ruang ujian miliknya.
Meski ini hanya Ujian Nasional Berbasis Komputer yang tidak memiliki pengaruh besar untuk lanjut ke jenjang perguruan tinggi, namun rasa gugup tetap menggerayangi diri sebagian siswa. Hanya sebagian, dan Felis termasuk di dalamnya.
Alasannya sederhana, hanya karena itulah Felis. Bahkan Felis gugup ketika menghadapi ulangan harian. Ia sendiri tak tahu pasti mengapa ia terus di serang rasa gugup. Namun selama itu tak mempengaruhi nilai Felis, ia rasa membiarkannya bukan jadi masalah besar.
*****
Bel sekolah berbunyi, membangkitkan rasa gugup, gairah, semangat, bahkan rasa takut mereka. Sekali lagi, itu hanya berlaku untuk sebagian siswa.
Beberapa menit telah terlewati, dari total waktu sembilan puluh menit. Felis baru menyeresaikan soal ke dua puluh sembilan dari lima puluh soal. Tak apa, waktu masih tujuh puluh dua menit lagi.
Dalam sisa waktu ujian setelah habis ia mengoreksinya kembali, Felis bergulat dengan pikirannya sendiri. Dalam kurun waktu beberapa hari terakhir, kondisi kesehatan Lia menurun. Kata dokter, Lia memiliki gejala Tuberculosis karena sering berinteraksi dengan Jihan, tetangga Lia yang baru-baru ini juga didiagnosis menderita TBC, yang ternyata telah ia derita sekitar selama beberapa bulan.
Untungnya, kondisi Lia belum termasuk parah, jadi ia masih bisa beraktivitas walau tak bisa seaktif biasanya, dengan beberapa peraturan dokter yang tidak bisa ia langgar. Seperti tidak boleh kelelahan, dan selalu memakai masker, agar keluarga tidak ikut tertular.
Kabar baiknya lagi juga, Felis, Viko dan Rafi didiagnosis negatif mengidap penyakit itu.
Kabar buruknya, Felis jadi ragu meninggalkan keluarganya untuk kuliah di luar negeri, walau baru wacana. Felis terus memikirkan, bagaimana jika dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terus mengalir bebas dalam pikirannya.
Bagaimana jika kondisi Lia, mama Felis memburuk ketika ia di luar negeri? Bagaimana jika kondisi Lia mengakibatkannya tidak bisa beraktivitas sama sekali? Bukankah rumah mereka akan menjadi perahu pecah?
Bagaimana jika Viko atau Rafi jadi tertular? Bagaimana jika Rafi memiliki penyakit yang menyebabkan kondisinya memburuk, atau bahkan lebih buruk dari Lia? Bagaimana jika Viko membutuhkan bantuannya, entah dalam hal apapun itu? Bagaimana jika kondisi Farrel memburuk? Bagaimana jika Felis sendiri, tak bisa beradaptasi dengan cepat dengan lingkungan di luar negeri?
Ini semua terus berputar dan berputar, mengalir tanpa berhenti, semakin memenuhi dan mengusai seluruh otaknya. Membuatnya bingung, bimbang, serta membangunkan rasa keragu-raguan yang telah ia tidurkan lelap-lelap dalam sudut pikirannya.
Bahkan Felis sampai tidak sadari jika waktu ujian hanya tersia sepuluh menit lagi. Ia tersadar ketika ada salah satu pengawas ujian yang menegurnya karena melihat Felis yang melamun di tengah ujian sebegitu lamanya.
Dengan cepat Felis menenggelamkan dahulu semua pikiran tadi dengan paksa. Ia mencoba untuk meneliti hasil pekerjaannya, berusaha berkonsentrasi yang selalu gagal akibat pikirannya tadi yang tak kunjung tenggelam dan terlelap.
Haruskah Felis pergi kuliah ke luar negeri, seperti yang selalu ia impi-impikan sejak kecil? Atau ia harus mengorbankan mimpinya, untuk yang kedua kali demi kepentingan keluarga dan bersama?
*****
"Feliiis!!! Gue panik banget tadi sumpah. Tadi jam dinding di ruangan gue kecepetan tiga puluh menit, jadi gue kira waktunya udah habis mulu, parah!" Ghea menghampiri Felis, dengan ekspresinya yang bisa membuat kegugupan Felis akan ujian tadi lenyap seketika.
"Kan lo ada komputer, Ghe. Kenapa enggak liat jam di computer aja? Juga bukannya di ujiannya ada waktunya ya, Ghe?" heran Felis dengan seruan absurd Ghea. Ia tahu itu bukan sesuatu yang benar-benar terjadi tadi. Hanya akal-akalan Ghea untuk mengalihkan perhatian penuh nan keruh Felis pada ujian tadi.
"Nah, itu tuh…. Tadi gue lupa. Kan saking cerdasnya saya jadi hal sesepele itu sudah saya lupakan"elak Ghea dengan meninggikan diri, khas dengan candaan Ghea yang biasanya. Yang juga hampir selalu bisa membaut suasana hati Felis menjadi jauh lebih baik.
"Aelah enggak usah ngelak sebegitunya lah Ghe," Felis menanggapi omongan absurd Ghea dengan sedikit tawa yang menyelingi.
"Hehe, sekali-sekali, Felis… Eh ke kantin yuk lis, melepas stress pasca ujian!" ajak Ghea dengan semangat.
"Siap!" seru Felis tak kalah semangat.
*****
Felis masih harus mengerjakan hampir dari semua pekerjaan rumah walau besok Ujian Nasional Berbasis Komputer-nya masih berjalan. Namun apa boleh protes, dengan keadaan Lia saat ini sangat tidak memungkinkan untuknya mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Viko menggantikan Lia berjualan sembari membantu beberapa pekerjaan rumah seperti menyapu, Rafi bekerja seperti biasanya, dan Lia hanya bisa melakukan aktivitas kecil sekarang. Sedangkan Felis, ketika pagi ia menyiapkan sarapan kemudian mencuci piring serta membereskan rumah. Sepulang sekolah ia menyiapkan makan siang, setelah itu mencuci piring.
Tak hanya sampai di situ, siangnya Felis mencuci baju, meski menggunakan mesin cuci, yang ia sambi dengan menjemur pakaian serta menyetrika. Walau ketika pagi Lia sudah membantunya untuk menjemur pakaian dan Viko membantunya menyapu rumah, itu tak berarti banya.
Mengingat sorenya Felis harus menyapu halaman, mengangkat jemuran, kembali membereskan rumah, dan menyiapkan makan malam untuk keluarganya sekaligus mencuci piring.
Tentu saja, aktifitas itu sangat padat mengingat ketika malam ia harus belajar ekstra mengingat kembali semua meteri yang pernah ia pelajari sebelumnya, untuk persiapan ujian di keesokan hanrinya.
Bahkan Felis sudah tidak mengunjungi Farrel sejak seminggu yang lalu ketika ia sedang padat-padatnya mengingat kembali seluruh materi ujian.
Kira-kira, bagaimana keadaan Farrel sekarang, ya? Apakah ia sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan, penurunan drastis, atau belum menunjukkan pergerakan perubahan kondisi dari ketika terakhir Felis menjenguknya?
________________
Kyle_Keii