"Dadah Farrel, semangat!" seru Ghea, lalu menggenggam tangan kanan Farrel.
"Cepet sembuh adeknya kakak sa…." ucapan Felis terhenti.
"Felis," ujar Ghea ragu yang merasakah hal yang sama dengan Felis.
"Iya, Ghe gue ngerasa" timpal Felis dengan nada bergetar.
"Tangan Farrel, gerak!" seru mereka berdua bersamaan.
Felis menekan tombol darurat di samping brankar Farrel, segera. Setelah itu seorang dokter dan beberapa perawat datang memasuki ruangan rawat inap Farrel. Mereka meminta Felis dan Ghea keluar dahulu.
Bagaimana keadaan Felis saat ini? Tentu saja panik, gugup, bercampur dengan senang. Ghea menyadarinya. Terbesit cahaya yang berbeda dari biasanya pada pupil Felis.
Felis maupun Ghea tak berhenti merapalkan doa menanti kabar baik dari dokter. Mata terus memandang lurus tepat di pintu ruangan Farrel, ruang rawat inap VIP di lantai tiga nomor 107.
Felis belum memberi tahu siapapun, termasuk keluarganya akan hal ini. Ia hanya takut. Takut memberi harapan palsu pada mereka, dan rasa bersalah yang menghujami dirinya akan semakin banyak.
Semoga saja, dokter maupun perawat yang keluar dari ruang rawat inap 107 akan membawakan kabar baik bagi Felis.
Empat menit tiga puluh detik, tepat setelah dokter masuk ruangan. Tiga puluh detik kemudian, dokter keluar dari ruangan Farrel.
Ekspresinya tak terbaca. Ia membisu, sebelum berkata perihal keadaan Farrel sekarang pada Felis dan Ghea.
"Keluarga pasien?" tanyanya.
"Saya kakaknya" jawab Felis lantang.
"Itu, begini. Pasien belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dia masih sepenuhnya dalam keadaan koma. Gerakan tangan tadi hanyalah reflex bawah sadar dari ototnya. Kejadian ini sering terjadi, kalian tidak perlu khawatir. Saya permisi" ucap dokter itu, lantas melangkah menjauh menuju utara.
Felis sangat-sangat kecewa sekarang. Ia sudah sangat menantikan kabar baik. Memang bukan kabar buruk yang ia dengar sekarang ini, karena kondisi Farrel memanglah tidak bertambah parah.
Namun itu juga bukan merupakan kabar baik akibat belum terlihatnya perkembangan yang signifikan setelah Farrel mengalami koma selama satu tahun lebih.
Bahu Felis turun, kepalanya menunduk lesu. Ia terduduk menyandar dinding lorong. Wajahnya terlihat sangat kecewa sekaligus frustrasi. Ghea tak tahu harus melakukan apa. Jadi, ia memilih diam. Takut malah menambah runyam suasana hati Felis jika ia angkat suara.
Felis hanya diam. Ia belum menunjukkan akan mengeluarkan suara isak ataupun tangis untuk sekarang. Walau bahunya sempat bergetar, kini ia sudah kembali berdiri dengan tegak. Felis bersama Ghea masuk menuju ruang rawat inap nomor seratus tujuh, kembali.
"Farrel, kamu ngagetin kakak aja loh tadi. Syukurlah kondisi kamu enggak memburuk. Walaupun belum membaik. Tapi itu udah lebih dari cukup daripada kondisi kamu memburuk. Walau kakak tetap sangat menunggu kabar membaiknya kondisi kamu ini. Tapi jangan dipaksakan, pelan-pelan aja. Kakak bakal tungguin, kok. Dan sampai kapanpun kamu tetap jadi adek kesayangan kakak, okey! Kakak mau pulang dulu…. Cepet sembuh Farrel" ujar Felis.
Kemudian ia menyandang ranselnya, dan memberi Ghea kode untuk segera pulang, bersama. Ghea yang memahaminya pun turut mengikuti Felis keluar dari ruang rawat inap Farrel.
Mereka menyusuri lorong lantai tiga, menaiki lift untuk turun ke lantai satu, kemudian menuju parkiran sepeda dan bergegas pulang.
Mereka masih sama-sama menuju arah barat. Namun bedanya kali ini, matahari sudah hampir sepenuhnya terbenam. Ini pemandangan sempurna, sangat indah.
Mereka terus bersepeda bersama hingga seratus meter kedepan. Di perempatan, Ghea menuju arah selatan sedangkan Felis masih lurus terus ke arah barat.
*****
"Ma, Felis pulang" sapa Felis pada Ibunya yang sibuk membereskan sisa dagangannya.
"Sana mandi, habis itu bantu mama siapin makan malam" jawab Lia
"Ya, ma"
Percakapan singkat. Sebenarnya Felis sangat-sangat ingin memberitahukan keluarganya tentang hampir semua yang terjadi hari ini. Namun ia khawatir akan membuat sudasana hati mereka semakin kacau. Felis tahu sendiri, menata perasan membutuhkan waktu yang cukup bahkan sangat lama.
Jadi yang ingin ia beritahukan hanyalah kabar baik, bukan kabar yang setengah-setengah seperti ini.
Felis melalui waktu bersama keluarganya tanpa membahas hal itu sedikitpun. Setelah itu, Felis masuk ke kamarnya dan menulis semua yang ia pikirkan dalam buku diarynya.
Alunan musik menjadi teman menulis Felis saat ini. Kemudian Felis melihat langit malam polos melalui jendela kamarnya yang ia biarkan sedikit terbuka.
Semilir angin menyapa wajahnya, disertai alunan musik yang menari indah di gendang telinganya.
Dalam ketenangan itu, Felis kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kekecewaannya, dan cara ia mengatasinya.
Felis mungkin kini sudah bertambah dewasa. Ia sudah bisa mengerti akan keadaan, juga cara menata hati.
Teringat akan tugas yang belum selesai dikerjakan, Felis segera bangun dari lamunannya dan tenggelam dalam dunia akademik yang selalu dikejar kedua orangtuanya.
Lima belas menit kemudian, dan tinggal tiga soal lagi yang belum Felis kerjakan. Ia tak memiliki mood yang bagus untuk sekarang. Jadi, Felis mengambil kertas kosong dan dengan abstrak tangannya menggambar apapun yang ada di pikirannya.
Goresan demi goresan Felis torehkan kepada selembar kertas. Tak lama kemudian sebuah sketsa berisikan dua orang lelaki dan seorang perempuan yang saling menggandeng dengan tawa di wajah mereka terlihat di kertas yang sebelumnya polos itu.
Felis menuliskan sebuah kalimat di sisi pojok kanan atas kertas.
Aku berharap adik-adikku akan selalu sehat dan ceria.
*****
Hari demi hari telah Felis jalani, dan lalui. Susah, senang, pahit, asam, manis kehidupan telah ia rasakan. Pengalamannya dalam isak tangis mungkin bisa dikategorikan sebagai senior di umurnya yang belum menginjak tujuh belas tahun ini.
Namun segala halang rintang itu tak dapat mengubah mimpi dan harapan yang sejak kecil ingin ia wujudkan. Felis hanya ingin keluarganya sehat selalu dan hidup bahagia.
Bebean berat ayng ditanggungnya sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, rasa penyesalan yang selalu menghantuinya, perasaan sedihnya, perasaan kecewanya. Tak ada satupun dari hal itu yang sebanding dengan besarnya harapan Felis.
Dia sangat tulus, membantu Lia berjualan, memijat Rafi sepulang dari kerjanya, membantu pekerjaan rumah ibunya, menjenguk Farrel setiap hari. Bukan itu saja sebenarnya. Ada sebuah rahasia yang ia tutupi rapat-rapat bahkan dari Ghea sekalipun.
Felis selalu mendapat tekanan batin dari orang tuanya. Mereka memotivasi dengan berlebihan yang seringkali melukai batinnya. Ia tak boleh sampai keluar dari peringkat tiga besar se sekolah. Tak boleh ada satupun mata pelajaran yang nilainya di bawah Sembilan. Padahal ia sangat aktif dalam kegiatan non akademik maupun akademik di sekolah.
Terlebih jarak sepuluh kilometer bolak balik rumah ke sekolah harus ia tempuh dengan bersepeda.
Semua itu, dan mungkin masih lebih banyak lagi. Beban yang disembunyikan dari gadis yang terlihat periang nan memesona ini.
______________
Kyle_Keii