Chereads / Felis's Rain / Chapter 8 - 7#~Panik

Chapter 8 - 7#~Panik

Panik, gugup, tegang. Atmosfer di lorong itu terasa begitu mencekam. Apakah Farrel akan baik-baik saja? Kapan Felis akan sadar?

Perasaan kalut dalam kesedihan, air mata terendam dalam penyesalan. Letih dan lelah terabaikan dengan senyap. Semua yang terjadi begitu saja, tepat di tanggal, bulan, bahkan waktu yang sama dengan kejadian itu. Hanya saja, kini tahun telah berganti.

Pergantian tahun seakan tidak berarti. Tak dapat menghapus sedih. Hanya mendatangkan letih.

Padahal tekad sudah terbulat dalam hati, dada sudah selapang hamparan air asin, pikiran mulai dikuasai sisi positif, dan keadaan sudah hampir sepenuhnya membaik. Namun tuhan berkehendak lain. Ia belum mengizinkan permasalahan tersebut terselesaikan semudah ini.

Flashback on

"Ini mau ke rumah sakit mana?" tanya Zain

"Rumah Sakit Cahya Aruna" kali ini, Felis yang menjawab lantaran isak tangis Lia sudah pecah sepenuhnya hingga tak mampu berkata-kata.

"Oke"

Zain melajukan mobilnya dengan kecepatan yang bisa di bilang cepat. Berhubung jalanan ke tempat yang dituju sedang jarang dilalui kendaraan. Jujur, ia merasa kasihan dengan Felis. Bahkan Felis belum sempat untuk beristirahat dan meminum obatnya. Namun Felis sudah langsung dihadapkan dengan situasi yang sangat menguras tenaga seperti ini.

Zain sampai ke rumah sakit dan memarkirkan mobilnya dalam waktu tujuh menit. Tepat setelah itu, Felis dan Lia menghambur keluar mobil, langsung menuju ruangan Farrel. Ketika Zain hendak kembali ke rumahnya, ia melihat sesuatu di kursi penumpang.

Tas milik Lia ternyata tertinggal di mobil Zain. Zain menghela napas. Ia tak menyangka tuhan menakdirkannya terlibat sejauh ini dalam masalah Felis.

Kala itu, belum ada yang tahu bahwa ternyata Zain dan Felis saling terlibat dalam masalah masing-masng yang bersifat sangat pribadi. Mungkin, mereka baru akan mengetahuinya sekitar tiga atau empat tahun lagi.

Zain dengan segera menyusul Felis dan Lia. Karena tak tahu di mana ruangan yang di tuju Farrel, ia jadi harus menyusuri lorong satu per satu yang menurutnya berkemungkinan untuk menjadi tujuan Felis.

Zain sudah menyusuri seluruh lorong lantai satu dan dua. Karena ia berjalan dengan setengah berlari, Zain menjadi sedikit kelelahan dan berniat untuk beristirahat sejenak di kursi depan lift lorong pertama yang ia kunjungi di lantai ketiga. Namun, ketika hendak menjatuhkan badannya di kursi, ia melihat beberapa orang di depan sebuah ruangan. Ia rasa salah satu dari mereka Felis.

Zain mengurungkan niatnya untuk duduk dan langsung berlari kecil-kecil menuju ujung lorong itu. Ketika ia berada tepat di depan ruang 105 yang berjarak dua ruang dari tempat Felis berdiri, Felis terjatuh ke belakang. Zain mempercepat langkahnya dan berhasil menangkap Felis sebelum ia jatuh ke lantai. Felis pingsan.

Satu keluarganya tambah panik seketika. Felis segera di bawa ke ruang rawat sebelah ruangan Farrel, ruangan 108.

"Maaf ya, nak Zain jadi ngerepotin"

"Iya, enggak apa-apa kok, om, tante��

Sementara ini sampai dokter keluar dari ruangan Farrel, mereka sepakat agar Zain yang menjaga Felis. Bahkan Zain sendiri yang mengajukan diri melakukannya. Itu karena kondisi Felis hanya kelelahan, sedangkan Farrel baru saja di pindahkan ke ruang ICU, karena kondisinya kian memburuk.

Zain mengetikkan sebuah pesan kepada kakaknya di telepon pintar bahwa ia akan pulang terlambat hari ini dan akan menjelaskan alasannya setelah ia kembali ke rumah. Karena kakaknya telah mengeluarkan pernyataan setuju, Zain menjadi tenang sekarang.

Zain menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang rawat inap Felis. Kata dokter, Felis hanya kelelahan akibat tekanan batin juga fisik. Berdasarkan perkiraannya, Felis akan sadar sekitar tiga jam lagi.

Kini pukul enam lewat tiga puluh menit. Zain masih setia memainkan telepon pintarnya dan sesekali menatap Felis lamat. Ia baru menyadari, sepertinya Zain pernah bertemu dengan Felis bahkan sebelum mereka masuk ke SMA yang sama. Tetapi Zain lupa, kapan dan dimananya.

Zain mengabaikan sejenak perasaannya itu dan kembali memainkan telepon pintarnya.

Ia memainkannya dalam waktu yang tidak bisa di bilang singkat. Entah fitur apa yang sedang ia mainkan hingga ia betah tidak beranjak dari posisinya.

Pukul tujuh malam. Ketika itu, Viko mengantarkan sebuah nasi kotak beserta air mineral kepada Zain.

"Lo kalau mau pulang nggak papa, biar gue yang jagain kakak" ujar Viko sambil menyodorkan nasi kotak beserta air mineral pada Zain.

"Thanks, engga papa-apa lo tungguin aja saudara lo, keadaan dia lebih genting sekarang, kan? lagipula besok kita libur tiga hari pasca tonti kemaren. Lo tenang aja"

"Ya udah kalau gitu, gue balik ke sana lagi. Makasih, kak" kata Viko sebelum ia beranjak keluar dari ruang 108 yang hanya dibalas deheman singkat oleh Zain.

Flashback off

*****

Zain merasakan dirinya telah hampir di kalahkan oleh rasa kantu. Jadi, ia duduk di kursi dekat brankar Felis, menggenggam tangan Felis dan meletakkannya di lipatan tangannya yang kemudian dijadikan bantal.

Pukul setengah sepuluh, Zain sudah tertidur pulas. Saat itu, kesadaran Felis mulai kembali. Karena merasakan pergerakan dari tangan Felis, Zain terbangun.

Dengan sigap, Zain menata diri. Ia langsung bangun dan sedikit mengguncangkan tubuh Felis.

"Felis, lis, Felis, akhirnya lo sadar juga," panggil Zain. Perlahan, Felis mengerjapkan matanya hingga terbuka sempurna. Reaksi terkejut Felis membuatnya langsung terduduk. Ketika Tubuhnya hampir jatuh karena ketidakseimbangan, Zain mengangga tubuhnya dari belakang.

"Ha-us…" ujar Felis dengan terbata ketika ia sudah berhasil menyeimbangkan posisi tubuhnya. Mendengar penuturan Felis, Zain langsung mengambil segelas air putih di nakas yang memang sudah disiapkannya tepat sebelum ia tertidur dan tak lupa menutupnya juga.

"Ini, minum, sini," Zain menyodorkan gelas berisi air pada Felis, dan meminumkannya.

"Hmm, makasih," kata-kata itu keluar tanpa sadar melalui bibir mungil Felis, yang mendarat mulus di telinga Zain. Entah sudah keberapa kali Felis berterima kasih kepada pemuda itu hari ini.

"Iya" jawab Zain singkat. Tadinya, Zain berencana untuk memanggil dokter untuk memeriksa kondisi Felis. Tetapi Zain rasa sepertinya hal tersebut tidak diperlukan lagi. Terlihat dari raut muka Felis yang sudah hampir terbebas sepenuhnya dari pucat.

"Pelan-pelan aja, enggak usah maksain," ujar Zain spontan ketika melihat Felis yang terlihat tergesa untuk berdiri.

"Udah enggak apa-apa kok. Ngomong-ngomong, gue tadi pingsan, ya?" tanya Felis yang hanya di balas anggukan oleh Zain.

"Kok lo bisa ada di sini?" tanya Felis, lagi.

"Gue pake teknik teleportasi" jawab Zain asal.

"Hebat banget! Lo manusia dari masa depan, ya?"

"Iya, masa depan lo!" wajah Felis memerah mendengar penuturan Zain. Felis kini bahkan sudah melupakan sebab ia berada di rumah sakit kini. Belum sempat Felis membalas penuturan absurd Zain, terlihat seseorang membuka pintu ruangan Felis dengan keras. Napasnya memburu.

Dia, Viko.

"Kak... Farrel" Viko berucap tanpa menunggu pernapasannya kembali normal.

"Farrel, kenapaa?!" tanya Felis yang seketika teringat kembali akan lukanya. Tidak, sakit Felis kembali lagi.

"Dia…"

_____________

Kyle_Keii